Keberadaan dan Kedudukan Bawaslu
Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
A. Pengaturan Lembaga Pengawas Pemilu
dalam undang-undang
Pertama kali dalam
sejarah pasca amandemen UUD 1945 keberadaan sebuah lembaga pengawas pemilu yang diberi
nama Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu dibentuk
berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008. Secara eksplisit keberadaannya diatur dalam
Pasal 1 angka 15 yang menyatakan, Badan Pengawas Pemilu selanjutnya disebut
Bawaslu adalah Badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu diseluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelumnya pemilu diatur dalam UU
No. 12 Tahun 2003, dan mengenai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pemilu
disebut Panitia Pengawas Pemilu. Keberadaan Panitia Pangawas ini dibentuk
berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2003, dan panitia ini dibentuk
secara berjenjang ada Panitia Pengawas Pemilu Pusat, Panitia Pengawas Pemilu
Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan yang melakukan pengawasan terhadap seluruh proses penyelenggaraan
pemilu. Panitia Pengawas Pemilu inilah yang menjadi cikal bakal dibentuknya
Badan Pengawas Pemilu. Dari yang semula disebut "Panitia" dalam UU No
12 Tahun 2003, berganti menjadi "Badan" pada UU No. 10 Tahun 2008.
Dalam perkembangannya UU No. 10 Tahun 2008 dicabut dan diganti dengan UU No. 8
Tahun 2012, kemudian undang-undang inipun dicabut dan diganti dengan UU No. 7
Tahun 2017.
1. Panitia
Pengawas Pemilu menurut UU No. 12 Tahun 2003
Mengenai
kedudukan dan pembentukan Panitia Pegawas Pemilu diatur pada Pasal 120 sampai
dengan Pasal 126. Dalam Pasal 120 ayat (2) ditegaskan bahwa Panitia Pengawas
Pemilu dibentuk oleh KPU. Pada ayat (3) menyatakan, Panitia Pengawas
Pemilu Provinsi dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu. Ayat (4) menyatakan,
Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panitia Pengawas Provinsi. Selanjutnya pada ayat (5) menyatakan, Panitia
Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota. Adapun berkenaan dengan pertanggung jawaban
ditegaskan pada Pasal 21 ayat (1) bahwa Panitia Pengawas Pemilu (Pusat)
bertanggungjawab kepada KPU. Sementara itu Panitia Pengawas Pemilu tingkat
dibawahnya bertanggungjawab kepada pembentuknya masing-masing seperti yang
telah terang ditegaskan pada Pasal 120 diatas. Mengenai
keanggotaan, khususnya Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan adalah suatu hal yang
menarik diatur disini melibatkan banyak pihak seperti pada Pasal 124 ayat (1)
menyatakan bahwa "...keanggotaan
Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang
terdiri atas unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguran tinggi, tokoh
masyarakat dan pers".
Mengenai jabatan
ketua dan wakil ketua Panitia Pengawas Pemilu tiap-tiap tingkatan mulai dari
pusat sampai kecamatan dipilih dari dan oleh anggota. Artinya pemilihannya
dilaksanakan secara internal, adapun perihal tata cara pemilihannya diatur
dalam peraturan KPU. Demikian pula mengenai kedudukannya yang
bersifat temporal, yaitu terikat pada waktu kapan pemilu dilaksanakan. Pasal
126 menyatakan bahwa Panitia Pengawas Pemilu tiap-tiap tingkatan mulai dari
pusat sampai kecamatan dibentuk sebelum pendaftaran pemilih dimulai dan
tugasnya berakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah seluruh tahapan
penyelenggaraan pemilu selesai. Selebihnya terserah kepada KPU untuk
membubarkannya setelah KPU memastikan bahwa pemilu telah selesai
diselenggarakan dan keberadaan Panitia Pengawas tidak lagi diperlukan. Dari
pengaturan yang seperti inilah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan
Panitia Pengawas Pemilu bersifat ad hoc,
temporer atau interim (sementara).
2. Pengawasan Pemilu oleh Bawaslu dan Panwaslu
menurut UU No. 10 Tahun 2008
Menurut Pasal 15,
Pasal 16, dan Pasal 17 UU No. 10 Tahun 2018 Bawaslu hanya dibentuk untuk
tingkat pusat/nasional. Sedang untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan
disebut Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Sama halnya dengan pengaturan pada
UU No. 12 Tahun 2003, keberadaan Panwaslu Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Kecamatan bersifat temporer atau ad hoc.
Sementara Bawaslu dibentuk berdasarkan atau oleh undang-undang, karena itu
bersifat permanen. Adapun pembentukan Panwaslu dilakukan secara berjenjang,
Panwaslu Provinsi dibentuk oleh Bawaslu, Panwaslu Kabupaten/Kota dibentuk oleh
Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kecamatan dibentuk oleh Panwaslu
Kabupaten/Kota. Satu hal yang menarik disini yang membedakannya dengan
pengaturan pada UU No. 12 Tahun 2003, UU No. 8 Tahun 2012 dan UU No. 7 Tahun
2017 adalah bahwa kedudukan Bawaslu adalah lebih diarahkan sebagai lembaga yang
melakukan pengawasan pemilu belaka. Walaupun hanya secara implisit, masih belum
tegas dinyatakan dalam undang-undang. Pembahasan mengenai ini saya akan
jabarkan lebih lanjut pada pembicaraan tentang undang-undang pemilu yang
terbaru yaitu UU No. 7 Tahun 2017.
3. Pengawasan Pemilu oleh Bawaslu dan Panwaslu
menurut UU No. 8 Tahun 2012
Pengaturan
perihal pengawasan pemilu menurut undang-undang ini dapat dikatakan tidak
terdapat perbedaan dengan UU No. 10 Tahun 2008. Undang-undang ini lebih banyak
menyangkut perihal tahapan pemilu yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 10
Tahun 2008. Karena itu pembicaraan tentang ini saya anggap tidak perlu
dibicarakan. Sebab konsentrasi tema dalam tulisan ini adalah hanya pada
keberadaan dan kedudukan lembaga pengawas pemilu.
4. Pengawasan pemilu menurut UU No. 7 Tahun 2017
Jika pada UU No.
10 Tahun 2008 walaupun tidak dijumpai pengaturan yang tegas, namun secara
implisit Bawaslu adalah lembaga negara yang melakukan tugas pengawasan
penyelenggaraan pemilu. Sementara pada UU No. 7 Tahun 2017 pada Pasal 1 angka
17 ditegaskan bahwa Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang melakukan
pengawasan penyelenggaraan pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota undang-undang membentuk
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Karena pembentukannya langsung
oleh atau berdasarkan undang-undang maka kedudukan Bawaslu, Bawaslu Provinsi
dan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap. Beda dengan pengawas tingkat
kecamatan dan kelurahan/desa dibentuk Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu
Kelurahan/Desa yang bersifat ad hoc,
serta pembentukannya dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota untuk Panwaslu
Kecamatan, dan Panwaslu Kecamatan untuk Panwaslu Kelurahan/Desa.
Pengawasan pada
lapis bawah masih dilengkapi lagi dengan Pengawas Tempat Pemungutan Suara atau
yang disebut PTPS. Selain itu ada pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) sebagai lembaga negara yang baru sama sekali melaksanakan tugas
mengawasi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Oleh karena Bawaslu oleh
undang-undang ditentukan sebagai lembaga penyelenggara pemilu maka dalam hal
terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Bawaslu maka menjadi
kewenangan DKPP untuk memeriksa dan mengadilinya. Tidak hanya Bawaslu, tapi
juga KPU, beserta tingkatan hierarkisnya dilapisan lebih rendah yaitu meliputi
Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu
Kelurahan/Desa, Pengawas Tempat Pemungututan Suara (PTPS), Panitia Pengawas
Pemilu Luar Negeri (PPPLN), KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) serta Panitia
Pemilahan Luar Negeri (PPLN).
B. Bawaslu, Keberadaan dan Kedudukannya dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Analisis secara
hukum terhadap
undang-undang pemilu sebenarnya terdapat kesalahan
fatal, bahwa undang-undang pemilu (UU No.
7 Tahun 2017) meletakkan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Bahwa
Bawaslu terlibat aktif dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemilu memang benar adanya, tapi haruslah dipahami bahwa Bawaslu
tidak menyelenggarakan pemilu sama sekali. Penyelenggaraan pemilu itu mutlak
menjadi kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU-lah
penyelenggara pemilu itu. Adalah sebuah kontradiktif sama sekali bahwa secara
nomenklatur disebut lembaga “pengawas” pemilu dengan tugas melaksanakan
pengawasan pemilu tetapi kedudukannya ditentukan sebagai penyelenggara pemilu.
Menjadikan
Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu sementara tugasnya tegas disebut
mengawasi penyelenggaraan pemilu adalah sebuah contradictio in terminis, yaitu pertentangan secara terminologis. Artinya, secara harfiah telah terjadi
ketidakjelasan seolah ada dualisme pihak atau lembaga penyelenggara pemilu.
Padahal nyatanya hanya KPU penyelenggara pemilu. Karena itu meletakkan Bawaslu sebagai lembaga
penyelenggara pemilu adalah kesalahan fatal yang seharusnya tidak terjadi. Sebab
Bawaslu berbeda dengan KPU. Memang benar bahwa KPU, Bawaslu dan DKPP itu adalah
satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu seperti diatur dalam undang-undang
pemilu. Tapi Bawaslu dan DKPP itu bukan lembaga penyelenggara pemilu. Sama
halnya dengan Kepolisian, Kejaksaan KPK, dan pengadilan adalah satu kesatuan
fungsi penegakan hukum, aktif dalam penegakan hukum.
Terlebih Kepolisian, KPK,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan
keberadaannya masuk kedalam apa yang disebut integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana
terpadu), tapi Kepolisian, KPK dan Kejaksaan itu bukanlah lembaga peradilan. Adapun Polri dalam UUD 1945 maupun dalam undang-undang disebut menjalankan
tugas menegakkan hukum, maksud menegakkan hukum disitu adalah law in prosedure, yaitu menegakkan
KUHAP. Tidak masuk dalam lingkup menerapkan hukum dan penjatuhan hukuman yang
menjadi domain pengadilan. Sebab pengadilan itu tidak bisa jalan kalau tidak
dimulai dari suatu proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Putusan
pengadilanlah wujud atau konkretisasi penegakan hukum secara real, disitulah keadilan itu diuji,
disitulah keadilan itu dituangkan. Demikian juga
dengan Bawaslu, hanya karena Bawaslu terlibat aktif dalam penyelenggaraan
pemilu tidak berarti Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu.
Dari penelusuran sejarah terhadap undang-undang pemilu
sebelumnya juga tidak ditentukan pengawas pemilu sebagai penyelenggara pemilu,
melainkan sebagai pengawas pemilu.
Tapi realitasnya UU No. 7 Tahun 2017 menyatakan Bawaslu adalah lembaga
penyelenggara pemilu yang melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemilu.
Disitulah letak persoalannya, sebab Bawaslu tidak menjalankan fungsi dan tugas
penyelenggaraan pemilu seperti KPU. Bawaslu tugasnya
melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu, tetapi kedudukannya dikatakan
sebagai penyelenggara pemilu, lalu apakah mungkin KPU kedudukannya sebagai
penyelenggara pemilu dapat pula menjalankan tugas pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemilu seperti halnya Bawaslu?. Harus dipahami
bahwa pengawasan yang dilakukan oleh KPU hanya terbatas pada mengawasi sejauh
manakah dipatuhinya Peraturan KPU ataupun Keputusan KPU oleh jajarannya kebawah dan
oleh peserta pemilu.
