Rabu, 08 Juli 2020

Putusan MA Tak Pengaruhi Keabsahan Presiden & Wakil Presiden


Putusan MA Tak Pengaruhi Keabsahan Presiden & Wakil Presiden                   

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Belakangan ini muncul berita yang cukup menghebohkan di media sosial tentang Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 44 P/PHUM/2019 yang pada pokoknya mengabulkan judicial review atau uji materi Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019. Dengan keluarnya putusan MA ini oleh sebagian orang menganggap bahwa penetapan Pasangan Calon Presiden & Wakil Presiden terpilih Jokowi-Ma'ruf Amin oleh KPU tidak sah. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Sehingga pasal tersebut dibatalkan oleh MA dan dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Perlu diketahui bahwa Pasal 3 ayat (7) tersebut mengatur tentang perolehan suara yang harus dicapai oleh Pasangan Calon Presiden & Wakil Presiden untuk dapat ditetapkan sebagai Pasangan Calon Presiden & Wakil Presiden terpilih. Pasal 3 ayat (7) tersebut menyatakan, "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih". Ketentuan yang demikian itu juga termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 tentang uji materi Undang-Undang No. 42 Tahun 2008. Dalam putusan tersebut, Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersifat inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon.

Dalam keterangan persnya, komisioner KPU Hasyim Asy'ari menyebut Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 dan UU No. 42 Tahun 2008 menjadi acuan bagi KPU dalam mengambil kebijakan (mencantumkan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU). Sementara itu dalam putusannya Mahkamah Agung menyatakan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat (1). Selengkapnya dapat kita baca dalam diktum putusannya Mahkamah Agung menyatakan, “Mengabulkan permohonan hak uji materiil yang diajukan para pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017".

Adapun Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang dijadikan batu uji dalam uji materil tersebut menentukan bahwa, "Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara sah dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia". Rumusan ketentuan ini  mengadopsi ketentuan Pasal 6A UUD 1945. Kehebohan di media sosial muncul mempersoalkan mengapa putusan Mahkamah Agung tersebut baru dipublikasikan pada 7 Juli 2020 sementara telah diputuskan pada 28 oktober 2019 dan penetapan Presiden & Wakil Presiden telah dilaksanakan pada 30 Juni 2019.

Mengapa setelah 9 bulan KPU menetapkan pasangan calon Presiden & Wakil Presiden terpilih baru MA mempublikasikan putusannya di laman resmi direktori putusan MA. Di balik semua ini ada apa ?. Putusan MA tersebut adalah dasar bahwa penetapan Presiden & Wakil Presiden terpilih yaitu Jokowi-Ma'ruf tidak sah. Demikian persoalan dan pendapat yang mengemuka di media sosial. Terlepas dari polemik dan gejolak di tengah masyarakat yang mengiringi perjalanan perhelatan pilpres, sebagai seorang yang belajar dan mendalami hukum tata negara, saya melihat bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut tidak berpengaruh apapun terhadap keabsahan penetapan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma'ruf oleh KPU.

Sebabnya, pertama, persyaratan perolehan suara yang harus dipenuhi oleh Pasangan Calon Presiden & Wakil Presiden telah dipenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 dan ketentuan Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Kendatipun ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 mengaturnya secara berbeda, namun ketentuan tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 sehingga telah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasangan Calon Presiden & Wakil Presiden terpilih Jokowi-Ma'ruf sudah memenuhi persyaratan perolehan suara sebagaimana termaktub dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017. Hal ini dapat kita ketahui dan pastikan dari data pemungutan dan penghitungan suara yang ada di KPU. 

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan dalam amar putusannya menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dalam perkara penyelesaian perselisihan hasil perolehan suara dalam pilpres yang oleh pemohon di duga kuat terdapat kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Dengan ditolaknya permohonan pemohon dalam hal ini Prabowo-Sandi maka Mahkamah Konstitusi menganggap tidak terbukti ada kecurangan seperti yang dituduhkan. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara hukum memperkuat data hasil pemungutan dan perolehan suara yang ada pada KPU dan secara hukum masalah ini telah selesai. 

Komisioner KPU Hasyim Asy'ari dalam keterangan persnya menyebutkan, pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Maruf Amin mengantongi total suara sah nasional, sebanyak 85.607.362 suara (55,50 persen) dari jumlah suara sah nasional di 34 provinsi maupun suara pemilu di Luar Negeri sebanyak 154.257.601 suara. Sementara itu Paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh suara sah sebesar 68.650.239 suara (44,50 persen). Menurut Pasal 6A UUD 1945, Presiden dan wakil presiden terpilih harus memperoleh suara di setengah jumlah provinsi di Indonesia. Jika 34 provinsi dibagi dua sama dengan 17 provinsi.

Paslon 01 menang di 21 provinsi dengan perolehan suara lebih dari 50 persen di setiap provinsi. Daerah itu antara lain Sumatera Utara, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Utara.

Paslon 02 menang di 13 provinsi dengan perolehan suara lebih dari 50 persen di setiap provinsi. Daerah itu di antaranya, Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara. Kedua, tidak ada urgensi apapun Mahkamah Agung mempublikasikan putusannya setelah 9 bulan perkara uji materil atas ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 tersebut diputuskan. 

Sebab putusan Mahkamah Agung sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan menolak atau dugaan  kecurangan yang dituduhkan tidak terbukti.  Selain itu penting dipahami bahwa dalam hal perkara yang murni judicial review, putusan Mahkamah Agung langsung inkracht van gewisjde atau berkekuatan hukum tetap sejak di ucapkan. Semua putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap kedudukannya setara dengan undang-undang, kekuatan hukum mengikatnya sama kuatnya dengan undang-undang. Bahkan dalam keadaan tertentu, putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde dapat lebih kuat dari undang-undang yaitu mana kala putusan judicial formil yang membatalkan undang-undang. Terlebih lagi putusan Mahkamah Konstitusi, setiap putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding. 

Sebab putusan MK tidak dapat diajukan perlawanan atau upaya hukum lain sejak putusan itu di ucapkan. Lain halnya jika Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan pemohon perselisihan perolehan suara pilpres, sama artinya MK menyatakan perolehan suara terbukti terdapat banyak kecurangan dengan total sekian suara yang tidak sah sebab kecurangan itu. Andai demikian putusan MK, maka KPU harus mematuhi dan menindaklanjutinya dengan mengambil kebijakan yaitu menerbitkan keputusan baru dan membatalkan keputusan yang lama tentang penetapan pasangan calon Presiden & Wakil Presiden terpilih.

Adapun kecurigaan sebagian orang yang heran mengapa putusan MA baru dipublikasikan ke laman resmi direktori putusan MA, sebetulnya tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab ini bukan masalah fatal. Ini hanya soal administrasi MA yang belum tertib. Idealnya memang beberapa hari pasca putusan dibacakan MA langsung mengunggahnya ke laman resmi. Tetapi perlu dipahami bahwa publikasi putusan ke laman resmi direktori MA tujuannya adalah untuk memudahkan akses bagi orang-orang yang profesinya meneliti atau melakukan kajian putusan MA, seperti polisi, jaksa, hakim, advokad maupun LSM.

Dengan demikian tidak perlu harus datang ke MA secara langsung untuk meminta salinan putusan, tapi cukup di akses di laman resmi direktori putusan MA. Lagi pula dipublikasikan atau tidak ke laman resmi MA, toh putusan telah dibacakan dan salinannya diberikan ke pihak pemohon dan disimpan sebagai arsip di bagian dokumentasi dan kearsipan MA. Sebab itu ini bukanlah masalah dalam penegakan hukum, tapi hanya soal tertib administrasi dan bagian dari pelayanan MA untuk memberikan kemudahan akses kepada khalayak ramai agar mudah mengakses dan mempelajari putusan.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...