Jumat, 11 Januari 2019

Prosedur Penanganan Laporan dan Temuan


Prosedur Penanganan Laporan 
dan Temuan 

Oleh: Syahdi, S.H

(Staf Divisi Sengketa 
Bawaslu Kabupaten Kampar)

I. Kata Pengantar 

Tidak bermaksud jumawa atau arogan, insya allah saya jauh dari fikiran-fikiran seperti itu. Tulisan ini adalah refleksi dari kepekaan dan rasa tanggung jawab sebagai orang yang ditempatkan pada posisi staf divisi sengketa Bawaslu Kabupaten Kampar. Artinya, secara langsung terlebih dalam masa kampanye pemilihan umum ini saya bersentuhan langsung dengan persoalan pelanggaran kampanye pemilihan umum. 

Sebab itu tanggung jawab moral mengharuskan saya untuk pro aktif dalam hal semacam ini. Idealnya, Panwaslu dibekali dengan pelatihan teknis terkait prosedur penanganan pelanggaran secara konkret yaitu setidaknya staf divisi penindakan pelanggaran dan staf divisi sengketa ditugaskan untuk memberikan pelatihan langsung turun ke Panwaslu Kecamatan atau Panwaslu Kecamatan dapat diinstruksikan untuk datang ke Sekretariat Bawaslu Kabupaten Kampar pada hari-hari tertentu dan berjadwal misalnya pada hari libur untuk dibekali pelatihan secara langsung. 

Karena itu saya fikir, ketimbang kita gaduh dan menghabiskan energi, menurut pendapat saya, demi arifnya penyelesaian masalah ini akan lebih baik Bawaslu Kabupaten Kampar mengambil kebijakan yang diperlukan. Hal seperti ini tidak bisa selesai dengan Bimtek atau Rakor, tetapi perlu ada upaya konkret. Kalau Bimtek atau Rakor itu adalah upaya penyamaan atau penyatuan persepsi secara konseptual terhadap suatu regulasi. Itu hanya ada pada wilayah paradigma (pola pikir), dan akhirnya hanya mengambang dalam alam fikir belaka, sulit atau tidak dapat langsung di implementasikan dalam praktik.

Hari ini kita lihat bahwa ketika kasus pelanggaran pemilu sampai di atas meja Panwaslu, masalahpun muncul yaitu perihal teknis terkait prosedur penanganan pelanggaran baik itu dalam bentuk laporan ataupun temuan oleh pihak pengawas pemilu sendiri khususnya oleh Panwaslu Kecamatan. Tidak pula saya bermaksud mengkerdilkan Panwaslu, tidak ada fikiran ke arah itu. Sebagian besar tentu di beberapa Panwaslu ada yang telah berpengalaman menggeluti semaraknya pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah, sehingga sudah terbiasa dan tidak ada kecanggungan lagi melaksanakan tugas-tugas pengawasan pemilihan umum. 

Tetapi untuk sebagian Panwaslu lainnya di Kabupaten Kampar tentu saja ada yang relatif masih baru mengenal dan mulai berinteraksi dengan tugas-tugas pengawasan pemilihan umum, karena itulah ketika dihadapkan dengan sengketa atau hal-hal prosedural mengenai penanganan laporan dan temuan pelanggaran dalam kampanye pemilihan umum muncul masalah yang jika dibiarkan dapat menghambat tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari lembaga pengawas pemilihan umum sendiri. 

Akhirnya Bawaslu Kabupaten Kamparpun ikut kewalahan dan kelabakan. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan jangkauan pengetahuan saya di bidang pemilihan umum,  tulisan ini tentu saja tidak dapat dan tidak layak diperlakukan sebagai pedoman seperti bukunya Prof. Andi Hamzah (Pakar Hukum Pidana) yang menjadi pedoman bagi seluruh Kepolisian, dan Kejaksaan termasuk oleh KPK dan Advokad/Pengacara dalam memahami dan menyelesaikan perkara-perkara pidana. Demikian juga tulisan ini tidak dapat dijadikan pedoman bagi Panwaslu Kecamatan se-Kabupaten Kampar dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran dalam kampanye pemilihan umum. 

Tetapi setidaknya ada sesuatu yang perlu dilakukan, dan sebagai sumbangsih pemikiran dengan segala kekurangan yang ada saya mencoba memberanikan diri hadir menawarkan gagasan, setidaknya dengan tulisan ini kiranya dapat meringankan masalah prosedural seperti ini. Dalam menghidangkan tulisan ini, saya berusaha untuk menyampaikan dengan pembahasan sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh Panwaslu. Akhirnya dengan segala kekurangan dan keterbatasan pengetahuan pada diri saya, dengan kerendahan hati saya menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekeliruan atau kesalahan. Karena itu tulisan ini terbuka untuk kritik, saran atau masukan yang konstruktif. 

II. Pelanggaran Pemilu

Mengenai defenisi pelanggaran pemilu ini dapat kita ambil rujukan Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu.

Pelanggaran pemilu adalah tindakan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu (Pasal 1 angka 26).

III. Jenis-Jenis Pelanggaran Pemilu

Tentang jenis-jenis pelanggaran pemilu dan hal lainnya rujukan yang saya pakai untuk menjelaskan hal ini adalah Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2018. 

Undang-undang pemilu maupun perbawaslu mengklasifikasikan (mengelompokkan) pelanggaran pemilu kedalam beberapa jenis yaitu pelanggaran etika penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilu dan pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya.

Pelanggaran etika penyelenggara pemilu yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyelengara pemilu seperti KPU dan Bawaslu termasuk Panwaslu. 

Pelangggaran administrasi pemilu adalah perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dan setiap tahapan penyelenggaraan pemilu (Pasal 1 angka 28).

Dari ketentuan pasal ini dapat kita ketahui bahwa pelanggaran administrasi pemilu itu dapat saja dilakukan oleh peserta pemilu ataupun oleh KPU.

Tindak pidana pemilu adalah pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemilu (Pasal 1 angka 30).

Khusus untuk klasifikasi jenis pelanggaran pemilu berupa pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya, yang dimaksudkan peraturan perundang-undangan lainnya adalah peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilu seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa maupun peraturan menteri lainnya seperti peraturan menteri hukum dan ham (Permenkumham), serta peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres), peraturan daerah (Perda) yang ada relevansinya (kaitannya) dengan pelanggaran dalam kampanye pemilihan umum.

Adapun diskresi atau peraturan kebijakan seperti surat, surat edaran, juklak, juknis, maklumat, pemberitahuan, serta semua keputusan administratif yang dikeluarkan oleh lembaga/pejabat negara tidak terkecuali oleh KPU dan Bawaslu tidak termasuk kedalam jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Sebab untuk sebagian diksresi seperti yang disebutkan dimuka serta keputusan administratif bukanlah peraturan  perundang-undangan. Karena itu melanggar diskresi dan keputusan administratif tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya.

1. Pelapor dan Terlapor

Sebelum saya menjabarkan tentang prosedur penanganan laporan dan temuan pelanggaran pemilu, maka ada baiknya beberapa hal penting saya terangkan disini yaitu perihal legal standing (kedudukan hukum) Pelapor dan Terlapor. 

A. Pelapor

Yang berhak menjadi pelapor atau pihak-pihak mana yang berhak melaporkan telah terjadinya dugaan pelanggaran pemilu adalah: WNI yang mempunyai hak pilih, peserta pemilu dan/atau pemantau pemilu.

Jadi hanya tiga pihak ini sajalah yang mempunyai legal standing (kedudukan hukum) yang berhak menjadi pelapor. WNI yang dimaksud adalah WNI yang mempunyai hak pilih yaitu telah genap berusia 17 tahun pada saat hari pemilihan umum maupun yang telah menikah walaupun belum berumur 17 tahun atau sudah pernah menikah walaupun ahirnya bercerai. Tambahan syarat lain untuk WNI yang berhak menjadi pelapor adalah terdaftar sebagai pemilih di DPT. Hal ini harus benar-benar dipahami agar tidak menimbulkan mal-administrasi oleh pengawas pemilu.

Adapun Peserta pemilu yang dimaksud adalah partai politik yang terdaftar sebagai peserta pemilu, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Calon Anggota DPD.

Sementara itu objek (hal) yang dilaporkan oleh pelapor adalah peristiwa dugaan pelanggaran pemilu, meminta kepada pengawas pemilu untuk menindaklanjutinya.

Perihal laporan ini hendaknya jangan disepelekan, jangan dipandang remeh. Sebab laporan menjadi keharusan bagi pengawas pemilu secara hukum dan dalam batas waktu yang ditentukan untuk segera menindaklanjutinya. Khusus kepada petugas penerima laporan, sebelum laporan itu diberi nomor register, pertama-tama harus ditanya betul-betul perihal apa objek (hal) peristiwa yang dilaporkan itu secara komprehensif (lengkap/ menyeluruh). 

Jika dipandang layak untuk ditindaklanjuti berdasarkan rapat pimpinan dan anggota pengawas pemilu sekurang-kurangnya yang membidangi penindakan pelanggaran dan sengketa (pada Bawaslu, untuk Panwaslu sebaiknya ketua dan anggota) maka barulah dapat diberi nomor register. Karena itu harus ada rapat dahulu untuk membahasnya. Jangan langsung diberi nomor register tiap laporan yang disampaikan. Sebab konsekuensi hukum jika laporan sudah diberi nomor register maka timbullah kewajiban hukum bahwa laporan tersebut harus ditindak lanjuti sampai peristiwa dugaan pelanggaran yang dilaporkan itu selesai diproses di internal lembaga pengawas pemilu.

Jika belum diberi nomor register, maka pengawas pemilu relatif dapat lebih leluasa dan belum terikat kepada keharusan hukum serta batasan waktu untuk menindaklanjutinya. Tetapi laporan yang dibiarkan lama tanpa ada kejelasan penyelesaian juga tidak baik sebab akan memberi citra buruk kepada pengawas pemilu dan menimbulkan rasa kecewa dari pihak yang berkepentingan atau yang dirugikan haknya dalam pemilihan umum merasa laporannya diabaikan.

"Mendiamkan" laporan tanpa ada kejelasan dan penjelasan kepada publik sangat bertentangan dengan anutan asas kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan kita dalam berhukum. Karena itu pulalah membuka ruang bagi pengawas pemilu untuk dikenakan sanksi etik oleh lembaga pengawas dan penegak norma etik yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

B. Terlapor

Pihak terlapor dugaan pelanggaran administratif pemilu yaitu: calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten/kota), Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, tim kampanye dan penyelenggara pemilu (Pasal 22).

IV. Prosedur Penanganan Laporan dan Temuan Pelanggaran

Prosedur penanganan laporan dan temuan pelanggaran dilakukan berdasarkan Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2018 sebagai peraturan induk (peraturan yang utama dan dijadikan acuan dasar). Jika pelanggaran itu merupakan jenis pelanggaran administratif maka selain merujuk kepada Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2018, Panwaslu juga merujuk kepada Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu.

Demikian juga jika pelanggaran itu merupakan jenis pelanggaran tindak pidana pemilu maka Panwaslu merujuk kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Tetapi jika pelanggaran itu timbul dalam diri pengawas pemilu baik sengaja atau karena kelalaian maka pihak yang merasa dirugikan akan merujuk kepada  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2018 memuat semua form yang dibutuhkan oleh pengawas pemilu dalam hal ini khusus kepada Panwaslu untuk melakukan tertib administrasi mulai dari menerima laporan, membuat undangan klarifikasi, berita acara klarifikasi, hasil kajian dugaan pelanggaran, rekomendasi kepada Bawaslu, serta melakukan upaya penerusan semua form_nya tercantum dalam Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2018 pada bagian Lampiran yang dimuat pada bagian akhir pasal-pasal setelah ketentuan penutup.

Dari pemaparan itu, dapat saya kemukakan semua prosedur atau tata cara yang memuat rincian (proses) atau tahapan apa yang akan dilalui oleh Panwaslu, yaitu:

1. Jika berupa Laporan, maka Laporan diterima lebih dahulu. Bisa langsung dicatat dalam buku registrasi penerimaan laporan bisa juga tidak. Sebaiknya tiap laporan yang masuk atau yang disampaikan, Panwaslu harus meminta kepada pelapor untuk menerangkan atau menjelaskan objek atau peristiwa yang dilaporkan itu. Panwaslu harus aktif dan vokal mengajukan pertanyaan guna mendapatkan dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang dibutuhkan agar kelak dapat menjadi bahan kajian dan pertimbangan dalam rapat untuk menentukan layak atau tidaknya ditindaklanjuti.

Untuk menentukan layak atau tidak layak untuk ditindaklanjuti, indikatornya (tolak ukur) adalah terpenuhinya syarat formil dan syarat materil sebuah laporan. Mengenai syarat formil dan materil dapat dibaca dalam peraturan Bawaslu  dalam tulisan ini. Andai terdapat dugaan yang kuat dan Panwaslu berkeyakinan bahwa telah terpenuhi syarat formil dan syarat materil maka laporan dapat dicatat dalam buku registrasi penerimaan laporan pelanggaran.

Ingat, dicatat dalam "Buku Registrasi Penerimaan Laporan Pelanggaran", bukan membubuhkan nomor register pada form Laporan!!!. Karena itu Panwaslu harus menyediakan sebuah buku khusus untuk mencatat tiap laporan yang masuk. Penting dipahami bahwa prinsipnya (pada dasarnya), mencatat tiap laporan pelanggaran dalam Buku Registrasi tidak mesti menunggu syarat formil dan syarat materil terpenuhi lebih dahulu. Andaipun laporan telah dicatat dalam Buku Registrasi tetapi setelah dilakukan rapat atau kajian internal ternyata ada diantara syarat formil atau diantara syarat materil tidak terpenuhi, maka tinggal dicatat dalam kolom keterangan pada Buku Registrasi bahwa laporan tidak memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti.

Untuk menindaklanjuti laporan harus terpenuhi syarat formil dan syarat materil. Andai salah satu saja diantara syarat formil maupun salah satu diantara syarat materil tidak terpenuhi maka laporan tidak dapat ditindaklanjuti. Pembahasan laporan dan keputusan yang menyatakan bahwa laporan tidak dapat ditindaklanjuti tersebut diambil dalam rapat atau kajian internal Panwaslu setelah laporan itu diterima dan dicatat dalam Buku Registrasi serta setelah para saksi dan terlapor diminta keterangannya.

Jika menurut hasil kajian tersebut Panwaslu berkesimpulan bahwa laporan tidak memenuhi syarat maka itu dicantumkan dalam form hasil kajian dugaan pelanggaran dengan menyebut secara jelas syarat yang tidak terpenuhi itu dilengkapi dengan alasan mengapa tidak terpenuhinya syarat dimaksud. Dalam hal menurut hasil kajian internal Panwaslu bahwa suatu laporan tidak memenuhi syarat, maka hal itu disampaikan kepada pelapor dan terlapor. Itu dilakukan guna menjunjung tinggi asas kepastian hukum, agar para pihak (pelapor dan terlapor) mendapat kejelasan, tidak merasa penyelesaian laporan itu terkatung-katung tidak jelas ujungnya, serba mengambang.

Jika berupa temuan, Panwaslu dapat langsung melakukan rapat/kajian untuk menentukan terpenuhinya syarat formil dan syarat materil. Jika hasil kajian mengambil kesimpulan bahwa temuan itu memenuhi syarat formil dan syarat materil, maka Panwaslu mencatat temuan itu dalam Buku Registrasi Temuan Pelanggaran.

Buku Registrasi ini dapat dalam dua buku yang terpisah antara Buku Registrasi Penerimaan Laporan Pelanggaran dan Buku Registrasi Temuan Pelanggaran masing-masing tersendiri, dapat juga dalam satu Buku Registrasi Penerimaan Laporan dan Temuan Pelanggaran. Itu pilihan praktis. Setelah itu Panwaslu membuat undangan klarifikasi, masing-masing satu undangan klarifikasi untuk terlapor dan satu undangan klarifikasi untuk saksi. Beberapa hal yang perlu dipahami terkait dengan permintaan klarifikasi ini  adalah:

1. Pemeriksaan terlapor dan saksi

Pemeriksaan terlapor dan saksi untuk di dengar keterangannya harus dilakukan pada hari kerja, tidak boleh pada bukan hari kerja termasuk tidak boleh dilakukan pada hari libur kalender. 

2. Waktu Klarifikasi

Selain memperhatikan mengenai hari kerja dan hari-hari libur kalender, waktu (pukul,jam) yang ditentukan dalam surat undangan klarifikasi harus sesuai dengan pertimbangan kewajaran dan kepatutan. Misalnya para pihak  (terlapor dan saksi) dalam surat klarifikasi tidak diminta datang ke Sekretariat Panwaslu pada waktu yang terlampau pagi yaitu antara pukul 06.00-09.00 wib. Juga sebaiknya menghindari waktu istirahat kerja bagi terlapor atau saksi yang mempunyai kesibukan kerja pada institusi tertentu yaitu antara pukul 12.00-13.00 wib. Demikian juga jangan sampai diminta datang pada malam hari, bukan hanya tidak wajar tapi juga tidak etis sekalipun dilakukan pada hari kerja kalender pengawas pemilu.

3. Perihal waktu klarifikasi para saksi

Jika saksi lebih dari satu orang. Panwaslu dapat membuat pilihan yaitu dalam masing-masing surat undangan klarifikasi, saksi diminta datang pada hari yang berbeda. Misalnya saksi Hariyono dalam undangan klarifikasi diminta kedatangannya pada hari Senin, pukul 10.00 wib, dan saksi Agung dalam undangan klarifikasi diminta kedatangannya pada hari Selasa, pukul 10.00 wib. Itu opsi (pilihan) yang pertama.

Pilihan yang kedua, para saksi dalam undangan klarifikasi dapat diminta kedatangannya pada hari yang sama tetapi waktunya berbeda. Misalnya saksi Hariyono pada hari Senin, pukul 10.00 wib. Dengan memperhatikan kemungkinan tidak datang tepat waktu dan kemungkinan lamanya waktu yang digunakan untuk pemeriksaan, maka saksi Agung pada hari Senin, pukul 15.00 wib.

Memang harus diakui bahwa opsi kedua ini biasanya selalu tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan dalam hari yang sama itu diantara para saksi hanya datang seorang saja dan itupun datang pada waktu untuk pemeriksaan saksi yang lain. Lain hal jika para saksi tidak datang sama sekali, maka tinggal dikirim surat undangan klarifikasi yang kedua.

Jika sudah dua kali dikirim surat undangan klarifikasi ternyata baik saksi ataupun terlapor tidak datang, maka Panwaslu melakukan kajian internal untuk menilai, menganalisa dan menentukan keterpenuhan syarat formil dan syarat materil. Dan mengenai tindak lanjut hasil kajian ini dapat dibaca dalam pemaparan sebelumnya.

Mungkin muncul pertanyaan, kenapa pemeriksaan para saksi perlu di bedakan waktunya baik hari maupun pukul/jam nya, itu tak lain untuk menjamin bahwa keterangan yang diberikan itu benar-benar objektif menurut kesaksiannya melihat secara langsung, atau mendengar secara langsung suatu peristiwa yang menjadi objek laporan. Jika para saksi telah datang, Panwaslu mesti memeriksa satu persatu saksi itu.

Ketika memeriksa seorang saksi, saksi yang lain hendaknya tidak ada dalam ruangan itu agar  saksi yang sedang diminta keterangannya tidak di dengar oleh saksi yang lain. Sebab jika sesama saksi hadir dalam satu ruangan pemeriksaan sementara saksi diperiksa satu persatu secara bergantian, maka dikhawatirkan keterangan saksi yang akan diperiksa terpengaruh oleh keterangan saksi yang sedang diperiksa.

Akibatnya keterangan yang diberikan itu tidak lagi objektif. Apalagi para saksi itu mereka ternyata berteman dekat dan mungkin pula berteman dekat dengan terlapor. Kalau sudah seperti itu keadaannya maka sulit diharapkan keterangan saksi akan objektif. Karena itulah sedapat mungkin orang yang akan dimintai keterangan sebagai saksi tidak memiliki ikatan apapun baik ikatan keluarga, pertemanan, maupun terikat dalam satu hubungan kerja. Andaipun pemeriksaan terhadap para saksi dilakukan pada hari yang sama tidak secara bergantian dan pada jam yang sama, tetap harus dilakukan pada ruangan yang berbeda. Sedapat mungkin masing-masing saksi itu tidak saling mendengar keterangan saksi yang lain.

4. Berita Acara Klarifikasi (BAK)

BAK dibuat setelah keterangan yang disampaikan terlapor dan para saksi telah dinyatakan cukup. Misalnya baru pada undangan klarifikasi yang pertama Panwaslu berpendapat telah cukup keterangan yang diperlukan, maka Panwaslu dapat segera membuat pada hari itu juga BAK. Untuk terlapor dan saksi atau para saksi BAK-nya dibuat masing-masing per/orang. Tidak boleh digabung dalam satu BAK. Itu akan mengacaukan administrasi, itu mal-administrasi (melanggar administrasi).

Tetapi jika permintaan keterangan klarifikasi belum cukup hanya dengan satu kali klarifikasi, maka dapat diminta klarifikasi untuk yang kedua kalinya bahkan untuk yang kesekian kalinya lebih dari tiga kali. Asalkan pada tiap-tiap undangan klarifikasi para pihak yang diundang itu selalu datang memberikan keterangannya yang diperlukan. Tetapi jika para pihak tidak datang secara berturut-turut pasca dikirim undangan klarifikasi sebanyak dua kali undangan klarifikasi, maka Panwaslu tidak dapat mengirim undangan klarifikasi untuk ketiga kalinya.

Hal itu dimaksudkan sebagai pertimbangan Bawaslu dalam Peraturan Bawaslu bahwa para pihak yang mangkir itu dianggap tidak memiliki itikad baik, dan demi menjaga wibawa Bawaslu maka undangan klarifikasi untuk yang ketiga kalinya ditiadakan. Sebab para pihak dengan cara itu dapat mempermainkan pengawas pemilu dengan mengabaikan undangan klarifikasinya.

Bedanya dengan panggilan penyidik kepolisian, jika tersangka tidak datang memenuhi panggilan penyidik maka penyidik dapat memaksa tersangka datang ke kantor kepolisian dengan cara membawa secara paksa. Bahkan mangkirnya itu dapat berdampak pada pemberatan sanksi pidana dalam pemeriksaan sidang pengadilan sebab tidak menunjukkan itikad baik selama dalam proses pemeriksaan. Sedangkan Bawaslu termasuk Panwaslu tidak punya upaya paksa seperti itu, jika undangan klarifikasi pengawas pemilu tidak diindahkan dua kali berturut-turut maka solusi atas ketiadaan itikad baik para pihak adalah dengan melakukan kajian internal pengawas pemilu.

5. Hasil Kajian Internal Dugaan Pelanggaran Pemilu

Dari mulai tahapan klarifikasi, pembuatan BAK para pihak, dan  hasil kajian internal Panwaslu semuanya dicantumkan dalam form yang tercantum dalam bagian Lampiran Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2018.  Soal kajian internal ini saya tidak akan mengulanginya sebab telah banyak disinggung dalam pembahasan sebelumnya.

6. Penerusan

Jika hasil kajian internal Panwaslu berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran administratif, maka Panwaslu menyampaikan hal itu kepada Bawaslu Kabupaten. Bawaslu Kabupaten akan mempelajari dan melakukan pembahasan internal mengenai hasil kajian Panwaslu. Jika Bawaslu berkesimpulan bahwa terlapor telah melakukan pelanggaran administratif maka Bawaslu akan berikirim surat kepada institusi tempat terlapor bekerja supaya atasan terlapor memberikan teguran atau sanksi administratif sesuai dengan undang-undang tentang aparatur sipil negara.

Perlu dipahami bahwa dalam hal pelanggaran administratif, terlapor adalah pegawai negeri sipil baik seorang guru ataupun pegawai negeri sipil di institusi pemerintahan daerah. Selain itu terlapor adalah seorang kepala desa atau perangkat desa. Jika kepala desa maka Bawaslu akan berkirim surat ke Bupati agar terlapor dikenai sanksi administratif sesuai dengan undang-undang tentang aparatur sipil negara. Demikian juga jika terlapor seorang perangkat desa, maka Bawaslu akan berkirim surat kepada Kepala Desa agar terlapor dikenai sanksi administratif sesuai dengan undang-undang pemilu, ataupun undang-undang tentang desa.

Tetapi jika menurut hasil kajian internal Panwaslu bahwa telah terjadi pelanggaran tindak pidana pemilu maka Panwaslu menyampaikan hal itu kepada Bawaslu Kabupaten dengan membawa semua barang bukti, semua berkas pemeriksaan dari awal sampai akhir, melengkapi berkas-berkas yang belum lengkap. Selanjutnya Bawaslu akan melakukan kajian internal, setelah kajian internal rampung dan Bawaslu berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran tindak pidana pemilu maka Bawaslu membahas hal itu dengan sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri dari unsur Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan di kantor sekretariat Bawaslu.

Segala keterangan dan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembahasan dan pemeriksaan Gakkumdu akan melibatkan Panwaslu kecamatan yang bersangkutan. Jika Gakkumdu berkesimpulan telah terjadi tindak pidana maka Gakkumdu melalui kepolisian akan mempersiapkan semua berkas yang diperlukan untuk dilimpahkan ke kejaksaan. Hingga semua berkas dinyatakan lengkap, oleh kejaksaan akan disusun surat dakwaan untuk membawa perkara itu ke pengadilan untuk diperiksa sampai keluarnya putusan pengadilan. Demikianlah alurnya bagi Panwaslu dalam melakukan penanganan laporan dan temuan pelanggaran pemilu agar dapat dipahami.

