Tragedi Palestina dan Tidak Berdayanya Negeri-negeri Muslim
Oleh: Syahdi
(Cendekiawan Muslim)
Negeri ini dahulunya menjadi satu diantara tempat yang dikunjungi oleh para sahabat nabi untuk berdagang. Negeri Syam (Suriah, Palestina, Yordania, Lebanon) menjadi tempat yang banyak diziarahi untuk tujuan perdagangan atau bisnis. Pasca Rasulullah wafat dan dimasa pemerintahan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab, negeri ini ditaklukkan oleh generasi sahabat yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian negeri ini lepas dari tangan umat Islam dikuasai oleh rezim Kristen. Setelah beberapa kali penaklukan yang belum berhasil dilakukan oleh Imaduddin Zanki dan anaknya Nuruddin Zanki, barulah Palestina berhasil ditaklukkan kembali dibawah kepemimpinan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Kemudian negeri ini dijaga dan dilindungi dibawah naungan pemerintahaan kekuasaan Ottoman atau Turki Utsmani. Pasca lengsernya Sultan Abdul Hamid II ditandai dengan berakhirnya kekhilafahan atau kesultanan Islam pada 3 Maret 1924 sejak disekulerisasikan oleh Kemal Pasha hingga kini Palestina telah terlepas sepenuhnya dari pangkuan negeri-negeri muslim. Babak awal penderitaan muslim Palestina dimulai pada kurun waktu 1948, yang terus berlanjut pada tahun 1960 an hingga kini semakin merasakan penderitaan yang luar biasa akibat invasi dan penjajahan zionis Yahudi.
Sulitnya Menolong Palestina
Sudah puluhan bahkan ratusan ribu nyawa muslim tercabut dengan sangat tragis oleh invasi besar-besaran zionis Israel yang ingin mengambil alih tanah Palestina dari penduduk muslimnya dengan cara pembunuhan sadis genosida terus menerus. Mirip seperti pembantaian penduduk suku Indian notabene berkulit hitam yang menurut data sejarah merupakan penduduk asli Amerika yang kini telah musnah akibat invasi dan genosida. Hingga akhirnya negeri Paman Sam itu kini dihuni oleh mayoritas penduduk berkulit putih yang terus menerus mendiskreditkan warga yang berkulit gelap atau hitam padahal merekalah penduduk asli tanah saudara kandung zionis itu.
Kematian terus bertambah di Palestina, negeri kelahiran Imam Asy-Syafi'i ini memang sudah berada diambang kehancuran total dan pemusnahan yang nyaris sempurna. Sebab Rafah diinformasikan menjadi tempat berlindung terakhir muslim Palestina yang terus dihujani bom menjadi tempat singgah sementara menuju akhirat menghadap sang khalik. Tapi gaung kebangkitan Islam belum kunjung terlihat menguat dan nyata untuk menolong sisa-sisa nyawa muslim yang masih bertahan.
Turki dibawah kepemimpinan Reccep Tayib Erdogan yang dikenal sangat Islamis sosok yang menunjukkan simpati dan empatinya, yang dipandang memiliki ghiroh dan ukhuwah islamiyah yang kuat hanya mampu mengutuk dan mencela Benyamin Netanyahu (Perdana Menteri Israel) dalam sidang-sidang di PBB, melontarkan intimidasi pada petinggi Israel itu disamping melakukan boikot atas produk yang berafiliasi dengan Israel serta mengupayakan distribusi makanan, tim medis dan obat-obatan ke Palestina.
Sementara negeri mayoritas muslim terbesar di Asia Tenggara semisal Malaysia dan Indonesia tidak jauh berbeda, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsyudi juga hanya bisa mengutuk, mengecam dan menolak invasi Israel di Palestina, menolak dan tidak mengakui eksistensi Israel dalam kompetisi olahraga dunia, melakukan aksi boikot terhadap makanan dan minuman atau produk buatan Israel maupun yang berafiliasi dengan Israel. Keadaan semacam itu sepertinya merata terjadi di negeri-negeri mayoritas muslim. Sayangnya semua tindakan itu tidak banyak membantu menyelesaikan tragedi Palestina. Invasi dan penjajahan zionis tetap tidak berhenti, ada gencatan senjata untuk sementara waktu tetapi lalu berlanjut lagi hingga kini tanpa ujung. Hingga munculnya Iran secara berani dan mengambil sikap konkret menghujani Israel dengan roket dan rudal yang mencoba membalas invasi zionis.
Mengapa terasa begitu sulit untuk menolong Palestina? Pertanyaan ini tidak mudah ditemukan jawabannya bagi negeri-negeri muslim. Pertama, soal kualitas muslim yang tidak paralel dengan kuantitasnya terutama di negeri mayoritas muslim. Harus diakui Islam merupakan agama kedua yang paling banyak penganutnya di dunia setelah Kristen. Tetapi dengan jumlah yang luar biasa banyak tidak mencerminkan kualitas yang sepadan. Di negeri mayoritas muslim lebih dominan berislam sebatas status belaka. Ajaran, nilai, dan tuntunan syariat justru tidak terpahami dan banyak ditinggalkan oleh mayoritas muslim.
