Kamis, 01 Februari 2024

Relasi Materi Dengan Keruntuhan Nalar

Relasi Materi Dengan Keruntuhan Nalar

Oleh: Syahdi 

(Cendekiawan Muslim)

"Menjegal kawan seiiring-menggunting dalam lipatan", demikian bias yang menguap ke atas langit yang menghitam akibat tangan-tangan kotor si bodoh-tamak anti pikiran yang terlahir dari buruknya sistem birokrasi. Kelahiran budak-budak materi yang berpikir serba uang, isi kepalanya cuma uang, bahkan lapisan tempurung kepalanya bahan dasarnya juga terbuat dari uang dimanapun hanya membuat kerusakan demi kerusakan. Keberadaan mereka seakan sudah menjadi takdir sejarah yang merepotkan tetapi mau tidak mau harus dihadapi dan dirobohkan dengan sekuat-kuatnya. Materi dengan segala ritual yang dipersembahkan kepadanya telah menunjukkan daya dobraknya yang besar mengobrak-abrik nilai-nilai luhur yang semula melingkupi masyarakat kita. Begitu memesonanya materi menjadikan para pemujanya jatuh dalam jurang kebodohan yang tidak terkira dalamnya. Orang-orang mendengar derap tapak kaki dan hentakan tongkat menduga-duga seseorang sedang berjalan perlahan menuju mimbar bersiap untuk suatu tujuan atas nama kemaslahatan umum. 

Telah tampak dihadapan kita seseorang dengan jubah kewibawaannya yang terjuntai sepanjang jalan menuju surga tengah bersiap untuk suatu pengumuman penting, dengan segala atribut kebesaran yang dipasangkan di badannya ia mengangkat telunjuknya dan bersyair merdu sekali menyampaikan pesan kehidupan yang cerah dari negeri-negeri kenabian di atas sebuah dataran tinggi di surga firdaus. Katanya, "Wahai sekalian manusia, dengarkanlah aku, menghadaplah dalam khusyuknya suka-cita kepadaku, jangan rakus, jagalah hati, janganlah buruk sangka dan berbusuk hati, bersyukurlah atas betapa baiknya aku, jaga kekompakan dan persaudaraan di tengah umat manusia, jawablah salamku penuh penghormatan, dan kepadakulah kamu sekalian bersimpuh. Akulah keadilan yang kalian cari, akulah persatuan yang kalian risaukan, padakulah segala kewibawaan dan pengharapan hidup yang tentram".

Rekaman syair yang berakar dari dasar hati yang terdalam sungguh terasa menggetarkan sekujur badan, kita terkesima larut dalam ketakjuban yang tak terkatakan keindahannya. Demikianlah budak-budak materi itu mampu menyihir kepala-kepala yang tidak tersentuh dialektika. Para budak itu dengan kerakusannya, kebodohannya, keangkuhannya telah lama terdidik dibawah asuhan materi. Memang harus diakui banyak orang nyaman dengan bobroknya keadaan dan mereka menikmati keadaan itu dengan hati yang gembira. Banyak orang sangat bangga dan ambisius menjadi rakus, bodoh dan angkuh. Mereka menyangka mampu mengontrol semua orang dengan tabiat iblisnya. Mereka menginginkan semua orang tunduk dan bersimpuh dengan penuh pengharapan, berbaris dibawah kebodohan dan kerakusannya.

Buruknya sistem rekrutmen pejabat di birokrasi telah mendatangkan masalah besar yang bertubi-tubi dengan gelombang yang tak terbendung. Model rekrutmen dengan mekanisme seleksi, di disain sedemikian rupa sehingga orang-orang yang layak tidak diperhitungkan. Orang-orang yang loyal sekalipun bodoh dan nol penguasaan keilmuan menjadi pilihan prioritas untuk diketengahkan. Sistem yang buruk dengan orang-orang yang buruk melahirkan para pejabat dengan mentalitas maling dan menindas menjadi penghuni mayoritas di lembaga plat merah di republik ini. Dalam keadaan yang demikian itu, para kacung yang dipakaikan kepadanya otoritas memimpin dan mengelola sumber daya dari hari ke hari hanya melakukan kerusakan demi kerusakan, meng-akal-akali anggaran, merekayasa birokrasi sehingga menggelantung di bawah ketiaknya. Ia merasa risau jika tidak ada pemasukan dan merasa terhinakan hidupnya sebelum mesin percetakan uang Bank Indonesia pindah ke kamar tidurnya mencetak uang yang tidak ada habis-habisnya seperti air laut yang tidak pernah mengering atau seperti air terjun yang selalu riuh berjatuhan setiap saat mengenai mukanya yang memancarkan cahaya keserakahan yang berkilauan. 

Materi dengan keindahannya membius orang-orang lemah lagi rapuh mental dan jiwanya sehingga dengan kerelaan menghibahkan hidupnya menjadi budak. Setelah menjadi budak, materi meng-kayakan para kacungnya, menjadikan para kacung hidup berkelimpahan  atas kepemilikan berbagai harta benda. Kacung itu kemudian menghabiskan tenaganya dengan pertengkaran dan perlombaan memperkaya diri. Bersemangat melakukan pembusukan untuk merusak kebaikan-kebaikan pada diri orang lain. Tidak peduli benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas apa saja akan dilakukan demi membesarkan perutnya. Seseorang jika sudah sampai di tingkat separah itu tidak lagi menghiraukan nasehat, tidak sudi menerima pikiran-pikiran yang sehat. Setiap pikiran dianggap sebagai ancaman dan pembangkangan bagi kewibawaannya, setiap nasehat dipandang sebagai penghinaan. Semua orang dipandang buruk sok bijak, sok cerdas, sok ini-itu. 

Satu-satunya yang ia percayai hanya keserakahan dan kebodohannya yang diyakini membimbingnya kepada hidup yang tenang, nyaman, dan tenteram dalam keberlimpahan materi. Sementara ia senantiasa merasa benar, merasa besar, merasa sedemikian tinggi. Hingga hampir-hampir saja ia berkata sebagaimana Iblis berkata kepada Sang Pencipta mengumpat Adam, "Ana khoirumminhu", atau seperti Fir'aun berkata kepada Musa, "Ana Rabbukumul'ala". Pada diri yang diperbudak materi kemampuan berpikir logis, dan lurus, kemampuan menganalisa dan mempertimbangkan baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas tidak mendapat tempat untuk tumbuh sama sekali. Akumulasi dari kondisi tersebut mengakibatkan hilangnya rasa malu sehingga kacung-kacung itu kemana saja mereka melangkah tidak didapati rasa malu dalam dirinya. Inilah risalah kejatuhan nalar yang membuat nalar menjadi rusak dan ringsek parah. Sementara kacung-kacung itu semakin bertambah idiot setiap harinya. 

Dalam kondisi nalar yang bangkrut itu tidak ada bedanya kacung-kacung itu dengan hewan yang hidupnya hanya memikirkan perut belaka. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya benarlah apa yang dikatakan oleh Buya Hamka, "Kalau hidup hanya sekedar hidup babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja kera juga bekerja". Buya Hamka benar, kata-katanya benar sejak diucapkannya pertama sekali sampai hari ini. Dalam nalar yang bangkrut itu kebaikan, ketulusan hati, kebersihan hati kehilangan tempat terbit sehingga tidak dapat mengorbit sama sekali. Inilah tragedi yang merundungi kondisi masyarakat kita, merusak dan meracuni birokrasi yang dibiayai dari peluh keringat rakyat sepanjang waktu seuumur hidupnya tanpa mereka tau kemana dan untuk apa uang mereka digunakan. Melainkan yang nyata terpampang dihadapan kita hanyalah gambaran tentang eksploitasi, penindasan dan perbudakan yang disemarakkan oleh orang-orang yang diamanahkan mengurusi kepentingan orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...