Kamis, 29 Februari 2024

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Beberapa hari pasca pemungutan suara pemilu penggunaan hak angket oleh DPR yang ditujukan pada penyelenggara pemilu bahkan diduga mengarah pada Presiden ramai dibicarakan banyak orang. Hal ini diantaranya disebabkan ketidakpercayaan terhadap hasil perolehan suara pemilu yang saat ini dalam tahapan rekapitulasi yang diduga banyak kecurangan. Koalisi partai politik peserta pemilu Paslon Presiden dan Wakil Presiden Ganjar-Mahfud dan Anis-Muhaimin mendorong agar DPR menggunakan hak angket untuk mengusut dugaan praktik kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. 

Secara konstitusional hak angket diatur dalam Pasal 20A UUD NRI Tahun 1945 bahwa "DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat". Penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau lazim dikenal dengan UU MD3 menyebutkan bahwa "Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan".

Penggunaan hak angket oleh DPR dapat berlanjut pada hak menyatakan pendapat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 79 ayat (4) huruf b UU No. 17 Tahun 2014 bahwa "hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket". Ujung dari penggunaan hak angket adalah hak menyatakan pendapat yang tidak lain merupakan rekomendasi DPR kepada Mahkamah Konstitusi berupa pengajuan permintaan agar Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR.

Jika pada hak interpelasi DPR dapat disebut menjalankan fungsi penyelidikan, maka pada hak angket DPR dapat disebut menjalankan fungsi penyidikan (meskipun UU menyebut penyelidikan). Sementara itu hak menyatakan pendapat akan menjadi rekomendasi untuk mengadili pihak yang menjadi sasaran angket DPR ke peradilan konstitusi atau Mahkamah Konstitusi.

Hanya saja jika hak angket mengenai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan berlanjut hak menyatakan pendapat kemudian meminta agar keabsahan atau legitimasi Presiden dan/atau Wakil Presiden diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, maka jelas hal itu bukan ranahnya MK. Sebab MK tidak memiliki kompetensi absolut memeriksa, mengadili dan memutus dugaan pelanggaran pemilu oleh Presiden. Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 sudah mengunci kewenangan MK. Terkait dengan pemilu, MK hanya berwenang memeriksa dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. 

Lagi pula substansi hak angket adalah untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah. Dalam konteks pemilu, yang melaksanakan undang-undang adalah KPU, Bawaslu dan DKPP, bukan Presiden. Dalam Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang hak angket disebutkan sasaran hak angket adalah pada kebijakan Pemerintah, frasa Pemerintah ditulis dengan huruf "P" kapital yang dimaksudkan adalah pemerintah dalam artian sempit yakni Presiden, bukan pejabat ataupun penyelenggara negara yang lain. 

Lain halnya jika frasa pemerintah ditulis dengan huruf "p" kecil maka menandakan pemerintah dalam artian yang luas yang memungkinkan DPR dapat melakukan angket semua pejabat atau penyelenggara negara. Oleh sebab itulah tidak tepat DPR melakukan angket terhadap penyelenggara pemilu seperti KPU.

Dengan demikian tidak tepat DPR menggunakan hak angket terkait dengan pelaksanaan undang-undang dan atau/kebijakan Pemerintah oleh Presiden ataupun melakukan angket pada penyelenggara pemilu dalam dugaan pelanggaran pemilu. Soal DPR berhak ya secara konstitusional DPR memang berhak melakukan angket. Tapi tidak tepat DPR menggunakan angket untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dalam praktik dugaan pelanggaran pemilu.

Jika memang terdapat dugaan pelanggaran pemilu maka UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menentukan dapat ditempuh melalui prosedur peradilan etik yaitu diselesaikan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) jika KPU dan/atau Bawaslu diduga melakukan pelanggaran etik. Namun jika terdapat dugaan pelanggaran administrasi oleh KPU terkait dengan penghitungan dan rekapitulasi oleh KPU maka dapat diselesaikan oleh Bawaslu. Tetapi jika yang terjadi adalah dugaan pidana pemilu maka penyelesaiannya ada pada Bawaslu dan Sentra Gakkumdu. Sebab itulah saya menilai hak angket DPR tidak tepat ditujukan pada Presiden terlebih lagi pada penyelenggara pemilu dalam konteks dugaan pelanggaran pemilu.*

Kamis, 01 Februari 2024

Para Pemuja Eksistensi

Para Pemuja Eksistensi

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Sungguh sangat menggelikan dan betapa mengerikannya realitas yang kita lihat hari ini, hampir disetiap sudut akan selalu dijumpai orang-orang yang hanya berbakat menata tutur kata sebagus mungkin, membagus-baguskan perangai di depan orang banyak. Kita sedang berhadap-hadapan dengan kondisi betapa orang-orang acuh pada substansi, sibuk membangun eksistensi, membangun simbol, sementara nyaris tanpa ada kerisauan terhadap kondisi masyarakatnya dan nol kadar intelektualitas, bersungguh-sungguh untuk urusan yang main-main sebaliknya bermain-main pada urusan yang harusnya diseriusi. Dimana saja kita jumpai apa yang diucapkan tidak sejalan dengan apa yang diperbuat. Sementara ada rasa bangga bisa menipu orang, menindas dan memperbudak menjadi pakaian kebesaran yang diagung-agungkan. Mereka yang seperti ini isi kepalanya cuma uang, hidup bersenang-senang dan bengis pada orang yang dipandang tidak sejalan dengan kerakusannya. Pembusukan menjadi senjata untuk melumpuhkan orang yang tidak mau bergabung dalam barisannya dan dibawah komandonya. Dengan pembusukan itu dirusaklah sedemikian rupa nama baik dan karakter orang yang berseberangan. 

Manakala orang telah berkumpul ramai, yang dicari bukan persaudaraan melainkan panggung. Diatas panggung itu segala macam pertunjukan kebodohan disajikan. Ini ciri khas pemuja eksistensi yang paling dominan. Betapapun juga kita tidak pula hendak menafikan bahwa yang paling sulit dalam hidup ini adalah menyesuaikan antara ucapan dengan perbuatan. Tetapi ada yang lebih rumit dari itu ialah nalar yang sungguh-sungguh telah runtuh dan ringsek menjadi rongsokan akibat terlampau memuja materi dan gila penghormatan. Tanda bahwa nalar itu ringsek dapat kita lihat betapa ramainya orang yang menyeru pada kebaikan, himbauan-himbauan menjaga hati, menjaga persatuan, dan lain sebagainya. Bak api dalam sekam, ada niat buruk dan kejahatan yang sedang bersekongkol mencoba menenangkan dan mendamaikan keadaan agar kebusukan-kebusukan tersamarkan. Merasa nyaman dengan keadaan yang bobrok adalah penyakit yang tidak ada obatnya. 

Demikian peliknya keadaan kita hari ini lebih kurang seperti yang dikatakan Moh. Hatta, "kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman,  namun tidak jujur itu sulit diperbaiki". Sementara itu bobroknya keadaan memang dirancang dan dibentuk sedemikian rupa maka kita akan melihat pada tampilan luarnya dibungkus dengan retorika yang mengakar pada keserakahan, kecurangan, keangkuhan dan kebodohan. Betapapun juga yang namanya bangkai tetap akan tercium juga dimanapun ia disimpan sebab baunya yang menyengat. Sungguh keanehan yang tidak dapat dirasionalkan manakala orang-orang hobi mengucapkan kata-kata yang mereka sendiri tidak peduli, kata-kata yang mereka tidak paham dan tidak pula mau berpijak di dalamnya. Apa yang disebut dengan "Integritas", "Persatuan","Berkualitas", "Jujur", "Adil", "Amanah", tak dapat dipahami sama sekali. 

Lain dimulut lain di hati lain pula di perbuatan. Hanya saja banyak orang tanpa berpikir hobi mengobral kata-kata itu secara absurd. Tidak ada rasa malu melakukan kecurangan, merasa paling benar, merasa tinggi dan sangat bijak, rakus, arogan menjadi tabi'at. Kalau sudah tabi'at sangat sulit untuk dihilangkan sebab ia sudah mendarah daging. Dimana saja manusia seperti itu hanya akan merusak, menghalangi tumbuhnya pikiran yang sehat, menggembosi, memecah-belah dengan pembusukan-pembusukan. Dia hanya menginginkan puja-puji dan semua orang meyetujui kepongahannya tanpa syarat. Kita tidak habis pikir hingga terkadang muncul dipikiran mengapa ada manusia seperti itu. Ujung dari itu semua hanya akan menggiring kita pada sebuah hipotesis yang tidak pernah tuntas yaitu adanya manusia seperti itu untuk menguji atau musibah yang ditimpakan tuhan kepada masyarakat jika manusia-manusia itu memegang urusan orang banyak. Sebetulnya naiknya orang-orang yang dari sisi kualitas nol, dan dari sisi kelayakan sangat rendah merupakan cerminan dari masyarakat. 

