Selasa, 25 Desember 2018

Hak Pemilih Gangguan Jiwa Dalam Pemilihan Umum


Hak Pemilih Gangguan Jiwa 
Dalam Pemilihan Umum

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Iklim dunia pemilihan umum kembali bergemuruh sejak beberapa tahun terakhir ini, dan yang terbaru adalah soal partisipasi  orang yang mengalami gangguan jiwa dimasukkan kedalam Daftar Pemilih Tetap oleh Komisi Pemilihan Umum sehingga dapat menggunakan haknya dalam pemilihan umum yaitu pada hari pemungutan suara. Banyak pihak dibuat heran dan bingung dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum ini, banyak pertanyaan bernada kritik muncul menyikapi soal ini. Dibalik semua itu kebijakan yang diambil oleh Komisi Pemilihan Umum tidaklah semata-mata diambil atas dasar inisiatif sendiri, melainkan Komisi Pemilihan Umum hanya melaksanakan putusan judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor: 135/PUU-XIII/2015 tentang inkonstitusionalitas persyaratan warga negara Indonesia yang dapat didaftarkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum sebagaimana termaktub pada Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 57 ayat (3) huruf a tersebut menyatakan bahwa persyaratan Warga Negara Indonesia yang dapat di daftarkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum adalah "tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya".

Yang bertindak sebagai Pemohon dalam judicial review Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut adalah Perhimpunan Jiwa Sehat, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPU Penca), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam petitumnya meminta agar hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945  dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian: menyatakan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan  UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "terganggu jiwa/ingatannya" tidak dimaknai sebagai "mengalami gangguan jiwa dan/atau ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum".

Yang menarik dalam putusan judicial review tersebut adalah Penjelasan Pemerintah Atas Materi Permohonan diantaranya sebagaimana termaktub pada angka 5 menyatakan bahwa Pemerintah berpendapat pasal a quo tidak diskriminatif tetapi bersifat pembatasan atau pengecualian hak sebagai upaya Pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi para penderita yang sedang terganggu jiwa/ingatannya. Selanjutnya Penjelasan Pemerintah pada angka 12 yang menyatakan bahwa Pemohon mendalilkan jika tidak terdaftar maka tidak dapat memilih adalah dalil yang tidak tepat karena baik secara normatif  maupun secara faktual seseorang yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap dapat memilih, ketentuan ini secara tegas terdapat dalam Pasal 57 yang secara tegas berbunyi sebagai berikut:
(1). Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih;
(2). Dalam hal warga negara indonesia tidak terdaftar sebagai Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat pemungutan suara menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Selanjutnya Pasal 57 ayat (3) menyatakan bahwa untuk dapat didaftarkan sebagai Pemilih, warga negara indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan/atau;
b. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selanjutnya pada angka 13 Penjelasan Pemerintah menyatakan bahwa sesuai Pasal 22E UUD 1945 Pemerintah berpendapat bahwa adanya syarat-syarat bagi Calon Pemilih dalam Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang guna menentukan syarat-syarat tertentu, termasuk syarat sedang tidak terganggu jiwa atau ingatannya dan karenanya menurut Pemerintah pilihan hukum (legal policy) yang demikian tidaklah dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (wilekeur) dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang (detournement de pouvoir).

Terakhir pada angka 14 dijelaskan pula bahwa selain hal tersebut diatas, menurut Pemerintah tampak jelas bahwa ketentuan a quo telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata melindungi hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan umum dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis".

1. Hak Politik Perspektif Demokrasi

Hak politik adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Selain hak politik ada pula hak ekonomi atau hak dibidang ekonomi, ada hak sosial, hak budaya, hak pendidikan, hak hukum, hak peribadatan, dan lain sebagainya. Bicara hak asasi mesti pula dibedakan dengan hak bukan asasi atau disebut pula hak biasa. Hak asasi itu misalnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan imbalan yang layak, hak untuk diperlakukan sama dalam berhukum dan dalam penegakan hukum (law enforcement) baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan sidang pengadilan termasuk ketika ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan, hak untuk mengenyam pendidikan, hak untuk melaksanakan peribadatan dengan aman dan tentram, hak untuk mempunyai tempat tinggal, hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat, hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan lain sebagainya.

Secara konkret dan limitatif UUD 1945 telah mengatur jenis hak asasi sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 sampai Pasal 28 J. Adapun hak yang bukan asasi atau hak biasa diantaranya yaitu hak untuk memperoleh upah atau penghasilan yang banyak, hak memiliki rumah mewah dengan fasilitas lengkap, hak memiliki rumah yang banyak atau kebun yang luas, hak memiliki kendaraan mewah dan mahal, hak untuk mengenyam pendidikan di sekolah atau universitas ternama, hak untuk memiliki pesawat pribadi dan lain sebagainya. Hak asasi sering kali dapat bergeser menjadi hak bukan asasi, seperti hak memiliki tempat tinggal adalah hak asasi. Tetapi ketika ingin memiliki rumah yang besar, mewah, dan megah maka bukan lagi hak asasi tapi hak biasa. Terkadang dalam praktik tipis sekali perbedaan antara hak asasi dengan hak bukan asasi itu.

Namun ada hak asasi yang secara prinsipil dikategorikan sebagai non derogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebagaimana termaktub pada Pasal 28 I UUD 1945 yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Khusus hak politik, dalam perspektif demokrasi, pemilihan umum merupakan wujud konkret pelaksanaan demokrasi sebagai sarana pembentukan atau pergantian kekuasaan pemerintahan. Andai rakyat tidak menggunakan haknya dalam pemilihan umum maka tidak akan ada pergantian pemerintahan, dan kekuasaan menjadi tidak terbatas. Jika kekuasaan tidak terbatas maka kekuasaan akan sangat cenderung sewenang-wenang seperti adagium Lord Acton mengatakan "power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely".

Sedangkan semangat yang terkandung dalam demokrasi itu adalah penentangan terhadap absolutisme kekuasaan. Penentangan itu ditunjukkan dengan keharusan pembatasan masa jabatan pemerintahan negara. Demokrasi menekankan bahwa tiap-tiap orang diperlakukan sama dihadapan hukum termasuk dalam menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum demokrasi mengidealkan one man one vote yaitu satu orang dinilai satu suara. Mau orang tua, remaja, orang biasa, artis, pejabat, orang kaya,  profesor, doktor, orang yang berpendidikan rendah semua sama dihadapan hukum dan semua sama nilainya ketika menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum yaitu one man one vote. Demokrasi sangat menghargai hak asasi seseorang untuk disalurkan melalui sarana apa saja, dan demokrasi menjamin perlindungan hak asasi tiap-tiap orang dari ancaman atau pemberangusan yang semenana-mena. Karena itu pula dalam politik, hak asasi itu menjadi sangat diperhitungkan baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih dalam pemilihan umum.

Sejak manusia masih dalam kandungan,  dilahirkan, dan selama manusia hidup maka sejak itu dan selama itu pulalah hak asasi melekat dalam dirinya sebagai anugrah pemberian tuhan yang maha kuasa. Karena itu negara berkewajiban mengatur, melindungi dan menjamin agar hak asasi tidak dilanggar secara semena-mena. Sehingga dalam politik, selama masih hidup baik muda maupun sudah tua renta dan memiliki kesanggupan untuk menggunakan hak pilihnya maka negara wajib hadir memfasilitasi tanpa diskriminatif. Hanya persoalannya adalah bahwa apa yang ideal menurut hukum (hukum yang demokratis) tidak selamanya selalu sejalan dengan apa yang dipandang patut di masyarakat. Betapapun negara telah memilih dan mengidealkan demokrasi sebagai paham kebangsaan yang dianggap cocok untuk bangsa Indonesia, tetapi norma sosial yang berkembang sebagai the living law di masyarakat membuka penerimaan yang berbeda-beda dalam hal hak pilih Pemilih gangguan jiwa dalam pemilihan umum. Penilaian secara sosiologis masyarakat kita cenderung menganggap bahwa tidak sepatutnya atau tidak sewajarnya orang yang mengalami gangguan jiwa ikut berpartisipasi menyalurkan hak suaranya dalam pemilihan umum.

Satu hal yang harus dipahami bahwa dalam membangun demokrasi di negara ini jangan hanya terpaku pada kuantitas lalu mengabaikan kualitas. Ada kalanya kualitas mesti di dahulukan. Pemilihan umum yang berkualitas tidak hanya berarti pemilihan umum yang diselenggarakan dengan baik penuh hikmat oleh penyelenggara pemilihan umum. Kualitas pemilihan umum ditentukan oleh kualitas penyelenggaraan pemilihan umum, dan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum ditentukan oleh seberapa banyak partisipasi masyarakat pemilih. Sedang kualitas partisipasi masyarakat pemilih ditentukan oleh tingkat kedewasaan dan kecerdasan pemilih dalam menentukan pilihannya. Jadi semua itu berkaitan, dan jelas saja bahwa kualitas mesti diutamakan dibandingkan dengan hanya sekedar kuantitas yaitu seberapa banyak partisipasi masyarakat menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum.

Karena itu persoalan menggunakan hak pilih adalah hal yang sangat krusial, pemilih mesti punya kecakapan untuk secara sadar dan penuh pertimbangan tanpa intervensi pihak manapun menentukan siapa wakilnya yang layak untuk duduk di parlemen yang kelak akan menampung dan memperjuangkan aspirasinya. Hal itu tidak akan terjadi jika pemilih adalah orang-orang yang terganggu jiwa/ingatannya. Jangankan untuk menentukan wakilnya di parlemen, diminta menjelaskan soal identitasnya sendiri mungkin sudah tidak ingat lagi. Dengan kondisi yang seperti itu, bagaimana mungkin dapat diharapkan bahwa hasil pemilihan umum berkualitas. Ini menjadi persoalan, walaupun secara hukum polemik tentang hal ini dianggap telah berakhir dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 135/PUU-XIII/2015, tetapi masih dapat terus diperdebatkan dalam panggung akademik menghadapi kemungkinan koreksi dari Mahkamah Konstitusi di masa yang akan datang. Walaupun putusan Mahkamah Konstitusi final and binding, tetapi kemungkinan koreksi oleh Mahkamah Konstitusi masih tetap terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...