Sebagiannya berislam karena keturunan, sebagian kecil sisanya belajar, menekuni dan mendalami Islam secara rutin. Kondisi ini yang membuat umat Islam banyak terpecah-pecah kedalam banyak faksi sehingga melemahkan ukhuwah islamiyah, mudah diprovokasi dan rentan berselisih. Persis seperti hadits yang menyatakan bahwa kelak di akhir zaman umat Islam akan diperebutkan seperti sepotang roti diatas meja makan. Salah seorang sahabat bertanya, apakah karena jumlah kami sedikit?, Nabi menjawab justru karena jumlah kalian banyak tapi seperti buih dilautan.
Kedua, sistem bernegara, konsepsi bernegara yang menyebabkan tertahannya kebangkitan umat Islam. Diantara sistem dan konsepsi bernegara yang mendalangi rapuhnya ukhuwah islamiyah yaitu misalnya konsepsi nation state atau negara bangsa yang mengkotak-kotakkan dan menceraiberaikan umat Islam kedalam batas-batas teritorial. Bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dengan rakyatnya yakni bangsa Indonesia diakui memiliki kedaulatan dalam batas-batas teritorialnya belaka sehingga dibatasi untuk turut mengintervensi persoalan yang terjadi di negeri muslim lainnya. Dalam Islam persoalannya tidak sesederhana itu. Dalam Islam diajarkan bahwa sesama muslim bersaudara, seperti tubuh jika yang satu merasakan sakit maka bagian tubuh lainnya juga merasaka sakit. Inilah ukhuwah islamiyah yang berlaku universal dimana saja dan kapan saja tidak dapat dibatasi oleh batas-batas teritorial.
Kondisi seperti ini mirip seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam karya Mukaddimah nya yang populer bahwa fanatisme kesukuan lah yang pertama sekali menginisiasi retaknya dan pecahnya kepemimpinan politik dalam diri umat Islam pasca Nabi wafat. Padahal fanatisme kesukuan sangat dibenci Nabi sebab merupakan tradisi arab jahiliyah yang membangga-banggakan sukunya hanya menimbulkan perpecahan. Sementara Allah menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tidak lain agar saling mengenal menguatkan ukhuwah islamiyah bukan untuk dipertengkarkan dengan membangga-banggakan satu suku dan merendahkan suku lainnya.
Ketiga, hubbuddun ya atau cinta dunia dan takut mati. Umat Islam saat ini mayoritas sudah terjangkiti oleh kecintaan pada dunia dalam semua bentuk dan aspek yang bermuara pada pemujaan kesenangan duniawi. Misalnya menyukai harta benda dan suka menumpuk-numpuk kekayaan, hanya sibuk dengan urusan lambung hingga urusan otaknya dan kalbunya tidak terurus, kering dari sentuhan syari'at yang mengajarkan wara' dan zuhud dalam menjalani dinamika kehidupan. Disebabkan kecintaan pada kesenangan duniawi ini banyak menjerumuskan umat Islam pada praktik perbuatan suap, korupsi, perampokan, pembunuhan, dan sederet perbuatan tercela lainnya.
Kondisi ini membentuk mentalitas umat Islam menjadi kian merosot dsn rapuh serta akhlak yang semakin bobrok sehingga semakin menjauhkan umat Islam pada soal-soal akhirat, peribadatan, pengkajian keilmuan, dan terlena pada kesenangan duniawi lainnya. Inilah hal-hal yang melatarbelakangi betapa kompleknya persoalan di internal umat Islam yang sulit untuk diatasi. Kita berharap dan terus mengikhtiarkan untuk memunculkan generasi mujtahid dan mujahid untuk mengatasi dan menghentikan kebrutalan zionis. Wallahu'alam.
Keempat, jeratan hutang luar negeri dan eksploitasi kekayaan alam oleh hegemoni Barat menjadikan negeri-negeri muslim kehilangan kedaulatan politik dan ekonominya. Kondisi yang demikian menjadikan negeri-negeri muslim menjadi terpenjara karena dibuat berketergantungan pada bantuan Barat meskipun disaat yang sama harus merasakan pahitnya ditindas. Perekonomian nasional dihidupkan oleh kekuatan kantong-kantong kapitalis dengan beragam investasinya dengan semua itu pembangunan nasional dapat dilaksanakan. Dalam kondisi seperti itu bagaimana mungkin negeri-negeri muslim dapat bersikap tegas untuk Palestina. Justru mereka hanya disibukkan mengurusi persoalan-persoalan dalam negeri yang tidak pernah selesai, aparatur pemerintah dan lembaga pemerintah bermasalah tiap saat hanya mampu menindas rakyatnya sendiri menjadikan gaduh yang berkepanjangan**.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar