Selasa, 19 November 2019

Manusia, Kebendaan dan Kedudukan


Manusia, Kebendaan dan Kedudukan
(Filsafat Hidup)
Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum/Pengkaji Filsafat)

Manusia pada dasarnya baik, perubahan-perubahan orientasi dan perilaku terbentuk dan dipengaruhi oleh relasi antar manusia dalam pergaulan hidupnya. Perilaku manusia ditentukan oleh tarik menarik antara nurani dengan akal, perasaan dengan kemampuan berfikir yang realistis. Akal menuntun pada pengambilan keputusan yang realistis, sedangkan nurani menuntun manusia pada pengambilan keputusan yang bijaksana dan santun. Secara kodrat karakter dasar manusia adalah baik, tetapi dalam dirinya juga terdapat potensi atau kecenderungan yang dinamis. 

Dengan itu manusia juga dapat mengalami peralihan perilaku secara dinamis, hari ini baik besok berperilaku yang tidak baik. Perubahan perilaku itu tidak pernah statis, sebab manusia selalu digerakkan oleh kemampuan berfikir rasional dan realistis sehingga dengannya manusia memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan nilai-nilai serta nurani yang menuntun pada kebaikan. Etika adalah abstraksi, ia ada dalam alam fikiran setiap manusia. Kesantunan adalah persepsi setiap manusia dalam melihat dan menyikapi alam realitas dalam pergaulan hidupnya. Bahwa yang tua harus menjadi panutan bagi yang muda agar keseimbangan hidup tetap terjaga tidak selamanya demikian. Atau yang muda harus banyak belajar dan menghormati yang tua tidak selamanya pula demikian. 

Manusia dihargai dan dihormati karena kematangan berfikirnya, karena keputusan-keputusan yang diambilnya bijaksana dan realistis, karena kepandaiannya, akhlak baiknya sehingga ia memperoleh kewibawaan ditengah-tengah manusia lainnya. Manusia dapat berubah menjadi sombong, angkuh, kasar, dan berlaku sadis jika matinya fungsi akal akibat dominasi perasaan sehingga akal kehilangan kemampuan kontrol atas perilaku manusia. Hati adalah tempatnya perasaan suka, benci, marah, sabar, ikhlas, senang, sedih, dendam, kecewa, muak, keserakahan, kagum, simpati, nurani, penyayang, pemurah, keinginan-keinginan, adil, curang, bijaksana, sewenang-wenang. Semantara otak adalah tempatnya akal/fikiran, prediksi tentang kemungkinan-kemungkinan baik-buruk, kecerobohan, pertimbangan-pertimbangan pilihan dan nilai, ide-ide. 

Perilaku manusia dan pengambilan keputusan oleh manusia adalah relasi antara akal dan perasaan yang melahirkan keseimbangan perilaku.  Manusia adalah bagian dari alam, ia tak dapat dipisahkan dari alam. Tubuh manusia dialiri air, darah adalah air, bahan dasar tubuh manusia adalah air. Air adalah alam, air adalah sumber kehidupan. Air dapat menumbuhkan, menghidupkan, memberi kehidupan pada manusia serta makhluk lain. Manusia yang merusak alam, terjadinya banjir dan pembakaran hutan adalah manusia yang merusak dirinya sendiri. Lingkungan tidak mempengaruhi manusia, tapi manusialah yang membentuk lingkungannya. 

Ketidakadilan terjadi akibat dominasi perasaan (hati) atas akal/fikiran. Perilaku manusia yang dipandang tidak adil terjadi akibat relasi dominasi keinginan-keinginan kebendaan yang bersifat materi. Manusia yang menaruh penghargaan kepada kebendaan/materi telah meletakkan akalnya dibawah materi. Sehingga materi berada di puncak realisasi perilaku, sedangkan dominasi hati berada di dasar yang membentuk dan menentukan orientasi perilaku. Kebendaan adalah bangunan kompleks tentang relasi antara materi dengan kebutuhan-kebutuhan, keperluan-keperluan dengan kepentingan-kepentingan. Menaruh penghargaan yang berlebihan pada materi mengakibatkan lemahnya kendali dan fungsi akal terhadap perilaku. 

Akal digunakan sekedar sebagai pertimbangan alternatif yang tidak menentukan keputusan-keputusan perilaku. Pemilikan dan penguasaan manusia atas kebendaan (materi) menentukan kedudukannya di tengah pergaulan hidup. Tetapi terlalu bergantung pada kebendaan dapat mengakibatkan matinya fungsi akal, sehingga yang tampil ke luar adalah perilaku yang memperturutkan keinginan-keinginan. Manusia yang mudah merasa kasian atau iba baik karena keadaan-keadaan atau iba melihat maraknya kemiskinan menandakan dominannya fungsi hati. Manusia yang mudah merasa iba sangat mudah pula ia tertipu karena dominasi hati yang memunculkan perasaan kasian atau iba ternyata adalah keadaan-keadaan hasil dari keputusan-keputusan yang terjadi juga disebabkan dominasi hati atas fikiran manusia lain untuk menambah kekayaan atau mendapatkan keuntungan atas penguasaan kebendaan. 


Dominasi hati/perasaan atas akal/fikiran dapat menimbulkan rasa kebanggaan dan mendatangkan kekayaan sekaligus dapat pula melahirkan rasa kasian dan simpati yang dapat berubah menjadi rasa benci dan muak kepada ketidakadilan yang mengakibatkan ketimpangan. Bahwa kenyataannya kemiskinan terjadi disebabkan dorongan keinginan-keinginan untuk memperoleh suatu kedudukan di tengah pergaulan hidup. Seorang koruptor ingin agar ia dipandang kaya, dihormati dan disegani karena penguasaannya atas materi sekalipun ia dapat menyadari bahwa perilaku korup itu dapat menimbulkan relasi-relasi kondisi yang melahirkan kemiskinan. Seorang pencuri dengan menjadikan kegiatan mencuri sebagai sumber penghasilannya karena dorongan keinginan untuk memperoleh suatu kedudukan di tengah-tengah pergaulan hidup, agar ia dipandang mampu mengusahakan kehidupannya dan keluarganya, bukan seorang yang miskin. 

Kemiskinan adalah kelemahan, sedangkan kekayaan adalah kekuatan dan kekuasaan. Lemah adalah kondisi ketidakmampuan baik fisik maupun pemilikan atau penguasaan atas materi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan kuat adalah kondisi manakala kedudukan seseorang mampu mempengaruhi mengendalikan orang lain, dan merekayasa pergaulan hidup maupun aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan atas kebendaan. Tidak seorangpun menginginkan kelemahan atau menjadi manusia lemah dalam pergaulan hidupnya. Kedudukan yang tinggi melahirkan kekuasaan, kekuasaan dibentuk oleh kedudukan yang tinggi. Seorang yang menguasai banyak materi, ia dapat membentuk kondisi ekonomi masyarakatnya dengan membuka banyak lapangan pekerjaan sehingga kemiskinan dapat dikurangi. Ia berkuasa dalam kedudukannya itu atas para pekerja, alat-alat produksi dan dalam menetapkan aturan-aturan yang mengikat mereka.

Jumat, 08 November 2019

Heraclitus, Filsuf Introvert dan Pemikiran Besarnya


Heraclitus, Filsuf Introvert dan Pemikiran Besarnya

Oleh: Syahdi, S.H

Heraclitus, lahir abad ke-lima tepatnya pada 540 dan meninggal kira-kira tahun 480 sebelum masehi. Heraclitus lebih muda dari Phytagoras, seumuran dengan Xenophanes gurunya Parmenides, dan lebih tua dari Parmenides, yaitu seorang filsuf yang pikirannya banyak membantah pikiran-pikiran Heraclitus. Heraclitus dikenal sebagai seorang penyendiri, suka menyendiri, lahir dari keluarga aristokrat (bangsawan), harusnya Heraclitus mewarisi harta kekayaan ayahnya tapi beliau tidak mau menerima dan mengelola warisan tapi menyerahkan semuanya pada saudaranya, sementara dia sendiri sibuk dan nyaman dengan menyendiri. Lebih menyenangi mengkaji diri sendiri dan mengkaji lingkungannya. Menyendiri dalam bahasa Islam kira-kira sepadan dengan kata uzlah, yaitu senang mengkaji diri sendiri. 

Heraclitus hidup di lingkungan masyarakat yang senang membuat kekacauan, malas berfikir, hanya mengikut saja pada tokoh tertentu atau massa (orang banyak). Lingkungannya inilah yang mempengaruhi bangunan filsafatnya. Pikirannya tergolong rumit dan sulit dipahami sehingga digelari the obscure, yaitu orang yang tidak jelas. Selain itu Heraclitus juga digelari sebagai the weeping philosopher yaitu filsuf yang suka menangis. Seorang pendiam, introvert dan mudah tersentuh. Pikiran-pikirannya pada akhirnya melahirkan gagasan misantropik, yaitu gagasan yang benci dengan manusia, memandang manusia itu rusak, bodoh, punya fikiran tapi tidak digunakan. Heraclitus menganggap orang disekitarnya bodoh, tidak intelek, cuma taunya mengenyangkan diri seperti kambing. 

Konon pemicunya adalah ketika warga Ephesus mengusir sahabatnya ke luar kota. Peristiwa itu membuat Heraclitus marah dan menyumpahi warga Ephesus, lebih baik semua gantung diri. Sebab manusia hidupnya hanya hobi dengan kerusakan, kekacauan. Heraclitus pernah mengatakan, “wahai orang-orang Ephesius yang tua gantung diri sajalah kalian supaya dunia ini lebih baik, tinggalkanlah dunia pada anak-anak muda yang jenggotnya belum tumbuh”. Menandakan bencinya Heraclitus pada orang-orang tua yang kacau sekali perilakunya. Bukannya menjadi tauladan bagi yang muda, seharusnya bijak dalam berperilaku ternyata malah membawa dan menginisiasi kekacauan dalam masyarakat. 

Heraclitus juga mengatakan bahwa masyarakatnya adalah masyarakat yang sakit. Heraclitus mengatakan, “kecerdasan atau pemahaman seperti apa yang mereka miliki, mereka hanya percaya kepada para tokoh masyarakat dan menjadikan massa sebagai guru tanpa tau bahwa banyak itu jelek dan sedikit itu baik”. Heraclitus melihat orang-orang hanya mengikut arus, kelompok orang banyak, mengikut saja, manut, taqlid atau fanatik buta, tidak mau menggunakan akalnya untuk berfikir. Bahwa mengikut orang banyak tidak selalu membawa kepada kebenaran, justru sering menyesatkan. Watak inilah yang ditentang oleh Heraclitus. Doktrin paling terkenal Heraclitus tentang perubahan, Heraclitus mengatakan, “engkau tidak akan bisa memahami dunia hanya dari filsafat alam, matematika atau logika, sebab secara hukum alam segala sesuatu berubah, matahari yang kemarin bukan lagi matahari hari ini”. 

Bedanya dengan Parmenides, Heraclitus lebih melihat aspek sekecil apapun segalanya mengalami perubahan. Sementara Parmenides melihat aspek universal yang tidak akan berubah. Ada ungkapan dari Heraclitus, “semuanya mengalir dan tidak ada satupun yang tetap”. Dalam doktrin perubahan Heraclitus juga dikenal ungkapan, “satu-satunya hal yang tetap adalah perubahan”, “tidak seorangpun dapat melangkah dua kali di sungai yang sama, karena sungai itu bukan lagi sungai yang sama dan dia juga bukan lagi orang yang sama”, “dalam perubahan kita menemukan tujuan”.

Logos Menurut Heraclitus

Segala sesuatu yang terus berubah di alam semesta dapat berjalan dengan teratur karena adanya logos. Logos itu memiliki banyak arti, ada yang mengartikan pikiran, akal, pola atau model. Tetapi menurut Heraclitus logos tidak dapat diartikan secara khusus, tidak digambarkan secara jelas, tidak dapat dipahami orang lain, karena logos adalah pemikiran orang itu sendiri. Pernyataan inilah yang menyebabkan Heraclitus dijuluki sebagai the obscure, yang diartikan si gelap, tidak jelas atau orang yang rumit. Logos itu dimiliki semua orang, kita harus membiarkan diri kita dituntun oleh apa yang umum. Dalam praktik sehari-hari misalnya, meskipun kita bebas berekspresi tetapi tetapi sesuai dengan lingkungan sekitar kita. 

Perubahan-perubahan yang terjadi menurut Heraclitus selalu memiliki pattern atau polanya sendiri. Selain perubahan, menurut Heraclitus hidup ini punya hakikat oposisi, yang dari opoisis itulah muncullah harmoni. Beda dengan kita yang selama ini menganggap harmoni atau keselarasan hnya ada dalam keseragaman. Lebih jauh Heraclitus mengatakan dalam dua hal yang bertentangan terdapat kesatuan. Misalnya, rasa kenyang muncul sebab ada rasa lapar, ada tua karena ada proses dari muda, ada orang kaya karena ada orang miskin, ada pemerintah ada rakyat, karena adanya perilaku yang jelek maka di lain pihak memunculkan perilaku yang baik, disebabkan gelap maka orang-orang memerlukan cahaya, sabar tidak akan muncul jika tidak ada marah, kebijaksanaan muncul karena  adanya kekurangajaran, dan lain sebagainya. 

Dalam perbedaan inilah terdapat harmoni kehidupan yang saling melengkapi dan berkaitan atau dialektis. Segala sesuatu muncul karena ada oposisi-oposisi. Oposisi membawa kenyamanan, kesesuaian dan konflik membawa kepada harmoni. Segalanya cair, dalam hidup tidak ada yang punya makna eksakta melainkan semuanya cair. Apa yang diucapkan seseorang yang menurutnya benar menurut orang lain pun juga benar. Hidup ini adalah dialektika antara yang benar dengan yang benar, bedanya hanya pada konteksnya saja. Lebih lanjut Heraclitus mengatakan semua hal yang diinginkan tidak semuanya selalu merupakan hal yang baik. Misalnya, jika berdo’a agar selalu diberikan kesehatan. Do’anya benar, tapi tidak selalu baik jika dikabulkan tuhan. 

Sebab kita tidak akan tau bagaimana nikmatnya sehat jika tidak pernah merasakan sakit, kita tidak akan pernah tau bagaimana caranya bersyukur jika tidak pernah sakit, demikian seterusnya. Atau misalnya, perang, meski buruk dan merusak, tapi keadaan damai muncul sebab terjadinya perang. Perang dapat memicu mulnya keinginan untuk membuat kesepakatan damai. Perang adalah kondisi biasa, bahwa perselisihan adalah keadilan,  dan segala sesuatu terjadi melalui tekanan perselisihan. Peranglah yang membuat kita seperti sekarang (hidup damai). Maka oposisi terlepas sebagai realitas dalam hidup, tapi oposisi dapat membentuk harmoni. 

Oposisi menurut Heraclitus muncul diantaranya dari perspektif. Misalnya, monyet yang paling bagus rupanya diantara monyet yang lain tetap lebih jelek dibandingkan dengan manusia. Oposisi isinya adalah perspektif-perspektif, perbandingan-perbandingan. Dalam pandangan tuhan semuanya baik, tapi menurut manusia ada yang baik ada yang buruk, ada yang indah ada yang jelek. Sebagai contoh berikutnya, tangga yang sama dapat digunakan untuk naik dan untuk turun, oposisi muncul hanya karena kepentingan dan perspektif manusia terhadap tangga itu.

Alam Semesta Menurut Heraclitus

Api bagi Heraclitus adalah unsur dasar, asal usul alam semesta. Dari api segala sesuatu lahir dan akan kembali lagi dalam satu proses abadi. Apilah yang melahirkan elemen-elemen yang lain. Api yang dimaksud Heraclitus bukan api sebagai sesuatu yang wujud, melainkan dipahami sebagai simbol, yaitu simbol perubahan dalam alam semesta, juga dipahami sebagai semangat, dan keberanian. Sementara itu air adalah simbol dari pertumbuhan, kelahiran, kehidupan. Rumah yang bagus dan mewah dapat berubah menjadi rongsokan yang penuh debu dan kotor jika dilahap api. Api akhirnya membawa pada perubahan. Dari yang semula baik, bagus, bisa berubah menjadi buruk dan jelek, api membawa pada perubahan yang lain. 

Demikian juga dalam hal jiwa manusia. Menurut Heraclitus, jiwa manusia adalah kombinasi dari unsur api dan air. Keduanya dapat mendominasi atas yang lain, api dapat lebih dominan atas air demikian juga air dapat lebih dominan daripada api. Manusia yang bermalas-malasan, memilih tidur seharian tidak mau beraktivitas, maka unsur air lebih dominan daripada api. Seorang pejuang yang berperang dengan gagah bahkan mengorbankan dirinya demi bangsa dan negaranya, maka unsur api lebih dominan atas air. Demikianlah perumpamaan jiwa manusia menurut Heraclitus, yaitu dialektika antara unsur api dan unsur air, keduanya bersifat dialektis.

Karakter Menurut Heraclitus

Karakter dalam pandangan Heraclitus adalah relasi antara perilaku dengan takdir. Bagi Heraclitus, karaktermu adalah takdirmu. Maksudnya takdirmu mengikuti karaktermu. Jika seseorang baik, jujur, ramah maka takdir akan mengikuti karakternya itu, tidak akan jauh-jauh dari karakter yang demikian. Karakter seseorang menentukan takdirnya. “Kalau karaktermu seperti keledai maka kamu akan lebih memilih jerami ketimbang emas”. “Jika karaktermu seperti babi maka kamu akan lebih memilih lumpur daripada air bersih”. “Jika karaktermu burung maka mandimu adalah debu”. Demikian perumpamaan Heraclitus dialektika karakter dengan takdir.

Wisdom (Kebijaksanaan)

Menurut Heraclitus, banyaknya pengetahuan tidak akan mengajari orang untuk bijaksana. Ini merupakan kritik bagi orang yang selalu memperhitungkan dan hanya suka menumpuk pengetahuan. Padahal banyaknya pengetahuan tidak serta merta membuat orang menjadi bijaksana. Heraclitus melanjutkan, orang yang cinta kebijaksanaan harus meneliti banyak hal. Jangan ngaku cinta kebijaksanaan tapi tidak meneliti lingkungan sekelilingnya. Jadi bukan hanya orang yang sekedar ikut saja apa yang ada disekelilingnya, tapi juga meneliti, menyelaminya, menginvestigasi banyak hal. Tidak hanya membaca dari luar tapi juga menginvestigasi kedalam. 

Orang yang menjalankan kebijaksaan pasti melakukan apa yang aku lakukan, dan yang aku lakukan pertama adalah menginvestigasi diri sendiri, menyelami diri sendiri, mengkaji diri sendiri. Jika kita menyelami diri kita sendiri maak kita akan menemukan bahwa aku ternyata bukanlah aku. Misalnya, kita menganggap manusia yang tekun, prospek masa depan bagus, ternyata setelah diselami lebih jauh ternyata apa yang kita anggap tidak demikian kenyataannya. Karena itu banyaknya pengetahuan tidak akan membuat orang, atau menjamin orang menjadi bijaksana, melainkan setelah ia menelaah dirinya sendiri. Heraclitus bahkan tidak sungkan mengambil perumpaan yang tidak mengenakkan sekalipun. 

Heraclitus mengatakan, anjing menggonggong pada apa yang tidak mereka mengerti. Heraclitus ingin mengatakan bahwa sebenarnya orang yang banyak bicaranya menunjukkan bahwa ia tidak paham. Banyak bicara disini lebih pada kedangkalan ilmu dan pengetahuan. Heraclitus melanjutkan bahwa, banyak orang tidak sadar apa yang mereka lakukan saat sadar, sebagaimana mereka lupa apa yang mereka lakukan saat tidur. Disini Heraclitus menekankan bahwa untuk menuju kebijaksanaan tidak cukup hanya dengan ilmu pengetahuan tapi juga mensyaratkan adanya kesadaran dalam menelaah lingkungan sekitar. Kesadaran adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dari unsur kebijaksanaan.

Rabu, 06 November 2019

Sofisme Yunani


Sofisme Yunani, Dari Mengajarkan Retorika Hingga Menjual Ilmu

Oleh: Syahdi, S.H

Yunani termasuk negara tertua di Eropa. Peradaban Eropa yang rasional dimulai dari Yunani, bergesernya peradaban manusia dari mitos ke logos juga dimulai dari Yunani. Siapapun yang ingin mengetahui dan memahami pikiran para filosof harus dimulai dari membaca pikiran filosof Yunani. Semua filsafat kontemporer hari ini merupakan proses perkembangan dan pembaharuan dari filsafat Yunani. Di Yunani Kuno telah ada kaum sofis yang menginisiasi lahirnya pemikiran baru dalam filsafat dan melahirkan 3 filosof besar yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Jasa kaum sofis terhadap pemikiran filsafat adalah menginisiasi fase baru filsafat Yunani. Sebelum munculnya kaum sofis filsafat Yunani sibuk memikirkan kosmos, alam semesta, alam semesta itu apa dan bagaimana terbentuknya, berasal dari apa dan bagaimana bekerjanya. 

Sementara fase berikutnya setelah fase sofisme yaitu lahirnya pemikiran besar dalam filsafat, dari filsafat logos bergeser ke arah filsafat ideal Socrates, Plato dan Aristoteles. Kaum sofis merupakan kaum terdidik, para guru filsafat. Tapi kelemahan kaum sofis yang paling mendasar yaitu menjual ilmunya untuk memperoleh penghasilan, zaman sekarang kita mengenal praktik seperti itu dengan sebutan kapitalisasi dunia pendidikan. Jadi, sejak zaman kaum sofis di Yunani praktik kapitalisasi dunia pendidikan yang kita kenal di era modern sekarang ternyata cikal bakalnya, bibitnya telah muncul dan diterapkan oleh kaum sofis. Menjadikan dunia pendidikan sebagai lembaga bisnis yang akan mendatangkan keuntungan, sebagai ladang untuk menghasilkan penghasilan. 

Profesi sebagai guru adalah profesi bergengsi dan merupakan peluang paling bagus untuk menghasilkan uang. Sehingga tidak heran bahwa banyak diantara murid-murid kaum sofis adalah kalangan aristokrat yaitu kalangan bangsawan. Watak kaum sofis yang seperti ini dikritik habis-habisan oleh Socrates dan Plato di zamannya. Diantara guru-guru sofis yang terkenal yaitu Protagoras, Xeniades, Gorgias, Lycphorn, Prodikos, Thrasymakos, Hippias, Antiphon, Kritias. Munculnya kaum sofis di Yunani sebab Athena (Yunani) menjadi negara demokrasi yang pertama dengan sistem demokrasi langsung, kebutuhan akan dunia pendidikan, dan perjumpaan dengan berbagai kebudayaan.

Karakter Utama Kaum Sofis

Corak atau model filsafat kaum sofis dilandasi oleh beberapa karakter utama, yaitu mencari kebenaran tidak menjadi prioritas utama, lebih konsentrasi pada retorika. Mengembangkan pandangan bahwa kebenaran itu tergantung kepada ruang dan budaya. Kaum sofis meragukan adanya kebenaran absolut, bahkan Gorgias mempertanyakan kemungkinan seseorang memiliki pengetahuan. Yang disebut kebenaran adalah yang menang dalam tabrakan argumentasi. Kebenaran miliknya yang menang dalam argumentasi. Kaum sofis mengajarkan murid-muridnya memahami situasi, menata situasi, dan mengarahkannya sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Ciri kaum sofis yaitu, Pertama, mengutamakan retorika, cara penyampaian, bahasa penyampaian yang menarik. Kebenaran itu tidak lebih penting daripada retorika. Ada dua alat utama yang digunakan dalam retorika oleh kaum sofis yaitu eristics dan antilogic. Eristics yaitu argumen yang dipakai untuk memenangkan debat, bukan mencari kebenaran, tetapi dimaksudkan untuk mengalahkan lawan, bukan untuk pencerahan. Antilogic yaitu berargumen dengan mengajukan proposisi-proposisi yang berlawanan untuk membungkam lawan dan mematahkan argumen lawan. Sementara itu target retorika dalam pandangan kaum sofis yaitu persuasi, berupaya meyakinkan orang. Untuk mewujudkan persuasi menurut Gorgias dilakukan dengan cara menyampaikan kata yang tepat di waktu yang tepat. 

Selain itu kaum sofis lebih gemar menggunakan logos (logika yang sempit) dan ethos (reputasi, kredibilitas, trust atau kepercayaan) bukan pathos (emosi, nilai-nilai). Sedangkan menurut Aristoteles retorika yang bagus harus memiliki tiga unsur yaitu logos, ethos dan pathos. Orang Yunani menyebutnya trium virate (tiga keahlian utama). Jika ingin dipandang pintar baik secara logika maupun dari sisi kemampuan retorika maka kuasai logos (logika yang benar), miliki ethos (jadilah orang yang bisa dipercaya, punya kredibilitas tinggi) dan hidupkan pathos (memiliki keterikatan pada emosi, nilai-nilai). Kedua, egoisme. Hidup ini menurut kaum sofis bersifat natural, dan diantara yang natural dalam diri manusia yaitu egois. Tidak masalah manusia egois karena itu adalah sebuah kewajaran, hal yang alami. 

Kaum sofis memandang bahwa kehidupan alami itu mengedepankan kepentingan yang lebih kuat. Keadilan itu untuk yang sederajat, memiliki kedudukan dan kekuatan yang setara. Ketiga, relativisme dan subyektivisme. Cara berfikir seperti ini dipelopori oleh Protagoras. Dalam cara berfikir ini, setiap orang ukuran dari kebenaran. Atau dengan kata lain kebenaran itu tergantung orangnya, kebenaran adalah apa yang dipahami dan disadari oleh tiap orang, maka akan ada kebenaran yang subyektif tergantung siapa yang memahami dan menilainya. Sebab tidak pernah ada realitas yang obyektif. Obyektif disini maksudnya, obyek saja, benar-benar obyek tanpa subyek. Nyatanya setiap benda diluar diri manusia selalu akan menjadi obyek karena dipersepsi atau ada intervensi subyek. Tidak ada yang benar/salah, baik/buruk secara pasti, sehingga tidak ada kebenaran yang obyektif. 

Semua tergantung persepsi dan perspektif subyektif. Ungkapan Protagoras yang terkenal yaitu “Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu”. Protagoras juga terkenal dengan konsepnya “dissoi logoi”, yaitu kata-kata yang berbeda. Maksudnya bahwa satu pandangan selalu ada dua sisi yang saling kontradikasi dalam setiap isu atau masalah. Protagoras sebagai seorang sofis melatih muridnya agar berargumen dari dua sisi yang berbeda, memandang dari segi positif/mendukung dengan mengajukan argumen. Lalu memandang dari segi negatif/menolak, menentang satu isu atau masalah dengan menagjukan argumen. Sehingga tidak hanya fokus dan mengerti satu sisi tapi juga dua sisi yang berbeda. Protagoras mengkritik filosof Elea seperti Heraklitos yang membuat pembedaan antara rasa dan pemikiran, rasa itu subyektif dan pemikiran itu obyektif. 

Menurut para filosof Elea, rasa itu tidak dapat dipercaya, sementara pemikiran melalui akal membawa kepada kebenaran yang sifatnya universal. Protagoras memandang sebaliknya, ia menempatkan akal dibawah rasa. Karena seperti itulah mekanisme alami manusia. Kebanyakan manusia selalu menggunakan rasa dulu baru setelah itu berfikir, mengajukan pemikiran atau pendapat. Menurut Protagoras, setiap orang adalah ukuran bagi kebenaran atau kesalahannya sendiri. Apa yang menurut seseorang benar itulah kebenaran, dan apa yang menurut orang lain benar itupun juga merupakan kebenaran, meskipun  bertentangan dengan pandanganku. Rasa sakitmu itu benar, sebagaimana rasa sakitku juga benar, jadi semua sama-sama benar. 

Ada keragaman kebenaran, karena itu bersifat relatif tidak ada kebenaran yang absolut. Keempat, skeptisisme. Jika pada relativisme, semua benar tergantung pada pemahaman dan penilaian tiap orang, tetapi pada skeptisisme semua harus dipertanyakan. Orang yang relativis bersifat toleran karena pikiran setiap orang benar tergantung versi dan perspektif masing-masing. Sementara orang yang skeptis memandang semua harus dianggap salah, semua harus diragukan, harus dicurigai, tidak boleh dipercaya. Skeptisisme dibangun atas dasar pandangan bahwa pikiran manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran yang sejati. Karena itu tidak perlu menyibukkan diri menyelami untuk menemukan kebenaran yang sejati. 

Lain lagi dengan istilah dogmatis, yaitu memandang pikiran tertentu saja yang benar yang lain semuanya salah. Tokoh skeptisisme kaum sofis yang terkenal yaitu Gorgias. Kelima, bisnis pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai bisnis. Kaum sofis lah yang memungut bayaran atas layanan mereka. Kaum sofis juga mempromosikan dirinya bahwa umat manusia butuh manusia seperti mereka. Kelima, mengkritik agama. Kaum sofis memandang banyak orang yang memanfaatkan agama untuk tujuan kontrol sosial, supaya orang rukun dan tertib. Tuhan itu “dibuat” untuk tujuan tertentu yaitu untuk mengintimidasi orang agar tidak berbuat jahat karena akan dimurkai tuhan, akan di siksa tuhan kelak dan lain sebagainya.

Kritik Plato dan Aristoteles Terhadap Kaum Sofis

Menurut Plato, kaum sofis hanya menyibukkan diri dengan argumen dan melupakan kebenaran. Mengajar dengan gaya retorika belaka, memberi ajaran tapi tidak menjawab pertanyaan/menyelesaikan masalah. Mengingkari nilai absolut moralitas, dan merasa tau apa yang sebenarnya mereka tidak tau. Semntara itu menurut Aristoteles, kaum sofis dangkal dalam berfikir, cara berfikirnya sempit dalam memahami banyak hal. Terlepas dari kekurangan dalam pikiran-pikiran filsafat kaum sofis, paling tidak dapat menambah wawasan kita dalam memandang dunia dari berbagai sisi filsafat. 

Mungkin saja kita tidak sepakat dengan kaum sofis sebab ia menjual ilmunya untuk uang, tapi dengan membaca pikiran filsafatnya memberi informasi kepada kita tentang cikal bakal kemunculan kapitalisasi dalam dunia modern. Sehingga kita lebih waspada dan lebih kritis mengkritik kapitalisme yang membawa umat manusia pada perbudakan dan penindasan. Kita juga dapat saja tidak setuju pada karakter kaum sofis yang terlampau menekankan pada penguasaan retorika tanpa memperdulikan esensi yang harus dibangun dalam retorika itu sendiri. 

Selasa, 05 November 2019

Filsafat Politik Machiavelli


Filsafat Politik Machiavelli
(Mengungkap Corak dan Orientasi Pemikiran Machiavelli)

Oleh: Syahdi, S.H

Sekilas Tentang Ketokohan Machiavelli

Niccolo Machiavelli hidup pada 1469-1527. Pikirannya disadari atau tidak, diakui atau tidak banyak berpengaruh terhadap tradisi politik praktis di berbagai belahan dunia termasuk dalam aktivitas politik di Indonesia. Ciri Filsafat Politik Machiavelli yaitu: empirisme, realisme, pragmatis bukan idealisme yaitu ide-ide yang ada dalam fikiran abstrak tentang apa yang ideal atau apa yang seharusnya diterapkan dalam alam nyata.

Karyanya Ill Principle dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi The Prince yang artinya Sang Pangeran, yang merupakan sebuah buku petunjuk praktis menjadi penguasa. Ill Principle merupakan jembatan dari teori politiki idealisme (Plato, Aristoteles) menuju teori politik realisme. Diantara isinya bersifat mengamankan tugas-tugas pemerintah dan mengamankan city state baik dari intervensi sipil maupun penaklukan dari luar. Napolleon, Bennito Musollini menjadikan Ill Principle sebagai pegangan dalam berkuasa. Ditulis pada 1512-1519 (7 tahun) dengan sekitar 118 halaman termasuk pengantar.

Sebelum memberikan penilaian dan komentar terhadap aliran filsafat Machiavelli haruslah dipahami konteks lingkungan sosial politik tempat beliau hidup. Machiavelli seorang tokoh filsafat politik yang membawa teori dan filsafat idealis ke arah filsafat realis. Hidup di Italia abad ke-15 zaman ketika berakhirnya imperium Romawi, zaman yang berebut pengaruh antara city state dengan gereja yang ingin mendominasi politik dan pemerintahan. 

Ide tentang atau city state lahir dalam suasana perebutan pengaruh tersebut pada 1450, city state yang paling berpengaruh pada waktu itu yaitu Florence, Venice dan Milan. Ciri atau slogan city state yang utama yaitu independen, republik, kebebasan atau liberty. Ide nation state pada waktu itu belum lahir, yang ada yaitu city state. City state dikuasai oleh konglomerat dan kelas penguasa. Machiavelli lahir di Florence, lahir pada saat terjadi persaingan pengaruh antara city state dengan church (gereja).

Filsafat Politik Machiavelli

Filsafat Politik Machiavelli yang pragmatis mengutamakan sisi kegunaan/fungsi atau manfaat dari fikiran yang diterjemahkan kedalam berbagai perbuatan yang mendatangkan manfaat atau yang berguna. Di bidang agama menurut logika pragmatis filsafat politik Machiavelli, seorang pemimpin tidak harus religius tetapi yang dapat mendorong masyarakat menjadi religius karena akan membantu menciptakan ketertiban dan memudahkan kontrol.

Jadi fungsi religiusitas dari ajaran agama yang ingin dikedepankan adalah membantu menciptakan ketertiban dan memudahkan kontrol. Dalam kehidupan sehari-hari pikiran Machiavelli misalnya dapat kita lihat, misalnya, bahwa menjadi pengurus masjid tidak perlu yang bacaan Qur’annya bagus dalam artian fasih tetapi jika ia dengan menjadi pengurus masjid itu dapat membuat jamaah masjid ramai berdatangan, masjid menjadi hidup kegiatannya maka tidak masalah ia menjadi pengurus masjid.

Seorang ketua RW tidak perlu orang yang berpendidikan asalkan dia dapat membuat suasana kemasyarakatan menjadi akur, tentram ia dapat mengayomi masalah di lingkungannya. Seorang mahasiswa jika ingin cepat lulus kuliah maka dia dapat melakukan berbagai cara yang berfungsi untuk mendorong ke arah tujuannya itu, misalnya ia rajin membawa makanan/buah-buahan ke rumah dosen, atau mampu membuat mahasiswa lain iba padanya sehingga bersedia mengizinkan nyontek saat ujian. Kemampuan mempengaruhi dosen dan sesama mahasiswa itulah sisi pragmatis dari perbuatan untuk mencapai tujuannya. Cara apapun dapat dilakukan terlepas dari baik atau buruk asalkan tujuan tercapai. Menjadi pimpinan pondok pesantren tidak harus orang yang ahli dalam agama tetapi yang terpenting dia dapat mengelola pesantren dengan baik. 

Demikian juga untuk menjadi kepala daerah atau kepala negara seseorang tidak perlu berpendidikan tinggi bertitel profesor doktor, tidak harus cerdas atau paham ketatanegaraan tetapi asalkan dia dapat mensejahterakan rakyatnya, menjaga ketertiban, mempertahankan kedaulatan dan wibawa negara yaitu dengan merekrut dan menaklukkan orang-orang pandai yakni para sarjana, ahli dan mereka yang banyak pengalamannya menjadi pembantu-pembantunya. Disini orang bodoh dapat mengatur dan mengendalikan orang pintar, sebab mereka diperlukan, ada gunanya bagi kekuasaan. 

Pikiran Machiavelli ini berdampak pada penganjuran tidak perlu selektif memilih pempimpin. Jadi semua contoh-contoh itu yang dipandang adalah segi fungi atau kegunaannya. Pikiran pragmatis Machiavelli yang mengagungkan sisi kegunaan atau fungsi dari perbuatan berkembang dan berorientasi pada menghalalkan cara untuk mencapai tujuan, tidak mempertimbangkan moralitas dalam politik. Negara itu lebih penting dari apapun karena urusan negara itu levelnya paling tinggi. 

Machiavelli tidak bicara moralitas, sebab memang Machiavelli memandang politik bukan pada ruang moralitas, tidak dalam konteks moralitas tapi melihat sisi realitas. Machiavelli hanya melihat alam nyata atau realitas serba apa adanya, bukan apa yang seharusnya ada. Cara Machiavelli memandang alam nyata sangat mempengaruhi bangunan filsafat politiknya. Sedangkan cara pandang Machiavelli dipengaruhi oleh lingkungan tempat dimana ia hidup, di masanya Italia mengalami kemunduran dan penderitaan. Logika filsafat politik Machiavelli muncul dengan tesis untuk mempertahankan wibawa negara, mempertahankan kekuasaan atau mewujudkan ketertiban dan kesejahteraan bahwa negara tidak boleh dipikirkan dan dijalankan dalam sudut pandang etis atau menurut etis, tetapi harus dipikirkan dalam sudut pandang medis.

Dalam sudut pandang medis misalnya jika kita analogikan sebelum menyentuh sisi politik, seorang dokter untuk menyelamatkan nyawa pasiennya yang terkena kanker harus mengamputasi bagian dari tubuh pasien yang terinfeksi kanker, atau untuk memulihkan kondisi kesehatan seseorang harus diberi minum obat-obatan sekalipun sangat pahit. Demikian juga di wilayah politik dan kenegaraan, untuk membubarkan massa demonstrasi yang membuat kerusuhan maka polisi dapat menempuh cara-cara represif atau kasar, menyakiti demonstran meskipun dirasakan sebagai perbuatan yang tidak baik secara etis, tetapi diperlukan sebab dapat memulihkan keadaan agar dapat kembali menjadi tertib. 

Contoh lain misalnya, koruptor harus dihukum berat bahkan dihukum mati melalui undang-undang yang keras agar tidak membawa kerusakan yang lebih parah pada instabilitas ekonomi dan politik, agar tidak menyebar dan bertambah banyak maka proses hukuman mati itu dapat dipertontonkan sehingga orang lain takut untuk korupsi. Atau pada masa orde baru, Petrus atau penembak misterius diam-diam berkeliaran untuk membunuh orang-orang jahat, atau orang-orang yang suka mengkritik pemerintah, sebab jika dibiarkan maka kritikan itu akan mampu memobilisasi massa untuk aksi melawan pemerintah. 

Jika seudah demikian maka stabilitas pemerintahan akan terganggu, untuk menjaga agar negara tetap stabil dan kondusif, masyarakat tertib maka penjahat dan tukang kritik harus di “amputasi” yakni diberangus habis. Semua kebijakan itu diambil dengan menggunakan pendekatan medis yang nyata berguna dan bermanfaat bagi penguasa atau pemerintah. Lain halnya jika menggunakan sudut pandang etis, memandang hukuman berat pada koruptor sebagai perbuatan yang jahat, biadab, sehingga memunculkan rasa iba jika koruptor dihukum berat atau dihukum mati lalu bagaimana dengan nasib istri dan anak-anaknya atau keluarganya yang tidak bersalah menjadi terkena dampaknya.

Polisi yang bersifat pasif menghadapi demonstran dengan pikiran bahwa mereka domonstran itu hanya menuntut hak-hak atau menyampaikan aspirasinya tidak patut diusir dan diperlakukan kasar (represif). Penjahat tidak patut ditembaki/dibunuh hanya karena mereka berbuat jahat, sebab bisa jadi kejahatan itu mereka lakukan dengan terpaksa sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, membiayai sekolah anak-anaknya kaerna mereka hidup miskin dan melarat. Demikian juga tidak sepatutnya memberangus suara-suara kritis atau oposisi sebab kritik itupun juga agar pemerintah tidak sewenang-wenang, dan lain sebagainya. Itu jika menggunakan sudut padang etis, demikianlah penilaiannya. 

Terlepas dari pandangan bahwa Machiavelli tidak mempertimbangkan atau mengabaikan moralitas, nyatanya sebagian besar pandangan filsafat politiknya diperlukan dan diterapkan dalam realitas politik di negeri kita. Walaupun sampai saat ini misalnya dalam tataran doktrinal maupun legal policy penjatuhan hukuman berat kepada pelaku tindak pidana sudah mulai ditarik ke wilayah etis melalui teori dan ide-ide restorative justice sehingga dipandang tidak patut lagi mempertahankan hukuman mati dan hukuman seumur hidup, melainkan lebih diarahkan pada upaya pemulihan hak-hak, atau keadaan-keadaan akibat dari terjadinya suatu tindak pidana. Sekarang ini penjatuhan pidana dicoba untuk lebih diarahkan pada matregel atau pidana tindakan seperti pembinaan terhadap narapidana (bahkan tidak lagi digunakan terminologi “narapidana”, melainkan “warga binaan”), pelatihan kekaryaan, kerja sosial, ganti rugi, sumbangan sosial. Machiavelli yang seorang realis memandang apa adanya, tidak memandang apa yang seharusnya ada dalam politik.

Asumsi Filsafat Politik Machiavelli

Machiavelli memandang bahwa karakter dasar manusia itu jelek dan rusak. Manusia itu secara alamiah atau menurut alam realitas adalah makhluk yang sombong, angkuh, suka memanfaatkan sesama, suka berbohong, tamak, egois, tidak tau berterima kasih, tidak bisa dipercaya, dan lain sebagainya. Andai hukum tidak ada, moralitas tidak muncul, agama tidak berperan, maka pastilah manusia dalam hidupnya selalu dan banyak melakukan perbuatan jelek dan menciptakan kerusakan-kerusakan. Misalnya perzinahan akan merajalela, miras dikonsumsi semua orang dimanapun, pembunuhan akan banyak terjadi, pencurian ada dimana-mana sehingga akan muncul kekacauan. Untuk mengatasi hal itu dalam politik menurut Machiavelli, penguasa perlu membuat orang takut pada penguasa agar negara stabil, perintahnya dipatuhi sehingga negara berwibawa. Inilah asumsi filsafat politik Machiavelli. 

Karena itu kadang-kadang penguasa perlu melakukan pemaksaan, penyiksaan jika tidak berhasil dengan cara pemaksaan dan penyiksaan maka disingkirkan. Sebab jika dibiarkan maka akan menjadi penyakit, parasit yang merusak menyebar kemana-mana. Mengapa demikian sebab karakter dasar manusia itu jelek dan rusak. Dalam membangun filsafat politiknya Machiavelli terkenal dengan konsepnya yaitu virtu dan fortuna. 

Dilihat dari segi sumbernya virtu adalah sumber daya yang dimiliki oleh seseorang, bisa diciptakan, dimobilisasi, dan dimanfaatkan sesuai tujuannya selaku aktor politik. Misalnya kepintaran, keberanian, ketegasan, ketelitian, reputasi yang pemurah dan pemaaf, mendapat dukungan masyarakat, mendapat dukungan dari penguasa negara tetangga, relasi yang luas dan kuat, bijaksana, selain itu juga lihai dalam berdusta, menggunakan kekerasan secara kejam. 

Virtu adalah kualitas  personal yang harus dimiliki seorang raja (penguasa) untuk mengelola negaranya dan mempertahankan kekuasaannya. Penguasa harus memiliki kualitas virtu yang paling tinggi bahkan juga dapat bertindak sangat jahat. Ciri- ciri penguasa yang memiliki virtu yang kuat yaitu rajin dan paham politik, cerdik (lebih condong pada licik), tidak masalah tampil lugu dan jujur perlu tapi dalam rangka cerdik dalam berhadapan dengan kawan maupun lawan, ahli dalam perang dan diplomasi, tidak bergantung pada nasehat atau kekuatan orang lain, memiliki kekuatan mandiri berdasarkan karisma dan kualitas kepemimpinan. Konsep Machiavelli yang kedua yaitu fortuna. 

Secara umum fortuna mengacu kepada  kebetulan, keberuntungan, probabilitas, dan faktor eksternal di luar kontrol seseorang. Machiavelli mengartikan fortuna sebagai kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia, penderitaan dan musibah yang tidak dapat ditoleransi. Karena itu bagi Machiavelli fortuna adalah musuh dari tatanan politik, ancaman bagi keselamatan dan keamanan negara. Penguasa yang memiliki virtu yang kuat maka dia mesti memiliki kemampuan untuk memprediksi, merespon atau mengatasi permasalahan yang terjadi dalam pemerintahannya, yaitu seorang peminpin yang selalu punya cara, tidak mudah kehabisan ide, melainkan banyak ide dan kreasi untuk mengendalikan atau menaklukkan berbagai permasalahan.

Dimensi Hukum Dalam Pemikiran Filsafat Machiavelli

Menurut Machiavelli, hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu tatanan sistem politik yang baik. Karena paksaan dapat menciptakan legalitas, maka cara pemaksaan lebih efektif. Sebaliknya tidak ada hukum yang baik tanpa ada senjata yang baik. Hukum secara keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas menjadi hal yang tidak mungkin jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa. 

Karena itu Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas, sebab manusia cenderung lebih patuh jika ada paksaan dari kekuasaan. Karena itu pula penegak hukum jauh lebih penting daripada hukum itu sendiri, sebab dengan kekuasaan paksaan dapat dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan ketertiban. Unsur paksaan dalam dimensi pemikiran filsafat Machiavelli ini dalam perkembangannya banyak menginspirasi para tokoh penganut aliran legal positivisme.

Hubungan Pemimpin yang Cerdik dan Rakyatnya

Menurut Machiavelli, pemimpin yang cerdik harus membangun negaranya sesuai keinginan negaranya, menghargai rakyatnya namun juga tidak ragu menyakiti rakyatnya jika diperlukan karena dalam jangka waktu panjang lebih baik menjadi kejam daripada menjadi lemah. Menurut Machiavelli jika harus memilih maka pemimpin yang kejam lebih dihormati oleh rakyatnya daripada pemimpin yang lemah. Pemimpin yang lemah akan membawa negara pada kehancuran dan kesengsaraan. Sedangkan pemimpin yang kejam, kekejaman itu menurut logika medis Machiavelli sekedar untuk mewujudkan tujuan yang baik maka perlu melakukan cara-cara yang jelek sekalipun. 

Pemimpin yang seperti ini lebih disukai oleh rakyatnya. Pemimpin yang cerdik tidak perlu terlalu jujur, melainkan pemimpin yang cerdik tau kapan harus jujur dan kapan harus bohong, yang terpenting kebohongan itu tidak menyebabkan kebencian rakyat padanya. Di sisi lain pemimpin berbohong asalkan untuk kebaikan negaranya. Pemimpin yang cerdik harus lihai memainkan pencitraan sehingga menyadari bahwa hasil-hasil kesuksesan akan membuat publik terpesona sehingga melupakan sakit yang pernah ditimpakan pada mereka. Pemimpin yang cerdik tidak perlu terlalu teguh pada pendiriannya jika dirasakan tidak menguntungkan. Seorang pemimpin jika ingin terus memimpin ia harus belajar melakukan kebajikan namun menggunakannya sesuai kebutuhan. 

Pemimpin yang cerdik tau kapan harus adil kapan harus berlaku kejam, tergantung kondisi yang sedang dihadapi. Lebih jauh Machiavelli mengatakan jika ada komplotan yang berusaha ingin memenangkan hati rakyat, maka selama sang pemimpin masih dipercaya rakyatnya maka upaya komplotan itu akan gagal. Untuk memenangkan hati rakyat maka pencitraan harus terus dilakukan dengan kualitas virtu pemimpin. 

Karena itu pemimpin harus menjaga kepercayaan rakyat padanya jika ingin kekuasaannya bertahan lama. Sebaliknya jika rakyat sudah membenci dan tidak mendukung lagi, maka sang pemimpin harus mewaspadai setiap orang. Tugas paling penting seorang pemimpin adalah menjaga agar mayoritas rakyatnya berada di pihaknya. Hanya dengan cara inilah pemerintahannya akan bertahan lama. Kudeta bukan sesuatu yang harus ditakuti tetapi harus diwaspadai dan disingkirkan.

Pemikiran Machiavelli tentang Negara dan Masyarakat

Menurut Machiavelli negara dan masyarakatlah yang lebih penting bukan individu-individu. Moralitas dibutuhkan selama masyarakat dan negara membutuhkan. Seorang pemimpin dalam mengelola masyarakat dan negara tidak boleh menyimpang dari jalan kebajikan, namun ia juga harus tau bagaimana caranya melakukan kejahatan saat dibutuhkan. Seorang pemimpin jika ia bohong tetapi membuat negaranya semakin maju rakyat semakin sejahtera maka rakyat akan melihat itu sebagai perbuatan yang terpuji, karena itu tidak masalah jika pemimpin berbohong. Kebohongan itu perlu dilakukan pada saat tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dan kemajuan negaranya.

Negara dan Agama

Menurut Machiavelli negara jangan sampai dikuasai oleh agama, melainkan negara harus mendominasi agama. Ajaran dan dogma agama tidak begitu penting, tetapi semua itu dipandang memiliki fungsi untuk mempersatukan negara. Agama hanya salah satu pranata kehidupan bermasyarakat yang dapat difungsikan. Fungsi agama yang egaliter dan bersifat mempersatukan dibiarkan tumbuh untuk menjaga dukungan terhadap kekuasaan. Tetapi fungsi agama yang bersifat melawan, memobilisasi massa untuk menentang penguasa tidak dapat ditolerir.

Penilaian Terhadap Pemikiran Politik Machiavelli

    1.   Menganggap Machiavelli sebagai seorang penagajar atau penganjur kejahatan, atau paling tidak immoralism atau amoralism. Ajaran Machiavelli menghindari dari nilai-nilai keadilan, kearifan, kasih sayang, rasa cinta tetapi lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan dan penindasan. (Leo Strauss 1957)
   2.   Machiavelli sekedar seorang realis atau pragmatis yang melihat politik tidak dalam perspektif moral, tatapi sekedar melihat dan memaparkan realitas politik apa adanya, bukan apa yang seharusnya dalam politik. Bahkan dengan tampil sebagai seorang realis atau pragmatis, Machiavelli telah mampu mengungkap dengan sejelasnya watak dan tradisi politik yang sedang diperankan para politikus. (Benedetto Croce 1925)
   3.  Pemikiran Machiavelli adalah sesuatu yang ilmiah dan cara berfikir seorang scientist yang menginformasikan bahwa ada perbedaan fakta politik dengan nilai moral. (Ernst Cassirer 1946)

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...