Selasa, 25 Desember 2018

Hak Pemilih Gangguan Jiwa Dalam Pemilihan Umum


Hak Pemilih Gangguan Jiwa 
Dalam Pemilihan Umum

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Iklim dunia pemilihan umum kembali bergemuruh sejak beberapa tahun terakhir ini, dan yang terbaru adalah soal partisipasi  orang yang mengalami gangguan jiwa dimasukkan kedalam Daftar Pemilih Tetap oleh Komisi Pemilihan Umum sehingga dapat menggunakan haknya dalam pemilihan umum yaitu pada hari pemungutan suara. Banyak pihak dibuat heran dan bingung dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum ini, banyak pertanyaan bernada kritik muncul menyikapi soal ini. Dibalik semua itu kebijakan yang diambil oleh Komisi Pemilihan Umum tidaklah semata-mata diambil atas dasar inisiatif sendiri, melainkan Komisi Pemilihan Umum hanya melaksanakan putusan judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor: 135/PUU-XIII/2015 tentang inkonstitusionalitas persyaratan warga negara Indonesia yang dapat didaftarkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum sebagaimana termaktub pada Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 57 ayat (3) huruf a tersebut menyatakan bahwa persyaratan Warga Negara Indonesia yang dapat di daftarkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum adalah "tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya".

Yang bertindak sebagai Pemohon dalam judicial review Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut adalah Perhimpunan Jiwa Sehat, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPU Penca), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam petitumnya meminta agar hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945  dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian: menyatakan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan  UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "terganggu jiwa/ingatannya" tidak dimaknai sebagai "mengalami gangguan jiwa dan/atau ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum".

Yang menarik dalam putusan judicial review tersebut adalah Penjelasan Pemerintah Atas Materi Permohonan diantaranya sebagaimana termaktub pada angka 5 menyatakan bahwa Pemerintah berpendapat pasal a quo tidak diskriminatif tetapi bersifat pembatasan atau pengecualian hak sebagai upaya Pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi para penderita yang sedang terganggu jiwa/ingatannya. Selanjutnya Penjelasan Pemerintah pada angka 12 yang menyatakan bahwa Pemohon mendalilkan jika tidak terdaftar maka tidak dapat memilih adalah dalil yang tidak tepat karena baik secara normatif  maupun secara faktual seseorang yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap dapat memilih, ketentuan ini secara tegas terdapat dalam Pasal 57 yang secara tegas berbunyi sebagai berikut:
(1). Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih;
(2). Dalam hal warga negara indonesia tidak terdaftar sebagai Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat pemungutan suara menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Selanjutnya Pasal 57 ayat (3) menyatakan bahwa untuk dapat didaftarkan sebagai Pemilih, warga negara indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan/atau;
b. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selanjutnya pada angka 13 Penjelasan Pemerintah menyatakan bahwa sesuai Pasal 22E UUD 1945 Pemerintah berpendapat bahwa adanya syarat-syarat bagi Calon Pemilih dalam Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang guna menentukan syarat-syarat tertentu, termasuk syarat sedang tidak terganggu jiwa atau ingatannya dan karenanya menurut Pemerintah pilihan hukum (legal policy) yang demikian tidaklah dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (wilekeur) dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang (detournement de pouvoir).

Terakhir pada angka 14 dijelaskan pula bahwa selain hal tersebut diatas, menurut Pemerintah tampak jelas bahwa ketentuan a quo telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata melindungi hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan umum dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis".

1. Hak Politik Perspektif Demokrasi

Hak politik adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Selain hak politik ada pula hak ekonomi atau hak dibidang ekonomi, ada hak sosial, hak budaya, hak pendidikan, hak hukum, hak peribadatan, dan lain sebagainya. Bicara hak asasi mesti pula dibedakan dengan hak bukan asasi atau disebut pula hak biasa. Hak asasi itu misalnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan imbalan yang layak, hak untuk diperlakukan sama dalam berhukum dan dalam penegakan hukum (law enforcement) baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan sidang pengadilan termasuk ketika ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan, hak untuk mengenyam pendidikan, hak untuk melaksanakan peribadatan dengan aman dan tentram, hak untuk mempunyai tempat tinggal, hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat, hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan lain sebagainya.

Secara konkret dan limitatif UUD 1945 telah mengatur jenis hak asasi sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 sampai Pasal 28 J. Adapun hak yang bukan asasi atau hak biasa diantaranya yaitu hak untuk memperoleh upah atau penghasilan yang banyak, hak memiliki rumah mewah dengan fasilitas lengkap, hak memiliki rumah yang banyak atau kebun yang luas, hak memiliki kendaraan mewah dan mahal, hak untuk mengenyam pendidikan di sekolah atau universitas ternama, hak untuk memiliki pesawat pribadi dan lain sebagainya. Hak asasi sering kali dapat bergeser menjadi hak bukan asasi, seperti hak memiliki tempat tinggal adalah hak asasi. Tetapi ketika ingin memiliki rumah yang besar, mewah, dan megah maka bukan lagi hak asasi tapi hak biasa. Terkadang dalam praktik tipis sekali perbedaan antara hak asasi dengan hak bukan asasi itu.

Namun ada hak asasi yang secara prinsipil dikategorikan sebagai non derogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebagaimana termaktub pada Pasal 28 I UUD 1945 yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Khusus hak politik, dalam perspektif demokrasi, pemilihan umum merupakan wujud konkret pelaksanaan demokrasi sebagai sarana pembentukan atau pergantian kekuasaan pemerintahan. Andai rakyat tidak menggunakan haknya dalam pemilihan umum maka tidak akan ada pergantian pemerintahan, dan kekuasaan menjadi tidak terbatas. Jika kekuasaan tidak terbatas maka kekuasaan akan sangat cenderung sewenang-wenang seperti adagium Lord Acton mengatakan "power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely".

Sedangkan semangat yang terkandung dalam demokrasi itu adalah penentangan terhadap absolutisme kekuasaan. Penentangan itu ditunjukkan dengan keharusan pembatasan masa jabatan pemerintahan negara. Demokrasi menekankan bahwa tiap-tiap orang diperlakukan sama dihadapan hukum termasuk dalam menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum demokrasi mengidealkan one man one vote yaitu satu orang dinilai satu suara. Mau orang tua, remaja, orang biasa, artis, pejabat, orang kaya,  profesor, doktor, orang yang berpendidikan rendah semua sama dihadapan hukum dan semua sama nilainya ketika menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum yaitu one man one vote. Demokrasi sangat menghargai hak asasi seseorang untuk disalurkan melalui sarana apa saja, dan demokrasi menjamin perlindungan hak asasi tiap-tiap orang dari ancaman atau pemberangusan yang semenana-mena. Karena itu pula dalam politik, hak asasi itu menjadi sangat diperhitungkan baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih dalam pemilihan umum.

Sejak manusia masih dalam kandungan,  dilahirkan, dan selama manusia hidup maka sejak itu dan selama itu pulalah hak asasi melekat dalam dirinya sebagai anugrah pemberian tuhan yang maha kuasa. Karena itu negara berkewajiban mengatur, melindungi dan menjamin agar hak asasi tidak dilanggar secara semena-mena. Sehingga dalam politik, selama masih hidup baik muda maupun sudah tua renta dan memiliki kesanggupan untuk menggunakan hak pilihnya maka negara wajib hadir memfasilitasi tanpa diskriminatif. Hanya persoalannya adalah bahwa apa yang ideal menurut hukum (hukum yang demokratis) tidak selamanya selalu sejalan dengan apa yang dipandang patut di masyarakat. Betapapun negara telah memilih dan mengidealkan demokrasi sebagai paham kebangsaan yang dianggap cocok untuk bangsa Indonesia, tetapi norma sosial yang berkembang sebagai the living law di masyarakat membuka penerimaan yang berbeda-beda dalam hal hak pilih Pemilih gangguan jiwa dalam pemilihan umum. Penilaian secara sosiologis masyarakat kita cenderung menganggap bahwa tidak sepatutnya atau tidak sewajarnya orang yang mengalami gangguan jiwa ikut berpartisipasi menyalurkan hak suaranya dalam pemilihan umum.

Satu hal yang harus dipahami bahwa dalam membangun demokrasi di negara ini jangan hanya terpaku pada kuantitas lalu mengabaikan kualitas. Ada kalanya kualitas mesti di dahulukan. Pemilihan umum yang berkualitas tidak hanya berarti pemilihan umum yang diselenggarakan dengan baik penuh hikmat oleh penyelenggara pemilihan umum. Kualitas pemilihan umum ditentukan oleh kualitas penyelenggaraan pemilihan umum, dan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum ditentukan oleh seberapa banyak partisipasi masyarakat pemilih. Sedang kualitas partisipasi masyarakat pemilih ditentukan oleh tingkat kedewasaan dan kecerdasan pemilih dalam menentukan pilihannya. Jadi semua itu berkaitan, dan jelas saja bahwa kualitas mesti diutamakan dibandingkan dengan hanya sekedar kuantitas yaitu seberapa banyak partisipasi masyarakat menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum.

Karena itu persoalan menggunakan hak pilih adalah hal yang sangat krusial, pemilih mesti punya kecakapan untuk secara sadar dan penuh pertimbangan tanpa intervensi pihak manapun menentukan siapa wakilnya yang layak untuk duduk di parlemen yang kelak akan menampung dan memperjuangkan aspirasinya. Hal itu tidak akan terjadi jika pemilih adalah orang-orang yang terganggu jiwa/ingatannya. Jangankan untuk menentukan wakilnya di parlemen, diminta menjelaskan soal identitasnya sendiri mungkin sudah tidak ingat lagi. Dengan kondisi yang seperti itu, bagaimana mungkin dapat diharapkan bahwa hasil pemilihan umum berkualitas. Ini menjadi persoalan, walaupun secara hukum polemik tentang hal ini dianggap telah berakhir dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 135/PUU-XIII/2015, tetapi masih dapat terus diperdebatkan dalam panggung akademik menghadapi kemungkinan koreksi dari Mahkamah Konstitusi di masa yang akan datang. Walaupun putusan Mahkamah Konstitusi final and binding, tetapi kemungkinan koreksi oleh Mahkamah Konstitusi masih tetap terbuka.

Senin, 24 Desember 2018

Mencari Pengganti Wakil Bupati Rokan Hulu


Mencari Pengganti Wakil Bupati 
Rokan Hulu

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Sebagian orang mungkin merasa heran dengan judul tulisan ini. Sebab mereka tau benar bahwa  Sukiman adalah Wakil Bupati Rokan Hulu. Keheranan itu suatu hal yang wajar saja terjadi ditengah masyarakat. 

Karena itulah tulisan saya ini hadir menjelaskan sekaligus memberikan pemahaman kepada masyarakat luas di Kabupaten Rokan Hulu.

Seperti kita ketahui, terdapat kekosongan jabatan Bupati Rokan Hulu pasca putusan kasasi Mahkamah Agung yang berdampak diberhentikannya Suparman eks Bupati Rokan Hulu. 

Namun perihal kekosongan itu undang-undang telah menentukan bahwa Wakil Bupati diangkat atau ditetapkan sebagai Bupati.

Undang-undang yang dijadikan dasar pembicaraan dalam tulisan ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah pula dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Beberapa pasal dapat saya kemukakan, yaitu:

Pasal 173 ayat (1) UU No.8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah menyatakan dalam hal Gubernur, Bupati dan Walikota:
a. Berhalangan tetap; atau
b. Berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pasal 173 ayat (3) menyatakan bahwa,

"DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan kepada Menteri penetapan Calon Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati/Walikota melalui Gubernur".

Dengan demikian, mestinya Sukiman Wakil Bupati Rokan Hulu telah diangkat dan ditetapkan oleh Mendagri melalui Gubernur sebagai Bupati Rokan Hulu.

Selanjutnya pada Pasal 173 ayat (4) undang-undang itu ditegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian Gubernur, Bupati dan Walikota diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Adapun Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah ini adalah PP No. 17 Tahun 2005.

PP ini dibentuk pasca UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disahkan.

Beberapa pasal dalam PP ini yang terkait dengan fokus kajian ini dapat saya kemukakan.

Dalam Pasal 131 ayat (1) menyatakan bahwa, 

"Apabila Kepala Daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jabatan Kepala Daerah diganti oleh Wakil Kepala Daerah sampai berakhir jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden".

Pada ayat (2) ditegaskan pula bahwa, 

"Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Kepala Daerah mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Kepala Daerah untuk dipilih dalam Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usulan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan".

Dengan demikian telah jelaslah buat kita pengaturannya dalam undang-undang maupun PP No. 17 Tahun 2005 mengaturnya dengan lengkap. 

Dengan mengacu kepada PP No. 17 Tahun 2005 seperti mana telah dipaparkan dimuka, praktik selama ini berdasarkan peraturan tata tertib DPRD maupun pengaturan pada AD/ART partai politik.

Sebelum partai politik atau gabungan partai politik mengajukan Calon Kepala Daerah yang telah  disetujui melalui rapat partai, partai melakukan survey dan fit and proper test terhadap bakal calon Wakil Kepala daerah dengan membuka pendaftaran/penerimaan baik dari kader sendiri, kader koalisi, juga dibuka kesempatan kepada non partai.

Untuk konteks di Rokan Hulu, ketika pemilihan, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Rokan Hulu yaitu Suparman dan Sukiman diusung oleh koalisi partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PBB dan PKPI.

Jika penerimaan bakal calon Wakil Bupati itu dari kader partai koalisi, kelaziman politik menunjukkan partai yang memperoleh kursi terbanyak di parlemen (DPRD) lah yang akan menentukan. 

Karena itu sangat besar peluang bahwa Wakil Bupati akan berasal dari kader partai koalisi yang memiliki power secara kuantitas di parlemen, partai yang dimaksud tak lain adalah partai Golkar dengan 7 kursi di DPRD Kabupaten Rokan Hulu.

Menjadi pertanyaan buat kita siapakah kira-kira tokoh yang diajukan Golkar yang layak menjadi Wakil Bupati Rokan Hulu.

Kelayakan itu mestinya diukur dengan kriteria yang berkualitas. Misalnya pemahaman dan penguasaan teritorialitas Kabupaten Rokan Hulu serta keragaman dinamika masalah yang terjadi, mempunyai pengetahuan dan pemahaman secara keilmuan yang dibuktikan dengan strata akademik yang mapan, mengerti tugas-tugas dan wewenang serta kewajiban sebagai Wakil Bupati Rokan Hulu, tidak pernah tercatat sebagai orang yang melalukan perbuatan tercela atau merupakan eks narapidana.

Satu hal lagi yang mungkin dapat ditambahkan adalah pemahamannya terhadap nuansa keagamaan Kabupaten Rokan Hulu yang bergelar "Negeri Seribu Suluk". 

Dengan semua itu harapan kita akan muncul Wakil Bupati yang sangat simpati kepada rakyatnya, mengayomi dan mengakomodir aspirasi akan kebutuhan rakyatnya baik masalah kesempatan bersekolah, mahalnya biaya pendidikan, tersedianya lapangan kerja sehingga kemiskinan dapat diatasi dan hal lainnya yang mesti dipahami oleh Bupati dan Wakil Bupati Rokan Hulu.

Mahkamah Konstitusi, Positive Legislator atau Negative Legislator


Mahkamah Konstitusi, Positive Legislator atau Negative Legislator 

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Tulisan ini penyempurnan dari tulisan saya sebelumnya yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perluasan tafsir atas beberapa ketentuan dalam KUHP mengenai perzinahan.

Penolakan 5 (lima) orang hakim konstitusi terkait dengan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang berakibat Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak seluruhnya permohonan pemohon dengan alasan katanya Mahkamah Konstitusi bukan positive legislator melainkan negative legislator lagi-lagi membuat dunia hukum bergemuruh. 

Saya tak sependapat hakim termasuk hakim konstitusi itu tak bisa bersikap sebagai positive legislator (pembentuk hukum).

Saya keberatan dengan pendapat yang mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi itu tidak bisa berperan sebagai positive legislator, Negara hukum yang kita bangun ini hendaknya bukanlah Negara hukum yang kaku seperti kondisi hari ini. 

Konsep trias politica yang menghendaki bahwa masing-masing poros kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) independen dalam menjalankan tugas dan kewenangannya itu kita terima tetapi hendaknya tidak berarti bahwa kita menolak konsep judge made law yang dikenal dalam tradisi hukum di Negara Common Law (Inggris, Amerika, dan Kanada). 

Bukankah telah sering dikatakan bahwa Negara hukum Indonesia merupakan Negara hukum prismatik, konvergensi atau kombinasi dari tradisi hukum yang berbeda-beda antara Rechtstaat, Rule of law/Common Law, dan Islamic law.

Walaupun dalam konsep Negara hukum yang kita anut sampai hari ini adalah konsep yang kaku bahwa hakim dilarang menggunakan analogi termasuk pula metode ekstensif dalam menemukan hukumnya sesuatu perkara yang sedang diadili. 

Sebab analogi dianggap dapat menciptakan norma baru, delik baru (sesuatu perbuatan yang semula bukan perbuatan yang terlarang kemudian menjadi suatu perbuatan yang terlarang), dan dapat mempengaruhi berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Dan itu diangggap tidak adanya kepastian hukum sehingga berpotensi menciptakan pelanggaran hak asasi. Artinya, dengan ditolaknya penggunaan analogi/ argumentum per analogiam maka tertutuplah peluang untuk judge made law atau positive legislator.

Sangat disayangkan, kedepan perlu difikirkan kembali kemungkinan untuk melakukan pembenahan konseptual Negara hukum kita. Hakim orang yang cerdas dan terdidik, orang yang berpengetahuan, disekolahkan sampai jadi profesor bukan untuk menjadi corong undang-undang. Hakim seharusnya tempat meminta solusi ketika undang-undang buntu tidak bisa menjawab persoalan. 

Selain itu keberadaan asas legalitas dalam hukum pidana membuat norma hukum terlalu kaku dan beku dengan sentuhan nilai-nilai moral. Maka demi dan atas nama keadilan itu sendiri, hakim dalam putusannya tidak perlu positivistik memahami hukum hanya deretan pasal-pasal kumpulan huruf-huruf dan angka-angka. 

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatakan, Indonesia adalah Negara hukum. Sebelum UUD 1945 di amandemen (diubah) semula dalam penjelasan tercantum  di dalamnya Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan belaka (machstaat). "Rechtstaat" bermakna Negara hukum yang bertumpu pada asas legisme (kepastian hukum, yang diwujudkan salah satunya dalam bentuk undang-undang). 

Ketika di amandemen, penjelasan dihapuskan, dan substansinya dimasukkan kedalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sehingga menjadi "Negara Indonesia adalah Negara hukum", tanpa embel-embel "rechtstaat". 

Penghapusan itu harus diapresiasi sebagai suatu bentuk kesadaran hukum yang patut untuk dihormati. Dengan demikian maka teranglah bahwa secara konstitusional, Negara ini tidak lagi bertumpu semata-mata pada asas legalitas. Keberadaan Pasal 28 j UUD 1945 pun tidak dapat dikonklusikan bahwa Negara menganut asas legalitas mutlak. 

Hanya masalahnya keberadaan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) penganutan asas legalitas dipermutlak. Permutlakan itu bertentangan dengan semangat dan jiwa UUD 1945 hasil amandemen. 

Sebab penghapusan kata "rechtstaat" yang semula tercantum dalam penjelasan UUD 1945 itu berpengaruh sangat besar dalam tatanan hukum kita, padahal sejak semula UUD 1945, bahkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS/UUD RIS 1949) dan  UUD Sementara 1950 semuanya mengatur sedemikian komprehensifnya keberlakuan asas legalitas secara mutlak. Sehingga UUD pada waku itu terdiri dari banyak pasal mencapai lebih dari seratus pasal. 

Sejak di amandemen dengan tidak lagi dicantumkannya kata "rechtstaat", itu menjadi tanda bahwa sebenarnya Negara tidak lagi menitikberatkan kepada anutan tradisi hukum rechstaat. Dengan demikian pengadilan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tidak perlu terpaku dengan asas legalitas apa lagi mempermutlakkannya.

Tidak hanya sampai disitu, dalil-dalil lain yang perlu diketengahkan adalah bahwa dalam undang-undang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan dalih hukum tidak ada, tidak jelas atau tidak lengkap melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.

Latar belakang munculnya ketentuan yang seperti ini adalah sebab hakim dianggap tahu, mengerti akan hukumnya setiap perkara yang diajukan pada dirinya. Dalam istilah latinnya inilah yang disebut dengan asas ius curia novit.

Asas ini secara mutlak dianut di Negara Anglo Saxon (Common law). Ini juga menjadi salah satu dalil yang kuat bahwa sebenarnya Negara kita menganut tradisi hukum Anglo Saxon dalam hal ini judge made law sehingga praktiknya seharusnya peradilan dapat mengambil peran sebagai positive legislator. Karena itu pulalah penerimaan nilai-nilai dalam tradisi hukum Anglo Saxon maka Negara kita tidak pula dapat dikatakan mutlak menganut tradisi hukum Eropa Kontinental (Rechtstaat).

Dalam ketentuan lain disebutkan bahwa hakim wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Berdasarkan dalil-dalil yang saya kemukakan dalam tulisan ini, sebagai seorang yang mendalami hukum tata negara, saya berpendapat tidak relevan secara konseptual kita hendak mendudukkan atau berkeinginan menempatkan peradilan termasuk Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator. 

Sebab sepertinya khususnya Mahkamah Konstitusi dari awal dirancang untuk memerankan diri hanya sebagai negative legislator, meskipun sejak Mahkamah Konstitusi berdiri praktiknya Mahkamah Konstitusi tidak pernah sekalipun konsisten dengan negative legislator.

Lagi pula makna Negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 haruslah ditafsirkan secara meluas bahwa di Negara ini tidak hanya hukum positif buatan Negara yang berlaku dan diakui, tetapi disamping itu masih ada hukum agama, hukum adat, norma kesusilaan dan norma kesopanan. 

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan penolakan memperluas tafsiran Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP telah mengabaikan keberadaan 4 norma diatas sebagai  living law (hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat). Sebab praktik perilaku menyimpang LGBT nyata-nyata sangat bertentangan dengan living law itu. 

Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadi perkara lebih memilih positivistik dalam memahami hukum bahwa hukum adalah deretan pasal-pasal diatas kertas terdiri dari kumpulan huruf dan angka-angka, tidak menyelesaikan masalah tetapi memperlama selesainya masalah dengan menyerahkan hal itu kepada legislator sebagai (Presiden dan DPR) sebagai positive legislator. 

Sebab menurut Saldi Isra, salah seorang hakim yang menolak permohonan pemohon berpendapat, kalaulah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon maka Mahkamah Konstitusi dipastikan memperluas tafsiran pasal-pasal yang di mohonkan itu, dengan demikian berarti Mahkamah Konstitusi telah bertindak sebagai positive legislator, padahal prinsipnya hanya sebagai negative legislator. 

Kalau memang demikian, sekalipun atas dasar keadilan mengapa dulu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan menambah/memperluas objek atau wewenang praperadilan dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?, bukankah itu berarti Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator?. 

Sekarang ini masalahnya lebih serius yaitu menjaga moral bangsa, mengapa Mahkamah Konstitusi bersikukuh dengan asas legalitas?, yaitu asas yang sangat kering dan beku dengan setuhan nilai-nilai moral dan sangat kaku karena hukum sulit menyesuaikan diri dengan laju dinamika kemasyarakatan. 

Belum lagi kalau kita bicara non hukum seperti tanggungjawab hakim terhadap putusannya kepada tuhan, dosa karena telah ikut-ikutan membiarkan praktik penyimpangan amoral seperti LGBT itu dan lain sebagainya dan sebagainya.

Living Law Constitution, dan Problematik UUD 1945


Living Law Constitution
dan Problematik UUD 1945 

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Konvensi, kebiasaan, rechtvinding (penemuan hukum) melalui tafsiran/putusan pengadilan hanya dapat menutupi kelemahan UUD 1945. 

Tetapi tidak bisa mengisi rechtvacuum (kekosongan hukum) dalam UUD 1945. Untuk mengisi rechtvacuum hanya dapat dilakukan dengan amandemen UUD 1945 (perubahan melalui prosedur formal yang diatur dalam UUD 1945 itu sendiri).

Pemberlakuan kembali UUD 1945 oleh Presiden Soekarno berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 Tentang Dekrit adalah Coup d'Etat dan inkonstitusional. Pada waktu itu (1950-1959 berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara/UUDS 1950) sesuai dengan sistem parlementer yang dianut, Presiden adalah Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan. 

Dan yang berwenang membentuk dan menetapkan UUD yang tetap pengganti UUDS 1950 adalah Majlis Konstituante yang pada waktu 1956-1959 tengah bersidang membahas UUD yang akan dipakai dan diberlakukan. Coup d'Etat oleh Presiden Soekarno telah mengambil alih kekuasaan secara paksa dari Pemerintah (kabinet) dan mengambil alih wewenang Majelis Konstituante secara tidak sah (inkonstitusional). 

Lalu apakah UUD 1945 yang diberlakukan berdasarkan Dekrit Presiden tahun 1959 itu sah atau tidak sah??, 

Ada pendapat yang mengatakan UUD 1945 sah atas dasar keadaan darurat karena situasi pada waktu itu terjadi konflik antar kelompok dan ideologi di kalangan rakyat, juga karena agresi belanda yang terus merongrong kewibawaan Pemerintah dan lain sebagainya.

Saya berpendapat, bila disandarkan pada  keadaan darurat ada benarnya tapi tidak sepenuhnya benar, praktik nyata menunjukkan keadaan darurat, tapi untuk konteks keadaan daruratpun dalam Ilmu Hukum Tata Negara ada hukum yang juga berlaku yaitu abnormal law/ law emergency) tetapi tidak dipatuhi oleh Presiden. Bagaimanapun Coup d'Etat inkonstitusional tak dapat diterima di Negara hukum ini.

Satu-satunya alasan yang dapat menjadi dalil untuk membenarkan tindakan Presiden Soekarno itulah yang dalam hukum tata negara disebut sebagai "sesuatu yang haram tapi seketika dapat menjadi halal". 

Maksudnya, meski dengan keputusan hukum/produk hukum yang buruk sekalipun tetapi mampu dipertahankan, selama tidak dicabut/dibatalkan berlaku sebagai hukum yang harus dianggap benar adanya. 

Sebab itu ia adalah law in fact, hukum yang berlaku dalam kenyataan atau kenyataan yang diterima dan berlaku sebagai hukum. Ini satu hal yang buruk dalam hukum tata negara.

**(Percikan Pemikiran Dalam Telaah Sejarah Ketatanegaraan Indonesia)

Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materil Perkara LGBT


Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materil Perkara LGBT

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Penolakan 5 (lima) orang hakim konstitusi terkait dengan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang berakibat Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak seluruhnya permohonan pemohon dengan alasan katanya Mahkamah Konstitusi bukan positive legislator melainkan negative legislator lagi-lagi membuat dunia hukum bergemuruh. 

Saya tak sependapat hakim termasuk hakim konstitusi itu tak bisa bersikap sebagai positive legislator (pembentuk hukum).

Hakim orang yang cerdas dan terdidik, orang yang berpengetahuan, disekolahkan sampai jadi profesor bukan untuk menjadi corong undang-undang. Hakim seharusnya tempat meminta solusi ketika undang-undang buntu tidak bisa menjawab persoalan. 

Keberadaan asas legalitas dalam hukum pidana membuat norma hukum terlalu kaku dan beku dengan sentuhan nilai-nilai moral. Maka demi dan atas nama keadilan itu sendiri, hakim dalam putusannya tidak perlu positivistik memahami hukum hanya deretan pasal-pasal kumpulan huruf-huruf dan angka-angka. 

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatakan, Indonesia adalah Negara hukum. Sebelum UUD 1945 di amandemen (diubah) semula dalam penjelasan tercantum  di dalamnya Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan belaka (machstaat).

"Rechstaat" bermakna Negara hukum yang bertumpu pada asas legisme (kepastian hukum, yang diwujudkan salah satunya dalam bentuk undang-undang). 

Ketika di amandemen, penjelasan dihapuskan, dan substansinya dimasukkan kedalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sehingga menjadi "Negara Indonesia adalah Negara hukum", tanpa embel-embel "rechstaat". 

Penghapusan itu harus diapresiasi sebagai suatu bentuk kesadaran hukum yang patut untuk dihormati. Dengan demikian maka teranglah bahwa secara konstitusional, Negara ini tidak lagi bertumpu semata-mata pada asas legalitas. Keberadaan Pasal 28 j UUD 1945 pun tidak dapat dikonklusikan bahwa Negara menganut asas legalitas mutlak. 

Hanya masalahnya keberadaan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) penganutan asas legalitas dipermutlak. Permutlakan itu bertentangan dengan semangat dan jiwa UUD 1945 hasil amandemen. 

Sebab penghapusan kata "rechstaat" itu berpengaruh sangat besar dalam tatanan hukum kita, padahal sejak semula UUD 1945, bahkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS/UUD RIS 1949) dan  UUD Sementara 1950 semuanya mengatur sedemikian komprehensifnya keberlakuan asas legalitas secara mutlak. Sehingga UUD pada waku itu terdiri dari banyak pasal mencapai lebih dari seratus pasal. 

Sejak di amandemen dengan tidak lagi dicantumkannya kata "rechstaat", itu menjadi tanda bahwa sebenarnya Negara tidak lagi terpaku dengan asas legalitas apa lagi mempermutlakkannya. Makna Negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 haruslah ditafsirkan secara meluas bahwa di Negara ini tidak hanya hukum positif buatan Negara yang berlaku dan diakui, tetapi disamping itu masih ada hukum agama, hukum adat, norma kesusilaan dan norma kesopanan. 

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan penolakan memperluas tafsiran Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP telah mengabaikan keberadaan 4 norma diatas sebagai  living law (hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat). Sebab praktik perilaku menyimpang LGBT sangat bertentangan dengan living law itu. 

Tetapi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya lebih memilih positivistik dalam memahami hukum bahwa hukum adalah dereta pasal-pasal diatas kertas terdiri dari kumpulan huruf dan angka-angka, tidak menyelesaikan masalah tetapi memperlama selesainya masalah dengan menyerahkan hal itu kepada legislator sebagai (Presiden dan DPR) sebagai positive legislator. 

Sebab menurut Saldi Isra, salah seorang hakim yang menolak permohonan pemohon berpendapat, kalaulah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon maka Mahkamah Konstitusi telah memperluas tafsiran pasal-pasal yang di mohonkan itu, dengan demikian berarti Mahkamah Konstitusi telah bertindak sebagai positive legislator, padahal prinsipnya hanya sebagai negative legislator. 

Kalau memang demikian, sekalipun atas dasar keadilan mengapa dulu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan menambah/memperluas objek atau wewenang praperadilan dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?, bukankah itu berarti Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator?

Sekarang ini masalahnya lebih serius yaitu menjaga moral bangsa, mengapa Mahkamah Konstitusi bersikukuh dengan asas legalitas?, yaitu asas yang sangat kering dan beku dengan setuhan nilai-nilai moral dan sangat kaku karena hukum sulit menyesuaikan diri dengan laju dinamika kemasyarakatan. 

Belum lagi kalau kita bicara non hukum seperti tanggungjawab hakim terhadap putusannya kepada tuhan, dosa karena telah ikut-ikutan membiarkan praktik penyimpangan amoral seperti LGBT itu dan lain sebagainya dan sebagainya.

Disatu pihak memang harus diakui bahwa praktik peradilan selama ini dikalangan hakimpun sering beda persepsi dalam mengambil pijakan konseptual ketika memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Ada yang berpegang teguh pada penegakan judicial restraint, ada pula yang cenderung kepada judicial activism.

Secara konseptual kita tau bahwa judicial restraint menghendaki bahwa hakim tidak dapat membentuk hukum melalui putusannya, hakim bukan pembentuk hukum, melainkan hanya sekedar melaksanakan ketentuan hukum buatan parlemen. Karena itu hakim dituntut hanya menjalankan fungsi dan peran sebagai negative legislator. Keadaan yang demikian itu telah mengakibatkan hakim hanya corong undang-undang belaka.

Hal yang sebaliknya dengan penegakan judicial activism yang menghendaki bahwa hakim mesti responsif, aktif dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara agar tidak terpaku kepada undang-undang belaka. Tetapi hakim ketika undang-undang buntu tidak mampu menjawab suatu persoalan, hakim dapat membentuk hukum (law creating function) melalui putusannya.

Dualisme penggunaan konsep ini masih sering terlihat diantara hakim, dan akhirnya suara mayoritas hakim dalam musyawarah majelis hakim jugalah yang menentukan keputusan judicial restraint atau judicial activism yang dipilih. Dalam pemeriksaan perkara LGBT ini, hakim nyata berpihak kepada judicial restraint sehingga berpendapat menyerahkan penyelesaian itu kepada open legal policy parlemen untuk mengaturnya dalam undang-undang.

Kondisi peradilan menjadi dilematis, di satu pihak menghendaki tegaknya kepastian hukum melalui pemisahan tegas positive legislator dan negative legislator. Namun di pihak lain keadilan menjadi dipertaruhkan jika hakim menolak memutuskan perkara LGBT ini. Karena itu soal judicial restraint dan judicial activism ini menurut saya hal ini penting untuk di dudukkan dalam sebuah loka karya dalam rangka pembenahan dunia peradilan Indonesia di masa yang akan datang.

Pergeseran Wewenang Penafsiran Pancasila Buka Peluang Kediktatoran


Pergeseran Wewenang Penafsiran 
Pancasila Buka Peluang Kediktatoran

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang ahirnya disahkan dengan undang-undang, menandakan telah menimbulkan pergeseran wewenang penafsiran Pancasila dari lembaga penafsir yang semula ada pada "MPR" beralih kepada Pemerintah (Presiden).

Tidak hanya sampai disitu, Pemerintah (Presiden) praktiknya telah memperluas domainnya menyebrang ke ranah yudikatif bertindak sebagai hakim yang berwenang memutuskan sesuatu kegiatan dan lain hal bertentangan atau tidak bertentangannya dengan Pancasila ataupun UUD 1945.

Wewenang penafsiran Pancasila ada baiknya diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga penafsir yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, dan yang memegang kuasa rakyat.

Sedang wewenang penghakiman terkait dengan pendapat Pemerintah tentang kegiatan sekelompok masyarakat yang dianggap dan diduga keras bertentangan dengan Pancasila maupun dengan UUD 1945, semua itu serahkan kepada pengadilan sebagai pihak ketiga yang netral untuk memeriksa dan mengadilinya.

Jika pembubaran ormas dituangkan kedalam Perppu maka Mahkamah Konstitusi tempat mengadilinya, tetapi jika dituangkan dalam bentuk surat keputusan maka cukup diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Dengan demikian kebijakan Pemerintah lebih berwibawa, objektif dan berkeadilan.

Bila ditelaah berdasarkan aspek demokrasi dengan menghubungkan pemberian wewenang penafsiran terhadap ideologi negara kepada MPR, dimana Negara ini menganut paham demokrasi, titik berat kekuasaan terletak pada rakyat. Kekuasaan pada Pemerintah berasal dari rakyat.

Rakyat menjadi komponen utama terbentuknya pemerintahan. Dan secara politik rakyat mempercayakan keberadaan dan nasib kehidupannya kepada anggota parlemen untuk mewakilinya memperjuangkan hak-haknya dalam aktivitas kenegaraan. Anggota parlemen yang dimaksud adalah himpunan seluruh anggota legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Rakyat Indonesia adalah seluruh manusia Indonesia yang tinggal dan menetap di wilayah Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain maupun setiap orang yang menjadi Warganaegara Indonesia (WNI) melalui proses naturalisasi.

Pengertian rakyat yang mencakup semua manusia Indonesia tersebut, termasuk Pemerintah sendiri dan hakim. Karena itu Pemerintah atau hakim tidak boleh merasa berada di atas hukum, merasa tidak terikat kepada paraturan hukum. Semua komponen bangsa terikat dan tunduk kepada hukum positif yang berlaku.

Pada masa orde lama (1959-1967), peran Pemerintah pada waktu itu belum mengarah pada kegiatan atau upaya menafsirkan Pancasila ataupun UUD 1945. Pemerintah tidak berfungsi sebagai lembaga penafsir atas Pancasila maupun UUD 1945. Bahkan Negara yang baru di usia balita tersebut belum dapat diselenggarakan secara tertib, oleh sebab berbagai faktor eksternal seperti menghadapi keinginan penjajah belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Pergolakan menghadapi agresi pemerintah kolonial Belanda dan pengaruh yang diciptakannya baru berahir pada 05 Juli 1959, yaitu ditandai dengan dikeluarkannya Keputisan Presiden No.150 Tahun 1959 Tentang Dekrit. Kepres ini menyatakan bajwa UUD 1945 diberlakukan kembali (sebelumnya UUD Sementara Tahun 1950). 

Sedang faktor dalam negeri yaitu, bangsa ini kerap terlibat perang saudara baik karena hasutan/propaganda asing, pengaruh ideologi, maupun upaya kudeta oleh kelompok yang dianggap menentang Pancasila, ataupun gerakan yang menentang ideologi lain selain Pancasila. 

Bahkan konflik ideologis yang berdarah terus terjadi di akhir orde baru sampai memasuki tahun 2005. Kita ingat peristiwa di Poso, di Ambon yang sepi pemberitaan, habis ulama-ulama, santri-santri, dan masyarakat sipil muslim dibantai, mesjid-mesjid dibakar, pondok pesantren dihancurkan. 

Sekarang ini malah umat islam dan tokoh-tokoh islam tertentu dilabeli sebagai teroris, radikal, ekstrem, intoleran. Sangat mengherankan.  Atau konflik ideologis dalam peristiwa GAM di aceh yang berujung ditandatanganinya MOU Helsinki di Finlandia menjadi dasar pemberian Otsus kepada Aceh untuk memberlakukan syari'at islam.

Memasuki orde baru (1967-1998), Pemerintah sudah mulai bertindak sebagai pihak yang berwenang menafsirkan Pancasila. Praktiknya secara materil Pemerintahlah penafsir tunggal atas Pancasila. Hanya peran dan fungsi itu dibungkus dengan mengambil bentuk formal berupa ketetapan MPR. MPR dikuasai oleh Presiden dan dimanfaatkan dengan mengintervensi produk hukum yang dikeluarkan MPR diantaranya ketatapan MPR yang berisi penafsiran atas Pancasila.

Di rezim orde baru ini, Pemerintah berkuasa dan menguasai semua lini pemerintahan yang mencakup legislatif dan yudikatif. MPR yang secara konstitusional adalah lembaga negara tertinggi, justru dikendalikan oleh Presiden. Ketetapan yang dikeluarkan MPR selalu mendapat intervensi dari Presiden. 

Secara materil Presiden memegang peran sebagai lembaga penafsir atas Pancasila dengan memanfaatkan MPR. MPR melalui ketetapannya mengukuhkan BP4 (Badan Penghayatan, Pedoman, dan Pengamalan Pancasila) yang digagas Presiden. Meski pada 1998 melalui Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998 MPR mencabut BP4.

Penafsiran atas Pancasila selalu dilakukan untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, apapun kebijakan yang diambil Pemerintah harus dianggap benar dan sesuai dengan Pancasila maupun UUD 1945. Pada tahap ini, Pemerintah telah memonopoli kebenaran sesuai dengan selera kekuasaannya.

Tap MPR Nomor II/MPR/1978 menafsirkan Pancasila berupa penjabaran nilai-nilai Pancasila kedalam 36 butir, Ketetapan ini dicabut oleh Tap MPR Nomor XVIII/1998 dan diganti dengan Tap MPR Nomor I/MPR/2003. Menurut Tap MPR Nomor I/MPR/2003, MPR menafsirkan Pancasila kedalam 45 butir. 

Penafsiran yang krusial itu terutama terkait sila pertama, dimana kalau kita melihat realitas sejarah yang melatarbelakangi dan dicapainya "kesepakatan" antara kelompok Nasionalis Sekuler dan kelompok Islam sila pertama itu adalah Tauhid, lalu MPR memperluas tafsirnya sehingga mengakomodir pula keyakinan umat beragama lainnya termasuk liberalisme, atheisme, animisme, memberikan tempat untuk pembenaran kelompok berperilaku menyimpang seperti LGBT.

Peran dan fungsi MPR sebagai penafsir Pancasila tersebut perlu diberikan kembali kepada MPR dengan memurnikannya yaitu tanpa intervensi oleh Presiden seperti halnya pada masa orde baru.

Namun baru-baru ini ternyata Pemerintah Jokowi bertekad untuk mengambil alih fungsi sebagai lembaga penafsir dengan membantuk sebuah badan semacam BP4 yaitu BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang dipimpin Ketum Partai pengusungnya sendiri yaitu Megawati. 

Badan tersebutlah yang akan memberikan "fatwa" kepada Presiden tentang suatu tindakan, gerakan yang bertentangan dengan Pancasila. Meski secara formal badan ini bertanggungjawab kepada Pemerintah, tetapi praktik menunjukkan bahwa Pemerintah ingin menjadikan dirinya sebagai penafsir mutlak atas Pancasila.

Hal ini harus diwaspadai, sebab dapat membuka peluang Pemerintah dapat berbuat sewenang-sewenang membubarkan ormas yang bertentangan dengan dirinya secara subjektif seperti halnya yang menimpa Hitzbut Tahrir.

Putusan Bebas Bupati Rokan Hulu


Putusan Bebas Bupati Rokan Hulu 

Oleh: Syahdi

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Suparman (Bupati Rokan Hulu) diadili di pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi) di Pengadilan Negeri Pekanbaru dan putusan pengadilan negeri berupa putusan bebas. Putusan bebas bisa terjadi karena beberapa hal, yaitu: tidak cukup terbukti, dakwaan jaksa penuntut umum obscuur libellum (kabur), ketidaktepatan/kecerobohan atau kekeliruan pasal-pasal yang dipakai oleh jaksa penuntut umum untuk menjerat terdakwa (misalnya korupsi dipakai pasal tentang penggelapan, ini jelas beda kasusnya), kemudian berkaitan dengan bukti/pembuktian meliputi alat bukti dan barang bukti, putusan bebas dapat terjadi jika tidak cukup alat bukti, alat bukti tidak jelas, tidak qualified (tidak bernilai sebagai alat bukti), atau diragukan orisinalitasnya (keasliannya). Menurut Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dan ada tambahan dari Mahkamah Konstitusi dalam putusannya bahwa sarana yang sifatnya elektronik dapat menjadi alat bukti, seperti dokumen dlam bentuk elektronik, percakapan elektronik dan lain sebagainya). 

Alat bukti dapat diperkuat oleh barang bukti, barang bukti beda dengan alat bukti. Alat bukti hanya apa yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP ditambah alat bukti elektronik. Sedang barang bukti adalah barang/benda atau sesuatu yang ditemukan di tempat kejadian perkara seperti tetesan darah, sidik jari, celana, baju, tas, suntik, botol miras dan lain sebagainya. semua apapun yang ditemukan di tempat kejadian perkara semuanya adalah barang bukti. Selanjutnya hal-hal lain yang melatarbelakangi hakim memutus bebas adalah, berdasarkan hasil pemeriksaan pengadilan terdakwa tidak dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, tidak cukup terbukti atau tidak terdapat bukti yang kuat untuk mempersalahkan terdakwa. Selain itu juga dapat terjadi perkara yang di dakwakan daluwarsa, nebis in idem dan sebagainya. Putusan pengadilan itu ada 3 macam, yaitu: putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas (onslag van rechtvervolging) dan putusan pemidanaan.

Suparman itu dijatuhi putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru. Putusan bebas tidak bisa di banding, maksudnya jika jaksa penuntut umum tidak puas dg putusan bebas karena dianggap tidak adil, maka tidak tersedia upaya hukum untuk melawan putusan bebas Pengadilan Negeri Pekanbaru ke Pengadan Tinggi Negeri Riau. Sama juga dengan putusan lepas (onslag vanrecht vervolging) tidak dapat digugat ke Pengadilan Tinggi Negeri. Upaya hukum yang disediakan KUHAP hanyalah kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi, puncak dari pengadilan2 yang lain. Jadi tingkatannya itu seperti ini:
-Mahkamah Agung
-Pengadilan Tinggi ( tingkat banding)
-Pengadilan Tingkat pertama.

Pengadilan tingkat pertama dan tingkat kedua  itu ada 4 pengadilan. Pengadilan tingkat pertama yaitu pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer. Semuanya berkedudukan di kabupaten/kota. Pengadilan tingkat banding yaitu pengadilan tinggi negeri, pengadilan tinggi agama, pengadilan tinggi tata usaha negara dan pengadilan tinggi militer. Semuanya berkedudukam di provinsi. Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding puncaknya adalah Mahkamah Agung. Mengapa pengadilan itu bertingkat, itu untuk menjamin putusan pengadilan yg objektif, sebagai koreksi manakala putusan hakim pengadilan tingkat pertama terdapat kekeliruan atau sarat dengan intervensi politik, penyuapan hakim/jual beli hukum, maka dapat dikoreksi oleh pengadilan diatasnya yaitu pengadilan tinggi melalui gugatan. 

Selain itu mengapa pengadilan itu bertingkat, adalah jika terdakwa atau jaksa penuntut umum tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak mencerminkan/ belum memberikan keadilan maka dapat digugat ke pengadilan diatasnya. Dengan demikian diharapkan objektifitas putusan pengadilan itu benar2 mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan. Dalam masalah suparman yang oleh PN Pekanbaru diputus bebas, tidak dapat digugat ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru, tetapi dapat digugat ke Mahkamah Agung (MA). Jaksa penuntut umum (jpu) mengajukan gugatan kasasi ke MA dan MA mengabulkan gugatan jaksa penuntut umum. Putusan Mahkamah Agung yang berisi pemidanaan/penghukuman membatalkan putusan bebas yang dikeluarkan oleh PN Pekanbaru. Dengan demikian putusan bebas menjadi gugur dan yang berlaku mengikat secara hukum adalah putusan kasasi Mahkamah Agung.

Jika suparman tidak puas, tidak dapat menerima putusan kasasi Mahkamah Agung maka masih tersedia upaya hukum terakhir yaitu yang disebut Peninjauan Kembali (PK). Gugatan PK diadili oleh Mahkamah Agung. Tetapi gugatan PK hanya dapat dilakukan jika terdapat novum (bukti-bukti baru) yang dengan bukti itu diharapkan dapat menjadikan terang perkaranya, mengurangi lamanya masa pidana atau kemungkinan terdakwa diputus bebas masih mungkin terjadi. Putusan kasasi MA untuk sementara bersifat incraht (berkekuatan hukum tetap), dan suparman akan diberhentikan dalam jabatannya sebagai Bupati Rokan Hulu. Pemberhentian itu dilakukan berdasarkan SK Presiden atau Mendagri atas nama Presiden mewakili Presiden.  Karena itu, masalah ini hanya tinggal menunggu SK pemberhentian. Tetapi Suparman ditempatkan ke Lembaga Pemasyarakatan tidak perlu menunggu terbitnya SK itu. Karena sejak putusan kasasi MA dikeluarkan, secara formal telah mempunyai kekuatan berlaku mengikat secara hukum. Tinggal eksekusi putusan kasasi oleh jpu kemudian suparman akan menempati LP.

Minggu, 23 Desember 2018

Polemik Koalisi Kepartaian


Polemik Koalisi Kepartaian

Oleh: Syahdi

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Meski ada sisi parlementer, tetapi porsi presidensial masih tetap dominan. Misalnya Pertama, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedua, Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan atas alasan politis. Ketiga, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan termasuk reshuffle mutlak menjadi hak prerogatif Presiden  (dalam praktiknya suara parpol pengusung/koalisi sangat mempengaruhi keputusan Presiden dalam menentukan para pembantunya). Keempat, Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (pejabat administrasi negara tertinggi), itulah sebabnya Indonesia tak miliki jabatan Perdana Menteri. Sebab peran perdana menteri yang bertindak sebagai kepala pemerintahan sudah dirangkap oleh Presiden. Kelima, Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan setara dengan parlemen (DPR,DPD,MPR), ini berdampak bahwa Eksekutif tidak dapat dibubarkan oleh parlemen dan begitupun Eksekutif tidak dapat membubarkan parlemen. Mengapa tidak dapat saling membubarkan?, sebab Presiden dan Wakil Presiden dan anggota Parlemen dipilih secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tertentu secara periodik. 

Mengapa kekuasaan Presiden dibatasi, sebab dikhawatirkan munculnya penyalahgunaan kekuasaan Presiden bertindak otoriter dan tiran melanggar hukum. Masih pada pertanyaan yang sama mengapa kekuasaan Presiden dibatasi, sebab jika tidak dibatasi akan bertentangan dengan bentuk pemerintahan "Republik" yang dipilih berdasarkan resultante politik founding father. Namun uniknya pemberhentian/pemakzulan kepala negara dilakukan oleh parlemen (MPR), tidak oleh rakyat melalui referendum dan sebagainya. Sebab parlemen dinilai representatif seluruh rakyat. Terkait dengan koalisi kepartaian, dalam sistem presidensil tidak dikenal yang namanya koalisi. Sebab dalam sistem presidensil penekanan atau titik berat kekuasaan ada pada Presiden/Eksekutif. Sedang koalisi itu lazimnya hanya dikenal dalam sistem parlementer, sebab orientasi kekuasaan adalah pada parlemen. 

Karena itu itu pemilihan dan struktural parlemen menghendaki perlu adanya koalisi. Meskipun demikian, secara konstitusional, UUD 1945 ternyata memang mengakui secara implisit meskipun tanpa penegasan malahan hanya bersifat pilihan saja keberadaan koalisi kepartaian itu. Pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu dikatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta-peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Frasa diusulkan oleh "gabungan partai politik" inilah pintu yang membuka koalisi kepartaian. Secara harfiah koalisi artinya gabungan, beberapa partai politik bergabung karena kesamaan persepsi dan cita-cita politik. Setelah disahkannya uu pilpres, di dalamnya justru diatur perihal presidential threshold 20-25% yang memperkuat keberadaan koalisi itu, sehingga jelaslah legalitasnya. Lalu apakah hal ini bertentangan dengan UUD 1945, saya berpendapat tidak bertentangan. Sebab UUD 1945 sendirilah yang membuka celah dan kesempatan koalisi itu. 

Adapun dilema kita bernegara dengan keberadaan koalisi ini dapat saya kemukakan diantaranya :
1. Iklim politik pilpres cenderung terfokus pada bagi-bagi kursi di kabinet maupun di eksekutif.

2. Koalisi menjadi strategi mempertahankan posisi politik maupun kepentingan politis parpol di pemerintahan.

3. Strategi parpol untuk mendominasi sektor-sektor strategis di pemerintahan.

4. Pada ahirnya praktiknya parpol lah yang berkuasa secara materil, sedang keberadaan dan kekuasaan Presiden hanya diatas kertas (secara formil). 

5. Keputusan maupun kebijakan Presiden banyak dipengaruhi dan di intervensi oleh suara partai. Hal ini mengakibatkan Presiden tidak leluasa dan tidak independen memerintah.

6. Pada ahirnya Presiden harus menyelaraskan kebijakannya dengan kepentingan parpol koalisi. Apapun kebijakan Presiden diupayakan jangan sampai bertentangan dengan kemauan dan kepentingan politis parpol. 

Ini oleh banyak pihak dikatakan sebagai bentuk balas budi Presiden kepada parpol yang telah berhasil mendudukkannya menjadi orang nomor satu di Republik ini. Singkatnya, suara Presiden suara parpol, diamnya Presiden kemauannya parpol. Ini semua menghantarkan kita pada suasana bernegara yang dilematis seperti sekarang ini. Belum lagi pasca putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014 yang menyatakan bahwa pemilu mulai dari tahun 2019 demikian seterusnya dilaksanakan serentak.  Konsekuensi logisnya sebetulnya presidential threshold menjadi tidak rasional dan tidak lagi relevan untuk dipertahankan, demikian pula keberadaan koalisi menjadi sangat longgar. Namun nyatanya pembentuk undang-undang tetap mempertahankan presidential threshold itu. Nampaknya motivasi legislator hanya berbasis politis semata dan cenderung mengabaikan demokratisasi dalam kita bernegara hukum ini.

Gagasan-gagasan Perihal Amandemen UUD 1945


Gagasan-gagasan Perihal 
Amandemen UUD 1945

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Jika UUD 1945 diamandemen (diubah), beberapa hal terkait kelemahan UUD yang perlu di amandemen adalah: 

1. Pembukaan harus dikembalikan kepada Piagam Jakarta (22 Juni 1945) dengan tetap menjamin kebebasan peribadatan umat beragama;

2. Pertegas prinsip Negara Hukum, bukan negara hukum yang sempit menjadikan undang-undang sebagai acuan mutlak dalam penegakan hukum oleh pengadilan;

3. Bubarkan MPR (Majelis Permusyaratan Rakyat) sebagai institusi. MPR sebagai nama untuk sebuah forum atau sebutan untuk parlemen masih tetap dapat dipertahankan. Hanya sebagai nama forum, bukan sebagai institusi. Seperti praktik di Amerika, "Congress" di Amerika itu bukan institusi tetapi forum parlemen yang keanggotaannya adalah House of Representative dan Senat. Maka MPR itu cukup sebagai nama forum atau nama parlemen, keanggotaannya diisi oleh DPR dan DPD;

4. Rekonstruksi proporsionalitas kedudukan dan wewenang DPR dan DPD. Kedua lembaga ini prinsipnya secara legitimasi sama kuatnya sebab dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum;

5. Syarat mencalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden harus orang Indonesia asli dan beragama islam, cakap: dalam artian minimal mengerti hukum dan ketatanegaraan, pertegas tidak ada persyaratan presidential threshold;

6. Jika Presiden dan/atau Wakil Presiden ingin membuat kebijakan yang terkait dengan urusan agama maka harus terlebih dahulu meminta pertimbangan dari pemuka agama seperti islam Ketua MUI. Jika pemuka agama keberatan dengan kebijakan yang akan diambil itu maka harus dicarikan  jalan tengah bagaimana baiknya atau dalam hal pemuka agama menolak secara mutlak, rencana kebijakan itu tidak boleh dilaksanakan sama sekali.

7. Khusus untuk jabatan Menteri Agama harus beragama Islam dan hafiz qur'an, dengan ketentuan minimal 15 juz, mengerti hadist dan sudah diakui kedalaman ilmu agamanya oleh mayoritas umat islam;

8. Kebebasan berpendapat baik lisan, tulisan, formal non formal atau dalam bentuk pertunjukan seni atau apapun bentuknya harus diperkuat /dipertegas;

9. Kebijakan yang sifatnya strategis dan mendasar bagi keberlangsungan hidup rakyat yang terkait dengan hajat hidup orang banyak atas pengelolaan sumber daya alam harus meminta persetujuan rakyat secara langsung melalui Referendum (sehingga masalah seperti lemahnya daya tawar Negara semisal dalam Kontrak Karya Freeport tidak akan terjadi, dan yang pasti aman dari penyuapan). Sehingga pengelolaan sumber daya alam itu diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat diwujudkan;

10. Otonomi khusus dipertegas tidak boleh diganggu gugat, serta otonomi daerah diperkuat;

11. Hakim Agung dan Hakim Konstitusi diawasi oleh Komisi Yudisial;

12. Keberadaan Perppu harus dipertegas, cantumkan isi putusan MK No.138/PUU-VII/2009 yang berupa tafsir atas Perppu;

13. Kejaksaan, independensinya, dan kewenangannya terutama wewenang deponeering (pengenyampingan perkara)  dimasukkan kedalam UUD 1945 dengan pengaturan yang tegas.

Sabtu, 22 Desember 2018

Kedudukan Fatwa MUI Dalam Sistem Hukum Nasional


Kedudukan Fatwa MUI Dalam Sistem Hukum Nasional

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Semula tulisan ini berasal dari sebuah Penelitian yang dilakukan seorang dosen saya sekitar tahun 2017 lalu, saya juga diminta membantu dalam menyampaikan hasil kajian beliau. Kami sama-sama mempunyai latar belakang pendidikan atau konsentrasi akademik Hukum Tata Negara, sehingga banyak kesamaan pandangan juga tidak luput dari perbedaan pendapat. Bapak Wira Atma Hajri, SH., MH adalah senior sekaligus guru saya, beliaulah yang mengangkat topik perihal fatwa MUI ini. Hanya saja dari makalah Penelitian beliau dalam tulisan ini ada yang saya tambahkan dengan pemahaman keilmuan saya dan ada pula yang saya ubah. 

Adapun yang saya ubah itu adalah judul makalah Penelitian beliau dimana beliau memberi judul "Fatwa Majelis Ulama Indonesia  (MUI) Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia", kemudian dalam tulisan ini saya ubah sehingga menjadi  "Kedudukan Fatwa MUI Dalam Sistem Hukum Nasional". Saya fikir judul ini lebih tepat untuk mengakomodir pembahasan yang dimuat di dalamnya. Terlepas dari perbedaan pendapat, hal itu lumrah saja, tidak ada yang istimewa tentang hal itu, semuanya hanya perbedaan dalam menggunakan perspektif saja. 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia belakangan ini kembali menimbulkan pro-kontra di tengah-tengah dinamika politik dan penegakan hukum. Misalnya dipersoalkan Fatwa MUI No. 56 Tahun 2016 Tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim. Fatwa ini pada dasarnya berisi larangan dan hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim. Fatwa ini mendapat respon positif  dari Kapolres Bekas Kombes Umar Surya Fana dan Kapolres Kulon Progo Nanang Djunaidi. 

Kapolres tersebut menindaklanjuti secara positif keberadaan fatwa itu dengan mengeluarkan beleidsregel (aturan kebijakan) berupa surat edaran. Belum sempat surat edaran itu dilaksanakan, turun perintah dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang mengatakan bahwa Kapolres harus mencabut kembali surat tersebut, sebab fatwa MUI bukanlah hukum positif dan tidak mempunyai kekuatan berlaku mengikat sebagai hukum. Sikap Kapolres oleh Kapolri dinilai terlalu berlebihan, fatwa MUI tidak bisa dijadikan acuan bagi polri dalam mengeluarkan peraturan, karena itu tidak perlu diikuti.

Baru-baru ini Menko Polhukam Mahfud,  Md juga menyampaikan hal yang senada dengan Tito Karnavian yang sekarang Menteri Dalam Negeri terkait fatwa MUI tentang larangan mengucapkan selamat natal.  Pak Menko mengatakan bahwa "tidak ada keharusan untuk mengikuti fatwa MUI, sebab fatwa hanyalah pendapat hukum. Di Mahkamah Agung jiga dikenal adanya fatwa, demikian juga dengan di ormas Islam seperti NU maupun Muhammadiyah, antar ormas Islam dapat muncul perbedaan pendapat hukum sehingga ia tidak merupakan suatu keharusan untuk diikuti". 

Fatwa MUI tersebut hanya sebagai sebuah contoh, sedangkan kajian dalam tulisan ini bukanlah fatwa MUI tertentu, melainkan hakikat dari keberadaan fatwa MUI itu sendiri di Negara kita. Keberadaan MUI itu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan umat islam itu sendiri. Meski Indonesia oleh anggapan umum bukanlah Negara Islam, tetapi prakteknya hukum Islam tetap dijalankan dengan baik dan semarak oleh umatnya. Serta tidak dapat terbantahkan bahwa Negara ini mayoritas terdiri dari penduduk yang beragama Islam. Bahkan jauh sebelum Negara ini berdiri, agama islam, ajaran Islam, hukum-hukum islam sudah mengurat mengakar dalam setiap sendi kehidupan rakyat Indonesia sampai hari ini.

Masalah-masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat yang berhimpitan dengan persoalan keislaman, baik itu menyangkut akidah, muamalah ataupun akhlak selalu meliputi baik dalam suasana beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua itu membutuhkan jawaban untuk menghindari timbulnya perpecahan dan konflik akibat minimnya pengetahuan, serta untuk menghindari kekeliruan dalam memahami ayat-ayat Qur'an maupun hadist. Karena itulah respon dari para ulama dinilai sangat penting dalam menemukan jalan keluar atas masalah-masalah kontroversial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. 

Berawal dari hal itulah para cendekiawan muslim  Indonesia secara kolektif semakin terdorong semangatnya untuk menyatukan gerak langkah umat Islam dalam mewujudkan cita-cita bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka cendekiawan muslim tersebut membentuk lembaga besar keummatan yang berwenang memberikan respon atau menentukan sikap terhadap berbagai permasalahan yang terjadi terkait dengan keislaman. Dengan demikian teranglah bahwa MUI bukanlah lembaga negara dan pengurusnya bukan pejabat negara. Karena itu pula produk yang dikeluarkannya yaitu Fatwa juga tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.

Bila mengacu pada Pasal 1 angka (2) UU No.12 Tahun 2011 Tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tegas dikatakan bahwa, "Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat negara yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan".

Karena fatwa MUI bukan peraturan perundang-undangan maka fatwa MUI bukanlah hukum positif. Paradigma seperti inilah yang menghinggapi pikiran eks Kapolri Tito Karnavian maupun Menko Polhukam Mahfud. Md. Pemahaman seperti ini tidak salah, tapi juga bukan berarti benar seluruhnya. Harus dipahami bahwa UU No. 1 Tahun 2011 tersebut bicara dalam konteks hukum tertulis atau written law.  Sementara menurut doktrin sebagai ius communis opinio doctorum yang bertahan sampai hari ini mengatakan bahwa hukum bukan hanya terbatas pada hukum tertulis yang dibuat pemerintah negara saja, tapi juga meliputi hukum tidak tertulis atau the living law.

Dalam hal ini hukum adat adalah hukum tidak tertulis, termasuk juga norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma agama. Adapun Fatwa MUI merupakan ekspresi atau refleksi dari norma agama (Islam) sehingga masih tergolong dalam norma agama sebagai the living law. Dalam kajian ilmu hukum semua hukum tidak tertulis itu masuk kedalam cakupan ius constitutum disamping peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis. Ius constitutum berarti hukum yang berlaku menurut tempat dan waktu tertentu. Semua hukum tidak tertulis tersebut nyata masih berlaku hari ini,  maka dapat pula dipahami bahwa ius comstitutum itu sebagai hukum yang berlaku hari ini. 

Dengan demikian dapat dipahami, hukum yang berlaku sekarang cakupannya luas tidak hanya hukum positif yakni hukum tertulis buatan negara tetapi juga mencakup norma agama, norma adat, norma kesopanan, dan norma kesusilaan. Dalam konteks Negara hukum formal, benar bahwa bagi Negara, hukum itu adalah hukum buatan Negara itu sendiri, bentuknya tertulis, dibuat oleh pejabat/badan yang berwenang melalui prosedur tertentu, ada sanksinya dan dapat dipaksakan pemberlakuannya. Karena itu hanya hukum positif yang diakui oleh Negara sebagai hukum nasional.

Adapun hukum agama dalam hal ini Islam, tetap berlaku dan dipatuhi oleh umat Islam dan berlaku sebagai hukum positif khusus bagi umat Islam serta mempunyai kekuatan berlaku mengikat sebagai hukum dikalangan umat Islam. Hanya bedanya dengan hukum positif negara, bahwa hukum Islam berasal dari Allah Subhnahuwata'ala dan tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya kepada umat Islam. Pemberlakuannya sepenuhnya diserahkan kepada kesadaran beragama umat Islam itu sendiri, baik kesadaran kolektif maupun kesadaran individual. Tetapi mana kala norma agama itu telah ditransformasikan atau diakomodir dalam hukum positif atau hukum buatan negara maka ia dapat dipaksakan pemberlakuannya.

Disamping itu fatwa MUI kedudukannya sama juga dengan fatwa ulama secara personal seperti fatwanya 4 imam mazhab yang populer di tengah umat Islam. Fatwanya dalam banyak hal terdapat perbedaan satu dengan yang lain,  tapi fatwanya diikuti sebagai hukum yang hidup dal realitas beragama umat Islam. Sementara itu dalam konteks berhukum di Indonesia fatwa MUI selain sebagai hukum positif bagi umat Islam, ia juga memiliki kedudukan sebagai sumber hukum materil yaitu sebagai bahan bagi pembentukan kaidah hukum positif negara.

Orang tidak bisa dihukum (oleh Negara) karena tidak bayar zakat misalnya tetapi ketika perintah zakat itu diadopsi kedalam hukum positif negara, maka disaat itu orang dapat dipaksa untuk membayar zakat berdasarkan undang-undang atau peraturan daerah, karena undang-undang adalah hukum positif Negara. Jadi menghukum itu bukan lagi berdasarkan norma agama seperti Al-Qur'an maupun Hadist. Hukum agama (Islam) adalah the living law (hukum yang hidup) ditengah-tengah masyarakat muslim, ia dipatuhi karena itu ia mempunyai kekuatan berlaku mengikat sebagai hukum positif bagi umat Islam.

Hukum Islam kapanpun dapat menjadi acuan, referensi atau bahan bagi pembentukan kaidah hukum positif Negara. Bahan-bahan ketika suatu undang-undang atau perda yang ingin dibentuk itu salah satunya dapat diambil dari hukum Islam. Sebab hukum Islam kedudukannya dalam sistem hukum nasional diakui adalah sebagai sumber hukum materil disamping hukum adat, hukum kebiasaan, norma kesopanan dan norma kesusilaan. Karena itu tidak tepat jika pak Menko Polhukam mengatakan bahwa fatwa MUI tidak dapat dijadikan acuan bagi polri untuk keluarkan peraturan. Bahkan dulu pernah ada fatwa MUI tentang Jihad melawan tentara penjajah, hukum cinta tanah air adalah kewajiban umat Islam maka itulah yang melandasi semangat perjuangan yang mengobarkan perlawanan melawan penjajah di seluruh pelosok nusantara.

Perihal Asas-asas Dalam Ilmu Perundang-Undangan


Perihal Asas-asas Dalam
Ilmu Perundang-Undangan

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Ilmu perundang-undangan adalah bagian dari ilmu Hukum Tata Negara yang khusus membicarakan masalah seputar peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan secara umum yang pernah berlaku pada masa lalu maupun perundang-undangan positif (yang berlaku hari ini).

Dalam kesempatan ini, dalam tulisan yang entah keberapa dari tulisan yang pernah saya buat dan saya bagikan di media ini, berawal dari hasil membaca dan pergulatan pemikiran dalam perenungan dihadapan buku-buku yang terbuka lebar memenuhi kedua tapak tangan.

Dari halaman ke halaman dari topik ke topik pembahasan yang disuguhkan selalu menarik, dengan adanya pengetahuan baru seolah membuat fikiran berantakan berserakan yang menuntut untuk membentuk sebuah paradigma berfikir yang terkonstruksi dengan baik dan tertib.

Setidaknya ada tiga asas umum dalam ilmu perundang-undangan yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini, yaitu:

1. Lex superior derogat legi inferior (peraturan hukum yang kedudukan/tingkatannya lebih tinggi dapat mengenyampingkan peraturan hukum yang lebih rendah tingkatannya);

2. Lex specialis derogat legi generalis (peraturan hukum yang bersifat khusus dapat mengenyampingkan peraturan hukum yang bersifat umum);

3. Lex posterior derogat legi apriori (peraturan hukum yang di sahkan dan diberlakukan belakangan/yang baru dapat mengenyampingkan peraturan hukum yang lama/yang telah ada sebelumnya.

Konsekuensi dari anutan asas ini adalah tidak dapat berlaku sebaliknya sehingga menjadi 1. Lex inferior derogat legi superior, 2. Lex Generalis derogat legi specialis, 3. Lex apriori derogat legi posteriori.

1. Lex superior derogat legi inferior (peraturan hukum yang kedudukan/tingkatannya lebih tinggi dapat mengenyampingkan peraturan hukum yang lebih rendah tingkatannya).

Untuk menentukan peraturan hukum mana yang lebih tinggi tingkatannya dan mana yang lebih rendah tingkatannya maka telah ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7 UU ini disebutkan bahwa hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan meliputi:

1. UUD 1945;
2. Tap MPR;
3. Undang-undang/Perppu;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah:
-Perda Provinsi
-Perda Kabupaten/Kota.

Maka dapatlah diketahui bahwa UUD 1945 adalah peraturan hukum yang paling tinggi, atau lebih tinggi tingkatannya dari Ketetapan/Tap MPR. Undang-undang lebih rendah kedudukannya dibanding Tap MPR. Begitu seterusnya sampai kebawah, atau dari bawah ke atas Perda kedudukanya paling rendah/lebih rendah dari Peraturan Presiden.

Jika terdapat norma suatu peraturan hukum dalam hal ini norma undang-undang yang bertentangan dengan norma peraturan hukum diatasnya yaitu norma UUD 1945, maka hal itu dapat diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk di uji.

Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil/ materiile toetsingsrecht itu maka norma undang-undang yang bersangkutan batal demi hukum sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan berlaku mengikat untuk dipatuhi. Dalam pengujian ini, UUD 1945 menjadi patokan pengujian.

Sementara terhadap peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah undang-undang maka wewenang Mahkamah Agung untuk mengujinya. Sedangkan batu ujinya (patokan) yang dijadikan dasar atau tolak ukur untuk menilai pertentangan itu adalah undang-undang. Misalnya Perda provinsi di uji oleh Mahkamah Agung apakah bertentangan dengan undang-undang ataukah tidak bertentangan.

Selain itu juga peraturan tingkat lebih rendah tidak boleh mengurangi, mengekang, mempersempit pengaturan norma dalam peraturan tingkat diatasnya. Seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.

Hal ini sama artinya telah meniadakan wewenang judicial review Mahkamah Agung. Padahal UUD 1945 pada Pasal 24A tegas mengatakan bahwa Mahkamah Agung diberikan wewenang judicial review.

Jika ini dibiarkan maka terbuka kesempatan Pemerintah untuk semena-mena membatalkan peraturan perundang-undangan seperti perda tanpa tersedia upaya hukum untuk melawan kesewenang-wenangan itu. Hal ini tentu berdampak sangat buruk terhadap konsistensi prinsip Negara hukum yang kita anut.

Ini tak lain adalah bentuk pembangkangan, penghianatan terhadap Negara hukum oleh Pemerintah. Apa jadinya bila Pemerintah sendiri tidak mau patuh pada hukum sementara rakyat dipaksa harus patuh pada hukum dan menerima saja dengan lapang hati apapun kezhaliman yang dilakukan Pemerintah. Apakah kita hendak mendirikan Negara diktator, Negara diselenggarakan sesuka hati sesuai syahwat berkuasa?, tentu saja tidak, hal ini tak bisa diterima.

Atau ketika undang-undang pemda mempersempit makna otonomi daerah yang oleh UUD 1945 dikatakan "pemerintahan daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya..." (baca Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).

Gejala yang berkembang belakangan ini adalah ada kecenderungan yang kuat bahwa Pemerintah mempersempit otonomi yang sudah diberikan oleh undang-undang pemda melalui beragam kebijakan.

Hal ini akan menyusahkan daerah ketika akan membentuk regulasi atau mengambil kebijakan. Berapa banyak ranperda syari'ah yang ditolak oleh Pemerintah dengan alasan yang serba tidak jelas ujung pangkalnya. Perihal ini telah pula saya jelaskan dalam tulisan saya yang berjudul "Perda Syari'ah dan Ketidakjelasan Urusan Agama Dalam Undang-undang Pemda.

2. Lex specialis derogat legi generalis (peraturan hukum khusus mengenyampingkan peraturan hukum umum).

Apa contohnya, adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 26 menyebutkan bahwa judicial review hanya dapat dilakukan ditingkat kasasi.

Itu artinya berbarengan dengan pemeriksaan suatu perkara yang sampai ditingkat kasasi, jika tak melalui peradilan kasasi maka sudah dapat dipastikan MA tak bisa melakukan judicial review. Dan ketika berlaku undang-undang ini terbatas hanya peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang saja yang dapat di uji oleh MA.

Kemudian setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka undang-undang ini memberikan wewenang judicial review kepada PTUN untuk menguji keputusan administratif yang dikeluarkan oleh Pemerintah/pejabat administrasi negara.

Dengan demikian, undang-undang ini telah mengenyampingkan undang-undang kekuasaan kehakiman yang hanya membenarkan bahwa judicial review hanya dapat dilakukan di tingkat kasasi.

Perlu diperhatikan bahwa untuk anutan asas yang kedua dalam pembahasan ini, hanya berlaku terhadap peraturan hukum yang sejenis/sederajat. Seperti undang-undang mengenyampingkan undang-undang juga. Tidak bisa peraturan menteri mengenyampingkan undang-undang, atau perda mengenyampingkan peraturan pemerintah. Sebab kedudukannya berada ditingkat bawah.

3. Lex posterior derogat legi apriori (peraturan hukum yang disahkankan dan berlaku belakangan/yang baru mengenyampingkan peraturan hukum yang telah ada sebelumnya).

Untuk hal inipun juga sama dengan anutan asas yang kedua, yaitu  hanya berlaku untuk yang sejenis/sederajat. Contohnya adalah: Mahkamah Konstitusi dalam putusannya melalui formile toetsingsrecht (uji formil) pernah membatalkan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya, bukan karena proses pembentukannya (prosedur), tetapi pemberlakuannya bertentangan dengan konstitusi setelah berlaku pula Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua.

Sebab dalam undang-undang pemekaran provinsi papua yang telah ada lebih dulu tidak memberikan/tidak membenarkan adanya otonomi khusus kepada papua, padahal Pasal 18 UUD 1945 mengakomodir perihal otonomi khusus itu dan telah diberikan kepada papua berdasarkan undang-undang yang baru.

Karena itu Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 itu selain bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 juga bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenyampingkan undang-undang yang telah ada sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999.

Demikian, semoga bermanfaat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...