Minggu, 22 Desember 2019

Pancasila Sebagai Jalan Mewujudkan Tujuan Bernegara


Pancasila Sebagai Jalan Mewujudkan Tujuan Bernegara

Oleh: Syahdi, SH

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Pembicaraan tentang Pancasila belakangan ini semakin semarak bila kita selalu menyimak tayangan di media hari ini. Bahkan Pancasila mendapat kritik keras dari tokoh yang beraliran filsafat politik semisal Rocky Gerung. Dalam salah satu tayangan Indonesia Lawyers Club misalnya Rocky mengatakan bahwa Pancasila tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai sebentuk ideologi negara, juga rumusan antar sila nya saling bertentangan. Kritik terhadap Pancasila bukan suatu hal yang baru, bahkan dalam sejarah perumusannya di kalangan sesama pendiri negara, Pancasila dikritik habis-habisan baik dalam proses perumusan maupun pasca Pancasila ditetapkan menjadi bagian dari UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 yakni dalam rapat-rapat di Majelis Konstituante pada 1957-1959.

Majelis Konstituante sendiri adalah sebuah badan yang dibentuk untuk tugas membahas dan menetapkan UUD yang bersifat tetap untuk menggantikan UUD Sementara Tahun 1950. Sebagaimana kita ketahui bahwa UUD RI telah tiga kali berganti seiiring kondisi politik yang belum stabil yang berdampak pada berubahnya susunan negara dari yang semula Negara Kesatuan dengan konstitusinya UUD 1945 berubah menjadi Negara Serikat dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, dan kembali lagi ke bentuk Negara Kesatuan dengan UUD Sementara Tahun 1950. Walaupun UUD Sementara Tahun 1950 dimaksudkan hanya berlaku sementara saja sampai ditetapkannya UUD yang tetap, praktiknya ia berlaku lebih kurang 9 tahun sejak 1950 sampai dengan 05 Juli 1959, ini adalah kesementaraan yang lama. Dalam dialog tentang ideologi sebagai intelektual kita harus jujur melihat konstruksi ideologis yang di sematkan kepada Pancasila itu, bahwa analisa terhadap Pancasila itu ada ketidak cocokan antar sila dalam Pancasila, misalnya sila pertama dengan sila kedua.

Pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, esensinya menempatkan otoritas dan kedaulatan tuhan diatas segala-galanya. Itu tidak hanya sekedar pengakuan eksistensi tuhan tapi juga menginsyafi bahwa tuhan berkuasa melalui ajaran dan kemarahannya. Sebab itu religiusitas atau agama-agama memiliki derajat yang lebih tinggi pula diatas segalanya. Sedangkan sila kedua ia mulai mengambil model filsafat humanisme yang menjadikan manusia sebagai antroposentrisme kehidupan dan alam semesta. Dalam humanisme manusia dipandang sebagai homo mensura yang berarti manusia ukuran dari segala sesuatu. Dalam sejarah pembicaraan ideologi, humanisme mendapat kritik tajam dari strukturalisme,  bahwa manusia bukan pusat dalam kehidupan,  melainkan manusia hanya salah satu elemen dari sekian elemen dalam sebuah elemen raksasa dalam alam semesta. Jika pada sila pertama negara seharusnya dimaknai condong kepada ketuhanan atau negara agama, sementara pada sila kedua condong kepada pikiran individualistik.

Memang humanisme diakui memberikan pengaruh besar di abad modern karena lembaga-lembaga perlindungan HAM lahir dari humanisme beserta segala ide tentang kemanusiaan juga berkembang pesat berkat terobosan humanisme, tetapi ide-ide kemanusiaan itu dalam perkembangannya menjadi proyek peradaban barat yang bercorak individualisme. Kitapun dalam bernegara menjadi dilematis tentang bagaimanakah kita hendak menterjemahkan konsep HAM itu sendiri di negeri ini. Konsep HAM barat yang bersifat individualistik hampir tidak mempertimbangkan perlindungan kepentingan kolektif. Kritik terhadap Pancasila adalah hal yang lumrah saja di panggung akademik ataupun di ruang publik sebagai bagian dari hak dan kebebasan berpendapat. Sebab dalam praktiknya Pancasila sering dimanfaatkan sebagai legitimasi atau justifikasi rezim yang berkuasa untuk memberangus suara-suara oposisi ataupun lawan-lawan politik, atas nama Pancasila maka semua tukang kritik dapat di penjarakan.

Sebab Pancasila dengan rumusannya yang abstrak dapat ditafsirkan macam-macam sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa, ia adalah seperangkat norma yang open multi interpretatif. Padahal legitimasi rezim bukan bersumber dari Pancasila melainkan dari rakyat, kehendak dan kepentingan rakyatlah yang harus diikuti, ke arah itulah kebijakan dibuat. Terlepas dari perdebatan tentang apakah Pancasila memenuhi syarat sebagai sebentuk ideologi negara ataukah sebaliknya yaitu tidak memenuhi syarat, saya berpendapat bahwa Pancasila baiknya diletakkan dan dipahami sebagai sebuah jalan diantara banyak jalan untuk mewujudkan tujuan bernegara seperti yang tercantum dalam kesepakatan luhur pendiri negara kita, sebagaimana tujuan bernegara itu tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan bernegara dalam pembukaan UUD 1945 yakni melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Singkatnya bahwa tujuan bernegara itu adalah untuk perlindungan, pencerdasan, kesejahteraan serta perdamaian dan keadilan. Ke arah itulah kehidupan berbangsa dan bernegara ditujukan. Dengan pemaknaan seperti ini Pancasila tidak berdiri diatas semua pikiran-pikiran kenegaraan sehingga ia tidak dipandang sebagai yang memiliki sifat superior dan berfungsi mengontrol dan mengendalikan semua pikiran-pikiran warga negara. Pancasila diperlukan dalam kerangka nasionalisme atau nation state. Tetapi nasionalisme pun janganlah hendaknya dibentur-bentukan dengan agama-agama seperti syari'at Islam, sebaliknya nasionalisme seperti yang pernah di ucapkan oleh Haji Omar Said Tjokro Aminoto tidaklah ia mencampakkan ruh Islam dalam bernegara. Sebab kenyataannya Islam tidak hanya sebagai agama dengan pemeluk mayoritas tetapi syari'at Islam sendiri telah hidup dan mengakar dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulunya sampai hari ini.

Sementara itu benar bahwa negara kita tidak berdiri diatas ajaran atau syari'at Islam sebagai dasar negara, melainkan nation state dan nasionalisme telah dipilih sebagai kerangka dasar yang melandasi Pancasila. Nasionalisme mengakomodir dan memfasilitasi peribadatan tiap umat beragama untuk menjalankan agamanya secara bebas tanpa diskriminatif. Membenturkan nasionalisme dengan syari'at Islam adalah kesalahan besar dalam bernegara, dan melekatkan label radikal, ekstrim, intoleran, anti NKRI, anti Kebhinekaan, anti Pancasila semuanya itu adalah perbuatan barbar yang dilakukan oleh rezim barbar akibat ketidakpahamannya tentang nasionalisme, nation state dan syari'at Islam. Selama  nasionalisme, nation state dan syari'at Islam masih dibentur-benturkan maka semakin menjauhkan kita kepada berpikir dan betindak ke arah dan mencapai tujuan bernegara.

Perdebatan amatiran yang diperagakan aktivis penguasa harus segera dihentikan, banyak hal yang prinsipil yang harus dipikirkan. Sudah cukuplah kita menghabiskan energi memperdebatkan hal-hal yang tidak substansial, berhentilah membodoh-bodohi rakyat. Memang benar apa yang dikatakan Hitler, "Penguasa akan sangat senang jika rakyatnya tidak bisa berfikir", ini adalah penyakit yang di derita rezim hari ini.  Jika kita ingin negara ini maju dan rakyat kita sejahtera maka kita harus berfikir luas tidak memelihara pemikiran sempit untuk tujuan dan kepentingan sesaat. Janganlah hendaknya bangsa dan negara yang diperjuangkan dengan tetes darah ini dijadikan barang taruhan dalam perjudian hedonisme dan kapitalisme. Janganlah penguasa menjadi penghianat cita-cita luhur pendiri negara. Jika seperti ini terus kita akan semakin tertinggal dalam peradaban bahkan negara ini bisa hancur di tangan para diktator yang menjadi diktator sebab ketidakpahamannya menyelenggarakan negara.

Minggu, 15 Desember 2019

Filsafat Humanisme


Filsafat Humanisme

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum/Pengkaji Filsafat)

Humanisme adalah ajaran tentang manusia. Filsafat humanisme berarti filsafat tentang manusia. Secara historis, humanisme adalah karakter paling dominan dari renaissance dan aufklarung. Dalam filsafat humanisme, antroposentrisme terletak pada manusia, dengan kata lain manusia menjadi titik sentral. Ciri paling khas dari humanisme ini banyak dikritik terutama oleh kalangan agamawan yang memandang hanya tuhan lah yang harus dijadikan titik sentral dalam kehidupan. Untuk konteks ideologi Indonesia, humanisme juga dianut yaitu pada sila kedua Pancasila yang tak lain merupakan cerminan dari humanisme. 

Filsafat humanisme lahir ditengah peradaban dunia modern. Secara harfiah terminologi modern akar katanya diambil dalam bahasa latin yaitu disebut moderna, yang artinya sekarang, masa kini, baru, kekinian, up to date. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa era yang disebut sebagai era modern dimulai sekitar abad ke-15 atau tahun 1500. Sementara zaman sebelum tahun 1500 tidak disebut modern sebab dipandang belum ada kesadaran modern, orientasi filsafatnya selalu mundur, melihat ke belakang, sedikit sekali yang berorientasi masa kini (di masa filsuf yang bersangkutan) menuju masa depan. 

Kesadaran Modern

Ciri kesadaran modern yaitu bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subyek, pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Dengan ciri ini manusia adalah tipe mandiri atau otonom yang menentukan dan yang memutuskan segala sesuatu, otoritas paling tinggi terletak pada manusia. Ciri kesadaran modern kedua yaitu kritik atau kesadaran kritis. Ketiga, yaitu kesadaran progresif. Dalam kesadaran progresif waktu adalah sumber langka yang tak terulang lagi. Kesadaran progresif sangat memperhitungkan waktu, penghematan waktu, pemanfaatan waktu semaksimal mungkin, tidak membuang-buang waktu. 

Memahami humanisme dalam filsafat harus hati-hati sebab kadang-kadang merujuk pada fase, era yang sifatnya historis dan ada humanisme yang merujuk pada ideologis. Tetapi secara umum humanisme dipahami sebagai sebentuk ideologi, sebagai ideologi, sebuah aliran atau cara berfikir yang memposisikan manusia sebagai pusat. Kadang disebut antroprosentrisme kadang disebut homo mensura atau manusia sebagai ukuran. Humanisme dapat dipahami dari dua sisi yaitu sisi historis dan sisi aliran-aliran dalam filsafat. Dari sisi historis, humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusasteraan yang awalnya muncul di Itali pada pertengahan abad ke-14. 

Sementara dari sisi aliran dalam filsafat, humanisme adalah sebagai paham yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat tinggi, sentral dan penting baik dalam perenungan teoritis-falsafati maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari. Manusia adalah pusat dari realitas. Humanisme sebagai fase dalam filsafat maka humanisme juga dapat dijumpai pada filsafat humanisme renaissance. Artinya humanisme dalam filsafat renaissance, demikian juga dalam dunia Islam kita mengenal ada fase salaf juga ada fase khalaf. 

Secara terminologis, humanisme berasal dari bahasa latin yaitu dari kata humanus yang memiliki akar kata homo yang berarti manusia. Sedangkan humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai kodrat manusia. Pendukung filsafat humanisme disebut humanis. Pada awalnya yang disebut humanis adalah sekelompok orang yang mempelajari dan menyelidiki buku-buku pengetahuan yang ditinggalkan oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Buku-buku itu diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, dicetak dan diberi penjelasan. 

Selain humanus, juga terdapat istilah umanista yaitu golongan akademisi yang mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu humaniora seperti gramatika, sejarah, retorika, seni puisi atau filsafat moral. Ciri seorang humanis seperti dikemukakan oleh H.J. Blacam seorang direktur The British Humanist Association, bahwa seseorang layak disebut humanis jika memenuhi syarat-syarat yaitu orang itu berada diatas dirinya sendiri. Bahwa perbuatan atau keputusan yang dilakukan oleh seseorang berasal dari kesadaran dalam dirinya, bukan hasil dari mengikuti pikiran orang sehingga tidak punya pendirian hanya mengikut saja pada pendapat orang lain, tidak mandiri, tidak otonom. 

Syarat kedua yaitu seorang humanis memandang hidup ini adalah segala-galanya. Ia akan selalu mengisi kehidupannya dengan hal-hal yang bermanfaat, tidak larut dalam kesedihan dan masa lalu, tetapi berfikiran realistis dan punya rencana dan pikiran dengan prospek orientasi kedepan. Syarat berikutnya yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab terhadap kemanusiaan pada umumnya. Jika sudah memiliki empat syarat atau karakter ini maka seseorang akan menjadi manusia yang otonom atau mandiri, hidupnya tidak tergantung kepada orang lain. 

Misi humanisme yaitu merebut manusia dari alienasi oleh obsesi masyarakat pada dunia-sana dan mengakarkannya kembali pada dunia-sini. Dalam sejarahnya humanisme lahir dari gerakan renaissance pada abad 16 terhadap dunia dehumanisme yang disetir oleh otoritas gereja di Eropa selama berabad-abad. Gereja merasa menjadi satu-satunya otoritas dalam memberikan interpretasi terhadap dogma-dogma agama yang kemudian diterjemahkan kedalam segenap bidang kehidupan di Eropa. Mulai dari menyetir kebebasan berfikir dan mengekspresikan fikiran sampai pada segala sesuatunya harus manut pada ajaran gereja. 

Semua yang bertentangan dengan ajaran gereja dianggap menentang ajaran gereja dan firman tuhan. Di masa ini di Eropa gereja tampil sebagai diktator yang berkuasa atas nama agama, semua ajarannya harus diikuti tidak boleh ada kebenaran lain selain daripada ajaran agama atau gereja. Dogma agama menyetir ruang kebebasan berfikir orang-orang di masa itu, sehingga ilmu pengetahuan mengalami kebuntuan, tidak berkembang di Eropa. Sebab itulah maka muncullah gerakan renaissance untuk membebaskan manusia dari belenggu otoritarianisme gereja. 

Sedangkan humanisme adalah puncak dari reaksi renaissance dengan misi mengembalikan manusia sebagaimana manusia, me-manusiakan manusia sebagaimana kodrat alamiahnya yang dilengkapi dengan akal sebagai penuntun utama perilaku alamiahnya. Dalam hubungannya dengan sekulerisme, gerakan renaissance berdampak pada ajaran pemisahan agama dari negara atau agama dari politik. Ajaran sekulerisme ini dalam sejarah Indonesia dijadikan percontohan untuk memisahkan Islam dari negara Islam dari politik. 

Dalam perkembangannya, humanisme kontemporer hadir sebagai reaksi protes terhadap kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri manusia di era modern. Beberapa isu humanisme di era modern yang diprotes humanisme kontemporer sebab kodrat alamiah manusia itu dapat disalahgunakan dan dapat berdampak pada eksistensi kodrat alamiah manusia itu sendiri. Isu humanisme tersebut yaitu, isu diri manusia. Bahwa manusia sebagai sentral segala sesuatu secara alamiah atau secara fitrah memiliki sejumlah hak dan kebebasan, tetapi hak dan kebebasan alamiah itu dapat mengancam kemanusiaan manusia itu sendiri. 

Sebab itu manusia harus pula bertanggung jawab atas fitrah alamiahnya itu. Fitrahnya manusia itu menikah, maka tidak boleh atas dasar apapun melarang manusia untuk menikah. Fitrah manusia harus menghormati dan memperlakukan orangtuanya dengan baik, manusia tidak boleh bertindak sebaliknya yaitu berlaku kasar dan memperlakukan orangtua secara buruk. Isu kedua yaitu hakikat manusia. Bahwa humanisme memandang hakikatnya manusia itu baik, tetapi harus sesuai dengan proporsinya. Misalnya humanisme memandang nikah itu fitrah manusia dan itu baik, rasa suka antara perempuan dan laki-laki adalah fitrah, tetapi rasa suka itu harus diekspresikan melalui pernikahan yang sah, tidak melalui perzinahan. 

Isu selanjutnya yaitu kebebasan dan otonomi manusia. Humanisme memprotes semua hal yang mengekang, menyalahi, menghalangi isu-isu tersebut, disamping itu humanisme menuntut tanggung jawab manusia atas kodrat alamiahnya. Menurut penggolongannya, ada beberapa macam humanisme yaitu modern humanism/humanisme naturalistic/scientific humanism/ethical humanism/demokratic humanism ialah satu filsafat naturalistik yang menolak semua supernaturalisme dan lebih bersandar pada rasio, ilmu pengetahuan, demokrasi dan perasaan kemanusiaan. 

Humanisme modern terbagi dua yaitu humanisme sekuler dan humanisme religius. Humanisme religius mengambil dasar dari luar diri manusia yaitu agama, sementara humanisme sekuler hanya mengandalkan rasio atau akal belaka. Dalam Islam misalnya humanisme juga ada. Humanisme religius memandang agama sesuai dengan fitrah manusia, agama adalah pedoman untuk hidup manusia. Sementara itu humanisme atheis, sekuler atau humanisme anti agama melepaskan agama dan memilih dunia sebab agama dan dunia dipahami sebagai dua hal yang kontras satu dengan yang lain. 

Humanisme sekuler memandang agama adalah mitos, menentang sikap rendah hati, ketakwaan dan keterikatan bathin pada akhirat, tidak percaya dan menentang keabadian atau kekal yang dijanjikan tuhan. Keabadian oleh penganut humanisme sekuler dipahami hanya berupa karya-karya monumental seperti nama baik, lukisan, patung-patung orang yang memiliki karya besar adalah menifestasi dari keabadian. Mereka yang menganggap humanisme arahnya atheis hanya melihat humanisme yang sekuler. Padahal humanisme dalam sejarahnya telah berkembang dan memiliki banyak corak dan variasi. 

Kritik Terhadap Humanisme

Humanisme mendapat kritik tajam dari strukturalisme yang tumbuh di Prancis pada tahun 1960 yang menolak manusia dijadikan subyek atau pusat dari segala sesuatu di dunia.  Dalam pandangan strukturalisme manusia pada dasarnya dibentuk oleh relasi-relasi struktural sebagaimana setiap makhluk lainnya. Menurut strukturalisme manusia hanyalah salah satu eleman dalam struktur besar alam semesta, manusia bersifat dialektis dengan lingkungan sekelilingnya. 

Strukturalisme melihat dalam sejarahnya humanisme justru ditarik sebagai proyek peradaban barat, yang menjadi sentral dari humanisme historis adalah bangsa barat. Beradab atau tidak beradab ditentukan dari perspektif humanisme barat, barat menjadi tolak ukur peradaban. Disini humanisme malah bersifat eksklusif sehingga bangsa barat menganggap dirinya adalah yang paling humanis dan paling beradab. Kritik lainnya muncul dari aliran post modern yang memandang bahwa manusia tidak dapat dipahami dan dijadikan sebagai sentral segala sesuatu, manusia tidak dapat menjadi ukuran masyarakat. 

Di dalam kompleksitas sosial tidak ada ukuran yang menjadi pusat segalanya, tiap sistem memiliki ukurannya masing-masing. Namun meskipun dikritik, humanisme telah mampu memberikan penyadaran kepada manusia tentang bagaimana me-manusiakan manusia, humanisme berangkat dari suatu keprihatinan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ingin melindungi martabat manusia dari kesewenangan apapun termasuk kesewenangan yang dapat muncul dari agama, ideologi, sains dan pandangan dunia lainnya yang dapat menjadi eksklusivitas.

Sabtu, 07 Desember 2019

Filsafat Monisme Parmenides


Filsafat Monisme Parmenides

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum/Pengkaji Filsafat)

Pada tulisan sebelumnya saya telah memaparkan filsafatnya Heraclitus, dapat dibaca tulisan saya dalam "Heraclitus, Filsuf Introvert dan Pemikiran Besarnya", filsafatnya Niccolo Machiavelli dalam "Filsafat Politik Machiavelli" dan filsafatnya Karl Marx dalam "Materialisme Historis Marx". Sayapun juga telah menerbitkan filsafat hidup dan filsafat politik saya sendiri, masing-masing dapat dibaca dalam "Manusia, Kebendaan dan Kedudukan" dan "Nasehat Untuk Penguasa". 

Dalam kesempatan ini saya mencoba memaparkan bagaimana pula filsafat monisme dari seorang filsuf besar Yunani Kuno yaitu Parmenides. Parmenides, hidup sekitar 540-470 Masehi. Seorang filsuf Yunani Kuno. Ia dan gurunya Senophanes menjadi pendiri mazhab Elia. Parmenides sempat bertemu Socrates di waktu berusia 65 tahun, ketika itu Socrates masih sangat muda tetapi telah kritis dan dapat diajak berdiskusi. Salah satu tradisi orang bijak Yunani Kuno yang menarik yaitu mereka senang berkumpul dan berdiskusi. Ketika melihat ada orang yang berkumpul maka orang-orang bijak selalu hadir di perkumpulan itu dan selalu berdiskusi. Mereka suka berdiskusi untuk saling menguji kebenaran yang diyakininya. 

Membicarakan tentang Parmenides tidak dapat dipisahkan dari Heraclitus, sebab mereka hidup se-zaman dan pemikiran filsafat mereka saling bertolak belakang dalam melihat alam realitas. Tetapi pembicaraan tentang Heraclitus telah saya tulis dalam tulisan saya yang lain sehingga tetap dapat dibaca dan diperbandingkan pemikiran besar keduanya. Perbedaan yang kontras dan mendasar antara Parmenides dengan Heraclitus yaitu Parmenides melihat dari aspek sama-nya, ke-utuh-annya, kesamaan, atau persamaan-persamaan. Parmenides melihat segala sesuatu adalah serba sama, serba satu. 

Sedangkan Heraclitus melihat detil perbedaan. Orientasi bangunan filsafat Heraclitus melihat pada aspek perbedaan, segala sesuatu serba berbeda dan berubah-ubah. Jika dalam pandangan Heraclitus dikatakan,“tidak seorangpun dapat melangkah dua kali di sungai yang sama, karena sungai itu bukan lagi sungai yang sama dan dia juga bukan lagi orang yang sama”. Parmenides mengatakan sebaliknya, bahwa sungai yang dilewati adalah sungai yang sama, yang berbeda itu hanyalah penampakannya saja, substansinya sama yaitu masih sama-sama sungai. Ia tidak berubah menjadi sesuatu yang lain selain sungai.

Gagasan Parmenides dikenal dengan monisme. Bagi Parmenides, keragaman itu sesungguhnya semu, segala sesuatu itu hakikat sebenarnya satu atau sama. Misalnya dalam kenyataan gagasan monisme ini dapat kita ambil contohnya, kuliah di universitas A ataupun Universitas B, intinya sama- itu-itu juga yaitu sama-sama mencari ilmu dan ijazah. Atau partai A maupun  partai B keduanya sama saja, sama-sama mengejar kekuasaan. Monisme dalam sejarah melahirkan dua kutub besar pemikiran yaitu Materialisme dan Idealisme. Lawan dari monisme adalah dualisme dan pluralisme. 

Pada monisme yang dilihat adalah aspek samanya, sedangkan pada dualisme melihat bahwa segala seuatu serba dua. Lain lagi dengan pluralisme melihat bahwa segala seuatu itu beragam, banyak atau bervariasi, berbeda dan memiliki ciri khas satu sama lain yang berbeda-beda. Ajaran monisme ini misalnya seperti yang di ekspresikan oleh Robinson Jeffers, “Aku percaya bahwa alam semesta ini adalah satu makhluk, satu sesuatu. Semua bagiannya hanya merupakan ekspresi yang berbeda dari energi yang sama. Semuanya saling berkomunikasi, saling berhubungan sehingga merupakan bagian dari satu organisme yang utuh”. 

Dalam bahasa Qur’an misalnya dikatakan bahwa setiap mukmin seperti satu tubuh, jika yang satu sakit yang lainnya merasakan sakit pula. Dalam kehidupan kita pikiran ini meyakini bahwa perbuatan buruk yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri tapi juga dampaknya pada lingkungan sekitarnya. Sebab itu manusia adalah bagian dari satu kesatuan organisme yang utuh, saling terhubung satu dengan yang lain. Dapat saling memberi dampak positif atau manfaat dapat juga saling memberi dampak buruk atau kerugian-kerugian.

Tentang “Being (Yang Ada)”

Predikat ada sifatnya a priori dan universal, ia mendahului dan menjadi syarat realitas dan eksistensi. Segala sesuatu itu itu ada meskipun tidak selalu eksis sebagai fisik yang dapat ditangkap oleh inderawi. Seseorang yang membayangkan sesuatu, maka sesuatu itu telah ada, yaitu ada sebagai bayangan, lamunan atau khayalan meskipun tidak eksis secara fisik. Misalnya, saya membayangkan menjadi pemimpin besar dengan banyak pengikut, maka ketika membayangkan itu maka saya telah sedang menjadi pemimpin besar dengan banyak pengikut, meskipun tidak eksis sebagai kenyataan yang dapat dilihat inderawi, tapi saya telah eksis sebagai bayangan atau khayalan menjadi pemimpin besar dengan banyak pengikut.

Kritik Parmenides

Parmenides mengkritik tradisi kepercayaan Yunani Kuno yaitu mitologi Yunani Kuno yang menjelaskan proses penciptaan alam. Menurut Parmenides, penjelasan itu hanya terjebak pada pendapat dan penampakan, serta jauh dari kebenaran. Filsafat hadir dengan tugas membantu manusia untuk melampaui kelemahan ini, sehingga tidak terjebak pada penampakan-penampakan yang dangkal dan berubah-ubah, serta mulai berusaha mencari kebenaran sejati.

Kebenaran dan Pendapat

Parmenides membedakan antara kebenaran dan pendapat. Kebenaran menurut Parmenides bersifat tetap dan berlaku untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sementara itu pendapat selalu berubah-ubah. Sekarang kita berpendapat A, nanti atau besok berpendapat B, demikian seterusnya. Kebenaran itu abstrak, sedangkan pendapat dasarnya sesuatu yang tampak saja. Sedangkan apa yang tampak selalu labil, berubah-ubah dan kadang menipu. 

Seperti sebatang pensil ketika dimasukkan kedalam air atau gelas berisi air maka akan tampak patah atau bengkok. Demikianlah penampakan inderawi kadang kala dapat menipu. Banyak orang berhenti pada apa yang tampak/penampakan dan melupakan yang hakiki. Pendapat dengan mudah ditemukan dalam pengalaman sehari-hari. Sementara kebenaran itu ada dalam bentuk pikiran dan konsep yang murni, ia stabil dan tidak berubah-ubah.

Jalan Pengetahuan

Menurut Parmenides ada dua jalan pengetahuan, yaitu jalan kebenaran yang disebut aletheia dan jalan kepercayaan yang disebut doxa. Satu-satunya cara untuk mencapai pengetahuan adalah melalui jalan kebenaran. Sedangkan jalan yang kedua penuh dengan kontradikasi dan pengetahuan palsu, hanya berdasarkan penampakan, apa yang tampak atau apa yang dapat ditangkap panca indera sehingga membuat orang mudah terjebak.

Prinsip Epistemologi 1

Dari pikiran berdasarkan jalan pengetahuan tersebut maka lahirlah prinsip berpikir dasar meliputi prinsip identity, prinsip of non- contradiction, dan prinsip of exluded middle. Prinsip identity, diformulasikan dengan A=A. Bahwa yang ada adalah yang tampak, sesuatu itu ada sebab ia dapat ditangkap panca inderawi, sesuatu dikatakan benar karena memang nyata adanya. Ini adalah prinsip dasar dalam berpikir menuju berpikir filsafat. Dalam praktiknya banyak orang yang tidak mencerminkan model berpikir dasar ini, tidak jujur mengemukakan kebenaran sebab dipengaruhi oleh kepentingan, atau nafsu. Misalnya pemerintah “mengatakan harga bahan pokok sampai saat ini masih stabil dan terjangkau”

Padahal ia tau keadaan yang sebenarnya tidaklah demikian, pemerintah menutupinya karena kepentingan untuk menjaga wibawanya di mata rakyat, walaupun bisa saja rakyat menjadi tidak percaya dan tidak simpati pada pemerintah sebab rakyat benar-benar merasakan naiknya harga bahan pokok dan betapa tidak berharganya uang yang mereka punya. Prinsip of non- contradiction menyatakan bahwa segala sesuatu tidak bertentangan. Mengatakan, “kacamata berbeda dengan pena”, ini adalah prinsip of non-contradiction, bahwa tidak ada yang bertentangan. Sebab secara inderawi keduanya memang berbeda. 

Di tahap inipun banyak orang yang tidak menyatakan apa adanya, tidak jujur dan suka memanipulasi karena kepentingan dan keinginan-keinginan. Mengatakan bahwa menaikkan iuran BPJS, tarif dasar listrik, harga BBM dapat mensejahterakan rakyat. Padahal antara kebijakan menaikkan iuran BPJS, tarif dasar listrik, harga BBM sangat kontras sekali bedanya dengan kesejahteraan. Keduanya adalah hal yang sama sekali berbeda dan bertentangan, yang terjadi rakyat bukannya sejahtera tetapi semakin bertambah susah dan miskin sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Yang ketiga adalah prinsip of exluded middle, bahwa tidak mungkin ada pertengahan. Selalu ada pilihan pada salah satu pilihan, misalnya manusia itu hanya ada dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. 

Tidak ada yang selain laki-laki atau perempuan, tidak ada setengah laki-laki atau setengah perempuan. Demikian juga misalnya tentang keadilan, yang ada atau yang mungkin ada hanyalah adil dan tidak adil. Tidak ada selain dari itu, tidak ada setengah adil setengah tidak adil. Hanya ada dua pilihan dan penilaian atau kenyataan atas segala sesuatu yaitu adil dan tidak adil. Antara berpihak/mendukung atau tidak berpihak/mendukung, hanya ada satu pilihan, tidak mungkin ada netral berdiri ditengah-tengah. Sebab yang dikatakan netral sekalipun pasti juga kenyataannya berada di salah satu pilihan, berada dipihak tidak mendukung atau di kubu oposisi. Inilah prinsip berpikir dalam prinsip of exluded middle.

