Rabu, 02 Januari 2019

Billboard, Alat Peraga Kampanye Antara Pajak atau Retribusi


Billboard, Alat Peraga Kampanye Antara Pajak atau Retribusi

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Tulisan ini berupaya mengemukakan apa adanya tentang apa yang sebenarnya menurut pengaturan dalam undang-undang. Tiap tulisan yang saya buat semuanya murni legal analysis (analisis hukum). Walaupun sekilas agaknya judul tulisan ini tampak kontradiktif dengan realitas yang tampil kepermukaan, bahwa praktik yang terlihat sama sekali tidak tampak ada kemelut seperti judul pada tulisan ini. Tetapi kemelut itu baru dapat dirasakan dan muncul setelah kita membaca Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Pajak dan Retribusi adalah dua hal yang berbeda karena itu undang-undang memisahkan keduanya dengan membuat judul "Pajak dan Retribusi Daerah".  Jika kita bersikeras mengatakan billboard itu masuk kedalam klasifikasi retribusi maka pemahaman kita terhadap retribusi harus merujuk kepada defenisi yang diberikan oleh undang-undang dan bagaimana undang-undang menjabarkan dan mengatur soal retribusi. Demikian juga jika kita bersikukuh mengatakan bahwa billboard itu masuk kedalam klasifikasi pajak, maka kita harus melihat bagaimana undang-undang mengaturnya.

Sebab itulah maka tulisan ini saya buat untuk memecah deadlock persepsi dengan menjawab persoalan ini dalam perspektif undang-undang terkait. Billboard atau dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut reklame papan seperti telah disinggung adalah salah satu jenis Alat Peraga Kampanye menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Hanya belakangan ini muncul persepsi yang berbeda dari Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau menyikapi soal billboard ini. Menurut persepsi Bawaslu Provinsi Riau billboard adalah retribusi. Bahkan telah diambil kesepakatan bersama oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau bahwa billboard adalah retribusi.

Kesepakatan itu diambil atas dasar pemahaman terhadap Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 1990 Tahun 2018. Adapun mengenai kedudukan hukum (legal standing) kesepakatan yang diambil Bawaslu Provinsi dan Bawaslu se-Provinsi Riau telah saya jelaskan dan silahkan baca lebih lengkap dalam tulisan "Adagium Segala Sesuatu Itu Boleh Selama Tidak Dilarang Perlu Penjernihan". Bahwa kesepakatan yang demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan kepada pelanggarnya baik Bawaslu Kabupaten/Kota, maupun Panwaslu tidak dapat dikenai sanksi hukum apapun. Adapun bagi partai politik Peserta Pemilu secara hukum tidak terikat kepada kesepakatan itu.

Sejak kesepakatan itu diambil maka Bawaslu Kabupaten/Kota bersama Satpol PP Kabupaten/Kota mulai gencar melakukan penertiban atau pembongkaran billboard peserta pemilu. Melihat hal itu, sebagai seorang intelektual, saya punya kebebasan secara pribadi menilai sesuatu masalah yang muncul di bidang hukum dan menyampaikan pikiran terkait dengan masalah tersebut. Intelektual punya tanggung jawab moral yang bersumber dari bidang ilmu yang digelutinya sehingga kepekaan dalam berhukum mendorongnya untuk menerangkan hal itu kepada publik.

Soal billboard ini, muncul pertanyaan apakah sudah tepat kesepakatan Bawaslu mengklasifikasikan billboard sebagai retribusi, apakah billboard itu retribusi ataukah pajak. Kalau dibaca Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 1990 Tahun 2018 tersebut secara eksplisit tidak dijumpai perkataan bahwa billboard adalah retribusi. Yang disebutkan pada point 7 Surat Edaran tersebut adalah bahwa "Peserta Pemilu, Pelaksana Kampanye, dan Tim Kampanye dilarang memasang Alat Peraga Kampanye yang dikenakan retribusi kecuali yang difasilitasi dengan ketetapan KPU". Hanya itu, tetapi billboard dimasukkan kedalam klasifikasi retribusi itu atas dasar kesepakatan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu se-Provinsi Riau yang diprakarsai oleh Bawaslu Provinsi Riau dalam memahami Surat Edaran tersebut.

Untuk mendudukkan persoalan ini, yaitu apakah billboard itu termasuk kedalam klasifikasi Pajak atau Retribusi maka saya akan paparkan beberapa pasal atau ketentuan penting yang langsung berkaitan dengan hal ini secara proporsional (berimbang) berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

I. Pajak

Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa Pajak Daerah selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh seseorang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung  dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau termasuk kontrak investasi kolektif dalam bentuk usaha tetap;

Terkait dengan jenis pajak, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur ada beberapa jenis pajak yaitu:

Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan;
e. Pajak Rokok.

Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Mengenai defenisi atau apa yang dimaksud dengan jenis pajak tersebut dapat dibaca dalam Ketentuan Umum Pasal 1.

Selanjutnya, beberapa hal dalam Ketentuan Umum perlu dikemukakan yaitu:

Pasal 1 angka 26 menyatakan bahwa Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame;

Pasal 1 angka 27 menyatakan bahwa Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum;

Pasal 44 menyatakan bahwa Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak.

Selanjutnya, Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame;

Pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame papan/billboard/videotron/ megatron dan sejenisnya;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat, stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame suara;
i.  Reklame film/slide; dan
j. Reklame peragaan.

Pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame;

Pasal 48 ayat (3) menyatakan bahwa Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut;

Pasal 48 ayat (4) menyatakan bahwa Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak;

II. Retribusi

Pasal 1 angka 64 menyatakan bahwa Retribusi Daerah selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan;

Pasal 108 ayat (1) menyatakan bahwa Objek Retribusi adalah:
1. Jasa Umum;
2. Jasa Usaha; dan
3. Perizinan Tertentu.

Mengenai defenisi Objek Retribusi tersebut dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 66, angka 67, dan angka 68.

Selanjutnya mengenai apa-apa sajakah yang termasuk kedalam klasifikasi Objek Retribusi diatur dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 110 ayat (1) menyatakan bahwa jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan;
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
e. Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum;
f. Retribusi Pelayanan Pasar;
f. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
g. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
h. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
i. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
j. Retribusi Pengelolaan Limbah Cair;
k. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
l. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
m. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

Selanjutnya, Pasal 127 menyatakan bahwa Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
c. Retribusi Tempat Pelelangan;
d. Retribusi Terminal;
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
f. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa;
g. Retribusi  Potong Hewan;
h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
i. Retribusi Rekreasi dan Olahraga;
j. Retribusi Penyeberangan di Air; dan
k. Retribusi Pejualan Produksi Usaha Daerah.

Pasal 141 menyatakan bahwa jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Tempat Penjualan Minuman Berakohol;
c. Retribusi Izin Gangguan;
d. Retribusi Izin Trayek; dan
e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.

Dengan memperhatikan ketentuan yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi,  kiranya sudah sangat jelas bahwa billboard termasuk kedalam klasifikasi Objek Pajak Reklame, bukan merupakan Retribusi atau Objek Retribusi seperti yang dipahami oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se- Provinsi Riau. Penegasan dalam undang-undang ini bahwa billboard adalah Pajak Reklame, maka kemelut dan polemik tentang ini mestinya telah terjawab.

Karena itu saya fikir Bawaslu harus segera mengambil sikap mengingat kekeliruan selama ini menganggap billboard adalah retribusi atau objek retribusi. Sebab jika dibiarkan terus maka peluang semua komisioner Bawaslu se-Provinsi Riau terbuka untuk dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), terutama komisioner Bawaslu Provinsi Riau sebab memprakarsai pengambilan kesepakatan bersama dengan seluruh komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota se- Provinsi Riau atas Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 1990 Tahun 2018 yang berakibat dianulirnya norma dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 serta merugikan hak Peserta Pemilihan Umum.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan pada Pasal 44 dan Pasal 48 ayat (1) seperti dikemukakan dimuka, dalam konteks pemasangan Alat Peraga Kampanye, undang-undang memberikan keleluasaan bahwa pihak yang dapat menyelenggarakan reklame atau dengan kata lain pihak yang dapat mengelola reklame adalah orang pribadi, Badan dan pihak ketiga. Orang pribadi dalam konteks pemasangan Alat Peraga Kampanye adalah Calon Anggota legislatif, sementara Badan dalam konteks ini adalah partai politik Peserta Pemilu, dan pihak ketiga adalah swasta seperti perusahaan yang bergerak di bidang reklame.

Adapun mengenai nilai sewa penggunaan reklame oleh orang pribadi, Badan dan pihak ketiga dapat dibaca dalam Pasal 49 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Satu hal yang saya sebagai intelektual merasa heran dengan gaya dialog yang sering diperankan oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota baik dalam Rapat Kerja Teknis (Rakernis), Bimbingan Teknis (Bimtek) atau kegiatan yang sejenis adalah hobi membuat kesepakatan bersama, bukan justru mengedepankan sikap kritis dengan menganalisa secara komprehensif dan menyampaikan hasil analisa itu dalam dialog konsolidasi internal Bawaslu.

Celakanya kesepakatan bersama itu bersifat ultra vires (melampaui kewenangan) sehingga menganulir sebagian norma dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Padahal, Peraturan Komisi Pemilihan Umum itu peraturan perundang-undangan dan jangkauan berlaku mengikatnya nasional.

Sedangkan kesepakatan bersama itu bukan peraturan perundang-undangan, melainkan lebih tepat disebut peraturan kebijakan atau diskresi. Pengenyampingan norma dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang. Tidak bisa dikesampingkan secara sepihak oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau.

Menurut pendapat saya, kalau memang benar kita ingin menegakkan kepastian hukum dalam pengawasan kampanye pemilihan umum ini maka undang-undang pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, peraturan Bawaslu beserta peraturan perundang-undangan terkait kampanye pemilihan umum harus dilaksanakan, bukan justru membuat kesepakatan bersama seperti itu dan lebih memilih melaksanakan kesepakatan bersama yang bersifat ultra vires itu. Saya fikir itu tidak baik bagi berbangsa dan bernegara yang benar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...