Jika KPU melalui
pemeriksaan verifikasi kelengkapan berkas peserta pemilu menemukan ada yang
tidak sesuai dengan PKPU maka KPU dapat langsung membatalkan atau menyatakan
tidak memenuhi syarat sebagai daftar calon tetap dan sebagainya. Sedangkan
Bawaslu cakupan pengawasannya lebih luas yaitu meliputi mengawasi
penyelenggaraan pemilu dari segala kemungkinan terjadinya pelanggaran pemilu
yang dilakukan oleh peserta pemilu, dan pihak-pihak yang oleh undang-undang
dilarang terlibat dalam kegiatan politik seperti ASN, anggota Polri/TNI, kepala
desa, perangkat desa, dan anggota BPD. Termasuk juga sengketa yang muncul
antara peserta pemilu dengan KPU dalam proses atau tahapan penyelenggaraan
pemilu, maka Bawaslu berwenang memeriksa, mengadili dan memutus dengan
seadil-adilnya. Bahkan Bawaslu dalam sidang adjudikasi dapat membatalkan
keputusan KPU jika memang majlis berpendapat keputusan KPU melanggar hak-hak
peserta pemilu dan bertentangan dengan undang-undang.
1. Dasar Konstitusionalitas
Secara
konstitusional, keberadaan Bawaslu erat kaitannya dengan ketentuan Pasal 24
ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang. Komnas HAM, Advokad,
Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Lembaga Arbitrase Nasional, Komisi Informasi
Publik, Komisi Pengawas dan Perlindungan Konsumen, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha dan Badan Pengawas Pemilu semuanya adalah badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Adapun secara institusional, lembaga
seperti Polri, Kejaksaan, KPK, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi
Pengawas dan Perlindungan Konsumen, Komisi Informasi Publik, Arbitrase dan
Bawaslu bukanlah lembaga peradilan, tetapi menjalankan fungsi agak mirip pengadilan
(quasi yudikatif) yaitu memeriksa,
mengadili dan memutus sengketa sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
wewenangnya.
Hanya saja putusan lembaga quasi
yudikatif tersebut diatas dalam bentuk sanksi administrasi atau keperdataan
semisal ganti rugi dan sebagainya. Demikian juga putusan Bawaslu bersifat administrasi yang
diambil dalam sidang majelis adjudikasi. Sidang majelis adjudikasi inilah yang
merupakan forum quasi yudikatif atau
yang bersifat quasi yudikatif. Sehingga
turut mewarnai corak Bawaslu sebagai lembaga quasi-yudikatif, bukan lembaga murni eksekutif meskipun rumpun
institusinya berada dalam lingkungan eksekutif. Saking
banyaknya jumlah, corak dan ragamnya lembaga negara, maka untuk kebutuhan
akademik dan juga agar tidak terjadi polemik dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang lembaga negara itu maka dibedakanlah lembaga negara kedalam dua
kategori.
Yang pertama
disebut state primary organ atau lembaga
negara yang utama dan yang kedua disebut state
auxiliary organ atau lembaga negara yang sifatnya menunjang atau membantu
lembaga negara yang utama. State
auxiliary organ ini menjalankan fungsi yang bersifat campuran (quasi, kombinasi) antara pembentukan
hukum (legislasi), maupun fungsi mengadili (yudisial). Terkait dengan
pembicaraan tema ini badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman seperti Bawaslu adalah lembaga quasi
yudikatif. Bukan pengadilan tapi menjalankan kewenangan agak mirip pengadilan,
dia bisa panggil orang untuk di dengar keterangannya sebagai saksi, ahli,
memeriksa, mengadili dan memutus sengketa proses penyelengggaran pemilu. Diantaranya yang
membedakan Bawaslu dengan pengadilan, Bawaslu tidak punya
otoritas melakukan upaya paksa misalnya seperti panggil paksa dan penahanan
(menahan orang untuk kepentingan pemeriksaan). Selain itu putusan majelis adjudikasi Bawaslu tidak berupa pemidanaan
melainkan terbatas berupa sanksi administratif.
2. Bawaslu Dalam Struktur Ketatanegaraan.
Banyak yang berpendapat bahwa Bawaslu itu bukanlah
lembaga struktural dengan pengertian yang tidak begitu jelas. Apakah yang
dimaksudkan dengan lembaga non struktural itu?, secara umum di ranah eksekutif
dikenal ada lembaga struktural dan lembaga non struktural. Struktural dalam
domain eksekutif secara hierarkis yaitu Presiden kebawah sampai pada Kepala
Desa. Dalam domain yudikatifpun juga ada
lembaga struktural dan lembaga non struktural. Lembaga struktural di yudikatif
adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya. Pengadilan
Negeri (PN) adalah lembaga struktural, sebab diatasnya masih ada Pengadilan
Tinggi Negeri, dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Demikian juga halnya dengan
Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer (Mahkamah
Militer dan Mahkamah Militer Tinggi) adalah lembaga struktural yang berpuncak
pada Mahkamah Agung.
Sementara itu lembaga non struktural di lingkungan
peradilan adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mengapa demikian,
sebab Mahkamah Konstitusi itu adalah peradilan tunggal, berada diluar struktur
Mahkamah Agung. Baik diatas maupun dibawahnya secara hierarkis tidak ada
peradilan lain dan kedudukannya sederajat/setara dengan Mahkamah Agung. Sering
disebut sebagai peradilan tata negara, dan sebagai peradilan tata negara
Mahkamah Konstitusi sering pula disebut sebagai
the guardian of constitution
(pengawal/penjaga konstittusi), the
guardian of democrazy (pengawal demokrasi), the sole of intrepreter of constitution (penafsir tunggal
konstitusi). Adapaun Komisi Yudisial, kewenangannya ada dalam lingkup yudikatif
sebab Komisi Yudisial mempunyai wewenang diantaranya menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim.
Meskipun orientasi
kewenangannya masuk kedalam domain yudikatif, tetapi Komisi Yudisial bukanlah
peradilan. Komisi Yudisial adalah lembaga non struktural sebab berada diluar
struktur Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Lalu bagaimana dengan
Bawaslu, masuk kedalam domain manakah Bawaslu itu, lembaga non struktural dalam
domain manakah Bawaslu itu?. Dimuka telah disinggung bahwa secara authority
(wewenang), Bawaslu adalah lembaga quasi
yudikatif. Dapat pula diperluas sebagai lembaga yang menjalankan fungsi campuran atau kombinasi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Fungsi dan wewenangnya masuk kedalam doktrin trias politica, tetapi keberadaan
institusinya ada dimana, saya berpendapat secara institusional, Bawaslu
kedudukannya terletak di yudikatif tetapi Bawaslu tidak berada dalam struktur
lembaga negara manapun, karena itu pulalah dikatakan Bawaslu merupakan lembaga
non struktural dalam domain yudikatif.
Kendatipun demikian, Bawaslu dan KPU
kedudukannya sederajat dan keduanya dapat disejajarkan dengan menteri negara.
Saya menilai demikian merujuk kepada dasar konstitusionalitas pembentukannya
yang bersumber pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana telah dijelaskan
dimuka, dan dari aspek wewenangnya yang lebih menitik beratkan kepada penegakan
hukum. Hanya bedanya dengan Kepolisian dan Kejaksaan, Kepolisian dan Kejaksaan
itu adalah lembaga eksekutif dan menjalankan wewenang secara law in prosedure menurut
KUHAP, bukan applying law (menerapkan
hukum dan penjatuhan hukuman). Sedangkan Bawaslu adalah lembaga non struktural
dalam domain yudikatif, tidak hanya berwenang melakukan applying law tetapi juga
dilengkapi dengan wewenang melakukan law in prosedure. Wewenang law in prosedure itu ditandai dengan melakukan investigasi atau
penyelidikan. Kewenangan melakukan investigasi adalah wewenangnya lembaga
eksekutif. Kendati demikian, penyelidikan yang dilakukan Bawaslu bukanlah
bersifat pro justicia. Sebab Bawaslu
bukan lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada
dibawahnya, dan Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar