Rabu, 06 Maret 2019

Eksistensi Tanah Ulayat


Eksistensi Tanah Ulayat

Oleh: Syahdi, S.H

Diantara persoalan yang hangat beberapa tahun belakangan ini terutama pasca reformasi adalah mengenai tanah ulayat yang semakin terdesak akibat kebijakan reforma agraria dan penataan ruang. Terlebih dalam fase transisi (masa peralihan) dari Negara tradisional atau Negara agraris (berbasis pertanian) menuju Negara industrialis diantaranya telah berdampak menjauhkan kita dari cita Swasembada pangan, serba legalistik dalam berhukum. Mendambakan sebagai Negara Eksportir, malah bergerak ke posisi Negara Importir. 

Ditambah salah urusnya perekonomian telah menjadikan Indonesia sebagai Negara Debitur, yaitu nasabah tetap International Monetary Fund/IMF (Dana Keuangan Internasional) atau World Bank (Bank Dunia) maupun menumpuk hutang dari "kantong-kantong  keuangan" China dan lain sebagainya. Dalam masa transisi ini, rekonstruksi maupun restorasi (pemulihan, pembenahan atau perbaikan) regulasi yang menyangkut segala aspek bidang hukum, tertib administrasi menjadi suatu keniscayaan untuk dilakukan. 

Sebab itu banyak kebijakan dan produk hukum dibuat untuk merealisasikan (mewujudkan) dan mengkonsolidasikan (melakukan penguatan) program nasional berbasis kerakyatan. Diantara pergulatan antara program dan ide-ide membawa kita pada suatu polemik yang sangat krusial, jika tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah maka akan menciptakan pergolakan hebat yaitu perlawanan dan penentangan sekelompok rakyat kepada penguasa yang dianggap sewenang-wenang.

Penelusuran secara historis, eksistensi atau keberadaan tanah ulayat sepertinya muncul bersamaan dengan keberadaan masyarakat hukum adat sendiri. Atau dapat kita katakan sebagai hak yang melekat pada masyarakat hukum adat. Dalam perjalanan sejarahnya, eksistensi tanah ulayat mulai dirasakan berada dalam temperatur kecemasan yang tinggi oleh masyarakat hukum adat dan terancam oleh pembangunan akibat kebijakan infrastruktur, irigasi (pengairan), maupun kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan oleh pemerintah.

1. Tanah Ulayat dan Hak Ulayat

Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Yaitu tanah yang dimiliki dan dikelola berdasarkan hak milik kolektif (bersama) anggota masyarakat hukum adat dengan cara-cara tertentu yang telah diputuskan oleh pihak yang mempunyai otoritas dimana secara sosiologis pemegang otoritas itu diakui keberadaannya, serta ditaati oleh masyarakat hukum adat. Pemegang otoritas itu biasanya representasi dari masyarakat hukum adat yaitu kepala adat, orang yang dituakan dan dihormati.

Jadi tanah ulayat, kepemilikan dan pengelolaannya di dasarkan atas hak milik bersama (komunal atau kolektif), bukan tanah milik perorangan secara pribadi. Pengelolaannya diserahkan oleh kepala adat kepada anggota masyarakat hukum adat secara bergiliran selama waktu tertentu, sampai habis masanya maka tanah dikelola oleh anggota masyarakat hukum adat lainnya. 

Pengelolaan atau pemanfaatan tanah ulayat dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari atau untuk keperluan lain yang dimungkinkan dan dibolehkan oleh pemimpin adat. Karena bukan tanah milik orang perorangan secara pribadi, maka ada beberapa ketentuan yang berlaku atas tanah ulayat, diantaranya adalah:
a. Bahwa tanah ulayat tidak boleh dialihkan pada pihak lain seperti diperjual belikan, disewa atau digadaikan, di hibahkan;
b. Bahwa pengelolaan tanah ulayat peruntukannya adalah kepada para warga masyarakat hukum adat setempat;
c. Pengelolaan atau pemanfaatan tanah ulayat dilakukan bergiliran dan berbatas waktu, ini bertujuan agar para warga masyarakat hukum adat yang lain mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hasil dan manfaat dari pengelolaan tanah ulayat.

Sementara itu Hak ulayat dapat diartikan sebagai hak bersama atas penguasaan tanah ulayat. Hak ulayat pada dasarnya hanya dimiliki oleh masyarakat hukum adat setempat. Masyarakat hukum adat lain atau masyarakat yang bukan masyarakat hukum adat tidak memiliki hak ulayat atas tanah ulayat.

2. Legal Standing Tanah Ulayat

Kedudukan hukum atau pengakuan tentang eksistensi tanah ulayat secara hukum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara tersebar. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengakuan dan pengaturan tanah ulayat diantaranya dimulai dari UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi, kemudian undang-undang, dan peraturan menteri di bidang agraria.

Baiklah kita bahas peraturan perundang-undangan tersebut satu persatu secara ringkas saja, sebab tidak mungkin semua pasal yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan itu akan diketengahkan dalam artikel ini. Hanya beberapa pasal saja yang perlu mendapat perhatian kita semua. Karena itu jika ingin mengetahui isi peraturan perundang-undangan dimaksud secara komprehensif maka silahkan baca pasal demi pasal satu persatu.

 √ UUD 1945

Eksistensi tanah ulayat meskipun tidak secara tegas, namun secara implisit diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta "hak-hak tradisionalnya" sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. 

Kalimat yang penulis beri tanda kutip (") adalah pengakuan eksistensi tanah ulayat. Disadari memang bahwa salah satu kekurangan UUD 1945 adalah tidak tegasnya pengaturan tentang tanah ulayat dan hak-hak serta perlakuan negara kepada masyarakat hukum adat. 

Di satu pihak penulis menganalisa barangkali yang menghinggapi pikiran pembentuk UUD 1945 amandemen (yang telah diperbaharui) pada waktu itu adalah Pertama, faktor ketergesa-gesaan atau semangat reformasi yang bergejolak tak terbendung lagi untuk melakukan amandemen UUD 1945 sehingga belum terdapat kajian yang mendalam melibatkan para pakar hukum tidak terkecuali dalam masalah yang sedang kita bicarakan disini yaitu melibatkan para pakar hukum adat. 

Kedua, persoalan tanah ulayat dianggap adalah masalah temporer yang dapat dengan mudah tergerus oleh perkembangan zaman sehingga tidak relevan untuk diatur secara tegas dalam UUD 1945. Ketiga, soal tanah ulayat dan masyarakat hukum adat dapat di delegasikan pengaturannya atau dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sehingga lebih dinamis dan mudah menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Selanjutnya, mengenai hak penguasaan negara diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Ketentuan pasal ini masih bersambung pengaturannya dalam undang-undang. 

Penekanan dalam pasal ini bahwa pada prinsipnya negaralah yang memegang hak penuh dan tertinggi atas penguasaan dan pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. termasuk tanah ulayat adalah bagian dari penguasaan negara atas bumi. Tapi hak negara tersebut tentu harus memperhatikan kearifan lokal (local wisdom) masyarakatnya, dan tujuan dari penguasaan dan pengelolaan oleh negara dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

√ Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-undang ini lazim disingkat UUPA, pengaturan tentang hak menguasai diatur dan dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyatakan bahwa, "hak menguasai negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan pemerintah". 

Dengan demikian, penguasaan atas tanah ulayat yang secara faktual bahkan telah ada dan dikelola oleh masyarakat hukum adat jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, praktiknya bahwa negara tidak benar-benar mutlak melakukan penguasaan atas tanah, melainkan sebagian dari tanah itu dikelola dan dikuasai oleh masyarakat-masyarakat hukum adat menurut hukum adat yang berlaku dan ditaati dilingkungan masyarakat hukum adat setempat.

√ Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Tentang pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat lebih jauh dapat kita baca dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan bahwa, suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
d. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain itu pengakuan dan pengelolaan tanah ulayat oleh masyarakat hukum adat berdasarkan hak-hal tradisionalnya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Dari segi politik, pernyataan “sesuai dengan kepentingan nasional dan negara dapat menimbulkan multi tafsir dan sarat kepentingan politik, akan sulit bagi kita untuk dapat menentukan apakah keberadaan suatu masyarakat hukum adat tertentu memenuhi persyaratan ini atau tidak, tanpa mengetahui masyarakat hukum adat yang mana yang dimaksud tersebut.

Selain itu pula pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya adalah tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi. Persyaratan yang terakhir ini tidak terlampau menjadi ganjalan yang merisaukan bagi keberadaan hak ulayat karena UUD 1945 telah tegas mengakui keberadaan hak-hak tradisional komunitas di Indonesia. 

Sebab secara konstitusional, Pasal 18B ayat (1) UUD menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besarta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jika ada undang-undang yang tidak mengakui keberadaan hak-hak tradisional komunitas maka undang-undang tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.

√ Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada Dalam Kawasan Tertentu.

Peraturan menteri ini mengatur bahwa penguasaan dan pengelolaan tanah ulayat baru diakui secara resmi oleh negara dengan syarat bahwa masyarakat hukum adat mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah. Diantaranya seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu mengajukan permohonan penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat kepada Bupati/Walikota atau Gubernur.

Permohonan tersebut diajukan oleh kepala adat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, dengan dilengkapi syarat antara lain:
a. riwayat masyarakat hukum adat dan riwayat tanahnya, apabila pemohon masyarakat hukum adat;
b. riwayat penguasaan tanah paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;
c. fotokopi kartu identitas atau akta pendirian koperasi, unit bagian dari desa, atau kelompok masyarakat lainnya;
d. surat keterangan dari kepala desa atau nama lain yang serupa dengan itu.

Setelah menerima permohonan tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (“Tim IP4T”­) untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu serta tanahnya.

Dalam hal tanah yang dimohon berada di dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T yang terdiri dari:
a. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai ketua merangkap anggota;
b. Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
c. Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang disamakan dengan itu sebagai anggota;
d. Unsur pakar hukum adat, apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat;
e. Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam Kawasan Hutan;
f. Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu;
g. Lembaga Swadaya Masyarakat; dan
h. Instansi yang mengelola sumber daya alam.

Dalam hal tanah yang dimohon terletak di lintas Kabupaten/Kota, Gubernur membentuk Tim IP4T yang terdiri dari unsur yang sama seperti di atas, kecuali huruf e diganti dengan Unsur Dinas Provinsi yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, dan Unsur Dinas/Badan Provinsi yang menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, serta ditambahkan unsur Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai Ketua merangkap anggota.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...