Selasa, 05 November 2019

Filsafat Politik Machiavelli


Filsafat Politik Machiavelli
(Mengungkap Corak dan Orientasi Pemikiran Machiavelli)

Oleh: Syahdi, S.H

Sekilas Tentang Ketokohan Machiavelli

Niccolo Machiavelli hidup pada 1469-1527. Pikirannya disadari atau tidak, diakui atau tidak banyak berpengaruh terhadap tradisi politik praktis di berbagai belahan dunia termasuk dalam aktivitas politik di Indonesia. Ciri Filsafat Politik Machiavelli yaitu: empirisme, realisme, pragmatis bukan idealisme yaitu ide-ide yang ada dalam fikiran abstrak tentang apa yang ideal atau apa yang seharusnya diterapkan dalam alam nyata.

Karyanya Ill Principle dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi The Prince yang artinya Sang Pangeran, yang merupakan sebuah buku petunjuk praktis menjadi penguasa. Ill Principle merupakan jembatan dari teori politiki idealisme (Plato, Aristoteles) menuju teori politik realisme. Diantara isinya bersifat mengamankan tugas-tugas pemerintah dan mengamankan city state baik dari intervensi sipil maupun penaklukan dari luar. Napolleon, Bennito Musollini menjadikan Ill Principle sebagai pegangan dalam berkuasa. Ditulis pada 1512-1519 (7 tahun) dengan sekitar 118 halaman termasuk pengantar.

Sebelum memberikan penilaian dan komentar terhadap aliran filsafat Machiavelli haruslah dipahami konteks lingkungan sosial politik tempat beliau hidup. Machiavelli seorang tokoh filsafat politik yang membawa teori dan filsafat idealis ke arah filsafat realis. Hidup di Italia abad ke-15 zaman ketika berakhirnya imperium Romawi, zaman yang berebut pengaruh antara city state dengan gereja yang ingin mendominasi politik dan pemerintahan. 

Ide tentang atau city state lahir dalam suasana perebutan pengaruh tersebut pada 1450, city state yang paling berpengaruh pada waktu itu yaitu Florence, Venice dan Milan. Ciri atau slogan city state yang utama yaitu independen, republik, kebebasan atau liberty. Ide nation state pada waktu itu belum lahir, yang ada yaitu city state. City state dikuasai oleh konglomerat dan kelas penguasa. Machiavelli lahir di Florence, lahir pada saat terjadi persaingan pengaruh antara city state dengan church (gereja).

Filsafat Politik Machiavelli

Filsafat Politik Machiavelli yang pragmatis mengutamakan sisi kegunaan/fungsi atau manfaat dari fikiran yang diterjemahkan kedalam berbagai perbuatan yang mendatangkan manfaat atau yang berguna. Di bidang agama menurut logika pragmatis filsafat politik Machiavelli, seorang pemimpin tidak harus religius tetapi yang dapat mendorong masyarakat menjadi religius karena akan membantu menciptakan ketertiban dan memudahkan kontrol.

Jadi fungsi religiusitas dari ajaran agama yang ingin dikedepankan adalah membantu menciptakan ketertiban dan memudahkan kontrol. Dalam kehidupan sehari-hari pikiran Machiavelli misalnya dapat kita lihat, misalnya, bahwa menjadi pengurus masjid tidak perlu yang bacaan Qur’annya bagus dalam artian fasih tetapi jika ia dengan menjadi pengurus masjid itu dapat membuat jamaah masjid ramai berdatangan, masjid menjadi hidup kegiatannya maka tidak masalah ia menjadi pengurus masjid.

Seorang ketua RW tidak perlu orang yang berpendidikan asalkan dia dapat membuat suasana kemasyarakatan menjadi akur, tentram ia dapat mengayomi masalah di lingkungannya. Seorang mahasiswa jika ingin cepat lulus kuliah maka dia dapat melakukan berbagai cara yang berfungsi untuk mendorong ke arah tujuannya itu, misalnya ia rajin membawa makanan/buah-buahan ke rumah dosen, atau mampu membuat mahasiswa lain iba padanya sehingga bersedia mengizinkan nyontek saat ujian. Kemampuan mempengaruhi dosen dan sesama mahasiswa itulah sisi pragmatis dari perbuatan untuk mencapai tujuannya. Cara apapun dapat dilakukan terlepas dari baik atau buruk asalkan tujuan tercapai. Menjadi pimpinan pondok pesantren tidak harus orang yang ahli dalam agama tetapi yang terpenting dia dapat mengelola pesantren dengan baik. 

Demikian juga untuk menjadi kepala daerah atau kepala negara seseorang tidak perlu berpendidikan tinggi bertitel profesor doktor, tidak harus cerdas atau paham ketatanegaraan tetapi asalkan dia dapat mensejahterakan rakyatnya, menjaga ketertiban, mempertahankan kedaulatan dan wibawa negara yaitu dengan merekrut dan menaklukkan orang-orang pandai yakni para sarjana, ahli dan mereka yang banyak pengalamannya menjadi pembantu-pembantunya. Disini orang bodoh dapat mengatur dan mengendalikan orang pintar, sebab mereka diperlukan, ada gunanya bagi kekuasaan. 

Pikiran Machiavelli ini berdampak pada penganjuran tidak perlu selektif memilih pempimpin. Jadi semua contoh-contoh itu yang dipandang adalah segi fungi atau kegunaannya. Pikiran pragmatis Machiavelli yang mengagungkan sisi kegunaan atau fungsi dari perbuatan berkembang dan berorientasi pada menghalalkan cara untuk mencapai tujuan, tidak mempertimbangkan moralitas dalam politik. Negara itu lebih penting dari apapun karena urusan negara itu levelnya paling tinggi. 

Machiavelli tidak bicara moralitas, sebab memang Machiavelli memandang politik bukan pada ruang moralitas, tidak dalam konteks moralitas tapi melihat sisi realitas. Machiavelli hanya melihat alam nyata atau realitas serba apa adanya, bukan apa yang seharusnya ada. Cara Machiavelli memandang alam nyata sangat mempengaruhi bangunan filsafat politiknya. Sedangkan cara pandang Machiavelli dipengaruhi oleh lingkungan tempat dimana ia hidup, di masanya Italia mengalami kemunduran dan penderitaan. Logika filsafat politik Machiavelli muncul dengan tesis untuk mempertahankan wibawa negara, mempertahankan kekuasaan atau mewujudkan ketertiban dan kesejahteraan bahwa negara tidak boleh dipikirkan dan dijalankan dalam sudut pandang etis atau menurut etis, tetapi harus dipikirkan dalam sudut pandang medis.

Dalam sudut pandang medis misalnya jika kita analogikan sebelum menyentuh sisi politik, seorang dokter untuk menyelamatkan nyawa pasiennya yang terkena kanker harus mengamputasi bagian dari tubuh pasien yang terinfeksi kanker, atau untuk memulihkan kondisi kesehatan seseorang harus diberi minum obat-obatan sekalipun sangat pahit. Demikian juga di wilayah politik dan kenegaraan, untuk membubarkan massa demonstrasi yang membuat kerusuhan maka polisi dapat menempuh cara-cara represif atau kasar, menyakiti demonstran meskipun dirasakan sebagai perbuatan yang tidak baik secara etis, tetapi diperlukan sebab dapat memulihkan keadaan agar dapat kembali menjadi tertib. 

Contoh lain misalnya, koruptor harus dihukum berat bahkan dihukum mati melalui undang-undang yang keras agar tidak membawa kerusakan yang lebih parah pada instabilitas ekonomi dan politik, agar tidak menyebar dan bertambah banyak maka proses hukuman mati itu dapat dipertontonkan sehingga orang lain takut untuk korupsi. Atau pada masa orde baru, Petrus atau penembak misterius diam-diam berkeliaran untuk membunuh orang-orang jahat, atau orang-orang yang suka mengkritik pemerintah, sebab jika dibiarkan maka kritikan itu akan mampu memobilisasi massa untuk aksi melawan pemerintah. 

Jika seudah demikian maka stabilitas pemerintahan akan terganggu, untuk menjaga agar negara tetap stabil dan kondusif, masyarakat tertib maka penjahat dan tukang kritik harus di “amputasi” yakni diberangus habis. Semua kebijakan itu diambil dengan menggunakan pendekatan medis yang nyata berguna dan bermanfaat bagi penguasa atau pemerintah. Lain halnya jika menggunakan sudut pandang etis, memandang hukuman berat pada koruptor sebagai perbuatan yang jahat, biadab, sehingga memunculkan rasa iba jika koruptor dihukum berat atau dihukum mati lalu bagaimana dengan nasib istri dan anak-anaknya atau keluarganya yang tidak bersalah menjadi terkena dampaknya.

Polisi yang bersifat pasif menghadapi demonstran dengan pikiran bahwa mereka domonstran itu hanya menuntut hak-hak atau menyampaikan aspirasinya tidak patut diusir dan diperlakukan kasar (represif). Penjahat tidak patut ditembaki/dibunuh hanya karena mereka berbuat jahat, sebab bisa jadi kejahatan itu mereka lakukan dengan terpaksa sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, membiayai sekolah anak-anaknya kaerna mereka hidup miskin dan melarat. Demikian juga tidak sepatutnya memberangus suara-suara kritis atau oposisi sebab kritik itupun juga agar pemerintah tidak sewenang-wenang, dan lain sebagainya. Itu jika menggunakan sudut padang etis, demikianlah penilaiannya. 

Terlepas dari pandangan bahwa Machiavelli tidak mempertimbangkan atau mengabaikan moralitas, nyatanya sebagian besar pandangan filsafat politiknya diperlukan dan diterapkan dalam realitas politik di negeri kita. Walaupun sampai saat ini misalnya dalam tataran doktrinal maupun legal policy penjatuhan hukuman berat kepada pelaku tindak pidana sudah mulai ditarik ke wilayah etis melalui teori dan ide-ide restorative justice sehingga dipandang tidak patut lagi mempertahankan hukuman mati dan hukuman seumur hidup, melainkan lebih diarahkan pada upaya pemulihan hak-hak, atau keadaan-keadaan akibat dari terjadinya suatu tindak pidana. Sekarang ini penjatuhan pidana dicoba untuk lebih diarahkan pada matregel atau pidana tindakan seperti pembinaan terhadap narapidana (bahkan tidak lagi digunakan terminologi “narapidana”, melainkan “warga binaan”), pelatihan kekaryaan, kerja sosial, ganti rugi, sumbangan sosial. Machiavelli yang seorang realis memandang apa adanya, tidak memandang apa yang seharusnya ada dalam politik.

Asumsi Filsafat Politik Machiavelli

Machiavelli memandang bahwa karakter dasar manusia itu jelek dan rusak. Manusia itu secara alamiah atau menurut alam realitas adalah makhluk yang sombong, angkuh, suka memanfaatkan sesama, suka berbohong, tamak, egois, tidak tau berterima kasih, tidak bisa dipercaya, dan lain sebagainya. Andai hukum tidak ada, moralitas tidak muncul, agama tidak berperan, maka pastilah manusia dalam hidupnya selalu dan banyak melakukan perbuatan jelek dan menciptakan kerusakan-kerusakan. Misalnya perzinahan akan merajalela, miras dikonsumsi semua orang dimanapun, pembunuhan akan banyak terjadi, pencurian ada dimana-mana sehingga akan muncul kekacauan. Untuk mengatasi hal itu dalam politik menurut Machiavelli, penguasa perlu membuat orang takut pada penguasa agar negara stabil, perintahnya dipatuhi sehingga negara berwibawa. Inilah asumsi filsafat politik Machiavelli. 

Karena itu kadang-kadang penguasa perlu melakukan pemaksaan, penyiksaan jika tidak berhasil dengan cara pemaksaan dan penyiksaan maka disingkirkan. Sebab jika dibiarkan maka akan menjadi penyakit, parasit yang merusak menyebar kemana-mana. Mengapa demikian sebab karakter dasar manusia itu jelek dan rusak. Dalam membangun filsafat politiknya Machiavelli terkenal dengan konsepnya yaitu virtu dan fortuna. 

Dilihat dari segi sumbernya virtu adalah sumber daya yang dimiliki oleh seseorang, bisa diciptakan, dimobilisasi, dan dimanfaatkan sesuai tujuannya selaku aktor politik. Misalnya kepintaran, keberanian, ketegasan, ketelitian, reputasi yang pemurah dan pemaaf, mendapat dukungan masyarakat, mendapat dukungan dari penguasa negara tetangga, relasi yang luas dan kuat, bijaksana, selain itu juga lihai dalam berdusta, menggunakan kekerasan secara kejam. 

Virtu adalah kualitas  personal yang harus dimiliki seorang raja (penguasa) untuk mengelola negaranya dan mempertahankan kekuasaannya. Penguasa harus memiliki kualitas virtu yang paling tinggi bahkan juga dapat bertindak sangat jahat. Ciri- ciri penguasa yang memiliki virtu yang kuat yaitu rajin dan paham politik, cerdik (lebih condong pada licik), tidak masalah tampil lugu dan jujur perlu tapi dalam rangka cerdik dalam berhadapan dengan kawan maupun lawan, ahli dalam perang dan diplomasi, tidak bergantung pada nasehat atau kekuatan orang lain, memiliki kekuatan mandiri berdasarkan karisma dan kualitas kepemimpinan. Konsep Machiavelli yang kedua yaitu fortuna. 

Secara umum fortuna mengacu kepada  kebetulan, keberuntungan, probabilitas, dan faktor eksternal di luar kontrol seseorang. Machiavelli mengartikan fortuna sebagai kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia, penderitaan dan musibah yang tidak dapat ditoleransi. Karena itu bagi Machiavelli fortuna adalah musuh dari tatanan politik, ancaman bagi keselamatan dan keamanan negara. Penguasa yang memiliki virtu yang kuat maka dia mesti memiliki kemampuan untuk memprediksi, merespon atau mengatasi permasalahan yang terjadi dalam pemerintahannya, yaitu seorang peminpin yang selalu punya cara, tidak mudah kehabisan ide, melainkan banyak ide dan kreasi untuk mengendalikan atau menaklukkan berbagai permasalahan.

Dimensi Hukum Dalam Pemikiran Filsafat Machiavelli

Menurut Machiavelli, hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu tatanan sistem politik yang baik. Karena paksaan dapat menciptakan legalitas, maka cara pemaksaan lebih efektif. Sebaliknya tidak ada hukum yang baik tanpa ada senjata yang baik. Hukum secara keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas menjadi hal yang tidak mungkin jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa. 

Karena itu Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas, sebab manusia cenderung lebih patuh jika ada paksaan dari kekuasaan. Karena itu pula penegak hukum jauh lebih penting daripada hukum itu sendiri, sebab dengan kekuasaan paksaan dapat dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan ketertiban. Unsur paksaan dalam dimensi pemikiran filsafat Machiavelli ini dalam perkembangannya banyak menginspirasi para tokoh penganut aliran legal positivisme.

Hubungan Pemimpin yang Cerdik dan Rakyatnya

Menurut Machiavelli, pemimpin yang cerdik harus membangun negaranya sesuai keinginan negaranya, menghargai rakyatnya namun juga tidak ragu menyakiti rakyatnya jika diperlukan karena dalam jangka waktu panjang lebih baik menjadi kejam daripada menjadi lemah. Menurut Machiavelli jika harus memilih maka pemimpin yang kejam lebih dihormati oleh rakyatnya daripada pemimpin yang lemah. Pemimpin yang lemah akan membawa negara pada kehancuran dan kesengsaraan. Sedangkan pemimpin yang kejam, kekejaman itu menurut logika medis Machiavelli sekedar untuk mewujudkan tujuan yang baik maka perlu melakukan cara-cara yang jelek sekalipun. 

Pemimpin yang seperti ini lebih disukai oleh rakyatnya. Pemimpin yang cerdik tidak perlu terlalu jujur, melainkan pemimpin yang cerdik tau kapan harus jujur dan kapan harus bohong, yang terpenting kebohongan itu tidak menyebabkan kebencian rakyat padanya. Di sisi lain pemimpin berbohong asalkan untuk kebaikan negaranya. Pemimpin yang cerdik harus lihai memainkan pencitraan sehingga menyadari bahwa hasil-hasil kesuksesan akan membuat publik terpesona sehingga melupakan sakit yang pernah ditimpakan pada mereka. Pemimpin yang cerdik tidak perlu terlalu teguh pada pendiriannya jika dirasakan tidak menguntungkan. Seorang pemimpin jika ingin terus memimpin ia harus belajar melakukan kebajikan namun menggunakannya sesuai kebutuhan. 

Pemimpin yang cerdik tau kapan harus adil kapan harus berlaku kejam, tergantung kondisi yang sedang dihadapi. Lebih jauh Machiavelli mengatakan jika ada komplotan yang berusaha ingin memenangkan hati rakyat, maka selama sang pemimpin masih dipercaya rakyatnya maka upaya komplotan itu akan gagal. Untuk memenangkan hati rakyat maka pencitraan harus terus dilakukan dengan kualitas virtu pemimpin. 

Karena itu pemimpin harus menjaga kepercayaan rakyat padanya jika ingin kekuasaannya bertahan lama. Sebaliknya jika rakyat sudah membenci dan tidak mendukung lagi, maka sang pemimpin harus mewaspadai setiap orang. Tugas paling penting seorang pemimpin adalah menjaga agar mayoritas rakyatnya berada di pihaknya. Hanya dengan cara inilah pemerintahannya akan bertahan lama. Kudeta bukan sesuatu yang harus ditakuti tetapi harus diwaspadai dan disingkirkan.

Pemikiran Machiavelli tentang Negara dan Masyarakat

Menurut Machiavelli negara dan masyarakatlah yang lebih penting bukan individu-individu. Moralitas dibutuhkan selama masyarakat dan negara membutuhkan. Seorang pemimpin dalam mengelola masyarakat dan negara tidak boleh menyimpang dari jalan kebajikan, namun ia juga harus tau bagaimana caranya melakukan kejahatan saat dibutuhkan. Seorang pemimpin jika ia bohong tetapi membuat negaranya semakin maju rakyat semakin sejahtera maka rakyat akan melihat itu sebagai perbuatan yang terpuji, karena itu tidak masalah jika pemimpin berbohong. Kebohongan itu perlu dilakukan pada saat tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dan kemajuan negaranya.

Negara dan Agama

Menurut Machiavelli negara jangan sampai dikuasai oleh agama, melainkan negara harus mendominasi agama. Ajaran dan dogma agama tidak begitu penting, tetapi semua itu dipandang memiliki fungsi untuk mempersatukan negara. Agama hanya salah satu pranata kehidupan bermasyarakat yang dapat difungsikan. Fungsi agama yang egaliter dan bersifat mempersatukan dibiarkan tumbuh untuk menjaga dukungan terhadap kekuasaan. Tetapi fungsi agama yang bersifat melawan, memobilisasi massa untuk menentang penguasa tidak dapat ditolerir.

Penilaian Terhadap Pemikiran Politik Machiavelli

    1.   Menganggap Machiavelli sebagai seorang penagajar atau penganjur kejahatan, atau paling tidak immoralism atau amoralism. Ajaran Machiavelli menghindari dari nilai-nilai keadilan, kearifan, kasih sayang, rasa cinta tetapi lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan dan penindasan. (Leo Strauss 1957)
   2.   Machiavelli sekedar seorang realis atau pragmatis yang melihat politik tidak dalam perspektif moral, tatapi sekedar melihat dan memaparkan realitas politik apa adanya, bukan apa yang seharusnya dalam politik. Bahkan dengan tampil sebagai seorang realis atau pragmatis, Machiavelli telah mampu mengungkap dengan sejelasnya watak dan tradisi politik yang sedang diperankan para politikus. (Benedetto Croce 1925)
   3.  Pemikiran Machiavelli adalah sesuatu yang ilmiah dan cara berfikir seorang scientist yang menginformasikan bahwa ada perbedaan fakta politik dengan nilai moral. (Ernst Cassirer 1946)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...