Sofisme
Yunani, Dari Mengajarkan Retorika Hingga Menjual Ilmu
Oleh: Syahdi, S.H
Yunani termasuk negara tertua di Eropa. Peradaban Eropa
yang rasional dimulai dari Yunani, bergesernya peradaban manusia dari mitos ke
logos juga dimulai dari Yunani. Siapapun yang ingin mengetahui dan memahami pikiran
para filosof harus dimulai dari membaca pikiran filosof Yunani. Semua filsafat
kontemporer hari ini merupakan proses perkembangan dan pembaharuan dari filsafat
Yunani. Di Yunani Kuno telah ada kaum sofis yang menginisiasi lahirnya
pemikiran baru dalam filsafat dan melahirkan 3 filosof besar yaitu Socrates, Plato
dan Aristoteles. Jasa kaum sofis terhadap pemikiran filsafat adalah
menginisiasi fase baru filsafat Yunani. Sebelum munculnya kaum sofis filsafat Yunani
sibuk memikirkan kosmos, alam semesta, alam semesta itu apa dan bagaimana
terbentuknya, berasal dari apa dan bagaimana bekerjanya.
Sementara fase berikutnya setelah fase sofisme yaitu lahirnya pemikiran besar dalam filsafat, dari filsafat logos bergeser ke arah filsafat ideal Socrates, Plato dan Aristoteles. Kaum sofis merupakan kaum terdidik, para guru filsafat. Tapi kelemahan kaum sofis yang paling mendasar yaitu menjual ilmunya untuk memperoleh penghasilan, zaman sekarang kita mengenal praktik seperti itu dengan sebutan kapitalisasi dunia pendidikan. Jadi, sejak zaman kaum sofis di Yunani praktik kapitalisasi dunia pendidikan yang kita kenal di era modern sekarang ternyata cikal bakalnya, bibitnya telah muncul dan diterapkan oleh kaum sofis. Menjadikan dunia pendidikan sebagai lembaga bisnis yang akan mendatangkan keuntungan, sebagai ladang untuk menghasilkan penghasilan.
Profesi sebagai guru adalah profesi bergengsi dan merupakan peluang paling bagus untuk menghasilkan uang. Sehingga tidak heran bahwa banyak diantara murid-murid kaum sofis adalah kalangan aristokrat yaitu kalangan bangsawan. Watak kaum sofis yang seperti ini dikritik habis-habisan oleh Socrates dan Plato di zamannya. Diantara guru-guru sofis yang terkenal yaitu Protagoras, Xeniades, Gorgias, Lycphorn, Prodikos, Thrasymakos, Hippias, Antiphon, Kritias. Munculnya kaum sofis di Yunani sebab Athena (Yunani) menjadi negara demokrasi yang pertama dengan sistem demokrasi langsung, kebutuhan akan dunia pendidikan, dan perjumpaan dengan berbagai kebudayaan.
Sementara fase berikutnya setelah fase sofisme yaitu lahirnya pemikiran besar dalam filsafat, dari filsafat logos bergeser ke arah filsafat ideal Socrates, Plato dan Aristoteles. Kaum sofis merupakan kaum terdidik, para guru filsafat. Tapi kelemahan kaum sofis yang paling mendasar yaitu menjual ilmunya untuk memperoleh penghasilan, zaman sekarang kita mengenal praktik seperti itu dengan sebutan kapitalisasi dunia pendidikan. Jadi, sejak zaman kaum sofis di Yunani praktik kapitalisasi dunia pendidikan yang kita kenal di era modern sekarang ternyata cikal bakalnya, bibitnya telah muncul dan diterapkan oleh kaum sofis. Menjadikan dunia pendidikan sebagai lembaga bisnis yang akan mendatangkan keuntungan, sebagai ladang untuk menghasilkan penghasilan.
Profesi sebagai guru adalah profesi bergengsi dan merupakan peluang paling bagus untuk menghasilkan uang. Sehingga tidak heran bahwa banyak diantara murid-murid kaum sofis adalah kalangan aristokrat yaitu kalangan bangsawan. Watak kaum sofis yang seperti ini dikritik habis-habisan oleh Socrates dan Plato di zamannya. Diantara guru-guru sofis yang terkenal yaitu Protagoras, Xeniades, Gorgias, Lycphorn, Prodikos, Thrasymakos, Hippias, Antiphon, Kritias. Munculnya kaum sofis di Yunani sebab Athena (Yunani) menjadi negara demokrasi yang pertama dengan sistem demokrasi langsung, kebutuhan akan dunia pendidikan, dan perjumpaan dengan berbagai kebudayaan.
Karakter
Utama Kaum Sofis
Corak atau
model filsafat kaum sofis dilandasi oleh beberapa karakter utama, yaitu mencari
kebenaran tidak menjadi prioritas utama, lebih konsentrasi pada retorika. Mengembangkan
pandangan bahwa kebenaran itu tergantung kepada ruang dan budaya. Kaum sofis meragukan
adanya kebenaran absolut, bahkan Gorgias mempertanyakan kemungkinan seseorang
memiliki pengetahuan. Yang disebut kebenaran adalah yang menang dalam tabrakan
argumentasi. Kebenaran miliknya yang menang dalam argumentasi. Kaum sofis
mengajarkan murid-muridnya memahami situasi, menata situasi, dan mengarahkannya
sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Ciri kaum sofis yaitu, Pertama, mengutamakan retorika, cara penyampaian, bahasa
penyampaian yang menarik. Kebenaran itu tidak lebih penting daripada retorika. Ada
dua alat utama yang digunakan dalam retorika oleh kaum sofis yaitu eristics dan antilogic. Eristics yaitu argumen yang dipakai untuk memenangkan
debat, bukan mencari kebenaran, tetapi dimaksudkan untuk mengalahkan lawan,
bukan untuk pencerahan. Antilogic
yaitu berargumen dengan mengajukan proposisi-proposisi yang berlawanan untuk
membungkam lawan dan mematahkan argumen lawan. Sementara itu target retorika dalam
pandangan kaum sofis yaitu persuasi, berupaya meyakinkan orang. Untuk mewujudkan
persuasi menurut Gorgias dilakukan dengan cara menyampaikan kata yang tepat di
waktu yang tepat.
Selain itu kaum sofis lebih gemar menggunakan logos (logika yang sempit) dan ethos (reputasi, kredibilitas, trust atau kepercayaan) bukan pathos (emosi, nilai-nilai). Sedangkan menurut Aristoteles retorika yang bagus harus memiliki tiga unsur yaitu logos, ethos dan pathos. Orang Yunani menyebutnya trium virate (tiga keahlian utama). Jika ingin dipandang pintar baik secara logika maupun dari sisi kemampuan retorika maka kuasai logos (logika yang benar), miliki ethos (jadilah orang yang bisa dipercaya, punya kredibilitas tinggi) dan hidupkan pathos (memiliki keterikatan pada emosi, nilai-nilai). Kedua, egoisme. Hidup ini menurut kaum sofis bersifat natural, dan diantara yang natural dalam diri manusia yaitu egois. Tidak masalah manusia egois karena itu adalah sebuah kewajaran, hal yang alami.
Kaum sofis memandang bahwa kehidupan alami itu mengedepankan kepentingan yang lebih kuat. Keadilan itu untuk yang sederajat, memiliki kedudukan dan kekuatan yang setara. Ketiga, relativisme dan subyektivisme. Cara berfikir seperti ini dipelopori oleh Protagoras. Dalam cara berfikir ini, setiap orang ukuran dari kebenaran. Atau dengan kata lain kebenaran itu tergantung orangnya, kebenaran adalah apa yang dipahami dan disadari oleh tiap orang, maka akan ada kebenaran yang subyektif tergantung siapa yang memahami dan menilainya. Sebab tidak pernah ada realitas yang obyektif. Obyektif disini maksudnya, obyek saja, benar-benar obyek tanpa subyek. Nyatanya setiap benda diluar diri manusia selalu akan menjadi obyek karena dipersepsi atau ada intervensi subyek. Tidak ada yang benar/salah, baik/buruk secara pasti, sehingga tidak ada kebenaran yang obyektif.
Semua tergantung persepsi dan perspektif subyektif. Ungkapan Protagoras yang terkenal yaitu “Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu”. Protagoras juga terkenal dengan konsepnya “dissoi logoi”, yaitu kata-kata yang berbeda. Maksudnya bahwa satu pandangan selalu ada dua sisi yang saling kontradikasi dalam setiap isu atau masalah. Protagoras sebagai seorang sofis melatih muridnya agar berargumen dari dua sisi yang berbeda, memandang dari segi positif/mendukung dengan mengajukan argumen. Lalu memandang dari segi negatif/menolak, menentang satu isu atau masalah dengan menagjukan argumen. Sehingga tidak hanya fokus dan mengerti satu sisi tapi juga dua sisi yang berbeda. Protagoras mengkritik filosof Elea seperti Heraklitos yang membuat pembedaan antara rasa dan pemikiran, rasa itu subyektif dan pemikiran itu obyektif.
Menurut para filosof Elea, rasa itu tidak dapat dipercaya, sementara pemikiran melalui akal membawa kepada kebenaran yang sifatnya universal. Protagoras memandang sebaliknya, ia menempatkan akal dibawah rasa. Karena seperti itulah mekanisme alami manusia. Kebanyakan manusia selalu menggunakan rasa dulu baru setelah itu berfikir, mengajukan pemikiran atau pendapat. Menurut Protagoras, setiap orang adalah ukuran bagi kebenaran atau kesalahannya sendiri. Apa yang menurut seseorang benar itulah kebenaran, dan apa yang menurut orang lain benar itupun juga merupakan kebenaran, meskipun bertentangan dengan pandanganku. Rasa sakitmu itu benar, sebagaimana rasa sakitku juga benar, jadi semua sama-sama benar.
Ada keragaman kebenaran, karena itu bersifat relatif tidak ada kebenaran yang absolut. Keempat, skeptisisme. Jika pada relativisme, semua benar tergantung pada pemahaman dan penilaian tiap orang, tetapi pada skeptisisme semua harus dipertanyakan. Orang yang relativis bersifat toleran karena pikiran setiap orang benar tergantung versi dan perspektif masing-masing. Sementara orang yang skeptis memandang semua harus dianggap salah, semua harus diragukan, harus dicurigai, tidak boleh dipercaya. Skeptisisme dibangun atas dasar pandangan bahwa pikiran manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran yang sejati. Karena itu tidak perlu menyibukkan diri menyelami untuk menemukan kebenaran yang sejati.
Lain lagi dengan istilah dogmatis, yaitu memandang pikiran tertentu saja yang benar yang lain semuanya salah. Tokoh skeptisisme kaum sofis yang terkenal yaitu Gorgias. Kelima, bisnis pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai bisnis. Kaum sofis lah yang memungut bayaran atas layanan mereka. Kaum sofis juga mempromosikan dirinya bahwa umat manusia butuh manusia seperti mereka. Kelima, mengkritik agama. Kaum sofis memandang banyak orang yang memanfaatkan agama untuk tujuan kontrol sosial, supaya orang rukun dan tertib. Tuhan itu “dibuat” untuk tujuan tertentu yaitu untuk mengintimidasi orang agar tidak berbuat jahat karena akan dimurkai tuhan, akan di siksa tuhan kelak dan lain sebagainya.
Selain itu kaum sofis lebih gemar menggunakan logos (logika yang sempit) dan ethos (reputasi, kredibilitas, trust atau kepercayaan) bukan pathos (emosi, nilai-nilai). Sedangkan menurut Aristoteles retorika yang bagus harus memiliki tiga unsur yaitu logos, ethos dan pathos. Orang Yunani menyebutnya trium virate (tiga keahlian utama). Jika ingin dipandang pintar baik secara logika maupun dari sisi kemampuan retorika maka kuasai logos (logika yang benar), miliki ethos (jadilah orang yang bisa dipercaya, punya kredibilitas tinggi) dan hidupkan pathos (memiliki keterikatan pada emosi, nilai-nilai). Kedua, egoisme. Hidup ini menurut kaum sofis bersifat natural, dan diantara yang natural dalam diri manusia yaitu egois. Tidak masalah manusia egois karena itu adalah sebuah kewajaran, hal yang alami.
Kaum sofis memandang bahwa kehidupan alami itu mengedepankan kepentingan yang lebih kuat. Keadilan itu untuk yang sederajat, memiliki kedudukan dan kekuatan yang setara. Ketiga, relativisme dan subyektivisme. Cara berfikir seperti ini dipelopori oleh Protagoras. Dalam cara berfikir ini, setiap orang ukuran dari kebenaran. Atau dengan kata lain kebenaran itu tergantung orangnya, kebenaran adalah apa yang dipahami dan disadari oleh tiap orang, maka akan ada kebenaran yang subyektif tergantung siapa yang memahami dan menilainya. Sebab tidak pernah ada realitas yang obyektif. Obyektif disini maksudnya, obyek saja, benar-benar obyek tanpa subyek. Nyatanya setiap benda diluar diri manusia selalu akan menjadi obyek karena dipersepsi atau ada intervensi subyek. Tidak ada yang benar/salah, baik/buruk secara pasti, sehingga tidak ada kebenaran yang obyektif.
Semua tergantung persepsi dan perspektif subyektif. Ungkapan Protagoras yang terkenal yaitu “Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu”. Protagoras juga terkenal dengan konsepnya “dissoi logoi”, yaitu kata-kata yang berbeda. Maksudnya bahwa satu pandangan selalu ada dua sisi yang saling kontradikasi dalam setiap isu atau masalah. Protagoras sebagai seorang sofis melatih muridnya agar berargumen dari dua sisi yang berbeda, memandang dari segi positif/mendukung dengan mengajukan argumen. Lalu memandang dari segi negatif/menolak, menentang satu isu atau masalah dengan menagjukan argumen. Sehingga tidak hanya fokus dan mengerti satu sisi tapi juga dua sisi yang berbeda. Protagoras mengkritik filosof Elea seperti Heraklitos yang membuat pembedaan antara rasa dan pemikiran, rasa itu subyektif dan pemikiran itu obyektif.
Menurut para filosof Elea, rasa itu tidak dapat dipercaya, sementara pemikiran melalui akal membawa kepada kebenaran yang sifatnya universal. Protagoras memandang sebaliknya, ia menempatkan akal dibawah rasa. Karena seperti itulah mekanisme alami manusia. Kebanyakan manusia selalu menggunakan rasa dulu baru setelah itu berfikir, mengajukan pemikiran atau pendapat. Menurut Protagoras, setiap orang adalah ukuran bagi kebenaran atau kesalahannya sendiri. Apa yang menurut seseorang benar itulah kebenaran, dan apa yang menurut orang lain benar itupun juga merupakan kebenaran, meskipun bertentangan dengan pandanganku. Rasa sakitmu itu benar, sebagaimana rasa sakitku juga benar, jadi semua sama-sama benar.
Ada keragaman kebenaran, karena itu bersifat relatif tidak ada kebenaran yang absolut. Keempat, skeptisisme. Jika pada relativisme, semua benar tergantung pada pemahaman dan penilaian tiap orang, tetapi pada skeptisisme semua harus dipertanyakan. Orang yang relativis bersifat toleran karena pikiran setiap orang benar tergantung versi dan perspektif masing-masing. Sementara orang yang skeptis memandang semua harus dianggap salah, semua harus diragukan, harus dicurigai, tidak boleh dipercaya. Skeptisisme dibangun atas dasar pandangan bahwa pikiran manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran yang sejati. Karena itu tidak perlu menyibukkan diri menyelami untuk menemukan kebenaran yang sejati.
Lain lagi dengan istilah dogmatis, yaitu memandang pikiran tertentu saja yang benar yang lain semuanya salah. Tokoh skeptisisme kaum sofis yang terkenal yaitu Gorgias. Kelima, bisnis pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai bisnis. Kaum sofis lah yang memungut bayaran atas layanan mereka. Kaum sofis juga mempromosikan dirinya bahwa umat manusia butuh manusia seperti mereka. Kelima, mengkritik agama. Kaum sofis memandang banyak orang yang memanfaatkan agama untuk tujuan kontrol sosial, supaya orang rukun dan tertib. Tuhan itu “dibuat” untuk tujuan tertentu yaitu untuk mengintimidasi orang agar tidak berbuat jahat karena akan dimurkai tuhan, akan di siksa tuhan kelak dan lain sebagainya.
Kritik
Plato dan Aristoteles Terhadap Kaum Sofis
Menurut Plato, kaum sofis hanya menyibukkan diri dengan
argumen dan melupakan kebenaran. Mengajar dengan gaya retorika belaka, memberi
ajaran tapi tidak menjawab pertanyaan/menyelesaikan masalah. Mengingkari nilai
absolut moralitas, dan merasa tau apa yang sebenarnya mereka tidak tau. Semntara
itu menurut Aristoteles, kaum sofis dangkal dalam berfikir, cara berfikirnya
sempit dalam memahami banyak hal. Terlepas dari kekurangan dalam pikiran-pikiran filsafat kaum sofis, paling tidak dapat menambah wawasan kita dalam memandang dunia dari berbagai sisi filsafat.
Mungkin saja kita tidak sepakat dengan kaum sofis sebab ia menjual ilmunya untuk uang, tapi dengan membaca pikiran filsafatnya memberi informasi kepada kita tentang cikal bakal kemunculan kapitalisasi dalam dunia modern. Sehingga kita lebih waspada dan lebih kritis mengkritik kapitalisme yang membawa umat manusia pada perbudakan dan penindasan. Kita juga dapat saja tidak setuju pada karakter kaum sofis yang terlampau menekankan pada penguasaan retorika tanpa memperdulikan esensi yang harus dibangun dalam retorika itu sendiri.
Mungkin saja kita tidak sepakat dengan kaum sofis sebab ia menjual ilmunya untuk uang, tapi dengan membaca pikiran filsafatnya memberi informasi kepada kita tentang cikal bakal kemunculan kapitalisasi dalam dunia modern. Sehingga kita lebih waspada dan lebih kritis mengkritik kapitalisme yang membawa umat manusia pada perbudakan dan penindasan. Kita juga dapat saja tidak setuju pada karakter kaum sofis yang terlampau menekankan pada penguasaan retorika tanpa memperdulikan esensi yang harus dibangun dalam retorika itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar