Filsafat
Politik Machiavelli
(Mengungkap Corak dan Orientasi Pemikiran Machiavelli)
Oleh: Syahdi, S.H
Sekilas
Tentang Ketokohan Machiavelli
Niccolo Machiavelli hidup pada 1469-1527. Pikirannya disadari atau tidak, diakui atau tidak banyak berpengaruh terhadap tradisi politik
praktis di berbagai belahan dunia termasuk dalam aktivitas politik di Indonesia. Ciri Filsafat Politik Machiavelli yaitu: empirisme,
realisme, pragmatis bukan idealisme yaitu ide-ide yang ada dalam fikiran abstrak tentang apa yang ideal atau apa yang seharusnya diterapkan dalam alam nyata.
Karyanya Ill
Principle dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi The Prince yang artinya Sang Pangeran, yang merupakan sebuah buku
petunjuk praktis menjadi penguasa. Ill
Principle merupakan jembatan dari teori politiki idealisme (Plato,
Aristoteles) menuju teori politik realisme. Diantara isinya bersifat
mengamankan tugas-tugas pemerintah dan mengamankan city state baik dari intervensi sipil maupun penaklukan dari luar. Napolleon,
Bennito Musollini menjadikan Ill
Principle sebagai pegangan dalam berkuasa. Ditulis pada 1512-1519 (7 tahun)
dengan sekitar 118 halaman termasuk pengantar.
Sebelum memberikan penilaian dan komentar terhadap aliran filsafat Machiavelli haruslah dipahami konteks lingkungan sosial politik tempat beliau hidup. Machiavelli seorang tokoh filsafat politik yang membawa teori dan filsafat
idealis ke arah filsafat realis. Hidup di Italia abad ke-15 zaman ketika berakhirnya
imperium Romawi, zaman yang berebut pengaruh antara city state dengan gereja yang ingin mendominasi politik dan
pemerintahan.
Ide tentang atau city state lahir dalam suasana perebutan pengaruh tersebut pada
1450, city state yang paling berpengaruh pada waktu itu yaitu Florence, Venice dan Milan. Ciri atau slogan city state yang utama yaitu independen,
republik, kebebasan atau liberty. Ide nation state pada waktu itu belum lahir,
yang ada yaitu city state. City state dikuasai
oleh konglomerat dan kelas penguasa. Machiavelli lahir di Florence, lahir pada
saat terjadi persaingan pengaruh antara city
state dengan church (gereja).
Filsafat
Politik Machiavelli
Filsafat Politik Machiavelli yang pragmatis mengutamakan
sisi kegunaan/fungsi atau manfaat dari fikiran yang diterjemahkan kedalam
berbagai perbuatan yang mendatangkan manfaat atau yang berguna. Di bidang agama
menurut logika pragmatis filsafat politik Machiavelli, seorang pemimpin tidak harus religius tetapi yang dapat
mendorong masyarakat menjadi religius karena akan membantu menciptakan
ketertiban dan memudahkan kontrol.
Jadi fungsi religiusitas dari ajaran agama
yang ingin dikedepankan adalah membantu menciptakan ketertiban dan memudahkan
kontrol. Dalam kehidupan sehari-hari pikiran Machiavelli misalnya dapat kita
lihat, misalnya, bahwa menjadi pengurus masjid tidak perlu yang bacaan Qur’annya
bagus dalam artian fasih tetapi jika ia dengan menjadi pengurus masjid itu
dapat membuat jamaah masjid ramai berdatangan, masjid menjadi hidup kegiatannya
maka tidak masalah ia menjadi pengurus masjid.
Seorang ketua RW tidak perlu orang yang berpendidikan
asalkan dia dapat membuat suasana kemasyarakatan menjadi akur, tentram ia dapat
mengayomi masalah di lingkungannya. Seorang mahasiswa jika ingin cepat lulus
kuliah maka dia dapat melakukan berbagai cara yang berfungsi untuk mendorong ke
arah tujuannya itu, misalnya ia rajin membawa makanan/buah-buahan ke rumah
dosen, atau mampu membuat mahasiswa lain iba padanya sehingga bersedia
mengizinkan nyontek saat ujian. Kemampuan mempengaruhi dosen dan sesama
mahasiswa itulah sisi pragmatis dari perbuatan untuk mencapai tujuannya. Cara apapun
dapat dilakukan terlepas dari baik atau buruk asalkan tujuan tercapai. Menjadi pimpinan
pondok pesantren tidak harus orang yang ahli dalam agama tetapi yang terpenting
dia dapat mengelola pesantren dengan baik.
Demikian juga untuk menjadi kepala
daerah atau kepala negara seseorang tidak perlu berpendidikan tinggi bertitel
profesor doktor, tidak harus cerdas atau paham ketatanegaraan tetapi asalkan
dia dapat mensejahterakan rakyatnya, menjaga ketertiban, mempertahankan kedaulatan dan wibawa negara yaitu dengan merekrut dan menaklukkan orang-orang pandai yakni para sarjana, ahli dan mereka yang banyak pengalamannya menjadi pembantu-pembantunya. Disini orang bodoh dapat mengatur dan mengendalikan orang pintar, sebab mereka diperlukan, ada gunanya bagi kekuasaan.
Pikiran Machiavelli ini berdampak pada penganjuran tidak perlu selektif memilih pempimpin. Jadi semua
contoh-contoh itu yang dipandang adalah segi fungi atau kegunaannya. Pikiran pragmatis
Machiavelli yang mengagungkan sisi kegunaan atau fungsi dari perbuatan berkembang
dan berorientasi pada menghalalkan cara untuk mencapai tujuan, tidak
mempertimbangkan moralitas dalam politik. Negara itu lebih penting dari apapun
karena urusan negara itu levelnya paling tinggi.
Machiavelli tidak bicara moralitas,
sebab memang Machiavelli memandang politik bukan pada ruang moralitas, tidak
dalam konteks moralitas tapi melihat sisi realitas. Machiavelli
hanya melihat alam nyata atau realitas serba apa adanya, bukan apa yang
seharusnya ada. Cara Machiavelli memandang alam nyata sangat mempengaruhi
bangunan filsafat politiknya. Sedangkan cara pandang Machiavelli dipengaruhi
oleh lingkungan tempat dimana ia hidup, di masanya Italia mengalami kemunduran
dan penderitaan. Logika filsafat politik Machiavelli muncul dengan tesis untuk mempertahankan
wibawa negara, mempertahankan kekuasaan atau mewujudkan ketertiban dan
kesejahteraan bahwa negara tidak boleh dipikirkan dan dijalankan dalam sudut
pandang etis atau menurut etis, tetapi harus dipikirkan dalam sudut pandang
medis.
Dalam sudut pandang medis misalnya jika kita analogikan
sebelum menyentuh sisi politik, seorang dokter untuk menyelamatkan nyawa pasiennya
yang terkena kanker harus mengamputasi bagian dari tubuh pasien yang terinfeksi
kanker, atau untuk memulihkan kondisi kesehatan seseorang harus diberi minum
obat-obatan sekalipun sangat pahit. Demikian juga di wilayah politik dan
kenegaraan, untuk membubarkan massa demonstrasi yang membuat kerusuhan maka
polisi dapat menempuh cara-cara represif atau kasar, menyakiti demonstran
meskipun dirasakan sebagai perbuatan yang tidak baik secara etis, tetapi
diperlukan sebab dapat memulihkan keadaan agar dapat kembali menjadi tertib.
Contoh
lain misalnya, koruptor harus dihukum berat bahkan dihukum mati melalui
undang-undang yang keras agar tidak membawa kerusakan yang lebih parah pada
instabilitas ekonomi dan politik, agar tidak menyebar dan bertambah banyak maka
proses hukuman mati itu dapat dipertontonkan sehingga orang lain takut untuk
korupsi. Atau pada masa orde baru, Petrus atau penembak misterius diam-diam
berkeliaran untuk membunuh orang-orang jahat, atau orang-orang yang suka
mengkritik pemerintah, sebab jika dibiarkan maka kritikan itu akan mampu
memobilisasi massa untuk aksi melawan pemerintah.
Jika seudah demikian maka
stabilitas pemerintahan akan terganggu, untuk menjaga agar negara tetap stabil
dan kondusif, masyarakat tertib maka penjahat dan tukang kritik harus di “amputasi”
yakni diberangus habis. Semua kebijakan itu diambil dengan menggunakan
pendekatan medis yang nyata berguna dan bermanfaat bagi penguasa atau
pemerintah. Lain halnya jika menggunakan sudut pandang etis, memandang hukuman
berat pada koruptor sebagai perbuatan yang jahat, biadab, sehingga memunculkan
rasa iba jika koruptor dihukum berat atau dihukum mati lalu bagaimana dengan
nasib istri dan anak-anaknya atau keluarganya yang tidak bersalah menjadi terkena
dampaknya.
Polisi yang bersifat pasif menghadapi demonstran dengan
pikiran bahwa mereka domonstran itu hanya menuntut hak-hak atau menyampaikan
aspirasinya tidak patut diusir dan diperlakukan kasar (represif). Penjahat tidak
patut ditembaki/dibunuh hanya karena mereka berbuat jahat, sebab bisa jadi
kejahatan itu mereka lakukan dengan terpaksa sekedar untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, membiayai sekolah anak-anaknya kaerna mereka hidup miskin dan
melarat. Demikian juga tidak sepatutnya memberangus suara-suara kritis atau
oposisi sebab kritik itupun juga agar pemerintah tidak sewenang-wenang, dan
lain sebagainya. Itu jika menggunakan sudut padang etis, demikianlah
penilaiannya.
Terlepas dari pandangan bahwa Machiavelli tidak mempertimbangkan
atau mengabaikan moralitas, nyatanya sebagian besar pandangan filsafat
politiknya diperlukan dan diterapkan dalam realitas politik di negeri kita. Walaupun
sampai saat ini misalnya dalam tataran doktrinal maupun legal policy penjatuhan hukuman berat kepada pelaku tindak pidana
sudah mulai ditarik ke wilayah etis melalui teori dan ide-ide restorative justice sehingga dipandang tidak patut lagi
mempertahankan hukuman mati dan hukuman seumur hidup, melainkan lebih diarahkan
pada upaya pemulihan hak-hak, atau keadaan-keadaan akibat dari terjadinya suatu
tindak pidana. Sekarang ini penjatuhan pidana dicoba untuk lebih diarahkan pada
matregel atau pidana tindakan seperti
pembinaan terhadap narapidana (bahkan tidak lagi digunakan terminologi “narapidana”,
melainkan “warga binaan”), pelatihan kekaryaan, kerja sosial, ganti rugi,
sumbangan sosial. Machiavelli yang seorang realis memandang apa adanya, tidak
memandang apa yang seharusnya ada dalam politik.
Asumsi
Filsafat Politik Machiavelli
Machiavelli memandang bahwa karakter dasar manusia itu
jelek dan rusak. Manusia itu secara alamiah atau menurut alam realitas adalah
makhluk yang sombong, angkuh, suka memanfaatkan sesama, suka berbohong, tamak, egois,
tidak tau berterima kasih, tidak bisa dipercaya, dan lain sebagainya. Andai hukum
tidak ada, moralitas tidak muncul, agama tidak berperan, maka pastilah manusia
dalam hidupnya selalu dan banyak melakukan perbuatan jelek dan menciptakan
kerusakan-kerusakan. Misalnya perzinahan akan merajalela, miras dikonsumsi
semua orang dimanapun, pembunuhan akan banyak terjadi, pencurian ada
dimana-mana sehingga akan muncul kekacauan. Untuk mengatasi hal itu dalam
politik menurut Machiavelli, penguasa perlu membuat orang takut pada penguasa
agar negara stabil, perintahnya dipatuhi sehingga negara berwibawa. Inilah asumsi
filsafat politik Machiavelli.
Karena itu kadang-kadang penguasa perlu melakukan
pemaksaan, penyiksaan jika tidak berhasil dengan cara pemaksaan dan penyiksaan maka disingkirkan. Sebab jika dibiarkan maka akan menjadi
penyakit, parasit yang merusak menyebar kemana-mana. Mengapa demikian sebab
karakter dasar manusia itu jelek dan rusak. Dalam membangun filsafat politiknya
Machiavelli terkenal dengan konsepnya yaitu virtu dan fortuna.
Dilihat dari segi
sumbernya virtu adalah sumber daya yang dimiliki oleh seseorang, bisa diciptakan,
dimobilisasi, dan dimanfaatkan sesuai tujuannya selaku aktor politik. Misalnya kepintaran,
keberanian, ketegasan, ketelitian, reputasi yang pemurah dan pemaaf, mendapat
dukungan masyarakat, mendapat dukungan dari penguasa negara tetangga, relasi
yang luas dan kuat, bijaksana, selain itu juga lihai dalam berdusta,
menggunakan kekerasan secara kejam.
Virtu adalah kualitas personal yang harus dimiliki seorang raja
(penguasa) untuk mengelola negaranya dan mempertahankan kekuasaannya. Penguasa harus
memiliki kualitas virtu yang paling tinggi bahkan juga dapat bertindak sangat
jahat. Ciri- ciri penguasa yang memiliki virtu yang kuat yaitu rajin dan paham
politik, cerdik (lebih condong pada licik), tidak masalah tampil lugu dan jujur
perlu tapi dalam rangka cerdik dalam berhadapan dengan kawan maupun lawan, ahli
dalam perang dan diplomasi, tidak bergantung pada nasehat atau kekuatan orang
lain, memiliki kekuatan mandiri berdasarkan karisma dan kualitas kepemimpinan. Konsep
Machiavelli yang kedua yaitu fortuna.
Secara umum fortuna mengacu kepada kebetulan, keberuntungan, probabilitas, dan
faktor eksternal di luar kontrol seseorang. Machiavelli mengartikan fortuna
sebagai kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia, penderitaan dan musibah
yang tidak dapat ditoleransi. Karena itu bagi Machiavelli fortuna adalah musuh
dari tatanan politik, ancaman bagi keselamatan dan keamanan negara. Penguasa yang
memiliki virtu yang kuat maka dia mesti memiliki kemampuan untuk memprediksi,
merespon atau mengatasi permasalahan yang terjadi dalam pemerintahannya, yaitu
seorang peminpin yang selalu punya cara, tidak mudah kehabisan ide, melainkan
banyak ide dan kreasi untuk mengendalikan atau menaklukkan berbagai permasalahan.
Dimensi
Hukum Dalam Pemikiran Filsafat Machiavelli
Menurut Machiavelli, hukum yang baik dan tentara yang
baik merupakan dasar bagi suatu tatanan sistem politik yang baik. Karena paksaan
dapat menciptakan legalitas, maka cara pemaksaan lebih efektif. Sebaliknya tidak
ada hukum yang baik tanpa ada senjata yang baik. Hukum secara keseluruhan
bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas menjadi hal yang tidak mungkin
jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa.
Karena itu Machiavelli menyimpulkan
bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara
efektif dapat mengontrol legalitas, sebab manusia cenderung lebih patuh jika
ada paksaan dari kekuasaan. Karena itu pula penegak hukum jauh lebih penting
daripada hukum itu sendiri, sebab dengan kekuasaan paksaan dapat dilakukan
untuk mempertahankan dan meningkatkan ketertiban. Unsur paksaan dalam dimensi
pemikiran filsafat Machiavelli ini dalam perkembangannya banyak menginspirasi
para tokoh penganut aliran legal positivisme.
Hubungan
Pemimpin yang Cerdik dan Rakyatnya
Menurut Machiavelli, pemimpin yang cerdik harus membangun
negaranya sesuai keinginan negaranya, menghargai rakyatnya namun juga tidak
ragu menyakiti rakyatnya jika diperlukan karena dalam jangka waktu panjang lebih
baik menjadi kejam daripada menjadi lemah. Menurut Machiavelli jika harus
memilih maka pemimpin yang kejam lebih dihormati oleh rakyatnya daripada
pemimpin yang lemah. Pemimpin yang lemah akan membawa negara pada kehancuran
dan kesengsaraan. Sedangkan pemimpin yang kejam, kekejaman itu menurut logika
medis Machiavelli sekedar untuk mewujudkan tujuan yang baik maka perlu
melakukan cara-cara yang jelek sekalipun.
Pemimpin yang seperti ini lebih
disukai oleh rakyatnya. Pemimpin yang cerdik tidak perlu terlalu jujur,
melainkan pemimpin yang cerdik tau kapan harus jujur dan kapan harus bohong,
yang terpenting kebohongan itu tidak menyebabkan kebencian rakyat padanya. Di sisi lain pemimpin berbohong asalkan untuk kebaikan
negaranya. Pemimpin yang cerdik harus lihai memainkan pencitraan sehingga menyadari
bahwa hasil-hasil kesuksesan akan membuat publik terpesona sehingga melupakan
sakit yang pernah ditimpakan pada mereka. Pemimpin yang cerdik tidak perlu
terlalu teguh pada pendiriannya jika dirasakan tidak menguntungkan. Seorang pemimpin
jika ingin terus memimpin ia harus belajar melakukan kebajikan namun
menggunakannya sesuai kebutuhan.
Pemimpin yang cerdik tau kapan harus adil
kapan harus berlaku kejam, tergantung kondisi yang sedang dihadapi. Lebih jauh
Machiavelli mengatakan jika ada komplotan yang berusaha ingin memenangkan hati
rakyat, maka selama sang pemimpin masih dipercaya rakyatnya maka upaya
komplotan itu akan gagal. Untuk memenangkan hati rakyat maka pencitraan harus
terus dilakukan dengan kualitas virtu pemimpin.
Karena itu pemimpin harus
menjaga kepercayaan rakyat padanya jika ingin kekuasaannya bertahan lama. Sebaliknya
jika rakyat sudah membenci dan tidak mendukung lagi, maka sang pemimpin harus
mewaspadai setiap orang. Tugas paling penting seorang pemimpin adalah menjaga
agar mayoritas rakyatnya berada di pihaknya. Hanya dengan cara inilah
pemerintahannya akan bertahan lama. Kudeta bukan sesuatu yang harus ditakuti
tetapi harus diwaspadai dan disingkirkan.
Pemikiran
Machiavelli tentang Negara dan Masyarakat
Menurut Machiavelli negara dan masyarakatlah yang lebih
penting bukan individu-individu. Moralitas dibutuhkan selama masyarakat dan
negara membutuhkan. Seorang pemimpin dalam mengelola masyarakat dan negara
tidak boleh menyimpang dari jalan kebajikan, namun ia juga harus tau bagaimana caranya
melakukan kejahatan saat dibutuhkan. Seorang pemimpin jika ia bohong tetapi
membuat negaranya semakin maju rakyat semakin sejahtera maka rakyat akan
melihat itu sebagai perbuatan yang terpuji, karena itu tidak masalah jika
pemimpin berbohong. Kebohongan itu perlu dilakukan pada saat tertentu untuk mempertahankan
kekuasaan dan kemajuan negaranya.
Negara
dan Agama
Menurut Machiavelli negara jangan sampai dikuasai oleh
agama, melainkan negara harus mendominasi agama. Ajaran dan dogma agama tidak
begitu penting, tetapi semua itu dipandang memiliki fungsi untuk mempersatukan
negara. Agama hanya salah satu pranata kehidupan bermasyarakat yang dapat
difungsikan. Fungsi agama yang egaliter dan bersifat mempersatukan dibiarkan
tumbuh untuk menjaga dukungan terhadap kekuasaan. Tetapi fungsi agama yang
bersifat melawan, memobilisasi massa untuk menentang penguasa tidak dapat
ditolerir.
Penilaian
Terhadap Pemikiran Politik Machiavelli
1.
Menganggap
Machiavelli sebagai seorang penagajar atau penganjur kejahatan, atau paling
tidak immoralism atau amoralism. Ajaran Machiavelli menghindari dari
nilai-nilai keadilan, kearifan, kasih sayang, rasa cinta tetapi lebih cenderung
mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan dan penindasan. (Leo Strauss 1957)
2.
Machiavelli
sekedar seorang realis atau pragmatis yang melihat politik tidak dalam
perspektif moral, tatapi sekedar melihat dan memaparkan realitas politik apa
adanya, bukan apa yang seharusnya dalam politik. Bahkan dengan tampil sebagai
seorang realis atau pragmatis, Machiavelli telah mampu mengungkap dengan
sejelasnya watak dan tradisi politik yang sedang diperankan para politikus. (Benedetto
Croce 1925)
3. Pemikiran
Machiavelli adalah sesuatu yang ilmiah dan cara berfikir seorang scientist yang
menginformasikan bahwa ada perbedaan fakta politik dengan nilai moral. (Ernst
Cassirer 1946)