Heraclitus, Filsuf Introvert dan Pemikiran Besarnya
Oleh: Syahdi, S.H
Heraclitus, lahir abad ke-lima tepatnya pada 540 dan meninggal kira-kira tahun 480 sebelum masehi. Heraclitus lebih muda dari Phytagoras, seumuran dengan Xenophanes gurunya Parmenides, dan lebih tua
dari Parmenides, yaitu seorang filsuf yang pikirannya banyak membantah pikiran-pikiran Heraclitus. Heraclitus
dikenal sebagai seorang penyendiri, suka menyendiri, lahir dari keluarga
aristokrat (bangsawan), harusnya Heraclitus mewarisi harta kekayaan ayahnya
tapi beliau tidak mau menerima dan mengelola warisan tapi menyerahkan semuanya
pada saudaranya, sementara dia sendiri sibuk dan nyaman dengan menyendiri. Lebih menyenangi mengkaji diri sendiri dan mengkaji lingkungannya. Menyendiri
dalam bahasa Islam kira-kira sepadan dengan kata uzlah,
yaitu senang mengkaji diri sendiri.
Heraclitus hidup di lingkungan masyarakat
yang senang membuat kekacauan, malas berfikir, hanya mengikut saja pada tokoh tertentu
atau massa (orang banyak). Lingkungannya inilah yang mempengaruhi bangunan filsafatnya.
Pikirannya tergolong rumit dan sulit dipahami sehingga digelari the obscure, yaitu orang yang tidak jelas. Selain itu Heraclitus juga digelari sebagai the weeping
philosopher yaitu filsuf yang suka menangis. Seorang pendiam, introvert dan mudah tersentuh. Pikiran-pikirannya pada akhirnya melahirkan gagasan misantropik,
yaitu gagasan yang benci dengan manusia, memandang manusia itu rusak, bodoh, punya
fikiran tapi tidak digunakan. Heraclitus menganggap orang disekitarnya bodoh,
tidak intelek, cuma taunya mengenyangkan diri seperti kambing.
Konon pemicunya
adalah ketika warga Ephesus mengusir sahabatnya ke luar kota. Peristiwa itu
membuat Heraclitus marah dan menyumpahi warga Ephesus, lebih baik semua gantung
diri. Sebab manusia hidupnya hanya hobi dengan kerusakan, kekacauan. Heraclitus
pernah mengatakan, “wahai orang-orang
Ephesius yang tua gantung diri sajalah kalian supaya dunia ini lebih baik,
tinggalkanlah dunia pada anak-anak muda yang jenggotnya belum tumbuh”. Menandakan
bencinya Heraclitus pada orang-orang tua yang kacau sekali perilakunya. Bukannya
menjadi tauladan bagi yang muda, seharusnya bijak dalam berperilaku ternyata
malah membawa dan menginisiasi kekacauan dalam masyarakat.
Heraclitus juga
mengatakan bahwa masyarakatnya adalah masyarakat yang sakit. Heraclitus mengatakan,
“kecerdasan atau pemahaman seperti apa
yang mereka miliki, mereka hanya percaya kepada para tokoh masyarakat dan
menjadikan massa sebagai guru tanpa tau bahwa banyak itu jelek dan sedikit itu
baik”. Heraclitus melihat
orang-orang hanya mengikut arus, kelompok orang banyak, mengikut saja, manut, taqlid
atau fanatik buta, tidak mau menggunakan akalnya untuk berfikir. Bahwa mengikut
orang banyak tidak selalu membawa kepada kebenaran, justru sering menyesatkan. Watak
inilah yang ditentang oleh Heraclitus. Doktrin paling terkenal Heraclitus
tentang perubahan, Heraclitus
mengatakan, “engkau tidak akan bisa
memahami dunia hanya dari filsafat alam, matematika atau logika, sebab secara
hukum alam segala sesuatu berubah, matahari yang kemarin bukan lagi matahari
hari ini”.
Bedanya dengan Parmenides, Heraclitus lebih melihat aspek
sekecil apapun segalanya mengalami perubahan. Sementara Parmenides melihat
aspek universal yang tidak akan berubah. Ada ungkapan dari Heraclitus, “semuanya mengalir dan tidak ada satupun
yang tetap”. Dalam doktrin perubahan Heraclitus juga dikenal ungkapan, “satu-satunya hal yang tetap adalah
perubahan”, “tidak seorangpun dapat melangkah dua kali di sungai yang sama,
karena sungai itu bukan lagi sungai yang sama dan dia juga bukan lagi orang
yang sama”, “dalam perubahan kita menemukan tujuan”.
Logos
Menurut Heraclitus
Segala sesuatu yang terus berubah di alam semesta dapat
berjalan dengan teratur karena adanya logos. Logos itu memiliki banyak arti,
ada yang mengartikan pikiran, akal, pola atau model. Tetapi menurut Heraclitus
logos tidak dapat diartikan secara khusus, tidak digambarkan secara jelas,
tidak dapat dipahami orang lain, karena logos adalah pemikiran orang itu
sendiri. Pernyataan inilah yang menyebabkan Heraclitus dijuluki sebagai the obscure, yang diartikan si gelap,
tidak jelas atau orang yang rumit. Logos itu dimiliki semua orang, kita harus
membiarkan diri kita dituntun oleh apa yang umum. Dalam praktik sehari-hari
misalnya, meskipun kita bebas berekspresi tetapi tetapi sesuai dengan
lingkungan sekitar kita.
Perubahan-perubahan yang terjadi menurut Heraclitus
selalu memiliki pattern atau polanya
sendiri. Selain perubahan, menurut Heraclitus hidup ini punya hakikat oposisi,
yang dari opoisis itulah muncullah harmoni. Beda dengan kita yang selama ini
menganggap harmoni atau keselarasan hnya ada dalam keseragaman. Lebih jauh
Heraclitus mengatakan dalam dua hal yang bertentangan terdapat kesatuan. Misalnya,
rasa kenyang muncul sebab ada rasa lapar, ada tua karena ada proses dari muda,
ada orang kaya karena ada orang miskin, ada pemerintah ada rakyat, karena
adanya perilaku yang jelek maka di lain pihak memunculkan perilaku yang baik,
disebabkan gelap maka orang-orang memerlukan cahaya, sabar tidak akan muncul
jika tidak ada marah, kebijaksanaan muncul karena adanya kekurangajaran, dan lain sebagainya.
Dalam
perbedaan inilah terdapat harmoni kehidupan yang saling melengkapi dan
berkaitan atau dialektis. Segala sesuatu muncul karena ada oposisi-oposisi. Oposisi membawa kenyamanan, kesesuaian dan konflik
membawa kepada harmoni. Segalanya cair, dalam hidup tidak ada yang punya makna
eksakta melainkan semuanya cair. Apa yang diucapkan seseorang yang menurutnya
benar menurut orang lain pun juga benar. Hidup ini adalah dialektika antara
yang benar dengan yang benar, bedanya hanya pada konteksnya saja. Lebih lanjut
Heraclitus mengatakan semua hal yang diinginkan tidak semuanya selalu merupakan
hal yang baik. Misalnya, jika berdo’a agar selalu diberikan kesehatan. Do’anya
benar, tapi tidak selalu baik jika dikabulkan tuhan.
Sebab kita tidak akan tau
bagaimana nikmatnya sehat jika tidak pernah merasakan sakit, kita tidak akan
pernah tau bagaimana caranya bersyukur jika tidak pernah sakit, demikian
seterusnya. Atau misalnya, perang, meski buruk dan merusak, tapi keadaan damai
muncul sebab terjadinya perang. Perang dapat memicu mulnya keinginan untuk
membuat kesepakatan damai. Perang adalah kondisi biasa, bahwa perselisihan
adalah keadilan, dan segala sesuatu
terjadi melalui tekanan perselisihan. Peranglah yang membuat kita seperti
sekarang (hidup damai). Maka oposisi terlepas sebagai realitas dalam hidup,
tapi oposisi dapat membentuk harmoni.
Oposisi menurut Heraclitus muncul diantaranya dari perspektif.
Misalnya, monyet yang paling bagus rupanya diantara monyet yang lain tetap
lebih jelek dibandingkan dengan manusia. Oposisi isinya adalah
perspektif-perspektif, perbandingan-perbandingan. Dalam pandangan tuhan
semuanya baik, tapi menurut manusia ada yang baik ada yang buruk, ada yang
indah ada yang jelek. Sebagai contoh berikutnya, tangga yang sama dapat digunakan
untuk naik dan untuk turun, oposisi muncul hanya karena kepentingan dan
perspektif manusia terhadap tangga itu.
Alam
Semesta Menurut Heraclitus
Api bagi Heraclitus adalah unsur dasar, asal usul alam
semesta. Dari api segala sesuatu lahir dan akan kembali lagi dalam satu proses
abadi. Apilah yang melahirkan elemen-elemen yang lain. Api yang dimaksud
Heraclitus bukan api sebagai sesuatu yang wujud, melainkan dipahami sebagai
simbol, yaitu simbol perubahan dalam alam semesta, juga dipahami sebagai
semangat, dan keberanian. Sementara itu air adalah simbol dari pertumbuhan,
kelahiran, kehidupan. Rumah yang bagus dan mewah dapat berubah menjadi
rongsokan yang penuh debu dan kotor jika dilahap api. Api akhirnya membawa pada
perubahan. Dari yang semula baik, bagus, bisa berubah menjadi buruk dan jelek,
api membawa pada perubahan yang lain.
Demikian juga dalam hal jiwa manusia. Menurut
Heraclitus, jiwa manusia adalah kombinasi dari unsur api dan air. Keduanya dapat
mendominasi atas yang lain, api dapat lebih dominan atas air demikian juga air
dapat lebih dominan daripada api. Manusia yang bermalas-malasan, memilih tidur
seharian tidak mau beraktivitas, maka unsur air lebih dominan daripada api. Seorang
pejuang yang berperang dengan gagah bahkan mengorbankan dirinya demi bangsa dan
negaranya, maka unsur api lebih dominan atas air. Demikianlah perumpamaan jiwa
manusia menurut Heraclitus, yaitu dialektika antara unsur api dan unsur air,
keduanya bersifat dialektis.
Karakter
Menurut Heraclitus
Karakter dalam pandangan Heraclitus adalah relasi antara
perilaku dengan takdir. Bagi Heraclitus, karaktermu adalah takdirmu. Maksudnya takdirmu
mengikuti karaktermu. Jika seseorang baik, jujur, ramah maka takdir akan
mengikuti karakternya itu, tidak akan jauh-jauh dari karakter yang demikian. Karakter
seseorang menentukan takdirnya. “Kalau karaktermu seperti keledai maka kamu
akan lebih memilih jerami ketimbang emas”. “Jika karaktermu seperti babi maka
kamu akan lebih memilih lumpur daripada air bersih”. “Jika karaktermu burung
maka mandimu adalah debu”. Demikian perumpamaan Heraclitus dialektika karakter
dengan takdir.
Wisdom
(Kebijaksanaan)
Menurut Heraclitus, banyaknya pengetahuan tidak akan
mengajari orang untuk bijaksana. Ini merupakan kritik bagi orang yang selalu
memperhitungkan dan hanya suka menumpuk pengetahuan. Padahal banyaknya
pengetahuan tidak serta merta membuat orang menjadi bijaksana. Heraclitus
melanjutkan, orang yang cinta kebijaksanaan harus meneliti banyak hal. Jangan ngaku
cinta kebijaksanaan tapi tidak meneliti lingkungan sekelilingnya. Jadi bukan
hanya orang yang sekedar ikut saja apa yang ada disekelilingnya, tapi juga
meneliti, menyelaminya, menginvestigasi banyak hal. Tidak hanya membaca dari
luar tapi juga menginvestigasi kedalam.
Orang yang menjalankan kebijaksaan
pasti melakukan apa yang aku lakukan, dan yang aku lakukan pertama adalah
menginvestigasi diri sendiri, menyelami diri sendiri, mengkaji diri sendiri. Jika
kita menyelami diri kita sendiri maak kita akan menemukan bahwa aku ternyata
bukanlah aku. Misalnya, kita menganggap manusia yang tekun, prospek masa depan
bagus, ternyata setelah diselami lebih jauh ternyata apa yang kita anggap tidak
demikian kenyataannya. Karena itu banyaknya pengetahuan tidak akan membuat
orang, atau menjamin orang menjadi bijaksana, melainkan setelah ia menelaah
dirinya sendiri. Heraclitus bahkan tidak sungkan mengambil perumpaan yang tidak
mengenakkan sekalipun.
Heraclitus mengatakan, anjing menggonggong pada apa yang
tidak mereka mengerti. Heraclitus ingin mengatakan bahwa sebenarnya orang yang
banyak bicaranya menunjukkan bahwa ia tidak paham. Banyak bicara disini lebih
pada kedangkalan ilmu dan pengetahuan. Heraclitus melanjutkan bahwa, banyak orang
tidak sadar apa yang mereka lakukan saat sadar, sebagaimana mereka lupa apa
yang mereka lakukan saat tidur. Disini Heraclitus menekankan bahwa untuk menuju
kebijaksanaan tidak cukup hanya dengan ilmu pengetahuan tapi juga mensyaratkan
adanya kesadaran dalam menelaah lingkungan sekitar. Kesadaran adalah hal yang
tidak dapat dilepaskan dari unsur kebijaksanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar