Minggu, 04 November 2018

Hak Politik Mantan Narapidana dan Tersangka Dalam Kontestasi Pilkada


Hak Politik Mantan Narapidana dan
Tersangka Dalam Kontestasi Pilkada

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Saya memperhatikan dengan seksama masalah yang berkembang di masyarakat yang meliputi alam demokrasi akhir-akhir ini. Saya buat tulisan ini memuat pendapat hukum atau legal opinion saya sebagai respon terhadap hal mana akan dijelaskan disini.

Undang-undang pemilu termasuk undang-undang pilkada sebetulnya sudah membatasi untuk mereka (mantan narapidana) itu mencalonkan diri menjadi pejabat publik, sebab dalam undang-undang selalu dijumpai persyaratan "tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dengan demikian hak-hak mereka dibidang politik sudah dipersempit, tidak tersedia cukup ruang untuk leluasa berpolitik.

Bahkan dalam hal penerimaan calon pegawai negeri sipilpun kementerian maupun institusi non kementerian mengeluarkan keputusan diantara syarat yang harus dipenuhi sama dengan syarat diatas.

Orientasi atau titik berat rumusan kaidah hukum itu adalah pada ancaman pidana (hukumannya), bukan pada hukumannya. Artinya, jika seseorang melakukan tindak pidana dia diancam dihukum atas tindak pidana yang dilakukannya itu. Jika ancaman pidana dibawah 5 (lima) tahun, berarti tindak pidana ringan seperti pencurian biasa, penganiayaan ringan maka terhadap mantan narapidana itu masih diperkenankan mencalonkan diri menjadi pejabat publik atau calon pegawai negeri sipil.

Adapun bagi seseorang yang telah ditetapkan tersangka tetap berhak mencalonkan diri ikut dalam kontestasi Pilkada. Sebabnya dalam hukum acara pidana berlaku asas praduga tidak bersalah bahwa seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut harus dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya.

Walaupun hak politik tetap melekat sebab hanya hakim melalui putusannya sajalah yang berhak mencabut hak politik seseorang, dalam praktik menimbulkan dilematis yang sulit dihindari. Status sebagai tersangka dapat menciptakan stigma (penilaian negatif) ditengah masyarakat, karena itu pulalah dapat mempengaruhi elektabilitas atau peluang terpilih sebagai kepala daerah.

Hal ini mengajarkan kita satu hal bahwa apa yang dianggap ideal secara yuridis (hukum) belum tentu sejalan dengan apa yang dipandang patut di masyarakat. Masyarakat kita dalam memahami hukum cenderung secara simbolik. Disatu pihak apa yang berkembang dimasyarakat tidak dapat begitu saja disalahkan, apalagi akhir-akhir ini stigma kepada seorang tokoh dapat berkembang secara alamiah sejak awal meskipun seorang politikus tidak berurusan dengan hukum.

Sebabnya bisa karena kekecewaan dan kebencian kepada kelompok politik tertentu yang dianggap sering berkelakuan tidak patut, diskriminatif, tidak menghargai aspirasi rakyat, melukai perasaan keadilan rakyat, terlebih jika kelompok politik itu menjadi bagian penting dalam lingkaran kekuasaan rezim yang berkuasa. Kelompok politik itu menunjukkan gejala yang serius bahwa merekalah yang  mempengaruhi kebijakan pemerintahan sehingga negara menjadi amatiran dan sewenang-wenang.

Masalah ini jika dilihat menggunakan sudut pandang hukum tata negara dan hukum pidana, maka hasilnya bisa beragam. Jika dilihat dari sisi hukum tata negara maka hasilnya satu sisi dapat dinilai bertentangan dengan demokrasi dapat juga tidak bertentangan dengan demokrasi. Dan hukum pidanapun punya penilaian tersendiri pula.

Adapun setelah diputuskan secara hukum dalam peraturan perundang-undangan maka ragam pendapat itu berakhir, dan terciptalah unifikasi kaidah hukum. Jika sudah di unifikasi maka secara hukum dianggap telah final sebagai kesepakatan politik yang harus diterima. Meski demikian, hal itu dapat terus diperdebatkan dalam panggung akademik mengenai kemungkinan perbaikan kesepakatan politik yang dianggap masih menyisakan cacat sosiologis itu.

Perlu dipahami bahwa tiga point penting yang menjadi ruh demokrasi itu yaitu; persamaan, kebebasan dan keadilan. Namun dalam hal tema ini, nilai persamaan dan kebebasan jika tidak dipahami secara benar maka dapat menimbulkan kerancuan dan kebimbangan.

Nilai persamaan dihadapan hukum harus dipahami dalam makna persamaan dalam berhukum dan persamaan dalam penegakan hukum. Persamaan dalam berhukum artinya bagaimana hak-hak warganegara diatur tanpa diskriminasi seideal mungkin dalam peraturan perundang-undangan. Persamaan dalam penegakan hukum artinya bagaimana perlakuan negara kepada seseorang yang di duga atau telah bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Nilai persamaan menghendaki bahwa tiap-tiap orang diakui memiliki sejumlah hak-hak yang melekat sejak ia masih dalam kandungan sampai ia lahir, tumbuh menjadi dewasa hingga wafat, dan negara berkewajiban menghormati, melindungi, serta berupaya memenuhi hak warganegaranya. Hanya negara berdasarkan hukum yang dapat mengurangi, membatasi, atau meniadakan (merampas) hak-hak itu.

Setiap warganegara tanpa diskriminasi harus diperlakukan sama dalam berhukum di muka pengadilan. Jika si A bersalah melakukan tindak pidana pencurian untuk memperkaya diri maka pidana yang dijatuhkan juga harus diterapkan secara sama terhadap si B yang juga melakukan tindak pidana pencurian untuk memperkaya diri.

Akan tetapi haruslah dipahami bahwa untuk peristiwa hukum dan motivasi yang berbeda maka sudah sewajarnya dijatuhkan pidana yang berlainan pula. Misalnya, dalam contoh diatas terhadap si A misalkan hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka pidana yang demikian itu tentulah tidak dapat disamakan dengan orang yang mencuri sekedar untuk memenuhi/menopang  kehidupannya.

Meski sama-sama tindak pidana pencurian, tetapi karakteristik dan motivasi yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana itu berbeda maka pidana yang dijatuhkan juga sudah sepantasnya dibedakan.

Jadi, pemahaman persamaan dihadapan hukum itu  diberlakukan terhadap peristiwa hukum dan motivasi yang serupa harus diterapkan hukuman yang serupa, jika peristiwa hukumnya berbeda, motivasinya berbeda terlebih  peristiwa hukumnya memang berbeda maka diterapkan hukuman yang berbeda pula.

Selain itu, nilai persamaan menekankan pada aspek human rights dignity (penghormatan terhadap hak-hak/harkat martabat kemanusiaan) bahwa manusia tanpa diskriminasi harus diperlakukan sama sebagai mahkluk ciptaan tuhan yang maha kuasa.

Sementara, nilai kebebasan yang kita anut adalah kebebasan yang terbatas. Hak dan kebebasan diakui tetapi negara juga berwenang menentukan sampai sejauh manakah kebebasan itu dapat ditolerir atau diterima.

Pembatasan ini penting agar tidak terjadi perbenturan antara hak dan kebebasan antar perorangan maupun hak dan kebebasan antar perorangan dengan kelompok/komunitas atau kepentingan umum. Negara mengakui ada kepentingan umum yang harus diutamakan, namun tidak menafikan hak dan kebebasan perorangan. Inilah yang disebut prinsip keseimbangan.

Singkatnya, dari perspektif hukum tata negara pembatasan terhadap mantan narapidana untuk berpolitik adalah sah dan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28 j UUD 1945 (lihat Pasal 28 j; dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang....).

Legalitas pembatasan itu dilakukan dengan berdasarkan undang-undang, ialah undang-undang yang saya sampaikan di muka. Sedangkan, jika masalah ini dinilai dengan menggunakan perspektif hukum pidana belum tentu benar pembatasan yang dilakukan oleh negara mungkin juga bertentangan dengan semangat penegakan hukum.

Artinya, dalam perspektif hukum pidana pembatasan yang demikian itu dapat dipersoalkan sebab pembatasan itu tidak relevan sehingga bertolak belakang dengan basis pembinaan dalam penegakan hukum di negara ini.

Mengapa demikian, sebab betapapun durjananya seseorang akibat perbuatan tercela yang dilakukannya, bukankah ia sudah menjalani pidana?, dengan demikian seharusnya secara hukum ia sudah bersih. Tetapi nyatanya secara sosiologis masyarakat cenderung menolak dan masih tetap menyimpan kebencian terhadap mantan narapidana.

Stigma inilah yang terus menghantui dan menghambat prestasi untuk berkiprah terutama dalam bidang politik. Padahal, sasaran dari konsep pembinaan yang dianut dalam penegakan hukum pidana adalah bahwa narapidana menjadi termotivasi cepat-cepat keluar dari LP, berkelakuan baik, diharapkan diterima lagi di lingkungan masyarakat, menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara, dapat kembali menjalani kehidupannya, dan menikmati hak-haknya sebagaimana adanya. Tetapi oleh karena undang-undang membatasi, maka mantan narapidana tidak dapat leluasa menikmati hak-haknya.

Dengan begitu sesungguhnya pembatasan yang dilakukan itu bertentangan dengan konsep lembaga pemasyarakatan yang dianut. Sebab sudah jelas, bahwa orientasi konsep pemasyarakatan itu mendidik orang supaya jadi orang baik, selepas keluarnya dari LP diterima kembali di lingkungan masyarakat, berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Tetapi praktiknya yang terjadi adalah meski secara hukum mantan narapidana itu sudah dipandang bersih, kesalahan yang dilakukan sudah ditebus dengan menjalani pidana, sayangnya secara sosiologis masih dianggap tercela dan ternoda, sebabnya sudah terlanjur melukai perasaan umum sehingga sulit konsep pemasyarakatan itu diterima ketika mantan narapidana itu berbaur ditengah-tengah masyarakat.

Ditambah lagi hukum pidana memandang bahwa dengan pembatasan yang diperlakukan kepada mantan narapidana untuk berpolitik, semakin mempermutlak dan negara seolah menyetujui penolakan masyarakat.

Disinilah letak pertentangan antara negara berwenang melakukan pembatasan di satu pihak, dan pembatasan tidak pada tempatnya yang semestinya tidak dilakukan oleh negara sebab bertentangan dengan semangat penganutan konsep lembaga pemasyarakatan.

Saya termasuk seorang yang tidak sepenuhnya dapat menerima apa yang telah diputuskan dalam undang-undang tentang kebolehan mantan narapidana menjadi pejabat publik. Saya berpendapat bahwa pembatasan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih itu tidak efektif.

Sebabnya dari law enforcemen (penegakan hukum) di negara kita yang masih diliputi perlakuan diskriminatif. Konkretnya masih banyaknya rekayasa kasus yang diada-adakan sedemikian rupa sehingga seorang tokoh menurut analisis perasaan keadilan publik yang kemudian berkembang menjadi keyakinan publik tidak mungkin melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya justru dijatuhi hukuman. Saya fikir nalar publik tidak sedemikian rendahnya sehingga dianggap tidak mampu menganalisa kecurangan penegakan hukum yang dilakukan stake holder (penguasa).

Praktiknya dalam sejarah kepekaan perasaan keadilan publik kasus-kasus seperti korupsi, penggelapan, penyuapan atau gratifikasi, pembunuhan banyak yang merupakan produk rekayasa interest group (kelompok kepentingan).

Semisal kasus diberhentikannya pimpinan KPK Abraham Samad, Bambang Widjayanto termasuk pimpinan KPK sebelumnya seperti Antasari Azhar, kuat dugaan bahwa mereka dikriminalisasi karena ada pihak-pihak yang merasa terancam kepentingannya terhadap kinerja KPK.

Jangan dikira publik benar-benar bodoh tidak mampu menangkap arogansi yang dipancarkan kepermukaan. Arogansi kekuasaan yang dimainkan oleh interest group dalam kasus itu, kasus itu sendiri dan anggapan seperti itu adalah penghinaan besar terhadap nalar publik dalam sejarah berhukum di negeri ini.

Pertanyaan kita, untuk kasus yang menimpa orang-orang seperti mereka yang saya sebutkan disini apakah harus kita terima kenyataan hukum bahwa untuk mereka mesti berakhir kesempatan atau hak dan karir politiknya?. Sedemikian kejinyakah kita dalam membangun hukum di negara kita. Karena itu hal ini hendaknya janganlah dipandang secara umum (jangan digeneralisir). Sebab dalam praktiknya hukum sering disalahgunakan, aparat penegak hukum itu tidak benar-benar tulus menegakkan hukum.

Karena itu saya tidak dapat menerima sepenuhnya apa yang telah diputuskan dalam undang-undang. Undang-undang hanya harus dianggap ideal dan berlaku mengikat sampai perubahan menghendaki idealitas yang baru yang merupakan koreksi dari apa yang sebelumnya diputuskan.

Pemecatan Anggota DPR Oleh Parpolnya Dalam Sudut Pandang Hukum Tata Negara


Pemecatan Anggota DPR Oleh Parpolnya Dalam Sudut Pandang Hukum Tata Negara

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Pada tahun yang lalu, banyak anggota DPR fraksi PKS walk out dalam suatu rapat yang dipimpin Fahri Hamzah. Tidak hanya sampai disitu, mereka mengultimatum jika kedepan rapat DPR Fraksi PKS masih dipimpin Fahri, maka tidak akan ada yang hadir lagi. Seperti diketahui bahwa Fahri Hamzah dipecat partainya (PKS), Fahri bukan kader PKS lagi. 

Atas dasar itulah penolakan bergulir dikhawatirkan rapat dan hasil rapat tidak memiliki legitimasi (keabsahan). Lebih jauh sebetulnya anggota DPR Fraksi PKS mengatakan bahwa Fahri sudah tidak legitimate sebagai anggota DPR, penilaian ini tentu juga berdampak terhadap kedudukannya sebagai Wakil Ketua DPR. Pemikiran seperti ini tidak tepat. 

Memang anggota DPR itu kader parpol dan pada waktu pencalonan atau memutuskan maju mencalonkan diri sebagai anggota DPR diusung oleh parpol sebagaimana termaktub dalam konstitusi (Pasal 22E ayat (3) UUD 1945), hakikatnya pemilihan anggota legislatif adalah pemilihan parpol. 

Parlemen kamar DPR sesungguhnya diisi oleh parpol, parpol memperjuangkan aspirasinya melalui anggota DPR yang menjadi kadernya. Terdapat politik balas budi sebetulnya bila kita telaah. Sebab oleh karena parpol yang mengusung calon anggota DPR dan turut pula memperjuangkan kemenangannya, dan setelah berhasil menjabat, maka konsekuensi politis yang harus diterima adalah bahwa siapapun anggota DPR itu tidak boleh membangkang dan menentang kemauan partainya. 

Jika muncul pembangkangan, maka undang-undang parpol mengisyaratkan recall kepada anggota DPR oleh partainya. Namun yang menarik dalam kasus Fahri Hamzah, ia tidak di recall oleh partainya tetapi partainya tidak lagi mengakui Fahri sebagai kader alias sudah dipecat. Hal ini berdampak dari mangkirnya anggota DPR Fraksi PKS tidak sudi rapat dipimpin Fahri dengan alasan unlegitimate (tidak memiliki keabsahan).

Pendapat dari mereka yang mangkir itu tidak sepenuhnya benar, keabsahan atau legitimasi Fahri sebagai anggota DPR tetap melekat, sebab sewaktu pemilihan umum legislatif dia kader PKS, diusung PKS, dan menang pemilu. Kedudukan Fahri sebagai anggota DPR tetap legitimate, sebab rakyat yg memilihnya. 

Legitimasinya bersumber dari rakyat. Baik secara politik maupun secara hukum/konstitusional Fahri tetap legitimate. Pemberhentian anggota DPR sudah ditentukan dalam undang-undang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Kasus Fahri  dipecat parpolnya namun tidak ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh parpolnya (recall). 

Mengenai recall ini masih debatable, tapi saya berpendapat sebagaimana sudah saya terangkan dimuka, secara politis, hukum atau konstitusional Fahri tetap legitimate. Sebab legitimasinya bersumber dari rakyat dan ia sudah menempuh proses politik secara konstitusional. Mengingat derajat keabsahannya yang tinggi, tidak boleh parpol melakukan recall untuk. Tidak sepantasnya recall itu. 

Dalam negara demokrasi ini harus dipahami bahwa parpol bukan wakil rakyat, bukan manifestasi rakyat. Melainkan hanya fasilitator yg menghubungkan rakyat dg wakilnya yaitu anggota parlemen, yang menghubungkan rakyat dengan pemimpinnya yaitu Presiden dan Wakil Presiden. 

Anggota parlemen itulah yang secara nyata merupakan penjelmaan seluruh rakyat, yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Representasi anggota DPR tidak hanya ditandai dengan kehadirannya secara fisik di parlemen (representasi formal), namun juga representasi materil yaitu benar-benar aspiratif dan memperjuangkan aspirasi rakyat konstituennya secara utuh. 

Segala apapun yang dikehendaki rakyat kesanalah tujuan hendak diarahkan meskipun itu bertentangan dengan kemauan parpol/ penguasa parpolnya. Aspirasi dan arah kebijakan parpol seharusnya paralel dengan kemauan rakyat. 

Karena itu parpol dituntut untuk harus responsif terhadap fenomena dan dinamika kondisi akan kebutuhan hukum masyarakat. Politik balas budi atau balas jasa parpol sebagai fasilitator hendaknya tidak hanya didasarkan pada penilaian-penilaian di luar hukum yaitu politis semata-mata. 

Tapi konstitusi harus benar-benar dijiwai dan dipahami. Karena itu pemahaman, penjiwaan, pendalaman, terhadap hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara itu sangatlah penting.

Dilema Recall Anggota Parlemen


Dilema Recall Anggota Parlemen

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Recall atau ditariknya status keanggotaan DPR oleh parpol, itu impeachmen secara politis, sedang impeachmen secara hukum dilakukan melalui proses di pengadilan. Recall itu tidak ada logika hukumnya, hanya di dasarkan pada logika politis semata. Pemberhentian keanggotaan DPR melalui recall bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan tidak relevan secara hukum. 

Anggota DPR dipilih oleh rakyat, legitimasinya (keabsahannya) bersumber dari rakyat. Secara hukum dan politis derajat legitimasi anggota DPR sangat kuat, sebab sudah melewati proses politik secara hukum atau konstitusional. 

Sementara yang harus dipahami bahwa dalam negara demokrasi ini, parpol bukanlah representasi rakyat melainkan hanya fasilitator yang menghubungkan rakyat dengan wakilnya di parlemen, kepala negara maupun kepala daerah. 

Anggota parlemen sendirilah yang merupakan representasi rakyat, manifestasi seluruh rakyat. Karena itu parpol tidak memiliki hak secara hukum dan tidak sepantasnya melakukan impeachmen secara politis. 

Konflik kepentingan yang terjadi mestilah diselesaikan secara hukum, kecuali dalam hal pengunduran diri atau karena alasan yuridis sakit berturut-turut selama waktu tertentu yang tidak memungkinkannya untuk menjalankan tugas dan kewajiban sebagai anggota parlemen.

Recall tidak lain merupakan konsekuensi politis dan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi maupun dominasi parpol kedalam aktivitas politik kenegaraan. Memang parpol terikat pada ketentuan undang-undang untuk tidak boleh melanggar prinsip-prinsip yang sudah disepakati bersama seperti menjaga keutuhan NKRI, setia kepada Pancasila dan UUD 1945 dan kewajiban-kewajiban hukum lain yang tidak boleh dilanggar oleh parpol. 

Pentaatan parpol tersebut diasumsikan berdampak pula pada kader parpol terlebih yang sudah menjadi pejabat publik seperti anggota DPR. Kader parpol yang menjabat di parlemen diharuskan untuk tidak melanggar larangan-larangan yang berlaku untuk parpol, walaupun secara khusus setiap anggota parlemen yang disahkan keanggotaannya wajib mentaati sumpah dan janji jabatan. 

Sementara itu di lain pihak, anggota parlemen harus setia kepada visi dan misi parpolnya, bukan setia kepada kemauan subjektif-politis petinggi parpolnya. Menundukkan diri pada kemauan subjektif-politis petinggi parpol membuka peluang yang berpotensi kontradiktif dengan kepentingan rakyat. Bukankah kepentingan umum/rakyat harus diletakkan diatas segalanya, yang harus diutamakan, bukan kepentingan pribadi, kelompok dan sebagainya dan sebagainya.

Sedangkan bila anggota parlemen membangkang terhadap kemauan subjektif atau kecenderungan penyimpangan petinggi parpol, maka parpol dapat dengan semena-mena melakukan recall. Meski tersedia upaya hukum untuk melawan kesewenang-wenangan itu, tapi recall tetap tidak paralel dengan sumber legitimasi anggota parlemen. 

Dengan recall anggota parlemen menjadi tutup mulut, tidak hanya anggota parlemen kepala daerah serta kepala negarapun juga demikian. Walaupun untuk kepala daerah/kepala negara tidak dikenal ketentuan recall, tapi pemakzulan secara politis yang tidak objektif dapat saja terjadi. 

Jika Presiden dan/wakil Presiden berani menentang keras kemauan parpolnya yang menurutnya tidak layak untuk diikuti, maka sulit kita untuk tidak mengatakan akan muncul rekayasa politis untuk memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Mulai dari nama baik kepala negara, penggiringan opini publik melalui media yang masif untuk menyulut emosi publik atas kinerja kepala negara, rekayasa kasus dan cara apapun akan dilakukan untuk memuluskan pemakzulkan. Itulah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila tidak sejalan dengan kemauan politis parpol.

Kepada anggota parlemen, recall adalah kekuasaannya parpol, merupakan senjata bagi parpol untuk mengamankan posisi politisnya dari berbagai gangguan maupun ancaman termasuk kemungkinan datangnya dari kader sendiri. 

Dan kader adalah aset, instrumen untuk mewujudkan cita-cita politis parpol. Kapanpun dan dalam kondisi yang bagaimanapun anggota parlemen harus bersikap sejalan dengan kemauan politis parpol. Sudah diterangkan bahwa recall berlaku untuk anggota parlemen, bukan kepala daerah atau kepala negara. Seharusnya recall sejak awal sama sekali ditiadakan kepada anggota parlemen persis seperti peniadaan itu terhadap kepala daerah atau kepala negara.

Jika memang parpol menilai kadernya menyimpang dari garis politis parpol, tinggal berhentikan saja sebagai kader atau beri sanksi misalnya diskors hak politiknya ditubuh parpol untuk menjadi pengurus dan lainnya sesuai AD/ART parpol. 

Tidak perlu ada recall. Tapi ya inilah politik, kalau banyak kader yang di recall, parpol juga yang rugi. Parpol justru menjadi lemah bahkan kehilangan kekuatan sama sekali di parlemen termasuk akan terganjal perolehan jatah kursi di parlemen. 

Menjadi pimpinan parlemen adalah posisi yang sangat strategis dan menentukan serta menguatkan kedudukan, peran dan dominasi parpol. Karena itu sasaran pertama bagi parpol setelah sampai di parlemen adalah memperebutkan kursi pimpinan. Jadi recall sebetulnya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum. 

Recall bertentangan dengan prinsip demokrasi bahwa yg berkuasa penuh adalah rakyat, dimana rakyat menberikan mandat kekuasaannya kepada para wakilnya yang sudah dipilihnya. Wakil rakyat itulah pemegang kekuasaan rakyat, menjadi representasi rakyat baik representasi secara formal maupun representasi materil yang peka dan dituntut untuk mampu merespon aspirasi serta kebutuhan rakyatnya. 

Sementara parpol hanya fasilitator, karena itu tidak berhak dan tidak sepantasnya melakukan recall. Legitimasi anggota parlemen bukan berasal dari parpol, tapi legitimasi anggota parlemen berasal dari rakyat dan telah melewati proses politik secara hukum atau konstitusional.

Semoga percikan pemikiran saya ini menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk bangsa dan negara yang lebih baik.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...