Merasa Besar Tanda Kejatuhan Sudah Dekat
Oleh: Syahdi
(Cendekiawan Muslim)
Hari-hari berganti meriwayatkan banyak problem sosial yang lalu lalang dalam arus media sosial. Periwayatan peristiwa, kabar penindasan, propaganda pembodohan tiba silih berganti bak suburnya cendawan di musim hujan. Masih kuat diingatan kita bagaimana bobroknya sistem pendidikan telah membuat para guru harus diungsikan dari sekolah ke penjara dan menjadikan pendidik sebagai bahan eksperimental yang dramatis.
Kini muncul pula kejadian menyayat hati seorang pejuang nafkah direndahkan, dihinakan dihadapan keramaian majelis yang dikabarkan majelis sholawatan. Aduhaii.. majelis itu rupanya majelis bangkai yang busuknya menembus hati, merengkuh kemarahan, merobek-robek nurani, muak yang tidak terkira. Seorang staf khusus yang digaji oleh rakyat, seorang yang lebih dikenal dengan sebutan G*s, bukan baru-baru ini saja beliau bersikap pongah dalam pertunjukan akrobatiknya.
Jika dirunut aksi-aksi degradasi moralnya cukup banyak dan mudah ditemukan di media sosial. Sepertinya di era kebobrokan- kejatuhan akhlak para pemuja popularitas tumbuh dengan keyakinan bahwa agar dikenali dan memiliki banyak pengikut praktik-praktik tercela merupakan cara yang cukup memukau dan memesona bagi mereka yang tebal muka untuk diperagakan. Betapa tidak, di era kebobrokan yang kini melanda, betapapun buruk dan tercelanya seseorang yang membuat kita heran dan tercengang ialah tetap saja mereka yang demikian itu selalu ada saja pengikutnya dan mirisnya lagi dijadikan tokoh sentral di komunitas masyarakat tertentu atau dijadikan publik figur yang diikuti dan dihormati secara total. "Negeri ini pasar murah, apa saja dijual laku ada saja pembelinya", mungkin itulah kata-kata yang tepat menggambarkan keadaan saat ini.
Laku bukan karena mutunya yang bagus, tapi karena akal yang tidak terdidik telah menjadikan barang-barang yang dijual itu bagaikan berkah yang turun dari langit kilaunya seumpama pahatan emas yang memikat hati. Mungkinkah perasaan merasa besar telah memenuhi hati manusia semacam itu, karena selalu ditempatkan satu langkah di depan satu hasta di atas duduk bak ulama besar panutan umat dengan semarak tepuk tangan dan riuh rendah mereka yang tertawa gembira tidak lebih hanya menyaksikan pertunjukan kebodohan.
Gambaran tentang seorang ayah, dan seorang suami yang terpaksa harus hidup bersusah payah mencari nafkah demi anak istri dan keluarganya tetap makan dengan harapan punya masa depan yang lebih baik. Seorang ayah, suami yang setiap harinya bermandikan keringat dibawah terik matahari yang membakar, kepayahan yang teramat sangat telah membuat kaki dan tangannya kapalan oleh Rasulullah diberi kabar gembira tentang dosanya yang diampuni tentang hisabnya yang mudah dan tentang keutamaannya daripada menggantungkan hidup menjadi peminta-minta, seorang ayah, dan seorang suami itu dihinakan oleh dia yang ditokohkan, oleh dia yang dipakaikan jubah kebesaran syari'at kepadanya.
Sebuah pemandangan yang sangat melukai rasa kemanusiaan, melukai nurani yang terdalam. Tak lain memperjelas kepada kita bahwa ia dan kebesaran yang dipasangkan kepadanya hanyalah sebagian dari tanda-tanda kejatuhan yang sudah semakin dekat. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu (Q.S. Al Hadid: 20). Sungguh amat banyak diantara kita yang lalai, terperdaya dan tersungkur kedalam panggung sandiwara ini. Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan belaka, karenanya jangan sampai kalian ditipu oleh kehidupan dunia (Q.S. Al Ankabut: 64). Sembari mengingatkan diri sendiri kita pun mengingatkan mereka yang terlupa dan perhatian yang telah teralihkan pada kesenangan duniawi.
Apa yang patut dibanggakan dengan pakaian kebesaran yang dikenakan, dengan nama besar, dengan jabatan, dengan kekayaan yang menggunung yang melekat pada diri tetapi tidak berguna sama sekali, tidak mengubah apapun menjadi lebih baik. Jabatan dengan kuasa yang melekat justru dipergunakan untuk menindas dan memperbudak orang lain, menipu orang lain, mengambil hak-hak orang lain dengan zhalim, harta digunakan untuk menghegemoni kaum miskin menjadi lebih melarat dan hidup menderita, ilmu digunakan untuk merendahkan orang lain. Aduhaii.. celaka.. sungguh celaka dan sia-sialah manusia yang hidupnya demikian itu.
Al Hasan Al Bashry dalam Az Zuhd karya al- Imam Ahmad diceritakan, suatu ketika Umar bin Khattab melewati tempat sampah dan berhenti sejenak disitu, para sahabat beliau merasa sangat terganggu dengan bau dari sampah tersebut. Beliaupun berkata, "seperti inilah dunia yang kalian sangat berambisi padanya". Sungguh amat tegas nasehat sahabat nabi yang agung ini. Namun tetap saja kehidupan dunia ini sangat memukau kesenangan yang melenakan yang menyeret kita semakin menjauh dari era kesadaran.
Seorang ayah, suami yang oleh dominasi kapitalisme dan kedigdayaan korupsi yang menginvasinya dan bangsa ini dipaksa hidup dalam kepayahan yang bertambah-tambah dengan penghasilan yang sangat tidak memadai, seorang ayah memberi makan anak istrinya sementara ia sendiri bertaruh menahan lapar berhari-hari adalah sebuah pemandangan yang jelas benar di mata kita ditengah hiruk pikuk perkotaan.
Andai sektor pertambangan tak dikorupsi elit politik, aktor penguasa, maka setiap orang yang hidup dan tinggal dinegeri ini mendapat bagian tidak kurang 20 juta tiap bulan tanpa perlu kerja apapun. Belum lagi di sektor pertanian, kelautan, perikanan, perpajakan dan lain-lain. Demikian lebih kurangnya dipresentasikan oleh Abraham Samad-mantan komisioner (pimpinan) Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Jadi kemiskinan di negeri ini bukan terletak pada semata-mata pada kurangnya lapangan pekerjaan sebagaimana dikampanyekan orang, juga bukan karena rendahnya kualitas SDM anak bangsa ini yang jika dilihat data dari Badan Pusat Statistik atau BPS akan kita dapati adanya gap yang besar jumlah sarjana dan mereka yang bahkan tidak tamat sekolah menengah atas. Melainkan karena kesempatan untuk hidup sejahtera di negeri ini sudah dirampas oleh para penguasa busuk, segelintir elit politik yang merampok kekayaan sumber daya alam bangsa ini.
Masihkah kita berani menghina dan merendahkan para pejuang nafkah yang hidupnya lebih banyak menahan lapar dengan tubuhnya penuh dengan bekas penderitaan karena hidup dalam kemiskinan?. Kapankah kita akan sadar dan menghargai betapa berat perjuangan tak bertepi yang dirasakan saudara kita yang didikte oleh para tirani di negeri ini, diperbudak dan ditindas setiap hari.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar