Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD
Oleh: Syahdi
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Isu itu muncul karena diucapkan oleh Presiden beberapa hari yang lalu pada HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis 12 Desember 2024. Presiden membandingkan pemilihan seperti praktik di Singapura, Malaysia dan India yang dapat menghemat anggaran sehingga dapat digunakan untuk program lain demi kepentingan masyarakat.
Pemilihan secara langsung oleh rakyat dinilai mahal, menghabiskan banyak biaya. Hanya saja dalam kesempatan tersebut Presiden menyampaikan soal lain yang sesungguhnya jauh lebih problematik dengan mengatakan, "kayak kita kaya saja, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa memperbaiki sekolah, uang yang bisa memperbaiki irigasi". Sebetulnya tidak pada tempatnya hal ini disandingkan dengan pemilihan yang berbiaya mahal. Kendatipun dari pernyataan tersebut terdapat maksud yang amat baik dari Presiden.
Benarkah negeri ini miskin? Ini menjadi pertanyaan kebalikan atau antitesis untuk pernyataan sang Presiden. Kenyataannya sesungguhnya bukanlah demikian. Kalkulasi paling realisitis pernah diungkap oleh Abraham Samad kala menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa andai celah korupsi di sektor pertambangan dapat ditutupi dan dialihkan untuk pendapatan perkapita masyarakat Indonesia maka dapat memberikan gaji puluhan juta perbulan ke masyarakat Indonesia.
Selain itu juga pada Oktober 2013 Abraham Samad mengatakan hampir 50 persen perusahaan pertambangan di Indonesia tidak membayar royalti ke pemerintah yang jumlahnya mencapai 20 ribu triliun. Jika dibagi dengan 241 juta jiwa penduduk Indonesia saat itu maka ditemukan angka pendapatan terendah 30 juta perbulan. Itu disampaikan Abraham Samad dalam dialog kebangsaan dihadapan puluhan ribu buruh di Istora, Senayan, Jakarta. Ironisnya seperti yang diungkap Abraham Samad, mereka tidak membayar royalti karena mereka justru menghabiskan uangnya lebih banyak daripada royalti untuk menyuap oknum aparat.
Dari praktik korupsi di sektor pertambangan kita dapat bayangkan betapa sesungguhnya kesempatan untuk hidup sejahtera di negeri ini sudah dirampas seharusnya seluruh rakyat negeri ini sudah hidup mapan terbebas dari belenggu kemiskinan dari generasi ke generasi. Bayangkan ada berapa banyak lagi uang yang dikorup selain di sektor pertambangan. Andai di sektor perikanan, pertanian, kehutanan, kelautan, perpajakan, dan lain sebagainya tidak dikorupsi betapa rakyat negeri ini sudah selayaknya terbebas dari kemiskinan. Tugas pemberantasan korupsi ini menjadi bagian tersendiri yang harus diurus secara serius oleh pemerintah.
Pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Secara yuridis, pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebelumnya diatur dalam UU No. 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU ini tergolong tragis nasibnya sebab berlakunya cuma 2 hari saja. Disahkan pada 30 September 2014 dan dibatalkan oleh Perppu No. 1 Tahun 2014 yang disahkan pada 2 Oktober 2014. Perppu ini mengubah model atau mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Terjadi penolakan yang meluas sesaat setelah UU No. 22 Tahun 2014 disahkan yang diinisiasi oleh kelompok mahasiswa. Penolakan itu sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbang huruf c Perppu No. 1 Tahun 2014.
Penolakan model pemilihan kepala daerah oleh DPRD waktu itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran praktik jual beli jabatan, pemilihan yang tidak objektif, tidak stabilnya pemerintahan daerah, dan lain sebagainya. Kendatipun kepala daerah itu dipilih secara langsung ataupun oleh Dewan Perwakilan secara teoritis sama demokratisnya. Tetapi kualitas demokrasinya jelas berbeda. Pada pemilihan secara langsung oleh rakyat, rakyat sepenuhnya dapat menggunakan kedaulatannya karena partisipasinya rakyat dapat leluasa menilai, mempertimbangkan dan memilih seseorang dengan objektif menurut hati nuraninya yang dipandang layak dan mampu menjadi kepala daerah. Hal mana tidak dijumpai jika dipilih oleh Dewan Perwakilan.
Jika pemilihan secara langsung dianggap mahal karena menghabiskan banyak biaya dan upaya untuk efisiensi anggaran untuk program yang lebih substansial, maka hal inipun menjadi problematik. Sebab membaca persoalan ini haruslah satu paket dengan pemilihan umum atau pemilu yang dilaksanakan secara langsung yang juga menghabiskan biaya yang sangat banyak. Maka jika hanya fokus pada pemilihan kepala daerah maka sesungguhnya kita belum proporsional menempatkan hal ini sebagai satu rangkaian.
Untuk pemilihan umum, misalnya pemilihan Presiden dimasa orde baru (1967-1998) pengisian jabatan Presiden dilakukan dengan cara dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan UUD 1945 pra amandemen. Di era orde baru, dengan rekayasa sedemikian rupa MPR nyatanya tidak lebih tinggi daripada Presiden sehingga Soeharto dapat terus berkuasa menjadi Presiden hingga tujuh kali pemilihan umum sehingga dirasakan sangat tidak demokratis. Keanggotaan MPR dari utusan daerah banyak diisi oleh orang-orang yang "didudukkan" sang Presiden dengan misi mengamankan pemilu yang terus menerus memenangkan sang Presiden.
Untuk konteks pemilihan kepala daerah, Pemilihan serentak ini nampaknya diilhami oleh praktik pemilihan umum, dengan kata lain hanya mengikuti pola pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilaksanakan serentak. Sebelumnya pemilihan umum dilaksanakan dua kali dalam lima tahun untuk memilih anggota legislatif pusat dan daerah, lalu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Praktik ini dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan merujuk pada ketentuan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan satu kali dalam lima tahun. Tetapi undang-undang mengatur secara berbeda dan pengaturannyapun dengan dua undang-undang yang berbeda. Untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan UU No. 42 Tahun 2008, dan UU No. 8 Tahun 2012 untuk pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Secara konstitusional, pemilihan kepala daerah secara serentak tidak diatur dalam UUD 1945. Berbeda dengan pemilihan umum pelaksanaannya hanya satu kali dalam lima tahun sebagaimana amanat Pasal 22E UUD 1945 sehingga mengharuskan dilaksanakan serentak. Sementara itu ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengatur bahwa, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tetapi dalam implementasinya pemilihan kepala daerah dilaksanakan serentak berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang ditetapkan dengan UU No. 1 Tahun 2015 menjadi UU sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016.
Pengaturan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bersifat opsional. Artinya dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan dipilih oleh DPRD. Pembentuk undang-undang mengambil opsi dipilih secara langsung oleh rakyat yang pelaksanaannya serentak bagi kepala daerah yang masa jabatannya selesai dalam waktu yang berdekatan. Pemilihan secara langsung dan serentak ini sudah cukup efisien ketimbang dilaksanakan secara langsung tapi tidak serentak.
Jika pemilihan model ini masih dianggap sebagai pemilihan yang mahal sebagaimana disampaikan Presiden maka kita harus mempertimbangkan mudharat yang lebih besar jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Tidak ada jaminan dalam sistem sebaik apapun money politic itu akan hilang. Jika dipilih oleh DPRD yang terjadi hanyalah sentralisasi money politic antar paslon dengan anggota DPRD. Sistem yang baik dan berkualitas jika dilaksanakan oleh aparatur yang tidak berkualitas tetap saja buruk.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar