Minggu, 03 Oktober 2021

Pragmatis-Oportunis Jalan Hidup yang Menjanjikan

Pragmatis-Oportunis Jalan Hidup 

yang Menjanjikan

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Ini hanyalah sebagian kecil daripada apa yang dapat saya kemukakan bahwa betapa banyak orang akhirnya memilih pragmatis-oportunis sebagai jalan hidup yang dianggap sangat menjanjikan. Menjadi pragmatis tak bisa dilepaskan dari oportunis, merupakan satu rangkaian kesatuan dalam paradigma besar menuju hidup yang kapitalistis atau materialistik. Dengan melihat realitas yang melingkupi aktivitas dan pergaulan hidup manusia hari ini, saya merenungkannya dalam-dalam betapa manusia hari ini hidupnya sangat gandrung kepada capaian-capaian duniawi yang dianggap dapat mendatangkan kebahagiaan bathin. Saya mencatat beberapa hal yang dijanjikan dengan menjadi pragmatis-oportunis, diantaranya: memperkuat kedudukan atau strata sosial yang lebih tinggi, menjanjikan hidup yang mapan serba glamor, serba materi (rumah mewah, mobil banyak, aset banyak), menjanjikan popularitas atau nama besar di masyarakat. Pertama, soal kedudukan atau banyak orang lebih suka menyebutnya eksistensi. Seorang pragmatis dan oportunis merupakan tipikal orang yang sangat jeli dan cakap melihat momen sosial. Sebab dengan momen itu mereka dapat menciptakan "stage" atau panggung. Saya menyebut ini sebagai "policy stage" atau politik panggung. 

Momen ini dalam praktik sangat beragam, misalnya dalam bentuk kegaduhan atau konflik, berkumpulnya orang banyak membahas suatu hal penting, pemilihan pengurus inti dari berbagai organisasi dan lain sebagainya. Seorang pragmatis dan oportunis melihat semua itu sebagai momen yang baik, menguntungkan dan menjanjikan. Dari situ mereka menciptakan panggung untuk dirinya sendiri. Agar mereka dapat dikenal luas oleh orang-orang, mereka tampil sebagai seorang penggagas, sering menjadi inisiator kegiatan-kegiatan, mendominasi setiap kegiatan baik dengan retorika, pengendalian forum, maupun dengan menjadi orang yang berdiri dibarisan depan entah itu panitia inti, moderator dan lain sebagainya. Setelah mereka dikenal secara meluas, kaum pragmatis-oportunis akan menjadikan itu sebagai "pasar" mereka. Pasar itu harus dirawat, dijaga agar tetap "tertib" dan ramai. Sebab pasar itu akan menjadi basis, pijakan sebagai modal atau bekal untuk langkah-langkah strategis berikutnya. Ini adalah cara yang efektif untuk membangun image. 

Dari sini orang-orang akan melabeli kaum pragmatis-oportunis ini sebagai orang yang punya kepedulian sosial yang tinggi, para penggerak, anak muda berbakat, dan lain sebagainya. Kedua, hidup yang mapan. Kemapanan adalah tema besar dalam keseluruhan cara berpikir pragmatis-oportunis. Apapun akan dilakukan demi memperoleh hidup yang mapan. Dengan kemapanan mereka bisa melakukan apa saja dan bisa memperoleh apa saja yang mereka inginkan. Dalam tema kemapanan ini, hidup penuh glamor, selalu tampil mewah dan berkelas atas kepemilikan harta (mobil, rumah) dan aset memainkan peranan yang sungguh penting. Konsepsi kemapanan itu dibangun dengan menciptakan keakraban atau harmonisasi dengan mereka yang dianggap punya reputasi yang bagus. Disini kaum pragmatis-oportunis akan rajin berjumpa dengan pejabat ini pejabat itu, makan bersama, mereka bangun rasa bangga foto bersama para pejabat itu. Hal ini menjadi akses penting untuk tujuan-tujuan strategis berikutnya. Pengaruh pergaulan yang seperti itu membuat mereka semakin kokoh memilih pragmatis-oportunis sebagai jalan hidup. Kondisi ini membuat saya teringat sebuah hadits nabi mengatakan: 

"seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu, engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak", (HR. Bukhari No. 2101). 

Mereka mengamalkan hadits ini, tetapi pada wilayah yang salah dengan penafsiran yang sangat liberal. Tidak cukup hanya duduk satu meja ataupun foto bersama dengan para pejabat, tapi kaum pragmatis-oportunis ini juga merelakan dirinya menjadi penjilat. Menjadi penjilat itu harus dilakukan demi membuat para pejabat, para penguasa senang kepada mereka, demi keakraban atau harmonisasi apa saja akan dilakukan. Andai penguasa itu menyuruh mereka minum air dari tumpukan sampah pastilah mereka akan melakukannya juga dengan hati yang gembira. Para pejabat atau penguasa yang dimaksud disini adalah mereka yang punya kedudukan sosial politik yang strategis dan berpengaruh misalnya Presiden atau menteri, ketua dan wakil ketua DPRD, Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Ketua partai, atau mereka yang di birokrasi militer dan lain sebagainya. Mereka (kaum pragmatis-oportunis)  tampil dengan sumringah dengan canda tawa yang sangat bersahabat, menghadiri majelis para penguasa itu dengan hati yang teduh dan penuh keakraban. Seraya tentunya sambil mencari kesempatan untuk menemukan panggung kedua, ketiga dan seterusnya. 

Jika memang ada kesempatan yang ditawarkan para penguasa itu menjadi duta ini duta itu dan lain sebagainya, dapat dipastikan panggung itu tidak akan terlewatkan. Sampai disini orang-orang akan tahu bahwa yang menjadi panutan, kiblat kaum pragmatis-oportunis adalah para penguasa. Baik-buruk penguasa itu mereka tak peduli, itu bukanlah masalah dan tidak perlu dianggap masalah. Mereka hidup mengalir dengan cara hidup seperti itu dan dengan lingkungan pergaulan yang seperti itu. Mereka hidup dengan tenang dan damai dalam komunitas yang demikian itu sepanjang umurnya. Ketiga,  popularitas, kemasyhuran atau nama besar. Bagi kaum pragmatis-oportunis, popularitas secara konkret pertama-pertama dibangun dengan menjadi pengurus inti dari berbagai organisasi yang populer di masyarakat atau populer di kalangan politisi, yang sekarang sedang ramai dijadikan "pasar" seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, KNPI, organisasi paguyuban. Mereka menjadikan organisasi itu sebagai kendaraan popularitas, sebagai alat untuk mencapai popularitas yang penuh (full popularity). Hanya itu, tak lebih. Itulah yang mereka jual kemana-mana, tak ubahnya seperti barang dagangan dengan mengatakan saya ini ketua ini ketua itu, saya ini pengurus inti disini. 

Selanjutnya kaum pragmatis-oportunis ini dalam rangka mencapai popularitas penuh akan menjadi penguasa di daerah, memegang jabatan politik. Mereka punya peluang yang besar untuk menjadi pejabat sebab ditopang oleh basis-basis yang telah mereka bangun. Mereka disokong oleh massa organisasi paguyuban, massa di organisasi kemasyarakatan yang bercorak keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, para penguasa yang mereka "kencani" seminggu sekali -sebulan sekali, dan kapitalis yang bercokol di republik ini. Full popularity itu terbentuk ditandai dengan penguasaan kaum prgamatis-oportunis atas politik baik daerah maupun nasional. Ini adalah puncak cita-cita kaum pragmatis-oportunis. Di zaman ini pilihan menjadi pragmatis-oportunis menjadi jalan hidup yang sangat menjanjikan. Sebabnya ada pada kondisi nyata masyarakat. Seorang pragmatis-oportunis akan lebih mudah menjadi penguasa sebab ditopang oleh masyarakat yang juga cara hidupnya pragmatis-oportunis. 

Pemimpin itu cerminan dari masyarakatnya. Jika hari ini kita melihat betapa politik nasional banyak bermasalah, banyak penguasa dan elit politik yang korupsi, kita kehilangan keadilan, para penguasa memerintah dengan mentalitas kolonial yang suka menindas melalui kebijakan-kebijakannya yang tidak berpihak kepada bangsa sendiri, diskriminasi, membuat kebijakan sesuka hati sendiri, dan lain sebagainya, ketahuilah itu semua sesungguhnya adalah cerminan dari pergaulan hidup dan watak masyarakatnya. Masyarakat dibanyak tempat tidak tertib dalam berprilaku, mulai meninggalkan norma-norma, berpikir serba uang dan hidup untuk uang, terkikisnya penghargaan kepada ilmu, kepada guru dan kurang kepedulian kepada sesama terutama untuk membantu anggota masyarakat yang miskin dan lemah, beragama serba simbol sekedar sebagai identitas, arogan jika dinasehati  atau diajak melakukan kebaikan, tidak bisa dipercaya, suka menipu, individualistik, egois, kehilangan moralitas, dan lain sebagainya. Kendatipun ada banyak sekali masalah yang melatarbelakanginya. Diantara sebabnya adalah kemiskinan memiliki peranan yang sangat penting. Bayangkan, pemimpin hari ini dan generasi penerus kepemimpinan di masa yang akan datang tumbuh, dibesarkan dan di didik dalam lingkungan masyarakat yang seperti itu. Ini adalah kenyataan yang kebenarannya nyaris tidak dapat dibantah. Tampaknya sampai beberapa generasi kedepan selama dunia ini belum kiamat, kita masih akan terus bersahabat dengan kondisi masyarakat yang seperti itu.

Buruknya Pragmatis-Oportunis

Buruknya pragmatis-oportunis dapat dengan mudah kita jumpai dalam pergaulan hidup sehari-hari, diantaranya dapat saya kemukakan: 

1. Tidak punya prinsip hidup yang tegas dan jelas;

Disini mereka pragmatis-oportunis bisa disebut kaum kerbau atau kambing. Sebab mereka tipikal pengikut, mentalitas budak, mengikut saja kemana ditarik. Diajak korupsi ngikut, diajak menipu ngikut, diajak arogan ngikut, diajak menindas ngikut, dan lain sebagainya. Yang pasti diajak mencerdaskan masyarakat mereka tidak akan ikut. Kearah yang mendidik, perlawanan terhadap penindasan dan arogansi mereka takkan ikut. Jikapun ada keterlibatan mereka di wilayah itu, itu hanya kamuflase. Bahasa Islam nya mereka pandai menyembunyikan kemunafikan. Karena tadi sudah disebutkan, mereka melihat gerakan perlawanan di tengah masyarakat sebagai momen, dan momen itu adalah panggung yang harus dimanfaatkan. Mereka bahkan hidup dengan tidak punya kehormatan diri sebagaimana dipahami oleh kaum intelektual idealis. Kendatipun demikian, mereka tetap punya konsepsi tentang kehormatan. Mereka membangun konsepsi tentang kehormatan diri dari bahan dasar kedudukan atau eksistensi, materi, dan popularitas. Hidup dan mati untuk uang (materi), senang-senang dan menindas orang dengan arogansi ataupun kebijakan. 

2. Berjarak dengan agama;

Kaum pragmatis-oportunis merasa tidak ada keharusan mengikatkan diri kepada agama. Agama bagi mereka cuma ada di masjid, di majelis taklim, di acara kemalangan (takziah), di ziarah kubur. Agama itu sholat, puasa, zakat, haji. Hanya itu. Agama tidak ada kaitannya dengan akhlak, agama tidak perlu diterjemahkan dalam perilaku hidup. Agama itu simbol, atribut sosial belaka. Disadari atau tidak mereka ada di barisan pendukung sekularisme-liberalisme. Bahkan mereka basis yang sangat potensial menjadi pelopor sekularisme-liberalisme. Agama itu hanya diakui keberadaannya di wilayah privat (pribadi) bukan di wilayah publik. Agama itu tidak ada di politik, agama tidak ada di tatanan hukum, agama tidak ada di pemerintahan, agama tidak ada di pasar (ekonomi), agama tidak ada di pendidikan. Mereka akhirnya dimanfaatkan oleh orientalis anti Islam dan sekularis yang telah mapan yang memang punya ambisi besar menjauhkan umat Islam dari agamanya serta untuk menahan dan menjauhkan umat Islam dari pikiran kebangkitan Islam untuk mendominasi peradaban dunia. Mereka mungkin saja membantah jika diterangkan seperti ini, tapi mereka juga tidak bisa menghalangi orang lain melihat mereka sebagai pribadi-pribadi yang jauh dari tuntunan agama.

3. Individualistik;

Jika kaum pragmatis-oportunis menjadi penguasa mereka hanya memikirkan diri sendiri. Kepribadian seperti ini dapat dengan mudah berkembang menjadi arogan, rakus atau loba, menjadi koruptor atau perampok, menindas, memperbudak, pro asing. Mereka hidup dibawah asuhan doktrin "uruslah dirimu sendiri jangan urus hidup orang lain", atau "kita mati dikubur sendirian bukan bersama orang lain", dan lain sebagainya. Keadaan yang menjadikan mereka menolak nasehat. Ini menunjukkan nalar mereka tidak berfungsi, hidup dan mati hanya untuk eksistensi, uang dan popularitas. Mereka menafikan bahwa di dalam Islam terdapat ajaran amar ma'ruf nahi munkar sebagai bentuk kepedulian kepada sesama agar berprilaku sesuai norma agama.

4. Menghalalkan segala cara;

Kaum pragmatis-oportunis adalah segerombolan orang yang sangat ambisius. Jika dalam organisasi dia tidak terpilih menjadi pengurus inti biasanya mereka akan menciptakan dualisme kepengurusan. Mereka tidak sungkan melakukan pembusukan, melakukan propaganda, intrik, rekayasa kotor untuk merusak reputasi orang lain sampai membuat orang lain dalam keadaan terpojok, kehilangan kewibawaan dan dukungan. Buruknya mereka (pragmatis-oportunis) ini bahkan sesama mereka sendiri saling baku hantam, saling sikut, saling menjatuhkan, ingin besar sendiri dengan menjatuhkan yang lain. Mereka adalah orang yang sangat rakus dengan duniawi terutama yang berkaitan dengan eksistensi atau kedudukan, materi dan popularitas. Hanya itu saja yang ada dalam tempurung kepala mereka itu.

5. Tidak menghargai ilmu;

Mereka yang pragmatis-oportunis tidak punya rasa simpati apapun kepada ilmu, tidak menaruh penghargaan kepada ilmu. Sebab bagi mereka hidup itu bagaimana bisa makan, mapan dan berkuasa. Pikiran yang sangat sempit dan kolot. Akibat cara pandang seperti itu berimbas kepada sikap merendahkan mereka yang serius mendalami ilmu. Perlakuan mereka pada idealisme sangat buruk. Para penyokong idealisme (intelektual idealis) yang sungguh-sungguh mendalami ilmu mereka akan disebut sebagai generasi utopis (suka menghayal), generasi basa-basi, ahli nujum atau generasi dialektik. Mereka (intelektual idealis) disalahpahami, dianggap hanya sekelompok orang yang sangat kaku, keras, berbelit-belit, berjalan di udara (tidak mewujud dalam realitas, berjarak dengan realitas), mengawang-ngawang dan lain sebagainya. 

Dengan pemikiran yang seperti itu menempatkan kaum pragmatis-oportunis terlibat konfrontasi panjang dan tajam tak berkesudahan dengan kaum intelektual yang berdiri diatas idealisme dan tuntunan agama sebagai basis atau penopang utama. Keadaan ini pula yang membuat mereka berjarak dengan intelektual idealis, mereka memagari diri mereka agar tidak terlibat di dalam pergaulan para intelektual idealis. Dari sinilah seringkali pragmatis-oportunis dianggap sebagai lawan dari idealis secara diametral yang hampir tidak punya titik temu. Kendatipun kaum pragmatis-oportunis tidak bersimpati kepada ilmu, mereka tetap menempuh pendidikan tinggi dan menganjurkan anak-anaknya, keluarganya untuk sekolah sampai lulus perguruan tinggi. Bukan sebab mereka gandrung apalagi mencintai ilmu, tapi mereka hanya menginginkan seabrek gelar. Gelar adalah atribut yang penting sebagai identitas yang dapat menopang eksistensi. Makanya kita tidak heran banyaknya pihak yang memperjual-belikan gelar. Ada orang yang tercatat sebagai mahasiswa tapi tidak pernah masuk perkuliahan secara resmi, kemudian tiba-tiba saja mereka di wisuda dengan nilai yang meyakinkan. Ini adalah pembohongan publik dan pembodohan.

Inilah beberapa hal yang dapat saya kemukakan. Betapa kondisi masyarakat yang rusak telah menjadi pasar yang produktif dalam menumbuh kembangkan, menciptakan regenerasi pragmatis-oportunis di tengah masyarakat.  Dengan ditopang oleh kerusakan kondisi sosial tersebut menjadi pragmatis-oportunis dianggap pilihan terbaik bagi banyak orang sebagai jalan hidup yang sangat menjanjikan.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...