Senin, 07 Januari 2019

Perihal Keterangan Ahli Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu


Perihal Keterangan Ahli Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

Oleh: Syahdi

Beragam dinamika dalam masa kampanye pemilihan umum khususnya penanganan suatu perkara yang sudah mulai mengarah pada upaya pro yusticia semakin menarik untuk dibicarakan. Semakin banyak muncul "masalah" semakin banyak pula yang dapat dituangkan dalam tulisan. Penulis itu pemikir, sebab menulis itu aktifitas berfikir, menganalisa, menghindari penyembahan/ketundukan kepada arogansi dan pemikiran picik baik yang dimunculkan oleh peraturan ataupun yang disemburkan melalui kebijakan. Tulisan ini bermaksud sebagai respon semangat intelektualitas seorang intelektual terhadap proses penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu yang sedang ditangani oleh sentra penegakan hukum terpadu atau Gakkumdu Kabupaten Kampar. Tulisan ini merujuk kepada proses beracara pidana menurut KUHAP, sebab memang hukum formil yang digunakan oleh Gakkumdu adalah KUHAP.

Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu pada Bagian Ketujuh tentang Penuntutan Pasal 28 masih terdapat kekurangan. Mestinya ditambahkan satu ayat lagi yaitu ayat (6) yang berisi penegasan bahwa proses pemeriksaan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu di Pengadilan Negeri dilakukan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ahli itu menurut disiplin bidang keilmuan sangat banyak seperti ahli di bidang Hukum Pidana, ahli di bidang Hukum Tata Negara, ahli di bidang bahan-bahan Kimia tertentu, ahli bedah, ahli organ dalam tubuh seperti ahli jantung, ahli paru-paru dan lain sebagainya. Demikian juga dengan apa yang diatur di dalam KUHAP.

Dalam KUHAP pengaturan tentang keterangan ahli terlalu ringkas dan sangat sumir, sehingga tidak ada acuan yang jelas dan konkret tentang kriteria atau kualifikasi ahli. Ahli memberikan keterangan berdasarkan keahliannya dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Sementara bidang ilmu atau disiplin ilmu itu ada banyak jumlahnya dan bercabang-cabang. Dalam hukum saja misalnya, hukum itu dibedakan lagi kedalam Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, Hukum Bisnis, Hukum Internasional. Demikian juga dalam flsafat, dikenal ada pula Filsafat Ilmu, Filsafat Ketuhanan, Filsafat Umum dan lain sebagainya. Apalagi di bidang fisika dan kimia tentu lebih banyak lagi pembidangan-pembidangan. Karena itu dalam konteks peradilan pidana seorang ahli hanya akan diminta keterangannya baik dalam pemeriksaan penyidikan maupun pemeriksaan persidangan berdasarkan bidang keilmuannya terkait dengan tindak pidana yang sedang terjadi.

I. Kriteria Seorang Ahli

Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya mengatur bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang  yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

KUHAP tidak mengatur kriteria konkret seseorang yang dapat ditunjuk atau dimintai keterangan sebagai ahli baik untuk hal yang diperlukan dalam pemeriksaan penyidikan maupun dalam pemeriksaan persidangan. Oleh karena KUHAP tidak mengaturnya, maka dalam praktik tumbuh kebiasaan dalam penegakan hukum bahwa mengenai hal itu diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berperkara untuk menghadirkan seseorang sebagai ahli guna diminta keterangannya. Kendatipun demikian, dalam pemeriksaan persidangan hakim berperan penting memberikan penilaian bahwa seseorang layak atau tidaknya di dengar keterangannya sebagai ahli. Peran ahli melalui keterangannya sangat penting bagi hakim, bahkan keterangan ahli dapat berpengaruh terhadap putusan yang akan diambil. Walaupun dalam hukum pembuktian keterangan ahli sebagai alat bukti bernilai sebagai alat bukti bebas, artinya hakim tidak terikat kepada keterangan ahli.

II. Nilai Pembuktian Keterangan Ahli

Suatu keterangan dapat bernilai sebagai keterangan ahli jika keterangan yang disampaikan itu murni berdasarkan bidang keilmuan yang ditekuninya, di dukung oleh dalil-dalil ilmiah dan kerangka teoritis yang jelas dan relevan dengan perkara yang sedang diperiksa. Selain itu keterangan yang diberikan itu harus lepas dari unsur subjektifitas atau partial (memihak) secara subjektif kepada salah satu pihak yang berperkara. Keterangan yang diberikan diluar pemeriksaan persidangan tidak bernilai sebagai keterangan ahli. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 186 KUHAP yaitu, "keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan". Tetapi jika ahli tidak dapat hadir dalam persidangan maka pendapat atau keterangan ahli dapat dituangkan dalam bentuk tertulis. Secara yuridis keterangan seperti ini disebut Visum et Repertum. Hanya harus dipahami bahwa keterangan yang diberikan secara tertulis nilai keterangannya lemah tidak seperti ketika ahli datang dan di dengar keterangannya secara langsung di persidangan. Mengapa lemah sebab dapat berdampak pada keyakinan hakim. 

Seorang ahli dengan kehadirannya di muka hakim, hakim menjadi lebih yakin bahwa keterangan itu memang murni diberikan oleh ahli berdasarkan bidang keilmuannya serta hakim dapat leluasa berinteraksi langsung dengan ahli jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan lebih komprehensif supaya perkara yang sedang diperiksa menjadi terang adanya. Keyakinan hakim sangat penting dalam menentukan ke arah mana suatu perkara yang sedang diperiksa itu akan diputuskan. Bahkan Pasal 183 KUHAP menegaskan, "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dengan demikian, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan yaitu:

1. Minimal pembuktian yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Keabsahan suatu alat bukti akan ditentukan dalam pemeriksaan persidangan pengadilan. Jika alat bukti berupa keterangan ahli maka sebelum ahli diminta keterangannya maka hakim akan menanyakan identitas, latar belakang pendidikannya serta bidang ilmu yang ditekuninya untuk memastikan bahwa seseorang benar-benar qualified untuk di dengar keteranganya sebagai ahli. Adapun mengenai alat bukti seperti mana termaktub dalam Pasal 184 KUHAP yaitu: 
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

2. Keyakinan hakim

Karena itulah mengapa keyakinan hakim itu sangat penting dan menentukan putusan yang akan diambil. Kayakinan hakim tidak hanya diperoleh atau muncul dalam diri hakim berdasarkan hasil mendengarkan keterangan ahli, tapi juga dari hasil pemeriksaan alat bukti lainnya seperti diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

3. Kesalahan Terdakwa

Untuk menentukan seorang terdakwa bersalah atau tidaknya tergantung kepada hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan, dan hakimlah yang menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Jika pelakunya subjek hukum natural person/naturlikj persoon yaitu manusia maka selalu mengacu kepada asas geen straf zonder schuld yang artinya tiada pidana (hukuman) tanpa kesalahan untuk menentukan mensrea dari suatu reus actus yang dilakukan terdakwa. Dan kesalahan itu ada yang berupa dolus (kesengajaan) dan ada yang berupa culpa atau kelalaian/kecerobohan. Dolus dan culpa juga sangat menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim kepada terdakwa.

Tapi jika terdakwa adalah recht person yaitu subjek hukum bukan manusia seperti korporasi atau badan hukum maka untuk menentukan kesalahan atau mensrea berkembang beberapa teori yaitu:
1. strict liability;
2. vicarious liability;
3. identifikasi;
4. agregasi;
5. Gabungan.

Strict liability/pertanggung jawaban langsung dan vicarious liability/pertanggung jawaban pengganti adalah bentuk penyimpangan terhadap asas geen straft zonder schuld, menganggap korporasi tidak mempunyai kesalahan. Mengenai syarat penjatuhan putusan pemidanaan ini, undang-undang kekuasaan kehakiman merumuskan dengan redaksi yang berbeda dari apa yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dan ada syarat lain yang harus diperhatikan oleh hakim.  Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, "Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya".

Poin yang ditambahkan sebagai syarat adalah.. " seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab...". Ini penting bahwa tidak semua orang dapat dipidana meskipun syarat minimal pembuktian telah terpenuhi dan hakim telah memperoleh keyakinan bahwa terdakwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan pembuktian persidangan telah bersalah melakuan perbuatan pidana yang didakwakan atas dirinya. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa klasifikasi orang yang dikecualikan dari menanggung beban pertanggungjawaban pidana, yaitu orang yang terganggu jiwanya, ingatannya atau lazim disebut gila dan semacamnya, anak-anak, orang tua renta yang sudah pikun. Mereka dianggap tidak cakap dan tidak mungkin dapat bertanggung jawab atau diminta pertanggung jawaban pidana atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. 

III. Kualifikasi Ahli

Mengingat KUHAP tidak mengatur secara konkret tentang orang yang dapat diminta keterangan sebagai ahli, maka dalam praktek telah berkembang suatu kebiasaan yang tumbuh dan terpelihara dalam praktek peradilan. Kebiasaan yang demikian itu dalam ilmu hukum berlaku sebagai sumber hukum, ia tidak ubahnya seperti undang-undang. Bahwa dalam perspektif ilmu hukum, sumber hukum itu tidak hanya undang-undang atau peraturan perundang-undangan, tetapi juga dikenal yurisprudensi, traktat, doktrin dan konvensi atau kebiasaan. Menurut kebiasaan yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik peradilan bahwa kualifikasi ahli itu diantaranya meliputi:

1. Sekurang-kurangnya bergelar Magister dalam bidang yang ditekuninya dengan strata pendidikan linear. Misalnya S1 nya Hukum Pidana, maka S2 nya pun juga mengambil bidang Hukum Pidana.

2. Telah pernah diminta keterangannya sebagai ahli dalam strata pendidikan sekurang-kurangnya bergelar Magister atau dianggap cakap dan kualitas keilmuannya diakui.

3. Berpengalaman mengajar atau berprofesi sebagai dosen selama beberapa tahun minimal 2 sampai 5 tahun mengajar bidang ilmu yang ditekuni.

4. Tidak memiliki kepentingan atau lepas dari kepentingan para pihak, termasuk tidak berafiliasi dalam suatu hubungan kerja dengan para pihak serta tidak memiliki pertalian darah dengan para pihak. Hal itu penting untuk menjamin bahwa keterangan yang diberikan ahli memang murni berdasarkan keahliannya pada disiplin ilmu yang ditekuninya.

Terkait dengan penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu oleh Gakkumdu Kabupaten Kampar, saya memperhatikan dengan seksama dan hati-hati bagaimana proses atau tata cara yang ditempuh oleh Gakkumdu. Ada beberapa catatan saya yang perlu dikemukakan sebagai respon intelektual dan sumbangsih pemikiran, yaitu hasil kajian Gakkumdu yang buntu tidak tercapai kesepakatan sebab adanya persepsi-persepsi yang berbeda antara unsur Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam Gakkumdu tentang dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu. Akibat belum ada kesatuan pemahaman itu maka Bawaslu sebagai unsur yang tergabung dalam Gakkumdu menawarkan usul untuk melakukan koordinasi konsultasi atau kunjungan kepada Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran (Kordiv PP) Bawaslu Provinsi Riau. Dan usul itu diterima secara aklamasi tanpa ada usul lainnya. Selanjutnya, unsur Bawaslu yang tergabung dalam Gakkumdu mengusulkan untuk menjumpai pihak Komisi Pemilihan Umum Provinsi Riau guna diminta keterangannya sebagai ahli untuk menjelaskan soal ada atau tidak adanya pelanggaran tindak pidana pemilu.

Cara-cara seperti ini menurut saya tidak bijak, keduanya terkesan memaksakan dan personil Gakkumdu seakan tidak memahami proses beracara di pengadilan. Saya melihat Gakkumdu belum begitu memahami tentang hakikat keberadaan dirinya sendiri. Harus dipahami bahwa Gakkumdu itu tidak hanya dari unsur Bawaslu, tapi juga terdiri dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan. Karena itu tidak relevan upaya pro justicia untuk di konsultasikan dengan Kordiv PP Bawaslu Provinsi Riau. Sah-sah saja jika cara itu dilakukan tetapi hendaknya tidak atas nama Gakkumdu, tetapi atas nama Bawaslu Kabupaten Kampar. Sebab konsultasi, kunjungan atau apapunlah namanya, itu sepihak Bawaslu. Dan hasil konsultasi itu hanya akan melahirkan pendapat sepihak Bawaslu, bukan pendapat Gakkumdu. Akan lebih baik andai konsultasi ke Kordiv PP Bawaslu Provinsi Riau tetap juga ingin dilakukan tetapi konsultasi itu mesti dilakukan juga ke institusi Kepolisian dan Kejaksaan. Itu baru proporsional (berimbang), dan konsultasi itu akan menghasilkan pendapat konkret Gakkumdu, bukan pendapat sepihak Bawaslu. Jika hanya pendapat sepihak Bawaslu maka kualitas hasil kunjungan atau konsultasi itu nyata bersifat subjektif belaka.

Yang kedua, terkait dengan keterangan ahli, orang yang diminta keterangannya atau pendapatnya sebagai ahli tidak boleh berafiliasi dengan penyelenggara pemilu. Kita sama-sama pahamlah saya fikir bahwa Bawaslu ingin agar ada kasus pelanggaran tindak pidana pemilu bisa sampai ke pengadilan, lalu kita disorot Bawaslu Provinsi dan kalau bisa inginnya dijadikan percontohan oleh Bawaslu kabupaten lainnya di Riau. Saya fikir semangat seperti ini perlu kita kobarkan bersama dan nantinya tentu kita mengharapkan akan ada apresiasi dari Bawaslu Provinsi Riau. Tetapi Bawaslu mesti memikirkan jauh kedepan, yaitu andai perkara ini sampai ke pengadilan lalu mentah dengan putusan bebas (vrijspraak), Bawaslu hanya akan merasakan lelahnya saja menangani perkara ini sampai sejauh itu. Kita tahu bahwa vrijspraak tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, dan berlakulah asas nebis in idem bahwa orang yang sama tidak dapat diadili dalam perkara yang sama untuk kedua kalinya. Vrijspraak terjadi karena dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti atau tidak cukup terbukti.

Hal itu dapat disebabkan bahwa alat bukti tidak qualified, tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah sehingga minimal pembuktian tidak terpenuhi. Seperti keterangan ahli, belum hakim mendengar keterangan ahli, ahli akan ditanya terlebih dahulu oleh hakim tentang latar belakang pendidikan, maupun profesinya untuk menentukan layak tidaknya ia menjadi ahli. Jika ahli yang dihadirkan tidak qualified misalnya berafiliasi dengan penyelenggara pemilu apalagi sebagai penyelenggara pemilu seperti pejabat struktural dalam kepengurusan Komisi Pemilihan Umum maka jelas orang yang seperti itu tidak layak di dengar keterangannya sebagai ahli. Sebab dikhawatirkan atau diragukan objektifitas keterangannya, sebab dirinya sendiri sebagai pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini tentu akan sangat merugikan Bawaslu sebagai pihak dalam Gakkumdu yang memprakrasai menghadirkan ahli yang berafiliasi dengan penyelenggara pemilu di pengadilan.

Andai ahli tidak dihadirkan di persidangan pengadilan pun, yaitu hanya dengan mengajukan visum et repertum Bawaslu juga akan dirugikan, sebab ahli yang memberikan keterengan secara langsung di persidangan akan berbeda nilai pembuktiannya sebagai alat bukti dibandingkan dengan jaksa penuntut umum hanya membacakan visum et repertum. Seperti telah dijelaskan dimuka, hal itu akan berdampak pada keyakinan hakim dalam menilai dan menjatuhkan putusan. Dari gerbong suara intelektual ini saya hanya hendak menyampaikan aspirasi dan spirit law enforcement agar Bawaslu bijak menangani persoalan seperti ini sehingga ada kewibawaan kita dalam berbangsa dan bernegara yang benar.

Rabu, 02 Januari 2019

Billboard, Alat Peraga Kampanye Antara Pajak atau Retribusi


Billboard, Alat Peraga Kampanye Antara Pajak atau Retribusi

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Tulisan ini berupaya mengemukakan apa adanya tentang apa yang sebenarnya menurut pengaturan dalam undang-undang. Tiap tulisan yang saya buat semuanya murni legal analysis (analisis hukum). Walaupun sekilas agaknya judul tulisan ini tampak kontradiktif dengan realitas yang tampil kepermukaan, bahwa praktik yang terlihat sama sekali tidak tampak ada kemelut seperti judul pada tulisan ini. Tetapi kemelut itu baru dapat dirasakan dan muncul setelah kita membaca Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Pajak dan Retribusi adalah dua hal yang berbeda karena itu undang-undang memisahkan keduanya dengan membuat judul "Pajak dan Retribusi Daerah".  Jika kita bersikeras mengatakan billboard itu masuk kedalam klasifikasi retribusi maka pemahaman kita terhadap retribusi harus merujuk kepada defenisi yang diberikan oleh undang-undang dan bagaimana undang-undang menjabarkan dan mengatur soal retribusi. Demikian juga jika kita bersikukuh mengatakan bahwa billboard itu masuk kedalam klasifikasi pajak, maka kita harus melihat bagaimana undang-undang mengaturnya.

Sebab itulah maka tulisan ini saya buat untuk memecah deadlock persepsi dengan menjawab persoalan ini dalam perspektif undang-undang terkait. Billboard atau dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut reklame papan seperti telah disinggung adalah salah satu jenis Alat Peraga Kampanye menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Hanya belakangan ini muncul persepsi yang berbeda dari Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau menyikapi soal billboard ini. Menurut persepsi Bawaslu Provinsi Riau billboard adalah retribusi. Bahkan telah diambil kesepakatan bersama oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau bahwa billboard adalah retribusi.

Kesepakatan itu diambil atas dasar pemahaman terhadap Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 1990 Tahun 2018. Adapun mengenai kedudukan hukum (legal standing) kesepakatan yang diambil Bawaslu Provinsi dan Bawaslu se-Provinsi Riau telah saya jelaskan dan silahkan baca lebih lengkap dalam tulisan "Adagium Segala Sesuatu Itu Boleh Selama Tidak Dilarang Perlu Penjernihan". Bahwa kesepakatan yang demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan kepada pelanggarnya baik Bawaslu Kabupaten/Kota, maupun Panwaslu tidak dapat dikenai sanksi hukum apapun. Adapun bagi partai politik Peserta Pemilu secara hukum tidak terikat kepada kesepakatan itu.

Sejak kesepakatan itu diambil maka Bawaslu Kabupaten/Kota bersama Satpol PP Kabupaten/Kota mulai gencar melakukan penertiban atau pembongkaran billboard peserta pemilu. Melihat hal itu, sebagai seorang intelektual, saya punya kebebasan secara pribadi menilai sesuatu masalah yang muncul di bidang hukum dan menyampaikan pikiran terkait dengan masalah tersebut. Intelektual punya tanggung jawab moral yang bersumber dari bidang ilmu yang digelutinya sehingga kepekaan dalam berhukum mendorongnya untuk menerangkan hal itu kepada publik.

Soal billboard ini, muncul pertanyaan apakah sudah tepat kesepakatan Bawaslu mengklasifikasikan billboard sebagai retribusi, apakah billboard itu retribusi ataukah pajak. Kalau dibaca Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 1990 Tahun 2018 tersebut secara eksplisit tidak dijumpai perkataan bahwa billboard adalah retribusi. Yang disebutkan pada point 7 Surat Edaran tersebut adalah bahwa "Peserta Pemilu, Pelaksana Kampanye, dan Tim Kampanye dilarang memasang Alat Peraga Kampanye yang dikenakan retribusi kecuali yang difasilitasi dengan ketetapan KPU". Hanya itu, tetapi billboard dimasukkan kedalam klasifikasi retribusi itu atas dasar kesepakatan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu se-Provinsi Riau yang diprakarsai oleh Bawaslu Provinsi Riau dalam memahami Surat Edaran tersebut.

Untuk mendudukkan persoalan ini, yaitu apakah billboard itu termasuk kedalam klasifikasi Pajak atau Retribusi maka saya akan paparkan beberapa pasal atau ketentuan penting yang langsung berkaitan dengan hal ini secara proporsional (berimbang) berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

I. Pajak

Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa Pajak Daerah selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh seseorang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung  dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau termasuk kontrak investasi kolektif dalam bentuk usaha tetap;

Terkait dengan jenis pajak, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur ada beberapa jenis pajak yaitu:

Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan;
e. Pajak Rokok.

Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Mengenai defenisi atau apa yang dimaksud dengan jenis pajak tersebut dapat dibaca dalam Ketentuan Umum Pasal 1.

Selanjutnya, beberapa hal dalam Ketentuan Umum perlu dikemukakan yaitu:

Pasal 1 angka 26 menyatakan bahwa Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame;

Pasal 1 angka 27 menyatakan bahwa Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum;

Pasal 44 menyatakan bahwa Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak.

Selanjutnya, Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame;

Pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame papan/billboard/videotron/ megatron dan sejenisnya;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat, stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame suara;
i.  Reklame film/slide; dan
j. Reklame peragaan.

Pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame;

Pasal 48 ayat (3) menyatakan bahwa Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut;

Pasal 48 ayat (4) menyatakan bahwa Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak;

II. Retribusi

Pasal 1 angka 64 menyatakan bahwa Retribusi Daerah selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan;

Pasal 108 ayat (1) menyatakan bahwa Objek Retribusi adalah:
1. Jasa Umum;
2. Jasa Usaha; dan
3. Perizinan Tertentu.

Mengenai defenisi Objek Retribusi tersebut dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 66, angka 67, dan angka 68.

Selanjutnya mengenai apa-apa sajakah yang termasuk kedalam klasifikasi Objek Retribusi diatur dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 110 ayat (1) menyatakan bahwa jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan;
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
e. Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum;
f. Retribusi Pelayanan Pasar;
f. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
g. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
h. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
i. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
j. Retribusi Pengelolaan Limbah Cair;
k. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
l. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
m. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

Selanjutnya, Pasal 127 menyatakan bahwa Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
c. Retribusi Tempat Pelelangan;
d. Retribusi Terminal;
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
f. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa;
g. Retribusi  Potong Hewan;
h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
i. Retribusi Rekreasi dan Olahraga;
j. Retribusi Penyeberangan di Air; dan
k. Retribusi Pejualan Produksi Usaha Daerah.

Pasal 141 menyatakan bahwa jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Tempat Penjualan Minuman Berakohol;
c. Retribusi Izin Gangguan;
d. Retribusi Izin Trayek; dan
e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.

Dengan memperhatikan ketentuan yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi,  kiranya sudah sangat jelas bahwa billboard termasuk kedalam klasifikasi Objek Pajak Reklame, bukan merupakan Retribusi atau Objek Retribusi seperti yang dipahami oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se- Provinsi Riau. Penegasan dalam undang-undang ini bahwa billboard adalah Pajak Reklame, maka kemelut dan polemik tentang ini mestinya telah terjawab.

Karena itu saya fikir Bawaslu harus segera mengambil sikap mengingat kekeliruan selama ini menganggap billboard adalah retribusi atau objek retribusi. Sebab jika dibiarkan terus maka peluang semua komisioner Bawaslu se-Provinsi Riau terbuka untuk dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), terutama komisioner Bawaslu Provinsi Riau sebab memprakarsai pengambilan kesepakatan bersama dengan seluruh komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota se- Provinsi Riau atas Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 1990 Tahun 2018 yang berakibat dianulirnya norma dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 serta merugikan hak Peserta Pemilihan Umum.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan pada Pasal 44 dan Pasal 48 ayat (1) seperti dikemukakan dimuka, dalam konteks pemasangan Alat Peraga Kampanye, undang-undang memberikan keleluasaan bahwa pihak yang dapat menyelenggarakan reklame atau dengan kata lain pihak yang dapat mengelola reklame adalah orang pribadi, Badan dan pihak ketiga. Orang pribadi dalam konteks pemasangan Alat Peraga Kampanye adalah Calon Anggota legislatif, sementara Badan dalam konteks ini adalah partai politik Peserta Pemilu, dan pihak ketiga adalah swasta seperti perusahaan yang bergerak di bidang reklame.

Adapun mengenai nilai sewa penggunaan reklame oleh orang pribadi, Badan dan pihak ketiga dapat dibaca dalam Pasal 49 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Satu hal yang saya sebagai intelektual merasa heran dengan gaya dialog yang sering diperankan oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota baik dalam Rapat Kerja Teknis (Rakernis), Bimbingan Teknis (Bimtek) atau kegiatan yang sejenis adalah hobi membuat kesepakatan bersama, bukan justru mengedepankan sikap kritis dengan menganalisa secara komprehensif dan menyampaikan hasil analisa itu dalam dialog konsolidasi internal Bawaslu.

Celakanya kesepakatan bersama itu bersifat ultra vires (melampaui kewenangan) sehingga menganulir sebagian norma dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Padahal, Peraturan Komisi Pemilihan Umum itu peraturan perundang-undangan dan jangkauan berlaku mengikatnya nasional.

Sedangkan kesepakatan bersama itu bukan peraturan perundang-undangan, melainkan lebih tepat disebut peraturan kebijakan atau diskresi. Pengenyampingan norma dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang. Tidak bisa dikesampingkan secara sepihak oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau.

Menurut pendapat saya, kalau memang benar kita ingin menegakkan kepastian hukum dalam pengawasan kampanye pemilihan umum ini maka undang-undang pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, peraturan Bawaslu beserta peraturan perundang-undangan terkait kampanye pemilihan umum harus dilaksanakan, bukan justru membuat kesepakatan bersama seperti itu dan lebih memilih melaksanakan kesepakatan bersama yang bersifat ultra vires itu. Saya fikir itu tidak baik bagi berbangsa dan bernegara yang benar.



Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...