Ditengah masyarakat yang tidak tersentuh literasi, tidak pula tersadarkan dengan nasehat, tidak pula terbangunkan dengan argumentasi moral hanya akan mencetak para pemangku kepentingan yang buruk. Bak pepatah "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Siapa yang menyemai akan menuai hasilnya. Jika tabi'at buruk yang dipelihara dan diwariskan maka kehancuranlah yang akan dituai. Mereka yang masih sehat akal pikirannya, memiliki kerisauan yang bersar tentang kondisi masyarakatnya tidak banyak yang dapat dilakukan melainkan hanya upaya penyadaran yang terus menerus. Tugas inipun tidak mudah. Selain kader-kader intelektual yang peduli soal ini jumlahnya sedikit juga betapa masifnya pembodohan dan pengrusakan yang disebarkan hampir disetiap aspek kehidupan. Mereka yang kerjanya merusak mendominasi dan aktif melakukan pengkaderan yang akan meneruskan tabi'at dan jalan hidup yang menyimpang. 

Di masyarakat kita minim kader-kader intelektual, yang punya kerisauan melakukan perbaikan. Bahkan fungsi pengkaderan itu sendiri tidak banyak dijalankan sehingga idealisme hanya mampu bertahan di jaket almamater mahasiswa saja. Kisah seorang mantan petinggi di salah satu universitas misalnya perlu menjadi pelajaran, manakala ia merasa kesal dengan buruknya pengelolaan perguruan tinggi dan proses pengambilan kebijakan yang juga buruk oleh para penggantinya. Mendengar itu, seorang guru idealisme pun berujar, "Itu kesalahan bapak. Ketika menjabat bapak tidak melakukan pengkaderan orang-orang yang akan meneruskan pikiran, kerisauan dan kepedulian bapak tentang masa depan lembaga ini. Sekarang inilah hasilnya, terima saja". Inilah alam tempat kita hidup dan bernafas yang semerbak dengan dominasi manusia-manusia hipokrit. Kita berlindung kepada Allah-Tuhan Semesta Alam dan berharap dijaga dalam anugerah-Nya yang besar terpelihara dari tabi'at hipokrit yang hanya memikirkan perut belaka. 

Sebab dihadapan para hipokrit sejuta nasehat hanya akan dipahami sebagai kesombongan dan pembangkangan, setinggi apapun argumen moral hanya akan dilabeli sebagai seorang yang belagak bijak, berlagak cerdas. Pada intinya manusia yang demikian itu cerminan yang sempurna sebagai gerombolan anti pikiran sehingga kecil sekali kemungkinan untuk tersadarkan kecuali berkat campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Sebagai kader intelektual yang di dalam dadanya menyimpan kerisauan melihat kondisi masyarakatnya meski betapapun kecilnya, tak peduli meski sebutir pasir sekalipun, perlu untuk kita renungkan apa yang pernah terucap dari lisan seorang yang mulia, "kezhaliman akan tetap ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Melainkan karena diamnya orang-orang baik". Demikian sayyidina Ali bin Abi Thalib mengingatkan kita.

Ketika Nalar Ringsek

Ketika Nalar Ringsek

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Barangkali sudah menjadi sunnatullah terlebih hidup di zaman akhir ini, beberapa orang sepertinya diciptakan Allah hanya untuk menjadi ujian bagi orang lain dengan semua tingkah pongah, kelobaan dan kebebalannya. Ia sanggup berdakwah berpanjang lebar menasehati orang lain. Segala hadits dia baca lengkap dengan syarahnya seakan seorang 'alim berilmu luas. Sementara antara perkataan dan perilakunya terpaut jauh hingga sejauh sidratul muntaha bahkan menyamai jarak ke baitul makmur. Manusia jenis inilah yang harus di dakwahi bukan malah mendakwahi.  Sementara itu janganlah kita lupa teguran Allah dalam Al-Qur'an: "wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Sungguh sangat besar kebencian di sisi allah kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (Q.S. Ash-Shaf: 2-3). Ini bukan hanya sekedar peringatan, tetapi terkandung di dalamnya ajaran tentang konsistensi atau keistiqomahan atau dapat pula dimaknai dalam bahasa pseudo-politis saat ini sebagai ajaran tentang integritas atau moralitas. 

Islam sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar integritas atau moralitas agar manusia dalam hidupnya hendaknya sejalan perkataan dengan perbuatan, berperilaku baik yang berupaya mengimplementasikan syari'at sebagai konsekuensi keberimanan. Bahwa menjadi muslim tidak cukup hanya dengan mengikrarkan syahadat di lisan. Melainkan syahadat itu haruslah diterjemahkan kedalam perbuatan konkret. Terlebih dalam setiap sholat seorang muslim selalu membaca dalam sholatnya: innassholati, wanusuki, wamahyaya, wamamati lillahirabbil'alamin. Yang bila diterjemahkan ialah: sesungguhnya sholatku, dan ibadahku, dan hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Satu sisi ini adalah ajaran tentang penghambaan diri secara total kepada sang khalik bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah beribadah dan mengabdi kepada Allah. 

Di sisi lain sesungguhnya ini tidak lain adalah apa yang masyhur disebut manusia hari ini sebagai pakta integritas. Hanya sedikit sekali muslim yang mampu menginsyafinya. Menghadapi orang-orang yang disebutkan di awal yang mungkin saja keberadaannya di muka bumi ini hanya menjadi ujian belaka bagi orang lain sungguh sangat merepotkan dan menghabiskan banyak energi. Betapa tidak, bawaannya saja selalu sinis melihat orang lain penuh kebencian dengan sebab yang tidak dapat diidentifikasi secara rasional dan objektif, setiap pendapat dianggapnya adalah ancaman. Ini sudah berada pada fase bodoh diatas bodoh yang tidak termakan nasehat. Kendati demikian jika dibiarkan malah semakin bertambah-tambah arogansinya. Ia merasa diri sudah sangat besar, sudah sangat tinggi, merasa sangat berkuasa dan berwibawa. Hal itu tercermin dalam kesehariannya. Semua itu memang hanyalah klaim-klaim saja. Masih saja ia menyangka orang-orang menghormatinya. 

Hanya orang yang lemah analisanyalah yang menjadi pendukung setia. Kalbunya buta bahwa lingkungannya menyumpah-serapahinya sementara ia tiada mengetahuinya. Jika seseorang tempurung kepalanya hanya uang dan kuasa saja maka jadilah dia seorang dungu yang menindas, kerjanya hanya membuat kerusakan demi kerusakan. Bahkan setiap huruf yang keluar dari mulutnya hampir pasti semuanya adalah kebohongan. Memang manusia jenis ini kualitasnya dibangun dengan kemampuan piawai berbohong. Lalu tertipulah orang yang lemah analisanya memandang si dungu itu sebagai seorang yang sangat berwibawa, seorang yang ma'rifat dengan simpati sosial yang tak bertepi. Memberi mahkota pada monyet adalah kesia-siaan. Dan memberi mahkota pada maling adalah sangat berbahaya. Hilangnya kemampuan mempertimbangkan, mengerti baik-buruk, benar-salah (nalar) pada seseorang atau sekelompok orang yang dipercayakan mengurusi kemaslahatan orang banyak memang menjadi tragedi besar mengingat daya rusaknya yang tidak terkira. 

Jika setiap nasehat dan pendapat dianggap sebagai ancaman maka tidak ada kata yang tepat untuk dihidangkan kecuali "perlawanan". Menukil apa yang diucapkan Wiji Tukul yang dihilangkan oleh kekuasaan otoriter: "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: "lawan".  Demikianlah sejatinya kekuasaan yang otoriter harus ditertibkan. Penertiban yang paling efektif untuk itu adalah dengan menghambat, menghalangi para dungu otoriter memimpin di masa yang akan datang. Mereka yang isi kepalanya cuma uang dan uang tidak pantas diberi kuasa memimpin orang banyak. Selama berkuasa hembusan nafasnya seperti orang yang kerasukan berteriak agar pabrik percetakan uang berpindah ke kantongnya. Demikianlah orang yang orientasi hidupnya hanya uang saja. Jika kegilaan pada materi menguasai diri yang terjadi adalah perlombaan dalam kelobaan (kerakusan) penguasaan materi, perampokan untuk hidup berkelimpahan materi dengan segala cara.

Dengan kondisi nalar yang ringsek itu, adab dan akhlakpun turut tercabut dan hilang. Ini tak ubahnya pemandangan kengerian yang tak terperikan. Ini musibah besar yang melanda masyarakat kita dengan segala carut marutnya. Maka cukuplah bagi kita sebagai pengingat untuk direnungkan bahwa apa yang dikatakan seorang sahabat Rasulullah yakni Amar bin Ash sungguh benar adanya, "matinya seribu orang yang beradab lebih kecil mudharatnya ketimbang tenarnya seorang yang dungu". Masalahnya kini si dungu dengan mentalitas maling di banyak tempat diberikan panggung dengan mahkota di kepalanya. Tidak sadarkah kita betapa berbahayanya membiarkan si bodoh yang diberi kuasa bahwa ia hanya menjadi maling, menindas dan membuat kerusakan.

Relasi Materi Dengan Keruntuhan Nalar

Relasi Materi Dengan Keruntuhan Nalar

Oleh: Syahdi 

(Cendekiawan Muslim)

"Menjegal kawan seiiring-menggunting dalam lipatan", demikian bias yang menguap ke atas langit yang menghitam akibat tangan-tangan kotor si bodoh-tamak anti pikiran yang terlahir dari buruknya sistem birokrasi. Kelahiran budak-budak materi yang berpikir serba uang, isi kepalanya cuma uang, bahkan lapisan tempurung kepalanya bahan dasarnya juga terbuat dari uang dimanapun hanya membuat kerusakan demi kerusakan. Keberadaan mereka seakan sudah menjadi takdir sejarah yang merepotkan tetapi mau tidak mau harus dihadapi dan dirobohkan dengan sekuat-kuatnya. Materi dengan segala ritual yang dipersembahkan kepadanya telah menunjukkan daya dobraknya yang besar mengobrak-abrik nilai-nilai luhur yang semula melingkupi masyarakat kita. Begitu memesonanya materi menjadikan para pemujanya jatuh dalam jurang kebodohan yang tidak terkira dalamnya. Orang-orang mendengar derap tapak kaki dan hentakan tongkat menduga-duga seseorang sedang berjalan perlahan menuju mimbar bersiap untuk suatu tujuan atas nama kemaslahatan umum. 

Telah tampak dihadapan kita seseorang dengan jubah kewibawaannya yang terjuntai sepanjang jalan menuju surga tengah bersiap untuk suatu pengumuman penting, dengan segala atribut kebesaran yang dipasangkan di badannya ia mengangkat telunjuknya dan bersyair merdu sekali menyampaikan pesan kehidupan yang cerah dari negeri-negeri kenabian di atas sebuah dataran tinggi di surga firdaus. Katanya, "Wahai sekalian manusia, dengarkanlah aku, menghadaplah dalam khusyuknya suka-cita kepadaku, jangan rakus, jagalah hati, janganlah buruk sangka dan berbusuk hati, bersyukurlah atas betapa baiknya aku, jaga kekompakan dan persaudaraan di tengah umat manusia, jawablah salamku penuh penghormatan, dan kepadakulah kamu sekalian bersimpuh. Akulah keadilan yang kalian cari, akulah persatuan yang kalian risaukan, padakulah segala kewibawaan dan pengharapan hidup yang tentram".

Rekaman syair yang berakar dari dasar hati yang terdalam sungguh terasa menggetarkan sekujur badan, kita terkesima larut dalam ketakjuban yang tak terkatakan keindahannya. Demikianlah budak-budak materi itu mampu menyihir kepala-kepala yang tidak tersentuh dialektika. Para budak itu dengan kerakusannya, kebodohannya, keangkuhannya telah lama terdidik dibawah asuhan materi. Memang harus diakui banyak orang nyaman dengan bobroknya keadaan dan mereka menikmati keadaan itu dengan hati yang gembira. Banyak orang sangat bangga dan ambisius menjadi rakus, bodoh dan angkuh. Mereka menyangka mampu mengontrol semua orang dengan tabiat iblisnya. Mereka menginginkan semua orang tunduk dan bersimpuh dengan penuh pengharapan, berbaris dibawah kebodohan dan kerakusannya.

Buruknya sistem rekrutmen pejabat di birokrasi telah mendatangkan masalah besar yang bertubi-tubi dengan gelombang yang tak terbendung. Model rekrutmen dengan mekanisme seleksi, di disain sedemikian rupa sehingga orang-orang yang layak tidak diperhitungkan. Orang-orang yang loyal sekalipun bodoh dan nol penguasaan keilmuan menjadi pilihan prioritas untuk diketengahkan. Sistem yang buruk dengan orang-orang yang buruk melahirkan para pejabat dengan mentalitas maling dan menindas menjadi penghuni mayoritas di lembaga plat merah di republik ini. Dalam keadaan yang demikian itu, para kacung yang dipakaikan kepadanya otoritas memimpin dan mengelola sumber daya dari hari ke hari hanya melakukan kerusakan demi kerusakan, meng-akal-akali anggaran, merekayasa birokrasi sehingga menggelantung di bawah ketiaknya. Ia merasa risau jika tidak ada pemasukan dan merasa terhinakan hidupnya sebelum mesin percetakan uang Bank Indonesia pindah ke kamar tidurnya mencetak uang yang tidak ada habis-habisnya seperti air laut yang tidak pernah mengering atau seperti air terjun yang selalu riuh berjatuhan setiap saat mengenai mukanya yang memancarkan cahaya keserakahan yang berkilauan. 

Materi dengan keindahannya membius orang-orang lemah lagi rapuh mental dan jiwanya sehingga dengan kerelaan menghibahkan hidupnya menjadi budak. Setelah menjadi budak, materi meng-kayakan para kacungnya, menjadikan para kacung hidup berkelimpahan  atas kepemilikan berbagai harta benda. Kacung itu kemudian menghabiskan tenaganya dengan pertengkaran dan perlombaan memperkaya diri. Bersemangat melakukan pembusukan untuk merusak kebaikan-kebaikan pada diri orang lain. Tidak peduli benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas apa saja akan dilakukan demi membesarkan perutnya. Seseorang jika sudah sampai di tingkat separah itu tidak lagi menghiraukan nasehat, tidak sudi menerima pikiran-pikiran yang sehat. Setiap pikiran dianggap sebagai ancaman dan pembangkangan bagi kewibawaannya, setiap nasehat dipandang sebagai penghinaan. Semua orang dipandang buruk sok bijak, sok cerdas, sok ini-itu. 

Satu-satunya yang ia percayai hanya keserakahan dan kebodohannya yang diyakini membimbingnya kepada hidup yang tenang, nyaman, dan tenteram dalam keberlimpahan materi. Sementara ia senantiasa merasa benar, merasa besar, merasa sedemikian tinggi. Hingga hampir-hampir saja ia berkata sebagaimana Iblis berkata kepada Sang Pencipta mengumpat Adam, "Ana khoirumminhu", atau seperti Fir'aun berkata kepada Musa, "Ana Rabbukumul'ala". Pada diri yang diperbudak materi kemampuan berpikir logis, dan lurus, kemampuan menganalisa dan mempertimbangkan baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas tidak mendapat tempat untuk tumbuh sama sekali. Akumulasi dari kondisi tersebut mengakibatkan hilangnya rasa malu sehingga kacung-kacung itu kemana saja mereka melangkah tidak didapati rasa malu dalam dirinya. Inilah risalah kejatuhan nalar yang membuat nalar menjadi rusak dan ringsek parah. Sementara kacung-kacung itu semakin bertambah idiot setiap harinya. 

Dalam kondisi nalar yang bangkrut itu tidak ada bedanya kacung-kacung itu dengan hewan yang hidupnya hanya memikirkan perut belaka. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya benarlah apa yang dikatakan oleh Buya Hamka, "Kalau hidup hanya sekedar hidup babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja kera juga bekerja". Buya Hamka benar, kata-katanya benar sejak diucapkannya pertama sekali sampai hari ini. Dalam nalar yang bangkrut itu kebaikan, ketulusan hati, kebersihan hati kehilangan tempat terbit sehingga tidak dapat mengorbit sama sekali. Inilah tragedi yang merundungi kondisi masyarakat kita, merusak dan meracuni birokrasi yang dibiayai dari peluh keringat rakyat sepanjang waktu seuumur hidupnya tanpa mereka tau kemana dan untuk apa uang mereka digunakan. Melainkan yang nyata terpampang dihadapan kita hanyalah gambaran tentang eksploitasi, penindasan dan perbudakan yang disemarakkan oleh orang-orang yang diamanahkan mengurusi kepentingan orang banyak.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...