Minggu, 22 Desember 2019

Pancasila Sebagai Jalan Mewujudkan Tujuan Bernegara


Pancasila Sebagai Jalan Mewujudkan Tujuan Bernegara

Oleh: Syahdi, SH

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Pembicaraan tentang Pancasila belakangan ini semakin semarak bila kita selalu menyimak tayangan di media hari ini. Bahkan Pancasila mendapat kritik keras dari tokoh yang beraliran filsafat politik semisal Rocky Gerung. Dalam salah satu tayangan Indonesia Lawyers Club misalnya Rocky mengatakan bahwa Pancasila tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai sebentuk ideologi negara, juga rumusan antar sila nya saling bertentangan. Kritik terhadap Pancasila bukan suatu hal yang baru, bahkan dalam sejarah perumusannya di kalangan sesama pendiri negara, Pancasila dikritik habis-habisan baik dalam proses perumusan maupun pasca Pancasila ditetapkan menjadi bagian dari UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 yakni dalam rapat-rapat di Majelis Konstituante pada 1957-1959.

Majelis Konstituante sendiri adalah sebuah badan yang dibentuk untuk tugas membahas dan menetapkan UUD yang bersifat tetap untuk menggantikan UUD Sementara Tahun 1950. Sebagaimana kita ketahui bahwa UUD RI telah tiga kali berganti seiiring kondisi politik yang belum stabil yang berdampak pada berubahnya susunan negara dari yang semula Negara Kesatuan dengan konstitusinya UUD 1945 berubah menjadi Negara Serikat dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, dan kembali lagi ke bentuk Negara Kesatuan dengan UUD Sementara Tahun 1950. Walaupun UUD Sementara Tahun 1950 dimaksudkan hanya berlaku sementara saja sampai ditetapkannya UUD yang tetap, praktiknya ia berlaku lebih kurang 9 tahun sejak 1950 sampai dengan 05 Juli 1959, ini adalah kesementaraan yang lama. Dalam dialog tentang ideologi sebagai intelektual kita harus jujur melihat konstruksi ideologis yang di sematkan kepada Pancasila itu, bahwa analisa terhadap Pancasila itu ada ketidak cocokan antar sila dalam Pancasila, misalnya sila pertama dengan sila kedua.

Pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, esensinya menempatkan otoritas dan kedaulatan tuhan diatas segala-galanya. Itu tidak hanya sekedar pengakuan eksistensi tuhan tapi juga menginsyafi bahwa tuhan berkuasa melalui ajaran dan kemarahannya. Sebab itu religiusitas atau agama-agama memiliki derajat yang lebih tinggi pula diatas segalanya. Sedangkan sila kedua ia mulai mengambil model filsafat humanisme yang menjadikan manusia sebagai antroposentrisme kehidupan dan alam semesta. Dalam humanisme manusia dipandang sebagai homo mensura yang berarti manusia ukuran dari segala sesuatu. Dalam sejarah pembicaraan ideologi, humanisme mendapat kritik tajam dari strukturalisme,  bahwa manusia bukan pusat dalam kehidupan,  melainkan manusia hanya salah satu elemen dari sekian elemen dalam sebuah elemen raksasa dalam alam semesta. Jika pada sila pertama negara seharusnya dimaknai condong kepada ketuhanan atau negara agama, sementara pada sila kedua condong kepada pikiran individualistik.

Memang humanisme diakui memberikan pengaruh besar di abad modern karena lembaga-lembaga perlindungan HAM lahir dari humanisme beserta segala ide tentang kemanusiaan juga berkembang pesat berkat terobosan humanisme, tetapi ide-ide kemanusiaan itu dalam perkembangannya menjadi proyek peradaban barat yang bercorak individualisme. Kitapun dalam bernegara menjadi dilematis tentang bagaimanakah kita hendak menterjemahkan konsep HAM itu sendiri di negeri ini. Konsep HAM barat yang bersifat individualistik hampir tidak mempertimbangkan perlindungan kepentingan kolektif. Kritik terhadap Pancasila adalah hal yang lumrah saja di panggung akademik ataupun di ruang publik sebagai bagian dari hak dan kebebasan berpendapat. Sebab dalam praktiknya Pancasila sering dimanfaatkan sebagai legitimasi atau justifikasi rezim yang berkuasa untuk memberangus suara-suara oposisi ataupun lawan-lawan politik, atas nama Pancasila maka semua tukang kritik dapat di penjarakan.

Sebab Pancasila dengan rumusannya yang abstrak dapat ditafsirkan macam-macam sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa, ia adalah seperangkat norma yang open multi interpretatif. Padahal legitimasi rezim bukan bersumber dari Pancasila melainkan dari rakyat, kehendak dan kepentingan rakyatlah yang harus diikuti, ke arah itulah kebijakan dibuat. Terlepas dari perdebatan tentang apakah Pancasila memenuhi syarat sebagai sebentuk ideologi negara ataukah sebaliknya yaitu tidak memenuhi syarat, saya berpendapat bahwa Pancasila baiknya diletakkan dan dipahami sebagai sebuah jalan diantara banyak jalan untuk mewujudkan tujuan bernegara seperti yang tercantum dalam kesepakatan luhur pendiri negara kita, sebagaimana tujuan bernegara itu tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan bernegara dalam pembukaan UUD 1945 yakni melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Singkatnya bahwa tujuan bernegara itu adalah untuk perlindungan, pencerdasan, kesejahteraan serta perdamaian dan keadilan. Ke arah itulah kehidupan berbangsa dan bernegara ditujukan. Dengan pemaknaan seperti ini Pancasila tidak berdiri diatas semua pikiran-pikiran kenegaraan sehingga ia tidak dipandang sebagai yang memiliki sifat superior dan berfungsi mengontrol dan mengendalikan semua pikiran-pikiran warga negara. Pancasila diperlukan dalam kerangka nasionalisme atau nation state. Tetapi nasionalisme pun janganlah hendaknya dibentur-bentukan dengan agama-agama seperti syari'at Islam, sebaliknya nasionalisme seperti yang pernah di ucapkan oleh Haji Omar Said Tjokro Aminoto tidaklah ia mencampakkan ruh Islam dalam bernegara. Sebab kenyataannya Islam tidak hanya sebagai agama dengan pemeluk mayoritas tetapi syari'at Islam sendiri telah hidup dan mengakar dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulunya sampai hari ini.

Sementara itu benar bahwa negara kita tidak berdiri diatas ajaran atau syari'at Islam sebagai dasar negara, melainkan nation state dan nasionalisme telah dipilih sebagai kerangka dasar yang melandasi Pancasila. Nasionalisme mengakomodir dan memfasilitasi peribadatan tiap umat beragama untuk menjalankan agamanya secara bebas tanpa diskriminatif. Membenturkan nasionalisme dengan syari'at Islam adalah kesalahan besar dalam bernegara, dan melekatkan label radikal, ekstrim, intoleran, anti NKRI, anti Kebhinekaan, anti Pancasila semuanya itu adalah perbuatan barbar yang dilakukan oleh rezim barbar akibat ketidakpahamannya tentang nasionalisme, nation state dan syari'at Islam. Selama  nasionalisme, nation state dan syari'at Islam masih dibentur-benturkan maka semakin menjauhkan kita kepada berpikir dan betindak ke arah dan mencapai tujuan bernegara.

Perdebatan amatiran yang diperagakan aktivis penguasa harus segera dihentikan, banyak hal yang prinsipil yang harus dipikirkan. Sudah cukuplah kita menghabiskan energi memperdebatkan hal-hal yang tidak substansial, berhentilah membodoh-bodohi rakyat. Memang benar apa yang dikatakan Hitler, "Penguasa akan sangat senang jika rakyatnya tidak bisa berfikir", ini adalah penyakit yang di derita rezim hari ini.  Jika kita ingin negara ini maju dan rakyat kita sejahtera maka kita harus berfikir luas tidak memelihara pemikiran sempit untuk tujuan dan kepentingan sesaat. Janganlah hendaknya bangsa dan negara yang diperjuangkan dengan tetes darah ini dijadikan barang taruhan dalam perjudian hedonisme dan kapitalisme. Janganlah penguasa menjadi penghianat cita-cita luhur pendiri negara. Jika seperti ini terus kita akan semakin tertinggal dalam peradaban bahkan negara ini bisa hancur di tangan para diktator yang menjadi diktator sebab ketidakpahamannya menyelenggarakan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...