Sabtu, 27 Oktober 2018

Negara Hukum Indonesia


Negara Hukum Indonesia

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Sebelum saya dalam tulisan ini memaparkan lebih jauh tentang konsep negara hukum Indonesia, perlu saya kemukakan sedikit sejarah dan perkembangan negara hukum sebagai pengantar dalam tulisan ini.

Secara umum dikenal tiga konsep negara hukum yaitu:

1. Religion state/Islamic state; 
2. Rechtstaat; dan
3. Rule of law.

Religion state adalah konsep negara yang secara khusus di kenal dan diterapkan pada negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negaranya seperti Brunei Darussalam, Afghanistan, Pakistan, Saudi Arabia, Turki, Mesir, Gambia, menjadikan syari'at Islam sebagai dasar negara/dasar menyelenggarakan negara. 

Adapun yang unik dapat kita sebut sebagai penyimpangan dengan negara berdasarkan agama tertentu rakyatnya adalah seperti Republik Philipina konstitusinya tegas-tegas mengatakan bahwa Republik Philipina adalah Negara sekuler. Atau seperti Turki dimasa rezim Mustafa Kema Pasha Attaturk juga merupakan Negara sekuler.

Negara yang menjadikan agama sebagai dasar negaranya, maka hukum yang diberlakukan menjadi suatu kemestian mengacu,mengambil referensi/berpedoman pada agama sebagai sumber hukum utama disamping sumber hukum lainnya yang diakui. 

Praktiknya dapat muncul keragaman di masing-masing Negara agama seperti Negara Islam yaitu Negara dapat membentuk hukum selama tidak diatur dalam syari'at Islam dan/atau Negara dapat membentuk hukum selama tidak bertentangan dengan syari'at Islam. Negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara maka disebut "Negara Agama". Jika agama dimaksud bukan Islam maka sudah diterima umum di belahan dunia barat konsep negara hukumnya disebut Negara Teokrasi. 

Sedang jika agama dimaksud adalah Islam maka para pakar hukum Islam menyebut konsep negara hukum yang demikian itu dengan Nomokrasi. Mengapa perlu dibedakan ada Teokrasi dan Nomokrasi?, sebab agama yang dijadikan tumpuan itu memang terdapat perbedaan mendasar baik dalam hal konsep ketuhanan yang diyakini maupun bentuk-bentuk ajaran dalam agama-agama itu sendiri.

Baiklah kita bahas pertama konsep Rechtstaat. Kata "rechtstaat" itu diambil dari bahasa Belanda dan dari penggabungan kata "recht" dan "staat". Recht, artinya Hukum,  dan staat artinya Negara. Jadi Rechtstaat artinya Negara hukum.

Namun kata rechtstaat itu jika dilihat dari segi bahasa, tidak hanya merujuk kepada bahasa Belanda, sebab kata rechtstaat juga dipakai dalam bahasa Jerman. 

Mengapa ada sebutan berbeda untuk negara hukum yaitu ada rechtstaat dan rule of law. Sebab tempat tumbuh dan berkembangnya pemikiran tentang negara hukum itu berbeda, sehingga corak dan karakter hukum, tradisi hukum dan penegakan hukumnyapun juga berbeda-beda. Tetapi masih memiliki kemiripan latar belakang sejarah.

Secara historis, awal mula munculnya konsep rechtstaat dan rule of law tidak dapat dilepaskan dari latar belakang penolakan terhadap absolutisme kekuasaan para raja. Jadi lahirnya konsep rechtstaat dan rule of law merupakan bentuk perlawanan/penentangan absolutisme kekuasaan yang semena-mena.

Konsep rechtsaat  tumbuh dan berkembang di Prancis, Belanda, Jerman, Itali. Sedangkan konsep rule of law lahir dan berkembang pesat di Inggris, lalu menjalar ke Amerika Serikat dan Kanada. Tiga negara inilah yang selalu ditunjuk dalam banyak literatur sebagai tempat munculnya rule of law. 

Meski konsep rechtstaat tumbuh dan berkembang di Prancis, Jerman, Belanda dan Itali, tetapi di masing-masing negara ini tradisi hukumnya memiliki corak, karakter dan varian yang berbeda satu dengan yang lain. Demikian juga halnya dengan konsep rule of law yang tumbuh dan berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. 

Perbedaan itu merupakan hal yang alamiah dan lumrah. Perbedaan itu dipengaruhi oleh budaya/kultur masyarakat di Negara itu dan pengalaman sejarah yang terbentang di Negara itu. Sehingga tradisi hukumnya, pemahaman tentang hukum dan penegakan hukumnya berbeda satu sama lain.

Konsep rechtstaat dan rule of law muncul secara revolusioner. Dikatakan revolusioner sebab dilakukan melalui gebrakan perjuangan berdarah-darah menentang absolutisme kekuasaan yang sewenang-wenang dan menindas. 

Konsep rechtstaat di awal-awal kemunculannya mengakibatkan lahirnya liberalisme atau Negara hukum liberal. Pemahaman tentang negara hukum liberal ini atau mengapa disebut sebagai negara hukum liberal sebab sangat sedikit sekali peran atau intervensi negara kedalam kehidupan warga negaranya terutama menyangkut perekonomian/kesejahteraan rakyat. 

Negara hanya berperan menjaga keamanan dan ketertiban, sehingga disebut juga sebagai Negara hansip atau Negara penjaga malam, atau dalam bahasa Belanda lazim juga disebut Nachtwachterstaat.

Akibat rasa muak yang mendalam terhadap kediktatoran dan absolutisme kekuasaan rechtstaat di awal pertumbuhannya telah menjelmakan dirinya sebagai negara hukum liberal. 

Kebencian yang besar terhadap pengalaman sejarah sebab selama kurun waktu yang lama negara dijalankan dengan sangat diktator dan totaliter, negara mengatur dan ikut campur terhadap segala aktivitas warga negaranya dan kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang, maka itu semua menuntut kebebasan dari rakyat yang selama ini terkungkung dalam penindasan. Kebebasan itu telah menjadi sangat bebas (liberal) sehingga keadaan menjadi berbanding terbalik 180 derajat. 

Jika pada masa kungkungan absolutisme dan kediktatoran Negara menguasai/ berperan dalam segala aktivitas rakyatnya seperti perekonomian, sosial, budaya, hukum secara sewenang-wenang, maka pada masa pasca revolusioner, rakyat menuntut pembebasan dari intervensi negara yang selalu menindas rakyat. 

Akibatnya kekuasaan dan ruang kebebasan betul-betul dikendalikan rakyat. Sedangkan peran negara dibatasi dengan ketat sehingga peran negara menjadi sangat sedikit atau sempit sekali yaitu Nachwachterstaat. Nachwachterstaat ini mengidealkan jargon atau paham laissez faire laissez aller yang artinya semakin bebas maka semakin baik.

Selain itu, konsep rechtstaat juga mulai disandarkan kepada pemikiran legal positivisme yang berkembang seiring dengan berhasilnya gebrakan revolusioner. Legal positivisme atau aliran pemikiran hukum positif yang menjadi paham (ajaran dalam berhukum) bertumpu pada paham legisme, yaitu kepastian hukum, sehingga hukum adalah apa yang tercantum dalam undang-undang. 

Kepastian hukum ini dipahami sangat ketat, bahwa hukum hanya ada dalam undang-undang, diluar undang-undang dianggap tidak ada hukum. Atau setidak-tidaknya jika ingin sedikit diperluas, diluar peraturan perundang-undangan tidak diakui ada hukum. Paham legisme inilah yang melahirkan asas legalitas. 

Praktiknya asas legalitas ini dianut sangat ketat terutama dalam bidang hukum pidana. Sedangkan dalam hukum administrasi dan perdata tidaklah seketat anutan dalam bidang hukum pidana. Negara hukum yang menjadikan secara sangat ketat undang-undang atau peraturan perundang-undangan sebagai acuan dan menganggap diluar itu tidak ada hukum, inilah yang dalam berbagai literatur disebut sebagai negara hukum formal. 

Jadi rechtstaat itu pada masa awalnya memiliki ciri khas/karakteristik Nachtwachterstaat yang liberal dan menjalar pula menjadi Negara hukum formal sebab hukum hanya diakui apa yang ada dan tertulis dalam undang-undang.

Perlu dipahami disini, liberalisme rechtstaat diawal pertumbuhannya telah pula melahirkan paham (ajaran) individualisme. Individualisme itu artinya sebuah aliran pemikiran tentang kebebasan yang menjadi sebuah ajaran dalam kehidupan. Individualisme itu penekanannya adalah pada kebebasan pribadi. 

Kebebasan dan kepentingan pribadi/ perseorangan dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan kepentingan umum. Malahan bisa terjadi, jika kepentingan umum bertentangan dengan kepentingan pribadi, maka kepentingan umum dikalahkan, ditundukkan/ dikesampingkan. Dan kepentingan pribadilah yang diutamakan, atau dimenangkan. 

Lama-kelamaan dari semula hanya sebuah paham kemudian dalam perkembangannya sampai hari ini telah menjelma sebagai watak/jati diri pribadi, menjadikan sebuah bangsa terutama barat menjadi orang-orang yang individualis yang sangat (bersifat) individualistik. Individualistik yang terlampau mengagungkan materi maka melahirkan kapitalisme sebab kecintaan yang besar terhadap materi.

Memasuki abad ke -19 (1800-an sampai diawal tahun 2000), terjadi degradasi perekonomian yang luar biasa juga dipicu akibat peralihan dari masyarakat agraris-tradisional menjadi masyarakat yang industrialis sehingga menyebabkan merebaknya kemiskinan dimana-mana. 

Perekonomian yang diurus secara liberal akibat peran negara hanya sebagai nachwachterstaat telah mengalami kegagalan yang berdampak sangat besar terhadap kesejahteraan hidup rakyat. Seiring dengan itu muncul banyak kritik dari para pakar, pemerhati kenegaraan dan hukum karena negara hukum selama ini dimaknai secara sempit membatasi peran negara dangan sangat ketat, maka muncullah  penolakan sistem ekonomi liberal yang mendorong perubahan mendasar peran negara dalam pemerintahan menjadi lebih luas dari sebelumnya. 

Reaksi keras terhadap negara nachtwachterstaat yang melahirkan liberalisme kapitalisme telah menciptakan pemikiran pembaharuan konsep negara hukum menjadi Negara hukum kesejahteraan (welfaarstate). Disebut Negara/Negara hukum kesejahteraan sebab negara mengambil alih dan berperan penting serta pro aktif dalam masalah perekonomian rakyatnya untuk mewujudkan kesehteraan bagi seluruh rakyatnya. Semula negara tidak boleh ikut campur dalam urusan perekonomian. 

Peran negara mengalami perluasan, tidak lagi sekedar menjaga keamanan dan ketertiban belaka atau Negara polisi tetapi sangat menentukan keberlangsungan perekonomian rakyatnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Praktiknya, semakin hari semakin tahun sampai hari ini peran negara semakin luas mencakup bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, pendidikan, iptek, kesenian, olah raga dan sebagainya dan sebagainya.

Seperti telah terang dijelaskan di muka pembahasan tulisan ini, kemunculan konsep rechtstaat dan rule of law memiliki latar belakang sejarah yang sama yaitu penentangan dan perlawanan terhadap absolutisme (kekuasaan tanpa batas) yang sewenang-wenang dan menindas.

Rule of law diambil dari bahasa Inggris atau dalam bahasa Inggris-Amerika yang berarti ketentuan/peraturan hukum. Yang lazimnya juga diartikan Negara hukum, meskipun tidak mencantumkan kata "state" di dalamnya.

Ada perbedaan mendasar antara rechtstaat dan rule of law itu. Pada rechtstaat penekanannya adalah pada hukum tertulis. Mazhab rechtstaat ini adalah legal positivisme. Sedangkan pada rule of law penekanannya pada common law (hukum kebiasaan, adat istiadat) masyarakatnya. 

Hal ini berpengaruh besar terhadap penegakan hukumnya di negara yang menganut rechtstaat dan rule of law. Hakim dalam rechtstaat dalam mengadili perkara hanya dapat mengacu kepada undang-undang belaka atau setidak-tidaknya peraturan perundang-undangan dalam menjatuhkan hukuman. 

Diluar undang-undang atau peraturan perundang-undangan dianggap tidak ada hukum. Adapun hukum adat dan kebiasaan tidak diakui sebagai hukum yang mengikat umum (publik) oleh negara melainkan hanya mengikat secara keperdataan di lingkungan masyarakat yang bersangkutan dan negara tidak terikat pada hukum adat atau kebiasaan. 

Karena itulah hakim disebut corong undang-undang. Mazhab legal positivisme memang luar biasa ketat dianut dalam rechtstaat, walaupun semakin tahun setelah dirasakan kelemahannya legal positivisme itu, tidak mampu memberikan kepuasan terhadap rasa keadilan di tengah pergaulan hidup, telah mulai disadari untuk menerima sisi baik dalam rule of law.

Sementara itu dalam rule of law penegakan hukumnya lebih fleksibel, prinsipnya hakim kapanpun dapat mengabaikan, mengesampingkan perturan tertulis sepanjang menurut keyakinannya atau penilaiannya tidak dapat memberikan rasa keadilan atau tidak dapat menjawab persoalan hukum yang sedang diadili, mungkin bisa dikarenakan hukum tertulis (wetten recht) tidak mengakomodir peristiwa hukum yang terjadi. 

Karena itu hakim lebih bebas dalam mengadili, tidak terikat pada hukum tertulis. Memang pertama-pertama hakim melihat atau merujuk lebih dulu kepada hukum tertulis sebagai acuan, tetapi tidak berarti hakim corong undang-undang seperti dalam tradisi hukum rechstaat. 

Bahkan hakim dapat melakukan terobosan-terobosan pemikiran hukum yaitu hakim dapat membuat hukum sendiri melalui putusannya (judge made law) sehingga diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam mengadili perkara yang sama. Itulah yang kita kenal dengan yurisprudensi. 

Hakim di pengadilan tingkat bawah menganggap putusannya menjadi lebih berwibawa bila mengacu kepada yurisprudensi. Bahkan, hakim-hakim dalam peradilan rule of law mempunyai kewajiban terikat kepada yurisprudensi dalam mengadili perkara yang sama. 

Itu dilakukan dalam rangka konsistensi putusan, sehingga kepastian hukum dapat diwujudkan. Tidak hanya mengacu kepada yurisprudensi, tapi hakim dalam peradilan rule of law juga dapat mengacu kepada doktrin, kebiasaan, traktat.

Jika kepastian hukum dalam peradilan rule of law diwujudkan dengan kewajiban pentaatan kepada yurisprudensi, maka dalam tradisi rechtstaat kepastian hukum itu dianggap hanya ada pada undang-undang atau dengan penerapan hukum tertulis. Sedangkan tidak ada kewajiban terikat untuk mentaati yurisprudensi. Artinya, boleh diikuti boleh juga tidak diikuti.

Ciri khas lain daripada rechtstaat adalah adanya peradilan administrasi tersendiri yang memfasilitasi penyelesaian masalah hukum warga negara dengan pemerintah. Sedang dalam rule of law tidak dikenal adanya peradilan administrasi, penyelesaian masalah hukum yang timbul antara rakyat yang berhadapan dengan pemerintah dinilai cukup diselesaikan di peradilan umum.

Sedang persamaannya, baik pada rechtstaat maupun rule of law sama-sama menganut supremasi hukum, memberikan jaminan perlindungan terhadap HAM, badan peradilan yang tidak memihak (impartial) dan bebas dari intervensi pihak manapun.

Sebagai sebuah pengantar kiranya sudah panjang lebar saya jelaskan perihal rechstaat dan rule of law itu dalam tulisan ini, walaupun masih banyak yang tidak dapat diakomodir.

Tibalah pembicaraan kita tentang konsep Negara hukum yang seperti apakah yang dianut oleh Indonesia. Para pakar menyebut seperti Prof. Yusril Ihza Mahendra bahwa konsep negara hukum Indonesia adalah konvergensi, merupakan titik temu dari berbagai tradisi hukum yang berbeda bahkan bertentangan yaitu rechtstaat, rule of law dan nomokrasi. 

Tidak hanya sekedar konvergensi dari tiga tradisi hukum tersebut tetapi juga masih dilengkapi dengan penyesuaian kultur bangsa Indonesia sendiri. Mengenai seberapa jauh kultur bangsa Indonesia mewarnai, mempengaruhi konsep negara hukum Indonesia maka saya berpendapat belum terserap dengan secara memuaskan terutama dalam bidang hukum pidana, sebagian dalam bidang keperdataan seperti bisnis dan lain sebagainya sehingga kita merasakan masih terdapat ketimpangan yang cukup lebar. 

Sementara itu Prof. Mahfud, Md berpendapat konsep negara hukum Indonesia adalah prismatik yaitu mengambil segi-segi baik dari berbagai tradisi hukum yang berlainan. Antara pendapat Prof. Yusril dan Prof. Mahfud tidak terdapat perbedaan yang prinsipil. 

Hanya persoalan sekarang adalah pada tradisi hukum yang manakah kita lebih dominan mengambil bahan-bahan dalam membentuk tradisi hukum negara kita. Sebab dapat berdampak terjadinya perbenturan sehingga menyulitkan kita dalam berhukum. Misalnya dalam menata sistem pemerintahan, koalisi itu hanya dikenal di Negara yang menganut sistem parlementer sebab titik berat kekuasaan terletak pada parlemen. 

Sedangkan dalam sistem presidensil penekanannya adalah pada presiden selaku pimpinan tertinggi eksekutif, karena itu koalisi tidak dikenal dalam sistem presidensil. Tapi justru kita mengakui koalisi itu bahkan diperkuat oleh keberadaan presidenthial threshold dalam undang-undang pilpres. 

Atau perihal permaafan dalam hukum pidana, dalam tradisi rechtstaat tidak dikenal adanya permaafan itu. Sedangkan yang demikian dirasa itu tidak cocok dengan kultur bangsa kita. Walaupun kabarnya RUU KUHP telah hampir rampung dan mengalami serta menampung banyak ide pembaharuan hukum dalam ketentuan-ketentuannya.

Selain itu dalam hal pertambangan pengurusan SDA kita sangat liberal, yakni SDA kita dikuasai oleh asing, minyak dan gas bumi banyak dieksploitasi dan dikuasai oleh perusahaan asing dan tidak seimbang antara manfaat yang diberikan terhadap rasio perekonomian atau upaya mewujudkan cita negara yaitu kesejahteraan rakyat terutama di daerah penghasil migas seperti Riau dan papua. 

Kecuali hanya Aceh berdasarkan Otsus dapat memperoleh hingga 80-90% hasil kekayaan alamnya. Liberalisasi SDA kita membawa kita seperti pada masa awal rechtstaat yang nacthwachterstaat, yakni sangat liberal.

Ini semua menjadi persoalan dan tantangan besar bangsa ini sampai hari ini.

Perihal Akta Otentik


Perihal Akta Otentik

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Salah satu alat bukti yang diakui dalam peradilan perdata adalah alat bukti tertulis (Pasal 1866 KUHPerdata/BW). Alat bukti tertulis itu merupakan surat, sementara surat itu terdiri dari akta otentik dan bukan akta otentik. 

Akta yang bukan akta otentik itu adalah akta dibawah tangan (Pasal 1867 BW). Adapun surat-surat lainnya yang tidak merupakan akta otentik dan tidak pula akta dibawah tangan adalah surat-surat biasa yang tidak mempunyai kualifikasi sebagai alat bukti. 

Meski demikian walaupun hanya surat-surat biasa tetapi melalui surat-surat itu dapat berkembang menjadi persangkaan hakim tentang adanya suatu peristiwa perdata atau hubungan hukum keperdataan. 

Persangkaan itu sendiri juga merupakan suatu alat bukti yang keberadaannya diakui dan diatur dalam Pasal 1866 BW. Persangkaan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari suatu analisis hukum dalam persidangan pengadilan. 

Karena itu pula sebagian pakar hukum perdata seperti Prof. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa tidak tepat menjadikan persangkaan itu sebagai alat bukti, karena hanya berupa penarikan kesimpulan dari suatu ketentuan/peraturan hukum atau penilaian hakim tentang fakta-fakta hukum mengenai suatu hubungan hukum yang diperselisihkan di persidangan. 

Persangkaan itu sendiri dapat dibedakan kedalam persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan menurut penilaian hakim. Persangkaan menurut penilaian hakim inilah yang dalam peradilan pidana diakui sebagai alat bukti petunjuk disamping alat bukti lainnya (Pasal 184 KUHAP).

Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa suatu akta otentik sejak awal dibuat sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai alat bukti yang sempurna selama pembentukannya sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam undang-undang (Pasal 1868 jo. Pasal 1870 BW). 

Akta otentik dapat turun derajatnya menjadi akta dibawah tangan jika dibuat tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Meskipun demikian, akta dibawah tangan itu juga mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sempurna hanya selama tidak disangkal/dibantah oleh pihak atau para pihak. 

Jika disangkal maka pihak yang menyangkal dibebani dengan kewajiban untuk membuktikannya. Bedanya dengan akta otentik sejak awal selesai dibuat langsung memperoleh kekuatan alat bukti yang sempurna. Hakim harus menerima apa adanya dan menganggap benar akta otentik itu selama tidak dibuktikan sebaliknya. 

Adapun terhadap akta dibawah tangan yang telah di legalisasi oleh notaris, maka akta dibawah tangan itu mempunyai kekuatan yang sama dengan akta otentik yaitu sebagai alat bukti mengikat dan sempurna. Hakikatnya tetap akta dibawah tangan, legalisasi itu hanya mengubah sifat kekuatan hukum atau daya ikatnya bukan orisinalitasnya.

Akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang menurut undang-undang. Ada banyak macamnya akta otentik itu seperti berita acara persidangan pengadilan, berita acara pemeriksaan, berita acara penggeledahan, berita acara penyitaan, surat perintah penangkapan, surat izin penyitaan dari ketua Pengadilan Negeri, putusan pengadilan, semua akta yang dibuat oleh Notaris dan/atau PPAT. 

Kebenaran dan kekuatan sebagai alat bukti sempurna suatu akta otentik hanya bersifat formal, artinya sepanjang akta itu dibentuk sesuai ketentuan undang-undang yaitu UU No. 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris yang telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014 dan Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya perjanjian maka ia harus dianggap benar. 

Akta otentik tidak menjamin benar tidaknya apa-apa hal yang disampaikan oleh para pihak atau hal-hal yang dicantumkan, tetapi menjamin bahwa benar para pihak telah menyampaikan apa-apa hal yang tertuang dalam akta. 

Tidak ada kewajiban notaris untuk menyelidiki kebenaran materil dari apa yang disampaikan oleh para pihak kecuali sertifikat. Untuk sertifikat perlu di mintakan permohonan checking kepada BPN untuk memeriksa keaslian sertifikat untuk menghindari adanya pemalsuan sertifikat.

Jumat, 26 Oktober 2018

Koalisi Partai Politik Dalam Pilpres dan Pilkada


Koalisi Partai Politik Dalam Pilpres 
dan Pilkada

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Pertama saya perlu menjelaskan antara Pilpres dan Pilkada, Pilpres adalah bagian dari Pemilu. Sebab secara konstitusional (menurut UUD 1945) Pemilu dan Pilkada atau pemilihan kepala daerah adalah dua hal yang berbeda. Walaupun pelaksanaannya sama-sama secara langsung, karena itu dari segi sifatnya dapat dikatakan sama, tapi konstitusi membedakan keduanya. Secara konstitusional Pasal 22E UUD 1945 tegas menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, Presiden dan Wakil Presiden, DPD, dan DPRD. Sementara pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing adalah kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota yang dipilih secara demokratis. 

Dengan demikian Pilkada tidak termasuk dalam kualifikasi Pemilu. Saya tidak bermaksud memperluas pembicaraan tentang Pemilu dan Pilkada, tetapi sesuai dengan judul dalam tulisan ini orientasi materi hanya mengenai koalisi dalam Pemilu dan Pilkada.

Koalisi di tingkat Pilpres tercipta karena konsekuensi logis dari keberadaan presidenthial threshold (pt) dalam undang-undang pilpres yaitu UU No. 42 Tahun 2008 (sekarang UU No. 7 Tahun 2017). Terlepas dari banyaknya kritik seperti dari kalangan ahli hukum tata negara, pembentuk undang-undang beranggapan bahwa (pt) adalah open legal policy yang diberikan oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.  

Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu menyatakan bahwa, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta-peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Frasa "gabungan partai politik" itulah yang memberikan ruang legal policy untuk menciptakan koalisi.

Karena itu, dalam Pilpres partai politik peserta pemilu manapun jika ingin mengusulkan calon atau pasangan calon, hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi presidenthial threshold atau persyaratan ambang batas 20% jumlah kursi partai politik yang bersangkutan di parlemen atau 25% perolehan jumlah suara sah secara nasional. 

Misalnya, PAN ingin mengajukan calon atau pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus dilihat dulu jumlah kursi PAN di parlemen memenuhi atau tidak memenuhi 20% minimal (pt) itu. Atau dengan kata lain persentase jumlah kader PAN yang menjabat sebagai anggota DPR apakah sudah mencapai 20% minimal (pt) dari jumlah kursi di DPR ??, seperti yang telah sama-sama kita ketahui bahwa jumlah keseluruhan kursi di DPR ada 560.  

20% dari 560 berarti 112. Artinya, PAN harus memiliki jumlah kadernya sebagai anggota DPR sebanyak 112 orang, jumlah itu jika di presentasekan adalah sebanyak 20% minimal (pt). Jika syarat ini tidak dipenuhi dan misalnya PAN tetap ngotot juga ingin mengusulkan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden sendiri maka PAN harus berkoalisi dengan partai politik lain. Tanpa koalisi semua keinginan itu omong kosong belaka, tidak akan dapat dilakukan. 

Tentu saja partai politik kawan koalisi yang dimaksud dapat menerima pendirian dan sepaham dengan PAN. Dalam dari pada itu tentu ada take and give sebagai efek domino dari koalisi yang tak mungkin dapat dihindari. Disinilah letak konsekuensi logis, dampak nyata dari keberadaan presidenthial threshold yaitu koalisi.

Political will partai politik peserta pemilu untuk mengusung calon sendiri mengharuskan untuk koalisi jika presidenthial threshold tidak terpenuhi. Dalam kondisi seperti itu koalisi adalah harga mati. Tetapi praktiknya sejak presidenthial threshold ditetapkan pada 2008, ternyata pada Pilpres 2014 tidak satupun partai politik memenuhi presidenthial threshold. 

Hanya PDIP yang persentasenya tertinggi yaitu mencapai sekitar 18% (itupun tetap belum memenuhi minimal presidenthial threshold). Akhirnya PDIP harus berkoalisi juga. Dan partai politik seperti PDIP pastinya memilih kawan koalisi tertentu yang sepaham untuk menggenapkan persentase suaranya agar dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Kita tahu Jokowi diusung PDIP dan Jusuf Kalla dari Golkar. 

Dengan demikian berarti PDIP berkoalisi dengan Golkar. Adapun partai politik lain yang mendukung pemerintah dalam pandangan presidenthial threshold saya berpendapat tidak tepat disebut "partai politik koalisi" bersama-sama dengan PDIP dan Golkar. Cukup disebut saja partai politik yang mendukung pemerintah.

Jika presidenthial threshold masih dipertahankan, Pilpres di tahun-tahun yang akan datang kompetitornya tetap sama yaitu kubu PDIP dan kubu Gerindra dan itu hanya mengulang Pilpres 2014 lalu. (Pt) itu berat,  sulit bagi partai politik dapat memenuhi 20% minimal presidenthial threshold itu. Tampaknya partai politik mayoritas di parlemen sengaja mematok standar tinggi untuk menjegal partai politik lain mengusung calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden.

Demikianlah keadaannya mengapa koalisi dapat terjadi dalam Pilpres. Sebenarnya di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan presidenthial, koalisi itu tidak dikenal. Kita (Indonesia) menciptakan koalisi. Presidenthial threshold itu tidak ada logikanya sama sekali. Sebab siapa yang kita pilih di badan perwakilan (DPR) itu tidak paralel dengan memilih seorang tokoh untuk menjadi Presiden.

Tidak ada relevansinya memilih anggota DPR dengan memilih Presiden. Orientasi atau titik berat sistem pemerintahan presidenthial adalah pada kekuasaan Presiden sebagai pemegang tertinggi kekuasaan eksekutif. Jadi tidak ada kaitannya dengan orientasi kekuasaan di parlemen. Sebaliknya koalisi itu hanya dikenal di negara-negara yang menganut sistem parlementer sebab orientasi kekuasaan adalah di parlemen.

Dalam perkembangannya, koalisi ternyata telah menjalar pula ke ranah Pilkada. Hal ini dapat kita telaah dalam UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada. Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2015 mengatur bahwa, Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan. 

Pada ayat (4) juga berlaku untuk tingkat kabupaten dan kota bahwa Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan. 

Rumusan ketentuan hukumnya mirip dengan pengaturan tentang Pilpres pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, hanya bedanya ada penambahan calon perseorangan. Harus dipahami bahwa, kata "gabungan partai politik" dalam rumusan pasal itu adalah isyarat untuk menciptakan koalisi. UU Pilkada memberikan rambu-rambu bagaimana Pilkada akan terlaksana dalam praktiknya.

Banyak ketentuan dalam undang-undang Pilkada yang bisa kita telaah, bahkan jika semakin ketengah kita membaca ketentuan lain dari UU Pilkada itu maka kita akan mengerti bahwa tidak hanya sekedar isyarat atau rambu untuk menciptakan koalisi belaka. 

Pada Pasal 40 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 tegas menyatakan bahwa, Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

Apa artinya ini?. Saya menyebutnya ini adalah chief of district threshold atau ambang batas pencalonan kepala daerah, tak lain adalah penjelmaan presidenthial theshold kedalam Pilkada atau sebutan untuk presidenthial threshold yang diterapkan kedalam Pilkada. Chief of district threshold ini sama persis dengan presidenthial threshold, substansinya adalah menciptakan koalisi, koalisi di Pilpres dan koalisi di Pilkada. 

Kondisi seperti ini dengan keberadaan threshold baik di daerah dalam Pilkada maupun dalam Pilpres mengharuskan terciptanya koalisi sebagai konsekuensi logis dari threshold itu sendiri. Maka kita tidak sepatutnya heran mengapa partai politik yang dikenal sebagai partai nasionalis dan partai berbasiskan Islam di tingkat pusat sering kali berbantah-bantahan, sangat nyata terlihat bertentangan satu sama lain tetapi dalam Pilkada mereka berkoalisi dan saling mendukung. 

Itu terjadi tidak lain adalah sebab "kondisi hukum" yang mengharuskan untuk koalisi. Tidak hanya itu, selain karena memang di jegal oleh threshold, parpol Islam dan umat Islam tidaklah berarti anti partai nasionalis. 

