Jumat, 26 Oktober 2018

Keberadaan dan Kedudukan Bawaslu Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia


Keberadaan dan Kedudukan Bawaslu 
Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia

Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

A. Pengaturan Lembaga Pengawas Pemilu dalam undang-undang

Pertama kali dalam sejarah pasca amandemen UUD 1945 keberadaan sebuah lembaga pengawas pemilu yang diberi nama Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu dibentuk berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008. Secara eksplisit keberadaannya diatur dalam Pasal 1 angka 15 yang menyatakan, Badan Pengawas Pemilu selanjutnya disebut Bawaslu adalah Badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelumnya pemilu diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003, dan mengenai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pemilu disebut Panitia Pengawas Pemilu. Keberadaan Panitia Pangawas ini dibentuk berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2003, dan panitia ini dibentuk secara berjenjang ada Panitia Pengawas Pemilu Pusat, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan yang melakukan pengawasan terhadap seluruh proses penyelenggaraan pemilu. Panitia Pengawas Pemilu inilah yang menjadi cikal bakal dibentuknya Badan Pengawas Pemilu. Dari yang semula disebut "Panitia" dalam UU No 12 Tahun 2003, berganti menjadi "Badan" pada UU No. 10 Tahun 2008. Dalam perkembangannya UU No. 10 Tahun 2008 dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2012, kemudian undang-undang inipun dicabut dan diganti dengan UU No. 7 Tahun 2017.

1. Panitia Pengawas Pemilu menurut UU No. 12 Tahun 2003

Mengenai kedudukan dan pembentukan Panitia Pegawas Pemilu diatur pada Pasal 120 sampai dengan Pasal 126. Dalam Pasal 120 ayat (2) ditegaskan bahwa Panitia Pengawas Pemilu dibentuk oleh KPU. Pada ayat (3) menyatakan, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu. Ayat (4) menyatakan, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panitia Pengawas Provinsi. Selanjutnya pada ayat (5) menyatakan, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota. Adapun berkenaan dengan pertanggung jawaban ditegaskan pada Pasal 21 ayat (1) bahwa Panitia Pengawas Pemilu (Pusat) bertanggungjawab kepada KPU. Sementara itu Panitia Pengawas Pemilu tingkat dibawahnya bertanggungjawab kepada pembentuknya masing-masing seperti yang telah terang ditegaskan pada Pasal 120 diatas. Mengenai keanggotaan, khususnya Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan adalah suatu hal yang menarik diatur disini melibatkan banyak pihak seperti pada Pasal 124 ayat (1) menyatakan bahwa "...keanggotaan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguran tinggi, tokoh masyarakat dan pers".

Mengenai jabatan ketua dan wakil ketua Panitia Pengawas Pemilu tiap-tiap tingkatan mulai dari pusat sampai kecamatan dipilih dari dan oleh anggota. Artinya pemilihannya dilaksanakan secara internal, adapun perihal tata cara pemilihannya diatur dalam peraturan KPU. Demikian pula mengenai kedudukannya yang bersifat temporal, yaitu terikat pada waktu kapan pemilu dilaksanakan. Pasal 126 menyatakan bahwa Panitia Pengawas Pemilu tiap-tiap tingkatan mulai dari pusat sampai kecamatan dibentuk sebelum pendaftaran pemilih dimulai dan tugasnya berakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu selesai. Selebihnya terserah kepada KPU untuk membubarkannya setelah KPU memastikan bahwa pemilu telah selesai diselenggarakan dan keberadaan Panitia Pengawas tidak lagi diperlukan. Dari pengaturan yang seperti inilah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan Panitia Pengawas Pemilu bersifat ad hoc, temporer atau interim (sementara).

2. Pengawasan Pemilu oleh Bawaslu dan Panwaslu menurut UU No. 10 Tahun 2008

Menurut Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 UU No. 10 Tahun 2018 Bawaslu hanya dibentuk untuk tingkat pusat/nasional. Sedang untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan disebut Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Sama halnya dengan pengaturan pada UU No. 12 Tahun 2003, keberadaan Panwaslu Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan bersifat temporer atau ad hoc. Sementara Bawaslu dibentuk berdasarkan atau oleh undang-undang, karena itu bersifat permanen. Adapun pembentukan Panwaslu dilakukan secara berjenjang, Panwaslu Provinsi dibentuk oleh Bawaslu, Panwaslu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kecamatan dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota. Satu hal yang menarik disini yang membedakannya dengan pengaturan pada UU No. 12 Tahun 2003, UU No. 8 Tahun 2012 dan UU No. 7 Tahun 2017 adalah bahwa kedudukan Bawaslu adalah lebih diarahkan sebagai lembaga yang melakukan pengawasan pemilu belaka. Walaupun hanya secara implisit, masih belum tegas dinyatakan dalam undang-undang. Pembahasan mengenai ini saya akan jabarkan lebih lanjut pada pembicaraan tentang undang-undang pemilu yang terbaru yaitu UU No. 7 Tahun 2017.

3. Pengawasan Pemilu oleh Bawaslu dan Panwaslu menurut UU No. 8 Tahun 2012

Pengaturan perihal pengawasan pemilu menurut undang-undang ini dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan dengan UU No. 10 Tahun 2008. Undang-undang ini lebih banyak menyangkut perihal tahapan pemilu yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 10 Tahun 2008. Karena itu pembicaraan tentang ini saya anggap tidak perlu dibicarakan. Sebab konsentrasi tema dalam tulisan ini adalah hanya pada keberadaan dan kedudukan lembaga pengawas pemilu.

4. Pengawasan pemilu menurut UU No. 7 Tahun 2017

Jika pada UU No. 10 Tahun 2008 walaupun tidak dijumpai pengaturan yang tegas, namun secara implisit Bawaslu adalah lembaga negara yang melakukan tugas pengawasan penyelenggaraan pemilu. Sementara pada UU No. 7 Tahun 2017 pada Pasal 1 angka 17 ditegaskan bahwa Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota undang-undang membentuk Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Karena pembentukannya langsung oleh atau berdasarkan undang-undang maka kedudukan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap. Beda dengan pengawas tingkat kecamatan dan kelurahan/desa dibentuk Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa yang bersifat ad hoc, serta pembentukannya dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota untuk Panwaslu Kecamatan, dan Panwaslu Kecamatan untuk Panwaslu Kelurahan/Desa.

Pengawasan pada lapis bawah masih dilengkapi lagi dengan Pengawas Tempat Pemungutan Suara atau yang disebut PTPS. Selain itu ada pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga negara yang baru sama sekali melaksanakan tugas mengawasi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Oleh karena Bawaslu oleh undang-undang ditentukan sebagai lembaga penyelenggara pemilu maka dalam hal terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Bawaslu maka menjadi kewenangan DKPP untuk memeriksa dan mengadilinya. Tidak hanya Bawaslu, tapi juga KPU, beserta tingkatan hierarkisnya dilapisan lebih rendah yaitu meliputi Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Pengawas Tempat Pemungututan Suara (PTPS), Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPPLN), KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) serta Panitia Pemilahan Luar Negeri (PPLN).

B. Bawaslu, Keberadaan dan Kedudukannya dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia

Analisis secara hukum terhadap undang-undang pemilu sebenarnya terdapat kesalahan fatal, bahwa undang-undang pemilu  (UU No. 7 Tahun 2017) meletakkan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Bahwa Bawaslu terlibat aktif dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu memang benar adanya, tapi haruslah dipahami bahwa Bawaslu tidak menyelenggarakan pemilu sama sekali. Penyelenggaraan pemilu itu mutlak menjadi kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU-lah penyelenggara pemilu itu. Adalah sebuah kontradiktif sama sekali bahwa secara nomenklatur disebut lembaga “pengawas” pemilu dengan tugas melaksanakan pengawasan pemilu tetapi kedudukannya ditentukan sebagai penyelenggara pemilu.

Menjadikan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu sementara tugasnya tegas disebut mengawasi penyelenggaraan pemilu adalah sebuah contradictio in terminis, yaitu pertentangan secara terminologis. Artinya, secara harfiah telah terjadi ketidakjelasan seolah ada dualisme pihak atau lembaga penyelenggara pemilu. Padahal nyatanya hanya KPU penyelenggara pemilu. Karena itu meletakkan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu adalah kesalahan fatal yang seharusnya tidak terjadi. Sebab Bawaslu berbeda dengan KPU. Memang benar bahwa KPU, Bawaslu dan DKPP itu adalah satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu seperti diatur dalam undang-undang pemilu. Tapi Bawaslu dan DKPP itu bukan lembaga penyelenggara pemilu. Sama halnya dengan Kepolisian, Kejaksaan KPK, dan pengadilan adalah satu kesatuan fungsi penegakan hukum, aktif dalam penegakan hukum. 

Terlebih Kepolisian, KPK, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan keberadaannya masuk kedalam apa yang disebut integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu), tapi Kepolisian, KPK dan Kejaksaan itu bukanlah lembaga peradilan. Adapun Polri dalam UUD 1945 maupun dalam undang-undang disebut menjalankan tugas menegakkan hukum, maksud menegakkan hukum disitu adalah law in prosedure, yaitu menegakkan KUHAP. Tidak masuk dalam lingkup menerapkan hukum dan penjatuhan hukuman yang menjadi domain pengadilan. Sebab pengadilan itu tidak bisa jalan kalau tidak dimulai dari suatu proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Putusan pengadilanlah wujud atau konkretisasi penegakan hukum secara real, disitulah keadilan itu diuji, disitulah keadilan itu dituangkan. Demikian juga dengan Bawaslu, hanya karena Bawaslu terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu tidak berarti Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu.

Dari penelusuran sejarah terhadap undang-undang pemilu sebelumnya juga tidak ditentukan pengawas pemilu sebagai penyelenggara pemilu, melainkan sebagai pengawas pemilu. Tapi realitasnya UU No. 7 Tahun 2017 menyatakan Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemilu. Disitulah letak persoalannya, sebab Bawaslu tidak menjalankan fungsi dan tugas penyelenggaraan pemilu seperti KPU. Bawaslu tugasnya melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu, tetapi kedudukannya dikatakan sebagai penyelenggara pemilu, lalu apakah mungkin KPU kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu dapat pula menjalankan tugas pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu seperti halnya Bawaslu?. Harus dipahami bahwa pengawasan yang dilakukan oleh KPU hanya terbatas pada mengawasi sejauh manakah dipatuhinya Peraturan KPU ataupun Keputusan KPU oleh jajarannya kebawah dan oleh peserta pemilu.

Jika KPU melalui pemeriksaan verifikasi kelengkapan berkas peserta pemilu menemukan ada yang tidak sesuai dengan PKPU maka KPU dapat langsung membatalkan atau menyatakan tidak memenuhi syarat sebagai daftar calon tetap dan sebagainya. Sedangkan Bawaslu cakupan pengawasannya lebih luas yaitu meliputi mengawasi penyelenggaraan pemilu dari segala kemungkinan terjadinya pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh peserta pemilu, dan pihak-pihak yang oleh undang-undang dilarang terlibat dalam kegiatan politik seperti ASN, anggota Polri/TNI, kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD. Termasuk juga sengketa yang muncul antara peserta pemilu dengan KPU dalam proses atau tahapan penyelenggaraan pemilu, maka Bawaslu berwenang memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya. Bahkan Bawaslu dalam sidang adjudikasi dapat membatalkan keputusan KPU jika memang majlis berpendapat keputusan KPU melanggar hak-hak peserta pemilu dan bertentangan dengan undang-undang.

1. Dasar Konstitusionalitas

Secara konstitusional, keberadaan Bawaslu erat kaitannya dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang. Komnas HAM, Advokad, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Lembaga Arbitrase Nasional, Komisi Informasi Publik, Komisi Pengawas dan Perlindungan Konsumen, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Badan Pengawas Pemilu semuanya adalah badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Adapun secara institusional, lembaga seperti Polri, Kejaksaan, KPK, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Pengawas dan Perlindungan Konsumen, Komisi Informasi Publik, Arbitrase dan Bawaslu bukanlah lembaga peradilan, tetapi menjalankan fungsi agak mirip pengadilan (quasi yudikatif) yaitu memeriksa, mengadili dan memutus sengketa sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar wewenangnya. 

Hanya saja putusan lembaga quasi yudikatif tersebut diatas dalam bentuk sanksi administrasi atau keperdataan semisal ganti rugi dan sebagainya. Demikian juga putusan Bawaslu bersifat administrasi yang diambil dalam sidang majelis adjudikasi. Sidang majelis adjudikasi inilah yang merupakan forum quasi yudikatif atau yang bersifat quasi yudikatif. Sehingga turut mewarnai corak Bawaslu sebagai lembaga quasi-yudikatif, bukan lembaga murni eksekutif meskipun rumpun institusinya berada dalam lingkungan eksekutif. Saking banyaknya jumlah, corak dan ragamnya lembaga negara, maka untuk kebutuhan akademik dan juga agar tidak terjadi polemik dalam pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga negara itu maka dibedakanlah lembaga negara kedalam dua kategori.

Yang pertama disebut state primary organ atau lembaga negara yang utama dan yang kedua disebut state auxiliary organ atau lembaga negara yang sifatnya menunjang atau membantu lembaga negara yang utama. State auxiliary organ ini menjalankan fungsi yang bersifat campuran (quasi, kombinasi) antara pembentukan hukum (legislasi), maupun fungsi mengadili (yudisial). Terkait dengan pembicaraan tema ini badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Bawaslu adalah lembaga quasi yudikatif. Bukan pengadilan tapi menjalankan kewenangan agak mirip pengadilan, dia bisa panggil orang untuk di dengar keterangannya sebagai saksi, ahli, memeriksa, mengadili dan memutus sengketa proses penyelengggaran pemilu. Diantaranya yang membedakan Bawaslu dengan pengadilan, Bawaslu tidak punya otoritas melakukan upaya paksa misalnya seperti panggil paksa dan penahanan (menahan orang untuk kepentingan pemeriksaan). Selain itu putusan majelis adjudikasi Bawaslu tidak berupa pemidanaan melainkan terbatas berupa sanksi administratif.

2. Bawaslu Dalam Struktur Ketatanegaraan.

Banyak yang berpendapat bahwa Bawaslu itu bukanlah lembaga struktural dengan pengertian yang tidak begitu jelas. Apakah yang dimaksudkan dengan lembaga non struktural itu?, secara umum di ranah eksekutif dikenal ada lembaga struktural dan lembaga non struktural. Struktural dalam domain eksekutif secara hierarkis yaitu Presiden kebawah sampai pada Kepala Desa.  Dalam domain yudikatifpun juga ada lembaga struktural dan lembaga non struktural. Lembaga struktural di yudikatif adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya. Pengadilan Negeri (PN) adalah lembaga struktural, sebab diatasnya masih ada Pengadilan Tinggi Negeri, dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Demikian juga halnya dengan Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer (Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi) adalah lembaga struktural yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

Sementara itu lembaga non struktural di lingkungan peradilan adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mengapa demikian, sebab Mahkamah Konstitusi itu adalah peradilan tunggal, berada diluar struktur Mahkamah Agung. Baik diatas maupun dibawahnya secara hierarkis tidak ada peradilan lain dan kedudukannya sederajat/setara dengan Mahkamah Agung. Sering disebut sebagai peradilan tata negara, dan sebagai peradilan tata negara Mahkamah Konstitusi sering pula disebut sebagai the  guardian of constitution (pengawal/penjaga konstittusi), the guardian of democrazy (pengawal demokrasi), the sole of intrepreter of constitution (penafsir tunggal konstitusi). Adapaun Komisi Yudisial, kewenangannya ada dalam lingkup yudikatif sebab Komisi Yudisial mempunyai wewenang diantaranya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. 

Meskipun orientasi kewenangannya masuk kedalam domain yudikatif, tetapi Komisi Yudisial bukanlah peradilan. Komisi Yudisial adalah lembaga non struktural sebab berada diluar struktur Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Lalu bagaimana dengan Bawaslu, masuk kedalam domain manakah Bawaslu itu, lembaga non struktural dalam domain manakah Bawaslu itu?. Dimuka telah disinggung bahwa secara  authority (wewenang), Bawaslu adalah lembaga quasi yudikatif. Dapat pula diperluas sebagai lembaga yang menjalankan fungsi  campuran atau kombinasi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi dan wewenangnya masuk kedalam doktrin trias politica, tetapi keberadaan institusinya ada dimana, saya berpendapat secara institusional, Bawaslu kedudukannya terletak di yudikatif tetapi Bawaslu tidak berada dalam struktur lembaga negara manapun, karena itu pulalah dikatakan Bawaslu merupakan lembaga non struktural dalam domain yudikatif.


Kendatipun demikian, Bawaslu dan KPU kedudukannya sederajat dan keduanya dapat disejajarkan dengan menteri negara. Saya menilai demikian merujuk kepada dasar konstitusionalitas pembentukannya yang bersumber pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana telah dijelaskan dimuka, dan dari aspek wewenangnya yang lebih menitik beratkan kepada penegakan hukum. Hanya bedanya dengan Kepolisian dan Kejaksaan, Kepolisian dan Kejaksaan itu adalah lembaga eksekutif dan menjalankan wewenang secara law in prosedure menurut KUHAP, bukan applying law (menerapkan hukum dan penjatuhan hukuman). Sedangkan Bawaslu adalah lembaga non struktural dalam domain yudikatif, tidak hanya berwenang melakukan applying law tetapi juga dilengkapi dengan wewenang melakukan law in prosedure. Wewenang law in prosedure itu ditandai dengan melakukan investigasi atau penyelidikan. Kewenangan melakukan investigasi adalah wewenangnya lembaga eksekutif. Kendati demikian, penyelidikan yang dilakukan Bawaslu bukanlah bersifat pro justicia. Sebab Bawaslu bukan lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya, dan Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...