Prinsip Epistemologi 2

Dari prinsip epistemologi mendasar diatas kemudia berkembang kepada berpikir secara filsafat dengan berpikir yang lebih dalam. Parmenides menyadari perbedaan antara pengetahuan rasional dengan pengetahuan inderawi. Pengetahuan inderawi sumbernya pluralitas yang bisa menjangkau dimana kita sama dimana kita beragam. Menjadikan pengetahuan inderawi sebagai basis maka yang tampak hanya perbedaan-perbedaan, sehingga semakin susah untuk bersatu atau menyatukan. Apalagi semakin tegas/mempertegas perbedaan atau pengelompokan secara kategoris maka dapat menimbulkan jarak dan semakin menjauhkan kita dari ide-ide persatuan. Untuk bersatu kita harus melihat persamaan-persamaan diantara kita. 

Bahwa pada kenyataannya diantara kita ada orang jawa, orang sumatera, orang kalimantan, orang aceh, orang papua, orang batak, orang melayu, orang bugis, tapi kita sama-sama warganegara Indonesia, kita sama-sama manusia, kita sama-sama makhluk yang diciptakan tuhan. Jika antara pengetahuan rasional dengan pengetahuan inderawi saling bertentangan, Parmenides berpihak pada pengetahuan rasional. Karena hanya pengetahuan yang rasional yang dapat dipercaya dibandingkan pengetahuan inderawi yang mudah menjebak dan menipu. Karena itu dalam tataran tertentu bahkan sering pengetahuan inderawi menjebak dan menipu sehingga tidak dapat diandalkan.

Prinsip “Ada”

Memahami tentang “ada” Parmenides menerangkan bahwa “yang ada” itu ada,  “yang ada” itu tidak dapat hilang, menjadi tidak ada. Demikian juga “yang tidak ada” tidak mungkin muncul menjadi “yang ada”. Sementara itu sebenarnya “yang tidak ada” itu tidak ada. Ketika kita mengatakan bahwa “hantu itu tidak ada”, atau “tuhan itu tidak ada”, ketika itu sebenarnya hantu itu ada dan tuhan itu ada, meskipun tidak eksis sebagai fisik yang dapat ditangkap oleh inderawi, tetapi ia ada sebagai bayangan, ia ada sebagai fikiran. Karena itulah semua yang kita katakan “tidak ada” ketika itu sebenarnya kita telah memikirkan, membayangkan atau menghayalkannya dengan mengumpulkan berbagai informasi yang kita peroleh dan merumuskannya sehingga kita menyimpulkannya secara kontradiktif. 

Sebab hanya “yang tidak ada” yang tidak dapat dibayangkan. Jangankan untuk membayangkan, menyebutkannya kita tidak bisa. Lain halnya ketika kita menyebut “hantu”, lalu ditambah dengan embel-embel “ia tidak ada”. Sementara dari awal kita sudah tau berdasarkan informasi yang kita terima “sesuatu” itu disebut hantu.  “Yang tidak ada” sejak awal dan untuk seterusnya tidak dapat dipikirkan. Hanya “yang ada” yang dapat dipikirkan. Sebab kita tidak dapat menemukan pemikiran merencanakan, merumuskan akan berbuat sesuatu jika sesuatu itu tidak ada, sehingga tidak dapat dipikirkan.

Konsekuensi “Ada” sebagai Kebenaran

“Yang ada” adalah satu dan tidak terbagi. Pluralitas adalah tidak mungkin (secara pikiran/rasional). Tidak ada sesuatupun yang dapat terpisah dari “yang ada”. Seperti ketika kita mengatakan saya orang/warganegara Indonesia, jika dikaji lagi atau dikerucutkan maka saya adalah orang melayu Riau, dikaji lagi saya akan sampai pada pernyataan bahwa saya tinggal di Kabupaten Rokan Hulu, terus dikaji sampai semua atribut pribadi saya lepas semuanya, maka saya akan sampai pada kesimpulan bahwa saya adalah manusia dan saya ada. 

Menurut Parmenides, yang ada tidak berubah dan tidak dapat dimusnahkan. Hal ini merupakan konsekuensi logis. Selain itu, Parmenides juga memiliki pemikiran yang berbeda dengan filsuf lainnya dalam memandang proses penciptaan alam. Menurut Parmenides, alam ini tidak diciptakan dari api atau air, tapi dari potensi alamiah alam itu sendiri untuk ada yaitu kemungkinan untuk ada menjadi ada, dari yang semula hanya sebagai kemungkinan menjadi real.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...