Meski sebagai rakyat turut kecewa dengan keberadaan threshold sebab mengekang nilai-nilai demokrasi, koalisi juga dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk menciptakan check and balances antar partai koalisi pengusung calon kepala daerah agar jika terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah kebijakan-kebijakan yang dibuat jangan sampai merugikan kepentingan umum, diskriminatif dan sewenang-wenang.

Tuntutan Unifikasi Hukum Ditengah Pluralisme Hukum


Tuntutan Unifikasi Hukum 
Ditengah Pluralisme Hukum

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Salah satu ciri Negara hukum ditandai dengan kesatuan hukum nasional (unifikasi) yang berlaku umum untuk semua warga negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. 

Unifikasi itu terutama diperlukan dalam bidang hukum publik seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi untuk memudahkan dalam pelaksanaan, penegakan maupun dalam penerapan hukum ketika kaidah hukum dilanggar/disimpangi secara onrechtmatigh oleh warga negara atau onrechtmatigh overheidsdaad oleh penguasa.

Seperti telah disinggung dimuka, unifikasi hukum terutama hanya dibutuhkan untuk pengaturan di wilayah publik. Adapun untuk di wilayah privat tidak ada keharusan untuk unifikasi hukum. Dalam hal tertentu tentu  unifikasi dapat saja diterapkan untuk urusan-urusan keperdataan, tetapi prinsipnya domain keperdataan itu adalah dianutnya pluralisme hukum (ajaran tentang kemajemukan hukum). 

Pluralisme hukum itu dalam praktik menjadi kemestian digantungkan kepada sosio-kultural masyarakat setempat. Karena itu pluralisme hukum dipengaruhi oleh adat istiadat, kebiasaan yang berkembang dan eksis terus di tengah masyarakat, kesopanan dan kesusilaan, agama, hubungan primordial seperti kekeluargaan masyarakatnya. 

Sehingga hukum yang dianut untuk suatu lingkungan masyarakat di suatu daerah akan berbeda dengan hukum yang berlaku di daerah lainnya. Karena itulah dikatakan kemajemukan hukum atau hukum yang majemuk. Tetapi hal itu terbatas hanya diurusan-urusan non publik.

Hanya persoalannya akhir-akhir ini adalah tuntutan terhadap unifikasi hukum dirasakan mulai mendesak untuk tidak dianutnya pluralisme hukum. Malahan secara berlebihan justru dikait-kaitkan dengan identitas nasional bangsa kita seperti merebaknya label-label anti kebhinekaan, bertentangan dengan Pancasila anti NKRI, ekstrem, radikal dan segala sesuatu yang tidak ada relevansinya  sama sekali yang dipasungkan kepada umat Islam. 

Misalnya, ada daerah yang menginginkan agar perda di daerah mereka megadopsi hukum-hukum Islam untuk diberlakukan kepada umat Islam setempat, seperti perihal zakat, pendidikan agama dalam sekolah-sekolah umum, institusi pendidikan keagamaan, adab berpakaian muslim bagi umat Islam termasuk bagi pekerja muslim terutama bagi wanita-wanita muslim, adab perayaan hari keagamaan untuk umat bergama, lalu dituduhlah perda itu adalah konkretisasi kebijakan anti kebhinekaan, anti Pancasila dan sebagainya dan sebagainya.

Jika kita menelaah agak jauh kebelakang, sejarah klasikasi hukum kedalam hukum publik dan hukum privat dikenal dalam tradisi hukum Romawi. Ketika Romawi menjajah Prancis maka pemerintahan kekaisaran Romawi memberlakukan klasifikasi hukum itu kepada Prancis. 

Ketika pemerintahan monarki Prancis menjajah Belanda, Prancis memberlakukan klasifikasi hukum  kepada daerah jajahannya itu. Dan ketika Belanda menjajah Nusantara atau Hindia maka kalsifikasi hukum itu diberlakukan sampai akhirnya Nusantara atau Hindia merdeka menjadi Indonesia kalsifikasi hukum itu tetap dipertahankan dan berlaku sampai hari ini. 

Dalam kehidupan masyarakat kita jauh sebelum NKRI ini terbentuk, telah ada, hidup dan terpelihara terus berbagai hukum adat yang tidak mengenal adanya klasifikasi hukum yang membeda-bedakan mana urusan publik dan mana yang masuk kedalam ranah perorangan (perdata). 

Demikian juga dalam hukum Islam (Syari'at Islam) juga tidak dikenal klasifikasi hukum secara kategoris dan kaku seperti itu. Sebab dalam Islam, apa yang menjadi urusan perorangan menentukan bagi kelangsungan kehidupan orang banyak. Demikian juga apa yang boleh jadi adalah urusan umum adalah juga berangkat, atau berasal dari urusan-urusan di wilayah perorangan. Hubungan yang terbangun antar keduanya adalah interdeterminan (saling menentukan, saling mempengaruhi).

Seperti Sholat, Puasa, Zakat, Haji menurut kewajiban secara syari'ah dilakukan perorangan. Tetapi tidak berarti menjadi urusan perorangan belaka. Karena melaksanakan atau tidak melaksanakan kewajiban itu berdampak langsung kepada persatuan dan kesatuan umat Islam (ukhuwah Islamiyah) dan  eksistensi Islam sendiri di muka bumi. 

Seorang muslim tidak melaksanakan ibadah yang telah diwajibkan kepadanya oleh syari'ah dalam waktu yang lama terus berkelanjutan sehingga menjadikan dia jauh dari agama seperti sholat, maka dia akan sangat mudah goyah dan terjerumus melakukan larangan-larangan tanpa kontrol iman atau agama sama sekali dalam hatinya, seperti tidak sungkan menganiaya orang, mabuk-mabukan mengganggu ketentraman, kenyaman dan stabilitas masyarakat, mencuri, memperkosa, membunuh atau mencelakakan orang. 

Semua efek itu masuk kedalam domain publik. Karena itu sekalipun kewajiban melaksanakan sholat adalah urusan perorangan tetapi menentukan kemaslahatan orang banyak (publik). Apalagi dalam Al-Qur'an itu dikatakan "innassholata tanha 'anil fahsya wal munkar" yang artinya sholat (yang khusu', terus menerus) mencegah diri dari melakukan perbuatan keji dan munkar, yaitu perbuatan yang mendatangkan murka allah. 

Sehingga semakin mengukuhkan bahwa ibadah sholat itu bukanlah benar-benar urusan perseorangan. Ada dimensi publik, ada kemaslahatan publik yang harus dilindungi. Karena itu dengan sendirinya penganutan unifikasi hukum secara ketat kedalam urusan keperdataan menjadi tidak relevan dipertahankan.

Dalam hal perkawinan misalnya, tidak mungkin keabsahan perkawinan umat Islam harus diseragamkan, disamaratakan dalam suatu unifikasi hukum dengan umat bergama lainnya, termasuk juga soal talak/perceraian, harta gono gini, pembagian harta warisan, rujuk (menikah kembali dengan mantan Isteri/suami selama belum melampaui ketentuan masa iddah 3 (tiga) bulan. 

Belum lagi soal-soal Haji, Zakat, Wakaf, Hibah, Wasiat semua itu bagi umat Islam harus tunduk kepada syari'at Islam (Al-Qur'an dan Hadist yang dilengkapi dengan pemahaman para ulama). Karena itu tidak perlu dipersoalkan kehadiran Pengadilan Agama yang khusus diperuntukkan buat umat Islam, Lembaga Zakat, Kementerian Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI, acuan bagi Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara keagamaan umat Islam). Negara hadir hanya memfasilitasi agar pelaksanaan aktivitas atau peribadatan umat Islam menjadi lebih tertib dan teratur.

Untuk hal-hal semacam itu tidak mungkin harus diterima unifikasi hukum buat diberlakukan kepada semua orang secara nasional. Itu akan ditolak oleh umat Islam. Justru di bidang privat karena kita majemuk maka kita harus menganut kemajemukan hukum itu. 

Syari'ah Islam itu bukanlah berkaitan dengan dasar negara, tetapi syari'ah Islam itu sendiri adalah sumber hukum bagi pembentukan hukum positif negara. Karena itu dapat kapanpun ditransformasikan kedalam hukum positif negara seperti undang-undang maupun perda untuk mengatur kehidupan umat Islam yang menghendaki pluralisme hukum. 

Tidak perlu kemudian dikembangkan kekhawatiran berlebihan umat Islam anti Pancasila, anti NKRI, akan begini akan begitu dan sebagainya-dan sebagainya. Tidak sama sekali. Justru Pancasila itu memfasilitasi umat beragama untuk bebas menganut, mengembangkan dan mengimplementasikan ajaran agamanya kedalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bahkan tegas saya katakan bahwa menolak pluralisme hukum sama dengan menolak kebhinekaan, karena itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Jadi, salah memahami konsep kebhinekaan akan berdampak serius dan fatal terhadap pemahaman hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Nyatanya dalam tahun-tahun terakhir ini rezim yang berkuasa terlalu memaksakan bahwa harus unifikasi hukum untuk semua hal. Perda-perda bernuansa keagamaan dalam hal ini Islam atau perda syari'ah ditolak, ditentang, diawasi dengan sangat ketat. 

Pengawasan itu dilakukan melalui evaluasi ketika masih berupa Ranperda untuk dapat disahkan menjadi perda oleh Gubernur, Mendagri ataupun Presiden. Padahal bangsa kita yang majemuk menuntut untuk dianutnya pluralisme hukum. Karena itu rezim yang berkuasa sesungguhnya adalah pihak anti kebhinekaan.

Menakar Konsep Penjara dan Konsep Lembaga Pemasyarakatan


Menakar Konsep Penjara dan 
Konsep Lembaga Pemasyarakatan

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Masyarakat kita orang awam hari ini tidak paham betul bedanya konsep penjara dan konsep lembaga pemasyarakatan. Kalau konsep penjara itu narapidana itu di sel/dipenjara disiksa, digebukin, supaya takut tidak berani lagi melakukan kejahatan. Jadi fungsi penegakan hukum pidana selain sebagai pembalasan mutlak juga untuk mengintimidasi dan mencegah baik narapidana termasuk siapapun yang belum pernah dipidana untuk tidak melakukan kejahatan. Bahkan tidak jarang narapidana mati selama menjalani masa pidana di penjara, cacat fisik dan mental yang berat. Ada juga yang keluar dari penjara dikembalikan kepada keluarganya hanya tinggal nama. 

Konsep penjara ini penekanannya adalah pada penjeraan, efek jera atau pembalasan dendam oleh negara yang ditimpakan kepada seseorang atas kesalahannya melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan. Sedang model penegakan hukum acara pidananya dilakukan dengan pendekatan inquisitoir, yaitu tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai objek pemeriksaan yang dapat diperas dan dipaksa untuk dimintai keterangan. Sementara kedudukan Negara dalam hal ini penyidik  superior. Tak jarang selama dalam pemeriksaan oleh polisi maupun jaksa, tersangka/terdakwa seakan sudah diperlakukan sebagai seorang yang telah bersalah dan diperlakukan semena-mena. Hukum acara pidana yang berlaku pada waktu itu "Het Inlands Reglement (HIR)" mengandung banyak ketentuan yang bersifat sumir dan multitafsir. 

Singkatnya HIR memfasilitasi perlakuan semena-mena oleh aparat penyidik kepada tersangka/terdakwa dalam proses pemeriksaan. Bahkan dalam praktik orang yang tidak bersalah dipaksa mengakui suatu kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Konsep ini dianggap sangat buruk dari segi HAM dan sangat tidak beradab. Konsep ini kita anut sejak masa kolonial Belanda dulu sampai akhirnya Indonesia merdeka dan terus dipertahankan sampai tahun 1995. Seiiring berkembangnya pemikiran tentang HAM  dan pembaharuan hukum diikuti pula kritik dan kecaman dari pemerhati HAM dunia maka konsep penjara yang dianggap melanggar HAM, kolot, kuno, terbelakang sementara zaman terus berkembang maka tidak boleh lagi diterapkan, karena itu di Indonesia sejak disahkannya UU No. 12 Tahun 1995 tentang lembaga pemasyarakatan, konsep dan sistem penjara secara resmi ditinggalkan. 

Sebenarnya konsep lembaga pemasyarakatan sudah mulai diterapkan pada 1963 dimasa menteri kehakimannya Dr. Saharjo pada waktu itu, tapi resminya baru 1995. Pemahaman yang dibangun dalam konsep lembaga pemasyarakatan ini adalah bahwa yang dipidana (dijatuhi hukuman) itu warga negara kita juga, bukan orang yang kita jajah tidak seperti konsep penjara yang sarat nuansa kolonial. Karena itu tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai subjek hukum dan kepadanya diberikan sejumlah hak-hak serta kedudukannya dalam peradilan pidana setara dengan penyidik maupun penuntut umum. Konsep lembaga pemasyarakatan ini penekanannya adalah pada pembinaan narapidana. 

Pembalasan dendam itu berakhir dengan jatuhnya vonnis (putusan pengadilan), dan ketika narapidana itu ditempatkan di lembaga pemasyarakatan dia diperlakukan sama dengan semua narapidana tindak pidana apapun tidak boleh di diskriminasi. Selama menjalani masa pidana (hukuman) di lembaga pemasyarakatan narapidana itu di didik, dibina, supaya insyaf, sadar tidak melakukan lagi tindak pidana, termotivasi menjadi orang baik. Dan selepas keluarnya dari lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat berbaur kembali, diterima di lingkungan masyarakat, menjadi warga negara yang baik, berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. 

Untuk memotivasi narapidana itu menjadi baik maka negara kemudian menawarkan remisi (pengurangan masa menjalani hukuman). Remisi itu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada semua narapidana. Maka dalam undang-undang dikenal ada remisi umum, remisi khusus, ada lagi asimilasi, bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas. Karena itu pulalah hukuman seumur hidup itu termasuk hukuman mati pada prinsipnya bertentangan dengan konsep lembaga pemasyarakatan. Sebab konsep lembaga pemasyarakatan itu mendidik orang supaya jadi orang baik, keluar dari lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat berbaur, diterima kembali di lingkungan masyarakat, menjadi warga negara yang baik, berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Kalau orang itu dipidana seumur hidup atau pidana mati kapan mau dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan, menjadi warga negara yang baik, berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara??. 

Sebab itu pidana seumur hidup dan pidana mati itu dianggap menghilangkan/menggugurkan hak-hak narapidana. Kendatipun pidana seumur hidup dan pidana mati masih tetap dipertahankan dalam KUHP. Saya berpendapat khusus untuk eksistensi pidana mati mesti terus dipertahankan untuk mengantisipasi terjadinya exstra ordinary crime juga karena menurut penilaian sosiologis masyarakat kita bahwa nyawa memang sudah sepatutnya dibalas dengan nyawa. Betapapun konsep penjara itu dianggap sedemikian buruknya sehingga konsep lembaga pemasyarakatan dianggap ideal, humanis dan berkeadilan, sebuah konsep yang dipandang memanusiakan manusia sebagaimana menjadi akar pemikiran dalam hukum progresif oleh Prof. Stjipto Rahardjo, menjunjung tinggi prinsip human right dignity (penghormatan terhadap harkat martabat kemanusiaan). Sungguhpun demikian, kedua konsep ini tetap memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. 

Kebaikan yang terkandung dalam konsep penjara yaitu adanya semacam ketundukan mental dan kontrol emosional untuk melakukan kejahatan. Orang menjadi berpikir panjang untuk melakukan kejahatan. Sebab sudah dapat dibayangkan dampaknya, akan diperlakukan sangat buruk selama dalam pemeriksaan maupun ketika ditempatkan selama menjalani masa pidana. Berbanding terbalik dengan sistem pemasyarakatan/lembaga pemasyarakatan. Sebab dalam anutan konsep lembaga pemasyarakatan sangat potensial hilangnya rasa takut orang untuk melakukan kejahatan (tindak pidana). Bahkan dengan konsep seperti ini dapat mendorong orang melakukan tindak pidana. Belum di pidana saja orang-orang dapat membayangkan selama menjalani pidana akan diperlakukan dengan sangat baik, akan di didik, diberi pelatihan, ditambah adanya berbagai remisi sebagai hak yang akan diterima. Walaupun dalam praktiknya cukup sering kita mendengar mereka yang dipenjara itu diperlakukan dengan kasar, diberi makanan seadanya, remisi sulit di dapat. Ini persoalan lain yakni ketimpangan antara normatif dan praktik.

Meski demikian tidak jarang pula kita menyaksikan pemberitaan di media narapidana kelas pejabat atau elit mendapat fasilitas yang berbeda bahkan mewah sudah seperti di rumah pribadi. Selain itu kelemahan konsep lembaga pemasyarakatan dalam tataran teknis operasional di lapangan juga akhirnya terlalu membebani APBN untuk membangun Lapas akibat over kapasitas, termasuk membiayai makanan narapidana dan biaya-biaya untuk pelatihan atau pembinaan kepada narapidana. Lalu bagaimana kita menyikapi persoalan ini, sistem sudah tercipta seperti ini. Mau kembali ke konsep penjara warisan pemerintah kolonial sudah terlanjur di cap buruk dan sangat tidak berprikemanusiaan. Sedang konsep lembaga pemasyarakatan justru potensial menyebabkan hilangnya rasa takut orang untuk melakukan kejahatan bahkan mendorong orang melakukan kejahatan.

Sekarang ini keadaannya menjadi sangat dilematis, sering kita lihat pemberitaan di media manakala ada pejabat ataupun elit politik menjadi tersangka korupsi ataupun suap komentar masyarakat kita menghendaki harus dijatuhi hukuman yang berat. Demikian juga terhadap kasus pembunuhan dan pemerkosaan masyarakat kita inginnya dijatuhi hukuman berat bahkan hukuman mati. Ini sesungguhnya membuktikan bahwa masyarakat kita menghendaki penegakan hukum yang keras dan tegas asalkan berkeadilan, tidak pilih-pilih, pejabat, elit ataupun orang biasa yang melanggar hukum harus ditindak tegas. Tapi kondisi ini oleh pemikir hukum dengan pemikiran pembaharuan hukum malah dikatakan masyarakat kita sebagai orang dengan tipikal pendendam. Sementara itu implementasi konsep dan sistem pemasyarakatan sekalipun ia di agung-agaungkan, justru dipandang tidak memuaskan, bukannya menghukum tapi malah memanjakan narapidana. 
 
Mengenai hal ini persoalan sebenarnya adalah bagaimana kita menterjemahkan HAM itu sendiri. Jika mengacu kepada hukum acara pidana Islam, sepengetahuan saya tidak dikenal pembinaan kepada narapidana. Hakim menjatuhkan pidana sebagai pembalasan kepada terpidana atas kejahatan yang dilakukannya di dasarkan kepada pertimbangan nilai-nilai keadilan dan kepatutan atau moral. Sementara pembalasan itu dalam hal tertentu juga ada pengecualiannya, seperti diterangkan dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 178 bahwa "diwajibkan bagi kamu orang-orang yang beriman melaksanakan qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan....."

Pembalasan yang tidak bersifat mutlak itu dapat kita baca dalam Al-Qur'an pada surah dan ayat yang sama yaitu "mana kala barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah ia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (tebusan/denda) kepadanya dengan baik pula. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu (yaitu setelah diminta melaksanakan dengan baik dan membayar diat), maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih". Karakter pembalasan dalam anutan konsep penjara selalu orientasinya adalah penderitaan fisik dan mental narapidana. Sedang pembalasan yang dikenal dalam konsep lembaga pemasyarakatan dianggap telah ditimpakan oleh negara ditandai dengan dijatuhkannya vonnis (putusan pengadilan).

Sementara itu dalam kaidah hukum acara pidana Islam juga dikenal pembalasan yang ditimpakan kepada narapidana, tetapi dalam hal tertentu seperti qisas bahkan keharusan untuk dipidana (dijatuhkan hukuman) dan menjalani pidana dapat menjadi gugur dengan dibayarkannya diat. Memang tidak diakui adanya pembalasan yang bersifat mutlak dalam hukum acara pidana Islam seperti diterangkan dimuka, hanya saja tidak dikenal model pembinaan negara kepada narapidana. Bahkan dalam berbagai hadist kita ketahui bahwa dikenal jenis pidana rajam, atau cambuk bagi para pezina dan peminum khamar (minuman memabukkan). Jadi tidak semua melaksanakan larangan dalam agama dapat ditebus dengan maaf yang disertai diat.

Interpretasi HAM dalam jinayah (hukum pidana Islam) jelas sangat berbeda dengan konsep HAM yang dipahami di negara-negara barat. Bahkan konsep HAM  barat dalam banyak hal bersifat sangat bebas (liberal) tidak jelas sampai batas mana penerimaan terhadap hak dan kebebasan itu. Meski interpretasi kita terhadap HAM dalam panggung akademik masih dapat terus diperdebatkan dalam rangka pembaharuan atau re-interpretasi yang lebih cocok untuk konteks Indonesia kedepan, kenyataan harus kita terima sampai hari ini bahwa konsep pemasyarakatanlah yang dianggap ideal untuk dilaksanakan terlepas dari segala kekurangannya. 

Menakar Putusan Mahkamah Agung


Menakar Putusan Mahkamah Agung

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)


Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan oleh PKPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Sebabnya PKPU tersebut memuat ketentuan yang melarang atau mencabut hak politik mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual pada anak untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 

Selain itu, KPU berpendapat hal itu adalah bentuk terobosan hukum yang dilakukan oleh KPU. Tidak lama sejak PKPU itu berlaku, gelombang penolakan yang tidak terbendung dari mereka yang tidak dapat menerima PKPU tersebut akhirnya mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) meminta agar MA batalkan ketentuan PKPU yang mencabut hak politik mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.

Sebagai seorang yang mendalami Hukum Tata Negara, bagi saya persoalan semacam ini tidak asing dan sudah lumrah terjadi. Secara konseptual saya sependapat dengan argumentasi yang dikemukakan oleh MA bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh memuat norma yang bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. 

Ini adalah salah satu asas dalam ilmu hukum, khususnya dalam ilmu perundang-undangan yang dalam bahasa latin disebut "lex superior derogat legi inferiori, yang berarti peraturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan hukum yang lebih rendah, peraturan hukum lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Selain itu juga bermakna peraturan hukum lebih rendah tidak boleh memuat norma yang mengikat norma induk yang telah melahirkannya.

A. Tentang kedudukan Peraturan KPU dalam peraturan perundang-undangan

Bagaimanapun, sebagai negara hukum konsekuensi yuridis adalah bahwa pengakuan sebagai negara hukum harus senantiasa terwujud dalam pentaatan terhadap asas hukum dalam tiap-tiap pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Karena itu ada baiknya kita ketahui apa-apa sajakah bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita. Peraturan perundang-undangan itu beragam jenis dan banyak jumlahnya, sebab itu secara umum dibedakanlah kedalam kedudukan dan sifat norma yang melekat padanya. 

Dalam rangka tertib hukum, untuk menentukan manakah yang lebih tinggi kedudukannya, bagaimana kekuatan berlaku mengikatnya maka disusunlah hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan itu. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 UU  No. 12 Tahun 2011 Tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut hierarki peraturan perundang-undangan itu terdiri atas:
1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU/Perppu
4. PP
5. Perpres
6. Perda

Namun jumlah dan jenis peraturan perundang-undangan tidak terbatas hanya pada hierarki pada Pasal 7 itu saja. Hierarki tersebut adalah panduan umum dan mendasar mengenai kedudukan, kekuatan berlaku mengikat, sifat norma atau materi muatan yang harus menjadi acuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Sementara itu pada Pasal 8 mengakui ada lebih banyak jenis peraturan perundang-undangan, diantaranya mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, BPK, KY, MA, MK, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Sementara itu mengenai pengujian peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan  diatur dalam Pasal 9 UU No.12 Tahun 2011, UU 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, maupun dalam UU No. 40 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Tapi sebelum itu penting untuk diketahui dimanakah kedudukan Peraturan KPU (PKPU) diantara hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut diatas. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus tahu dimanakah kedudukan KPU dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. 

Dalam doktrin, kekuasaan dalam negara dipisah-pisahkan kedalam apa yang disebut Trias Politica. Trias, artinya tiga poros, tiga cabang. Politica, berarti kekuasaan. Trias politica adalah tiga poros besar atau cabang kekuasaan dalam negara, ketiga poros tersebut adalah kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Poros Legislatif diisi oleh MPR, DPR, dan DPD untuk tingkat pusat. Sedang untuk tingkat daerah diisi oleh DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Poros Eksekutif jauh lebih banyak dan kompleks meliputi Presiden dan Wakil Presiden, menteri dan pejabat ataupun institusi setingkat menteri seperti Kapolri, Panglima TNI, Ketua Kejaksaan Agung, Kepala BIN, Duta Besar, Komnas HAM, KPK, BPK, KPU. Ditingkat lebih rendah ada Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, Kepala Desa.

Dan terakhir di poros Yudikatif diisi oleh MA dan badan peradilan yang ada dibawahnya, dan MK. Selain itu masih ada lembaga yang dikategorikan sebagaj lembaga quasi yudikatif seperti lembaga Arbitrase, Komisi Informasi Publik (KIP), Komisi Penyelesaian Sengketa Konsumen (KPSK), termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan lain sebagainya.

Tentang kedudukan KPU, seperti yang saya kemukakan diatas bahwa KPU ada dalam ranah eksekutif sebagai lembaga setingkat menteri. Karena itu pula Peraturan KPU (PKPU) adalah peraturan perundang-undangan yang sejajar kedudukannya dengan peraturan menteri. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan keberadaan peraturan menteri itu secara implisit ada dibawah Perpres dan diatas Perda. 

Karena itu jika mengacu kepada  hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 maka tentu saja baik peraturan menteri maupun PKPU kedudukannya berada jauh dibawah undang-undang. Jika peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang bertentangan dengan undang-undang maka untuk pengujiannya menjadi wewenang Mahkamah Agung.

B. Tentang Putusan MA Batalkan ketentuan dalam PKPU

Mahkamah Agung (MA) membatalkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) PKPU No. 20 Tahun 2018 dan PKPU No.26 Tahun 2018 sebab dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017. Saya berpendapat putusan MA tersebut sudah tepat. Pengadilan berperan penting dalam menjaga tertib hukum agar hierarki peraturan perundang-undangan dipatuhi.

Beberapa alasan dapat saya kemukakan diantaranya yaitu Pertama, taat asas hukum. semangat KPU untuk mengupayakan munculnya wakil rakyat yang baik kiranya patut kita apresiasi. Tetapi KPU pun tidak boleh sembarang membuat peraturan yang potensial bahkan bertentangan dengan undang-undang. 

KPU harus taat asas hukum bahwa peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Prinsipnya hanya undang-undang yang dapat mengurangi, mencabut atau merampas hak warganegara termasuk dalam hal ini hak politik. Dalam negara demokrasi ini apa-apa harus ada persetujuan rakyat yaitu undang-undang. 

Apalagi dalam PKPU itu terkait norma yang dibatalkan MA sangat membahayakan keutuhan demokrasi sebab hak politik warga negata dalam hal ini mantan narapidana yang dimaksud dalam PKPU tidak mengenal pembatasan waktu. Artinya berlaku untuk selamanya atau berlaku seumur hidup. Ini jelas sangat mengkhawatirkan kehidupan demokrasi.

Kedua, KPU bukan hakim atau lembaga peradilan. KPU tidak boleh menghukum orang, sebab domain menghukum itu domainnya pengadilan. Jika suatu perkara pidana diperiksa dan diadili di pengadilan, maka hakim berdasarkan undang-undang dapat menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa perampasan hak seperti hak politik yang sifatnya temporer yaitu untuk selama waktu tertentu.

Ketiga, secara konseptual bertentangan dengan semangat anutan lembaga pemasyarakatan. Bahwa orientasi penganutan konsep lembaga pemasyarakatan adalah pada pembinaan. Selama menjalani masa pidana, narapidana di didik, dibina supaya insaf, sadar, tidak mengulangi berbuat jahat melanggar hukum. Dan selepas keluar dari lembaga pemasyarakatan, selesai menjalani masa pidana maka diharapkan dapat diterima kembali dan berbaur ditengah masyarakat menjadi warga negara yang baik berguna 
bagi masyarakat, bangsa dan negara. 

Secara hukum, orang yang telah selesai menjalani masa pidana maka dia sudah dipandang bersih. Hanya memang harus diakui bahwa persoalannya sekarang adalah ternyata apa yang ideal menurut hukum tidak selalu sejalan dengan apa yang dipandang patut di masyarakat. Hal itu biasa dalam pembentukan kaidah hukum, wajar muncul banyak kompleksitas yang sulit terakomodir dengan baik.

Perihal Peserta Pemilu dan Pelaksana Kampanye


Perihal Peserta Pemilu 
dan Pelaksana Kampanye

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Dari sekian banyak hal yang dibicarakan dalam pemilu, satu diantaranya adalah perihal peserta pemilu. Sebab dalam praktiknya telah menimbulkan persepsi yang kurang tepat sehingga telah pula menimbulkan kerancuan dalam memahami suatu norma hukum. 

Hal itu wajar saja menghinggapi penyelenggara pemilu dalam memahami suatu norma hukum, karena memang norma hukum sendirilah yang menciptakan ketidakjelasan itu. Misalnya UU Pemilu dan PKPU dalam menterjemahkan apa itu peserta pemilu tak lain sebetulnya adalah efek dari ketidakjelasan pengaturan konstitusional. 

Pasal 22E ayat (2)  UUD 1945 menyatakan, Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Pada ayat (3) menyatakan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. Lalu pada ayat (4) menyatakan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. 

Yang janggal disini tidak diatur tentang peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Justru diatur secara berbeda dan dalam pasal yang berbeda yaitu pada Pasal 6A ayat (2) menyatakan bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik  peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Sementara itu dalam UU No. 7 tahun 2018 dan PKPU No. 23 Tahun 2018 menterjemahkan Peserta Pemilu adalah partai politik untuk pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan Partai Politik untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Tidak jelas apa dasar argumentasi yuridis MPR membuat norma seperti ini dalam UUD 1945. Dilihat dari segi subjek yang mengusulkan, sebetulnya peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik, sama dengan calon anggota DPR dan DPRD yang pencalonannya diusulkan oleh partai politik. 

Dengan kata lain peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta calon anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Hanya bedanya pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden terdiri dari beberapa partai politik (koalisi), sedang pada pemilu anggota DPR dan anggota DPRD tidak diusulkan oleh gabungan atau beberapa partai politik. Melainkan hanya diusulkan oleh partai politik calon yang bersangkutan. 

Dalam pemilu anggota DPR dan DPRD tidak mengenal adanya koalisi. Sebenarnyapun keberadaan presidenthial treshold yang menciptakan koalisi dalam Pilpres tidak dikenal di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan presidential. Sudah sering dikritik oleh para pakar tentang ini, sayapun juga sudah banyak menulis tentang ini. Tapi mungkin persoalan ini baiknya 
dibicarakan pada kesempatan yang lain.

1. Calon anggota DPR dan DPRD Peserta Pemilu atau Pelaksana Kampanye?

Mengenai defenisi peserta pemilu dapat kita baca dalam ketentuan umum baik pada UU Pemilu maupun dalam Perbawaslu. Sekedar untuk diketahui bahwa segala yang diatur dalam ketentuan umum pada setiap peraturan perundang-undangan kedudukannya merupakan penafsiran otentik yang sangat dibutuhkan dalam pembuktian persidangan pengadilan. 

Diskresi hakim dalam mengadili dan memutus perkara terletak pada kebebasan melakukan penafsiran. Dan diantara jenis penafsiran itu ada penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis, dan lainnya, terutama yang jadi acuan hakim peradilan dalam mengadili dan memutus suatu perkara adalah penafsiran otentik. 

Berdasarkan defenisi yang diberikan oleh undang-undang maupun perbawaslu, peserta pemilu anggota DPR, DPRD adalah partai politik. Maksudnya, peserta pemilu yang berkompetisi dalam kontestasi pemilu adalah partai politik. Tetapi partai politik hanya dapat berkompetisi dalam kontestasi pemilu melalui perantaraan kadernya yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, ataupun DPRD. Beda dengan calon anggota DPD, orang yang bersangkutan langsung menjadi peserta pemilu. Tidak ada keterlibatan partai politik dalam pencalonan, pembiayaan maupun konsolidasi pemenangan calon dalam pemilu.

Saya tidak sependapat mengatakan calon anggota DPR dan anggota DPRD dikatakan sebagai pelaksana kampanye. Peserta pemilu dan pelaksana kampanye terdapat perbedaan yang jelas dan mendasar. Pada pemilu anggota DPR dan DPRD peserta pemilunya adalah partai politik, walaupun praktiknya dilakukan melalui perantaraan kadernya sebagai calon anggota DPR dan DPRD. 

Dengan begitu calon anggota DPR dan DPRD adalah peserta pemilu tak langsung. Sedangkan pelaksana kampanye Pasal 1 angka 22 PKPU No 23 Tahun 2018 tegas menyatakan bahwa Pelaksana Kampanye adalah pihak-pihak yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk melakukan kegiatan kampanye. Dengan kata lain Pelaksana Kampanye adalah pihak-pihak yang ditunjuk oleh partai politik. Karena itu menyamakan calon anggota DPR dan DPRD sebagai Pelaksana Kampanye menurut saya tidak tepat.

Peserta Pemilu dan Pelaksana kampanye adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Agar terbentuk kesatuan pemahaman yang utuh tentang Pelaksana Kampanye, dalam memahami suatu peraturan perundang-undangan kita perlu memahami pasal-pasal secara utuh dengan mengaitkannya satu sama lain. Pasal 1 angka 21 PKPU No 23 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa Kampanye pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. 

Substansi yang termaktub dalam pasal tersebut adalah baik Peserta Pemilu ataupun pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu dalam kampanye pemilu sama-sama melakukan kegiatan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Pihak lain yang ditunjuk tersebut keberadaannya diperlukan dan bersifat diperbantukan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.

Keberadaan dan Kedudukan Bawaslu Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia


Keberadaan dan Kedudukan Bawaslu 
Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia

Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

A. Pengaturan Lembaga Pengawas Pemilu dalam undang-undang

Pertama kali dalam sejarah pasca amandemen UUD 1945 keberadaan sebuah lembaga pengawas pemilu yang diberi nama Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu dibentuk berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008. Secara eksplisit keberadaannya diatur dalam Pasal 1 angka 15 yang menyatakan, Badan Pengawas Pemilu selanjutnya disebut Bawaslu adalah Badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelumnya pemilu diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003, dan mengenai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pemilu disebut Panitia Pengawas Pemilu. Keberadaan Panitia Pangawas ini dibentuk berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2003, dan panitia ini dibentuk secara berjenjang ada Panitia Pengawas Pemilu Pusat, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan yang melakukan pengawasan terhadap seluruh proses penyelenggaraan pemilu. Panitia Pengawas Pemilu inilah yang menjadi cikal bakal dibentuknya Badan Pengawas Pemilu. Dari yang semula disebut "Panitia" dalam UU No 12 Tahun 2003, berganti menjadi "Badan" pada UU No. 10 Tahun 2008. Dalam perkembangannya UU No. 10 Tahun 2008 dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2012, kemudian undang-undang inipun dicabut dan diganti dengan UU No. 7 Tahun 2017.

1. Panitia Pengawas Pemilu menurut UU No. 12 Tahun 2003

Mengenai kedudukan dan pembentukan Panitia Pegawas Pemilu diatur pada Pasal 120 sampai dengan Pasal 126. Dalam Pasal 120 ayat (2) ditegaskan bahwa Panitia Pengawas Pemilu dibentuk oleh KPU. Pada ayat (3) menyatakan, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu. Ayat (4) menyatakan, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panitia Pengawas Provinsi. Selanjutnya pada ayat (5) menyatakan, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota. Adapun berkenaan dengan pertanggung jawaban ditegaskan pada Pasal 21 ayat (1) bahwa Panitia Pengawas Pemilu (Pusat) bertanggungjawab kepada KPU. Sementara itu Panitia Pengawas Pemilu tingkat dibawahnya bertanggungjawab kepada pembentuknya masing-masing seperti yang telah terang ditegaskan pada Pasal 120 diatas. Mengenai keanggotaan, khususnya Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan adalah suatu hal yang menarik diatur disini melibatkan banyak pihak seperti pada Pasal 124 ayat (1) menyatakan bahwa "...keanggotaan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguran tinggi, tokoh masyarakat dan pers".

Mengenai jabatan ketua dan wakil ketua Panitia Pengawas Pemilu tiap-tiap tingkatan mulai dari pusat sampai kecamatan dipilih dari dan oleh anggota. Artinya pemilihannya dilaksanakan secara internal, adapun perihal tata cara pemilihannya diatur dalam peraturan KPU. Demikian pula mengenai kedudukannya yang bersifat temporal, yaitu terikat pada waktu kapan pemilu dilaksanakan. Pasal 126 menyatakan bahwa Panitia Pengawas Pemilu tiap-tiap tingkatan mulai dari pusat sampai kecamatan dibentuk sebelum pendaftaran pemilih dimulai dan tugasnya berakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu selesai. Selebihnya terserah kepada KPU untuk membubarkannya setelah KPU memastikan bahwa pemilu telah selesai diselenggarakan dan keberadaan Panitia Pengawas tidak lagi diperlukan. Dari pengaturan yang seperti inilah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan Panitia Pengawas Pemilu bersifat ad hoc, temporer atau interim (sementara).

2. Pengawasan Pemilu oleh Bawaslu dan Panwaslu menurut UU No. 10 Tahun 2008

Menurut Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 UU No. 10 Tahun 2018 Bawaslu hanya dibentuk untuk tingkat pusat/nasional. Sedang untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan disebut Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Sama halnya dengan pengaturan pada UU No. 12 Tahun 2003, keberadaan Panwaslu Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan bersifat temporer atau ad hoc. Sementara Bawaslu dibentuk berdasarkan atau oleh undang-undang, karena itu bersifat permanen. Adapun pembentukan Panwaslu dilakukan secara berjenjang, Panwaslu Provinsi dibentuk oleh Bawaslu, Panwaslu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kecamatan dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota. Satu hal yang menarik disini yang membedakannya dengan pengaturan pada UU No. 12 Tahun 2003, UU No. 8 Tahun 2012 dan UU No. 7 Tahun 2017 adalah bahwa kedudukan Bawaslu adalah lebih diarahkan sebagai lembaga yang melakukan pengawasan pemilu belaka. Walaupun hanya secara implisit, masih belum tegas dinyatakan dalam undang-undang. Pembahasan mengenai ini saya akan jabarkan lebih lanjut pada pembicaraan tentang undang-undang pemilu yang terbaru yaitu UU No. 7 Tahun 2017.

3. Pengawasan Pemilu oleh Bawaslu dan Panwaslu menurut UU No. 8 Tahun 2012

Pengaturan perihal pengawasan pemilu menurut undang-undang ini dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan dengan UU No. 10 Tahun 2008. Undang-undang ini lebih banyak menyangkut perihal tahapan pemilu yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 10 Tahun 2008. Karena itu pembicaraan tentang ini saya anggap tidak perlu dibicarakan. Sebab konsentrasi tema dalam tulisan ini adalah hanya pada keberadaan dan kedudukan lembaga pengawas pemilu.

4. Pengawasan pemilu menurut UU No. 7 Tahun 2017

Jika pada UU No. 10 Tahun 2008 walaupun tidak dijumpai pengaturan yang tegas, namun secara implisit Bawaslu adalah lembaga negara yang melakukan tugas pengawasan penyelenggaraan pemilu. Sementara pada UU No. 7 Tahun 2017 pada Pasal 1 angka 17 ditegaskan bahwa Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota undang-undang membentuk Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Karena pembentukannya langsung oleh atau berdasarkan undang-undang maka kedudukan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap. Beda dengan pengawas tingkat kecamatan dan kelurahan/desa dibentuk Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa yang bersifat ad hoc, serta pembentukannya dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota untuk Panwaslu Kecamatan, dan Panwaslu Kecamatan untuk Panwaslu Kelurahan/Desa.

Pengawasan pada lapis bawah masih dilengkapi lagi dengan Pengawas Tempat Pemungutan Suara atau yang disebut PTPS. Selain itu ada pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga negara yang baru sama sekali melaksanakan tugas mengawasi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Oleh karena Bawaslu oleh undang-undang ditentukan sebagai lembaga penyelenggara pemilu maka dalam hal terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Bawaslu maka menjadi kewenangan DKPP untuk memeriksa dan mengadilinya. Tidak hanya Bawaslu, tapi juga KPU, beserta tingkatan hierarkisnya dilapisan lebih rendah yaitu meliputi Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Pengawas Tempat Pemungututan Suara (PTPS), Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPPLN), KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) serta Panitia Pemilahan Luar Negeri (PPLN).

B. Bawaslu, Keberadaan dan Kedudukannya dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia

Analisis secara hukum terhadap undang-undang pemilu sebenarnya terdapat kesalahan fatal, bahwa undang-undang pemilu  (UU No. 7 Tahun 2017) meletakkan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Bahwa Bawaslu terlibat aktif dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu memang benar adanya, tapi haruslah dipahami bahwa Bawaslu tidak menyelenggarakan pemilu sama sekali. Penyelenggaraan pemilu itu mutlak menjadi kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU-lah penyelenggara pemilu itu. Adalah sebuah kontradiktif sama sekali bahwa secara nomenklatur disebut lembaga “pengawas” pemilu dengan tugas melaksanakan pengawasan pemilu tetapi kedudukannya ditentukan sebagai penyelenggara pemilu.

Menjadikan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu sementara tugasnya tegas disebut mengawasi penyelenggaraan pemilu adalah sebuah contradictio in terminis, yaitu pertentangan secara terminologis. Artinya, secara harfiah telah terjadi ketidakjelasan seolah ada dualisme pihak atau lembaga penyelenggara pemilu. Padahal nyatanya hanya KPU penyelenggara pemilu. Karena itu meletakkan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu adalah kesalahan fatal yang seharusnya tidak terjadi. Sebab Bawaslu berbeda dengan KPU. Memang benar bahwa KPU, Bawaslu dan DKPP itu adalah satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu seperti diatur dalam undang-undang pemilu. Tapi Bawaslu dan DKPP itu bukan lembaga penyelenggara pemilu. Sama halnya dengan Kepolisian, Kejaksaan KPK, dan pengadilan adalah satu kesatuan fungsi penegakan hukum, aktif dalam penegakan hukum. 

Terlebih Kepolisian, KPK, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan keberadaannya masuk kedalam apa yang disebut integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu), tapi Kepolisian, KPK dan Kejaksaan itu bukanlah lembaga peradilan. Adapun Polri dalam UUD 1945 maupun dalam undang-undang disebut menjalankan tugas menegakkan hukum, maksud menegakkan hukum disitu adalah law in prosedure, yaitu menegakkan KUHAP. Tidak masuk dalam lingkup menerapkan hukum dan penjatuhan hukuman yang menjadi domain pengadilan. Sebab pengadilan itu tidak bisa jalan kalau tidak dimulai dari suatu proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Putusan pengadilanlah wujud atau konkretisasi penegakan hukum secara real, disitulah keadilan itu diuji, disitulah keadilan itu dituangkan. Demikian juga dengan Bawaslu, hanya karena Bawaslu terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu tidak berarti Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu.

Dari penelusuran sejarah terhadap undang-undang pemilu sebelumnya juga tidak ditentukan pengawas pemilu sebagai penyelenggara pemilu, melainkan sebagai pengawas pemilu. Tapi realitasnya UU No. 7 Tahun 2017 menyatakan Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemilu. Disitulah letak persoalannya, sebab Bawaslu tidak menjalankan fungsi dan tugas penyelenggaraan pemilu seperti KPU. Bawaslu tugasnya melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu, tetapi kedudukannya dikatakan sebagai penyelenggara pemilu, lalu apakah mungkin KPU kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu dapat pula menjalankan tugas pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu seperti halnya Bawaslu?. Harus dipahami bahwa pengawasan yang dilakukan oleh KPU hanya terbatas pada mengawasi sejauh manakah dipatuhinya Peraturan KPU ataupun Keputusan KPU oleh jajarannya kebawah dan oleh peserta pemilu.

Jika KPU melalui pemeriksaan verifikasi kelengkapan berkas peserta pemilu menemukan ada yang tidak sesuai dengan PKPU maka KPU dapat langsung membatalkan atau menyatakan tidak memenuhi syarat sebagai daftar calon tetap dan sebagainya. Sedangkan Bawaslu cakupan pengawasannya lebih luas yaitu meliputi mengawasi penyelenggaraan pemilu dari segala kemungkinan terjadinya pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh peserta pemilu, dan pihak-pihak yang oleh undang-undang dilarang terlibat dalam kegiatan politik seperti ASN, anggota Polri/TNI, kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD. Termasuk juga sengketa yang muncul antara peserta pemilu dengan KPU dalam proses atau tahapan penyelenggaraan pemilu, maka Bawaslu berwenang memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya. Bahkan Bawaslu dalam sidang adjudikasi dapat membatalkan keputusan KPU jika memang majlis berpendapat keputusan KPU melanggar hak-hak peserta pemilu dan bertentangan dengan undang-undang.

1. Dasar Konstitusionalitas

Secara konstitusional, keberadaan Bawaslu erat kaitannya dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang. Komnas HAM, Advokad, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Lembaga Arbitrase Nasional, Komisi Informasi Publik, Komisi Pengawas dan Perlindungan Konsumen, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Badan Pengawas Pemilu semuanya adalah badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Adapun secara institusional, lembaga seperti Polri, Kejaksaan, KPK, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Pengawas dan Perlindungan Konsumen, Komisi Informasi Publik, Arbitrase dan Bawaslu bukanlah lembaga peradilan, tetapi menjalankan fungsi agak mirip pengadilan (quasi yudikatif) yaitu memeriksa, mengadili dan memutus sengketa sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar wewenangnya. 

Hanya saja putusan lembaga quasi yudikatif tersebut diatas dalam bentuk sanksi administrasi atau keperdataan semisal ganti rugi dan sebagainya. Demikian juga putusan Bawaslu bersifat administrasi yang diambil dalam sidang majelis adjudikasi. Sidang majelis adjudikasi inilah yang merupakan forum quasi yudikatif atau yang bersifat quasi yudikatif. Sehingga turut mewarnai corak Bawaslu sebagai lembaga quasi-yudikatif, bukan lembaga murni eksekutif meskipun rumpun institusinya berada dalam lingkungan eksekutif. Saking banyaknya jumlah, corak dan ragamnya lembaga negara, maka untuk kebutuhan akademik dan juga agar tidak terjadi polemik dalam pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga negara itu maka dibedakanlah lembaga negara kedalam dua kategori.

Yang pertama disebut state primary organ atau lembaga negara yang utama dan yang kedua disebut state auxiliary organ atau lembaga negara yang sifatnya menunjang atau membantu lembaga negara yang utama. State auxiliary organ ini menjalankan fungsi yang bersifat campuran (quasi, kombinasi) antara pembentukan hukum (legislasi), maupun fungsi mengadili (yudisial). Terkait dengan pembicaraan tema ini badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Bawaslu adalah lembaga quasi yudikatif. Bukan pengadilan tapi menjalankan kewenangan agak mirip pengadilan, dia bisa panggil orang untuk di dengar keterangannya sebagai saksi, ahli, memeriksa, mengadili dan memutus sengketa proses penyelengggaran pemilu. Diantaranya yang membedakan Bawaslu dengan pengadilan, Bawaslu tidak punya otoritas melakukan upaya paksa misalnya seperti panggil paksa dan penahanan (menahan orang untuk kepentingan pemeriksaan). Selain itu putusan majelis adjudikasi Bawaslu tidak berupa pemidanaan melainkan terbatas berupa sanksi administratif.

2. Bawaslu Dalam Struktur Ketatanegaraan.

Banyak yang berpendapat bahwa Bawaslu itu bukanlah lembaga struktural dengan pengertian yang tidak begitu jelas. Apakah yang dimaksudkan dengan lembaga non struktural itu?, secara umum di ranah eksekutif dikenal ada lembaga struktural dan lembaga non struktural. Struktural dalam domain eksekutif secara hierarkis yaitu Presiden kebawah sampai pada Kepala Desa.  Dalam domain yudikatifpun juga ada lembaga struktural dan lembaga non struktural. Lembaga struktural di yudikatif adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya. Pengadilan Negeri (PN) adalah lembaga struktural, sebab diatasnya masih ada Pengadilan Tinggi Negeri, dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Demikian juga halnya dengan Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer (Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi) adalah lembaga struktural yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

Sementara itu lembaga non struktural di lingkungan peradilan adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mengapa demikian, sebab Mahkamah Konstitusi itu adalah peradilan tunggal, berada diluar struktur Mahkamah Agung. Baik diatas maupun dibawahnya secara hierarkis tidak ada peradilan lain dan kedudukannya sederajat/setara dengan Mahkamah Agung. Sering disebut sebagai peradilan tata negara, dan sebagai peradilan tata negara Mahkamah Konstitusi sering pula disebut sebagai the  guardian of constitution (pengawal/penjaga konstittusi), the guardian of democrazy (pengawal demokrasi), the sole of intrepreter of constitution (penafsir tunggal konstitusi). Adapaun Komisi Yudisial, kewenangannya ada dalam lingkup yudikatif sebab Komisi Yudisial mempunyai wewenang diantaranya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. 

Meskipun orientasi kewenangannya masuk kedalam domain yudikatif, tetapi Komisi Yudisial bukanlah peradilan. Komisi Yudisial adalah lembaga non struktural sebab berada diluar struktur Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Lalu bagaimana dengan Bawaslu, masuk kedalam domain manakah Bawaslu itu, lembaga non struktural dalam domain manakah Bawaslu itu?. Dimuka telah disinggung bahwa secara  authority (wewenang), Bawaslu adalah lembaga quasi yudikatif. Dapat pula diperluas sebagai lembaga yang menjalankan fungsi  campuran atau kombinasi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi dan wewenangnya masuk kedalam doktrin trias politica, tetapi keberadaan institusinya ada dimana, saya berpendapat secara institusional, Bawaslu kedudukannya terletak di yudikatif tetapi Bawaslu tidak berada dalam struktur lembaga negara manapun, karena itu pulalah dikatakan Bawaslu merupakan lembaga non struktural dalam domain yudikatif.


Kendatipun demikian, Bawaslu dan KPU kedudukannya sederajat dan keduanya dapat disejajarkan dengan menteri negara. Saya menilai demikian merujuk kepada dasar konstitusionalitas pembentukannya yang bersumber pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana telah dijelaskan dimuka, dan dari aspek wewenangnya yang lebih menitik beratkan kepada penegakan hukum. Hanya bedanya dengan Kepolisian dan Kejaksaan, Kepolisian dan Kejaksaan itu adalah lembaga eksekutif dan menjalankan wewenang secara law in prosedure menurut KUHAP, bukan applying law (menerapkan hukum dan penjatuhan hukuman). Sedangkan Bawaslu adalah lembaga non struktural dalam domain yudikatif, tidak hanya berwenang melakukan applying law tetapi juga dilengkapi dengan wewenang melakukan law in prosedure. Wewenang law in prosedure itu ditandai dengan melakukan investigasi atau penyelidikan. Kewenangan melakukan investigasi adalah wewenangnya lembaga eksekutif. Kendati demikian, penyelidikan yang dilakukan Bawaslu bukanlah bersifat pro justicia. Sebab Bawaslu bukan lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya, dan Mahkamah Konstitusi.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...