Jumat, 26 Oktober 2018

Persoalan Seputar Kampanye Pemilu


Persoalan Seputar Kampanye Pemilu

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Masa kampanye untuk pemilu 2019 berlangsung selama lebih dari 200 hari. Waktu yang sangat lama jika dibandingkan dengan masa kampanye tahun 2004, 2009 dan 2014 lalu hanya sekitar 21 hari. Lamanya masa kampanye pada pemilu 2019 ini dalam praktik membuat lembaga pengawas pemilu bekerja ekstra dalam melakukan pengawasan terhadap segala kemungkinan terjadinya pelanggaran kampanye pemilu.

Karena itu menyikapi kemungkinan-kemungkunan itu, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama yaitu: soal Alat Peraga Kampanye (APK), Bahan Kampanye, dan pelanggaran kampanye pemilu.

1. Alat Peraga Kampanye (APK)

Mengenai APK ini diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018 Tentang Kampanye Pemilu dan Keputusan KPU No. 1096/PL.01.5-Kpt/06/KPU/IX/2018. 

Pasal 1 angka 28 Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018 menyatakan bahwa Alat Peraga Kampanye adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya dari Peserta Pemilu, simbol atau gambar Peserta Pemilu, yang dipasang untuk keperluan kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu.

Secara defenisi, perumusan atau redaksi tentang APK dan Bahan Kampanye hampir sama persis. Perbedaan yang mencolok hanyalah, jika pada APK dirumuskan semua benda atau bentuk lainnya itu "Dipasang", Sementara pada Bahan Kampanye semua benda atau bentuk lainnya itu "Disebar". Coba baca dengan teliti defenisi yang diberikan baik oleh undang-undang maupun oleh peraturan KPU, antara APK dan Bahan Kampanye, secara defenisi perbedaan keduanya hanya terletak pada kata pemakaian kata "Dipasang" dan "Disebar".

Sementara itu, kalau kita bicara soal jenis atau bentuk-bentuk APK itu jelas ada perbedaan antara APK dan Bahan Kampanye. Pasal 32 Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018 menyebutkan bahwa APK itu meliputi:
a. baliho, billboard, atau videotron;
b. spanduk; dan/atau
c. umbul-umbul.

Diluar dari apa yang disebutkan dalam ketentuan pasal ini tidak termasuk kedalam jenis APK. Karena itu caleg atau Peserta Pemilu tidak diperkenankan menambah-nambah diluar apa yang tidak disebutkan dalam ketentuan pasal ini. Belakangan ini diakui pula adanya Alat Peraga (AP) bukan APK seperti yang diatur dalam Surat Edaran Bawaslu RI No.1990 Tahun 2018 dengan syarat AP tidak boleh memuat unsur kampanye dan pemasangannya harus pada lokasi yang telah ditentukan oleh KPU.

Untuk APK, telah secara tegas ditentukan pembatasan soal jenis-jenisnya. Jika ada APK yang dibuat dan dipasang selain dari jenis APK yang telah ditentukan dalam peraturan KPU maupun keputusan KPU, maka pengawas pemilu berhak untuk menertibkannya.  Adapun mengenai ukuran APK dapat dibaca dalam Pasal 32 ayat (3) PKPU No. 23 Tahun 2018.

2. Bahan Kampanye

Seperti telah disinggung diatas, secara defenisi tidak ada perbedaan mendasar antara Bahan Kampanye dan APK. Pasal 1 angka 29 Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018 menyatakan bahwa Bahan Kampanye Pemilu adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program dan/atau informasi lainnya dari Peserta Pemilu, simbol atau tanda gambar yang disebar untuk keperluan kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu.

Selanjutnya mengenai jenis atau bentuk-bentuk Bahan Kampanye diuraikan dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018, berdasarkan pasal tersebut bahwa Bahan Kampanye itu dapat berbentuk:
1. selebaran;
2. brosur;
3. Pamflet;
4. poster;
5. stiker;
6. pakaian;
7. penutup kepala;
8. alat minum/makan;
9. kalender;
10.kartu nama
11.pin; dan/atau
12.alat tulis.

Selain dari apa yang disebutkan dalam ketentuan pasal ini maka tidak termasuk jenis dan bentuk Bahan Kampanye, karena itu pengawas pemilu berhak menertibkannya. Mengenai limitasi (pembatasan) jenis Bahan Kampanye termasuk juga limitasi jenis APK telah tegas diatur dalam Pasal 73 Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018, yang pada intinya menegaskan bahwa selain jenis Bahan Kampanye dan selain jenis APK yang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 32, Pelaksana dan/atau Tim kampanye dilarang mencetak, dan menyebarkannya/ memasangnya.

Khusus untuk pakaian seperti mana termaktub dalam Pasal 30 ayat (1) sebagaimana dikemukakan diatas, yang dimaksud dengan pakaian dalam ketentuan itu adalah baju (kaos oblong/kemeja/koko), dan celana (celana olah raga/celana jeans/celana pendek). 

Kain bakal atau masih berupa bahan yang belum dijahit tidak termasuk kedalam kategori bahan kampanye. Karena itu tidak boleh disebar atau dibagi-bagikan. Jika itu disebarkan atau dibagi-bagikan, maka Pengawas pemilu berhak melakukan penyitaan bahkan perbuatan menyebarkan atau membagi-bagikan kain bakal yang masih berupa bahan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu.

Demikian juga untuk penutup kepala, yaitu yang lazim dipakai seperti topi atau jilbab.

Alat makan/minum yaitu seperti sendok makan dan garpu, piring kaca atau piring plastik, gelas maupun cangkir plastik. Adapun peralatan lain seperti talam, toples dan sebagainya tidak termasuk kedalam kategori bahan kampanye.

Demikian juga soal alat tulis, yaitu berupa pena, pensil, pensil warna (crayon), spidol, penghapus, penggaris, buku tulis. Tidak dibenarkan ada penambahan dengan jenis yang lain.

3. Pelanggaran Pemilu

Hal ini penting untuk dipahami baik bagi Peserta Pemilu maupun lembaga pengawas pemilu. Dan mengenai hal ini dapat kita baca dalam Perbawaslu No. 8 Tahun 2018 Tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu.

Beberapa poin penting dalam perbawaslu tersebut yang perlu dipahami diantaranya yaitu:

1. Pelanggaran Pemilu

Pelanggaran pemilu adalah tindakan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu (Pasal 1 angka 26).

Mengenai pelanggaran pemilu, undang-undang pemilu maupun perbawaslu mengklasifikasikan (mengelompokkan) pelanggaran pemilu kedalam pelanggaran etika penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilu dan pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya.

Pelanggaran etika penyelenggara pemilu yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyelengara pemilu seperti KPU dan Bawaslu. 

Pelangggaran administrasi pemilu adalah perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dan setiap tahapan penyelenggaraan pemilu (Pasal 1 angka 28).

Dari ketentuan pasal ini dapat kita ketahui bahwa pelanggaran administrasi pemilu itu dapat saja dilakukan oleh peserta pemilu ataupun oleh KPU.

Tindak pidana pemilu adalah pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemilu (Pasal 1 angka 30).

Khusus untuk klasifikasi jenis pelanggaran pemilu berupa pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya, yang dimaksudkan peraturan perundang-undangan lainnya adalah peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilu seperti Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa, Undang-Undang No.5 Tahun 2014 tentang ASN, Permendagri No.84 Tahun 2015 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa dan lain sebagainya.

Adapun yang berupa surat, surat edaran ataupun keputusan yang dikeluarkan oleh KPU dan Bawaslu tidak termasuk kedalam jenis peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, surat, petunjuk teknis (juknis), petunjuk pelaksanaan (juklak), surat edaran, keputusan KPU dan keputusan Bawaslu bukan peraturan perundang-undangan.

2. Pelapor dan Terlapor

A. Pelapor

Yang berhak menjadi pelapor atau pihak-pihak mana yang berhak melaporkan telah terjadinya dugaan pelanggaran pemilu adalah: WNI yang mempunyai hak pilih, peserta pemilu dan/atau pemantau pemilu.

Jadi hanya tiga pihak ini sajalah yang mempunyai legal standing (kedudukan hukum) yang berhak menjadi pelapor. WNI yang dimaksud adalah WNI yang mempunyai hak pilih yaitu telah genap berusia 17 tahun pada saat hari pemilihan umum maupun yang telah menikah walaupun belum berumur 17 tahun atau sudah pernah menikah walaupun ahirnya bercerai. Tambahan syarat lain untuk WNI yang berhak menjadi pelapor adalah terdaftar sebagai pemilih di DPT. 

Kemudian peserta pemilu, tak lain yang dimaksud adalah partai politik yang terdaftar sebagai peserta pemilu.

Pemantau pemilu adalah organisasi lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar sebagai pemantau pemilu dan diregistrasi oleh Bawaslu.

Adapun yang dilaporkan oleh pelapor adalah peristiwa dugaan pelanggaran pemilu, meminta kepada pengawas pemilu untuk menindaklanjutinya.

Perihal ini jangan disepelekan, jangan dipandang remeh. Teruntuk khusus bagi petugas penerima laporan pengawas pemilu harus hati-hati. Sebelum laporan itu dicatat dalam form laporan pertama-tama harus ditanya betul-betul perihal apa peristiwa yang dilaporkan itu. 

Jika dirasa layak untuk diterima maka barulah dapat dicatat. Jangan langsung dicatat tiap laporan yang disampaikan. Sebab konsekuensi hukum jika laporan sudah dicatat kedalam form pelaporan maka timbullah kewajiban hukum bahwa laporan tersebut harus ditindak lanjuti sampai peristiwa dugaan pelanggaran yang dilaporkan itu selesai diproses di internal lembaga pengawas pemilu.

Jika pengawas pemilu tidak menindaklanjuti laporan yang sudah dicatat, atau mengabaikannya maka Bawaslu RI, Bawaslu Propinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota akan berurusan dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pengawas pemilu dapat dilaporkan ke DKPP dengan tuduhan telah melanggar etika penyelenggara pemilu.

B. Terlapor

Pihak terlapor dugaan pelanggaran administratif pemilu yaitu: calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten/kota), Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, tim kampanye dan penyelenggara pemilu (Pasal 22).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pe...