Nasehat Untuk Penguasa
Oleh: Syahdi
(Cendekiawan Muslim)
Birokrasi hari ini memang sangat mendesak kritisisme sebab tidak memberikan tempat atau ruang kepada fikiran-fikiran yang konstruktif dan egaliter untuk tumbuh. Tesis yang dipegang penguasa atau seorang pemimpin birokrat yakni kelas pekerja dipandang tidak mengerti apapun, tidak tau apapun, selalu salah, gemar bermalas-malasan, tidak disiplin dan terpecah-pecah. Sedangkan untuk memberikan justifikasi atas tesis itu penguasa selalu menganggap dirinya benar atau pasti benar, kebenaran adalah miliknya, bahkan dia adalah jelmaan dari kebenaran dan keadilan. Mirip seperti ungkapan Raja Prancis Louis XIV untuk memberikan legitimasi terhadap monarki absolutisme yang dipimpinnya ia berkata: "L' etat C'est Moi" yang berarti Negara adalah Saya.
Louis XIV adalah Raja Prancis yang berkuasa paling lama yakni 72 tahun sejak 14 Mei 1643 sampai 1 September 1715. Jika demikian, maka dengan semangatpembelaan diri, maka kelas pekerja tentu dapat saja mengajukan anti tesis bahwa penguasa cenderung sewenang-wenang, tidak bijaksana, kebijakannya sering menimbulkan pergesekan dan perpecahan antar pekerja, pencetus pertama tentang ketidakdisiplinan, menyukai gaya hidup hedonis, selalu ingin dipuja-puji, menolak fikiran dan menginginkan kepatuhan penuh, tidak menginsyafi dirinya banyak melakukan kesalahan, mementingkan diri sendiri, arogan dan tamak. Anti tesis ini masih dapat berlanjut penguasa dapat mengajukan anti tesis atas anti tesis kelas pekerja, demikian juga kelas pekerja dapat mengajukan anti tesis pula atas anti tesis penguasa, sehingga sulit untuk merumuskan sintesis yang relevan dan dapat diterima kedua belah pihak.
Penguasa mungkin saja menganggap anti tesis yang diajukan kelas pekerja tersebut bohong, fitnah, mencemarkan nama baik, bentuk arogansi dan pembangkangan, tidak tau diri, tidak tau berterima kasih. Sebaliknya kelas pekerjapun dapat saja menuduh bahwa tuduhan penguasa tersebut tidak benar, ngawur, arogan, senang memperbudak pekerja, pencipta situasi keruh, anti fikiran dan gila puja puji atas status sosialnya itu. Status sosial penguasa birokrasi telah merubah paradigma dan cara pandangnya terhadap lingkungan sekitarnya. Kejatuhan moral merusak harmonisasi dan menghambat kemajuan. Status sosial pula yang menyebabkan penguasa alergi dengan fikiran-fikiran pembaharuan atau ide-ide yang visioner untuk kepentingan kolektif.
Sikap yang ditonjolkan malah ke arah yang sebaliknya yaitu gemar mempertinggi ego, fokus pada meningkatkan popularitas, menuntut kesadaran mendalam kelas pekerja bahwa penguasa birokrasi memiliki kedudukan yang tinggi serta layaknya tuhan dapat menentukan kehidupan dan masa depan kelas pekerja, sebab itu kelas pekerja harus tunduk dan patuh sepenuhnya apapun kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Meskipun di tengah kelas pekerja itu terdapat para sarjana, dan diantara para sarjana itu ternyata memiliki kegelisahan intelektual dalam memandang realitas dalam dunia kelas pekerja sehingga memberanaikan diri mengajukan terobosan-terobosan pemikiran, namun semua itu tidak berguna bagi penguasa. Penguasa selalu memandang bahwa hal semacam itu dapat mengancam kewibawaannya sehingga harus diberangus dan jika perlu disingkirkan. Sebab mengacu kepada tesis yang dipegang penguasa yakni anggapan bahwa dirinya benar atau pasti benar, kebenaran adalah miliknya, bahkan dia adalah jelmaan dari kebenaran dan kebijaksanaan.
Penguasa hanya mau mendengarkan suara dari mereka yang kedudukan atau status sosialnya lebih tinggi yaitu dari mereka yang berada di atas mereka. Jika yang bicara itu adalah seorang Profesor, Doktor atau pimpinan suatu lembaga tertentu serta yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat dalam pandangan mereka maka penguasa memandang disanalah letak kebenaran gagasan, disanalah letak moralitas, disitulah tempatnya fikiran-fikiran yang layak dipertimbangkan dan diikuti. Sedang apa yang diucapkan oleh mulut-mulut sarjana disekitar mereka, disebabkan status sosialnya rendah yakni kelas pekerja kelompok yang mereka kuasai maka apapun yang disampaikannya semuanya harus dianggap salah, merusak tatanan birokrasi.
Sampai disini kita dapat merenungkan bahwa benar apa yang disampaikan Machiavelli, "Manusia dihargai bukan karena gelar, tapi manusialah yang menghargai gelar". Jika kita menilik dasar filsafat yang digunakan, maka kita akan menjumpai bahwa penguasa birokrasi cenderung menganut materialisme historis Karl Marx dan mengambil sebagian dari filsafat politik Niccolo Machiavelli. Materialisme historis Marx terlampau bersandar dan bergantung kepada materi, sementara filsafat Machiavelli khusus tentang konsep medis yang terkenal dengan metode amputasi terhadap pelanggaran atas ketertiban, pelaku kriminal dan situasi konflik diambil tetapi dengan pemahaman yang berlainan dan salah menurut pemikiran filsafat Machiavelli. Penguasa hanya mengambil sisi-sisi yang dapat mendompleng kekuasaannya dan yang dianggap dapat memberikan legitimasi atas kebijakannya dalam mengelola birokrasi.
Kekuasaan yang Harmonis
Orientasi kekuasaan seharusnya diarahkan pada kemaslahatan yang jujur, bukan kemaslahatan semu yang mengutamakan kepentingan diri sendiri dan golongan, yangpenuh tipu daya, pembodohan dan perbudakan terhadap kelas pekerja. Kemaslahatan yang jujur terjadi manakala tugas-tugas dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Disini moralitas mengambil peran yang dikonkretisasikan dalam bentuk keputusan atau kebijakan yang bijaksana. Keputusan yang bijaksana dapat mengundang dan mempercepat terbentuknya persatuan, kekompakan dan rasa persaudaraan yang tinggi. Penting untuk membentuk kekuasaan yang harmonis antar penguasa birokrasi dengan kelas pekerja sebab antara penguasa dengan kelas pekerja adalah satu kesatuan esensial untuk melaksanakan program dan mencapai tujuan-tujuan birokrasi.
Untuk mewujudkan kekuasaan yang harmonis penguasa harus membuka diri terhadap masukan, saran dan krtikan. Selain itu penguasa harus membiarkan dan memberikan ruang untuk tumbuhnya fikiran-fikiran, bukan malah menutup diri dengan menentang dan memaki. Ruang untuk fikiran-fikiran perlu ada sebagai kontrol atas kebijakan agar tercipta keseimbangan. Bukan malah bertindak represif dengan jalan memberangus, menyebarkan ketakutan berlebihan bahwa fikiran dipandang sebagai penyakit menular, dan mereka yang berfikir dipandang layaknya wabah penyakit sehingga harus diwaspadai dan dijauhi. Kondisi sekarang ini menarik kita menuju sejarah ratusan tahun lalu di masa dark ege di Eropa khususnya Italia, dimana frustasi gereja yang menghendaki kemurnian ajaran kristus. Akibatnya gereja dalam perkembangannya menolak semua fikiran dan filsafat bahkan telah menjelma sebagai diktator yang memerintah atas nama tuhan.
Kekuasaan yang intelektual
Kekuasaan yang intelektual dijalankan oleh penguasa yang intelektual. Seorang penguasa dengan seabrek gelar, pengalaman dan prestasi belum cukup untuk dikatakan penguasa intelektual. Predikat penguasa intelektual baru dikatakan telah dimiliki ketika dalam menjalankan kekuasaan itu ia mampu membaca pilihan-pilihan dan memilih pilihan yang bijaksana. Ada beberapa pilihan yaitu menuntut kepatuhan penuh sehingga mematikan pikiran, menumpulkan nalar dan kreatifitas, menginginkanfanatisme buta atas kelas pekerja atau memberikan kesempatan dan menjamin ketersediaan ruang kontrol untuk pikiran-pikiran, termasuk di dalamnya saran, masukan, dan kritik yang konstruktif. Penguasa yang intelektual hanya akan mengambil pilihan yang kedua sebab hanya dengan pilihan itulah kekuasaannya akan memperoleh kewibawaan dimata kelas pekerja. Intelektualitas kekuasaan hanya mungkin terjadi setelah kejumudan dan kekolotan disingkirkan.
Kekuasaan, ketertiban dan keteraturan
Saya mau mengajukan pikiran yang radikal terkait sikap skeptis pada anarkisme. Penguasa/hukum janganlah memenjarakan rakyat dengan argumentasi ketertiban umum. Bahwa perilaku rakyat harus senantiasa bergerak sejalan dengan postulat-postulat logika kekuasaan yang melahirkan hukum atau hukum itu sendiri (legal positivism). Terserah kepada rakyat bagaimana ia bicara pada penguasa. Penguasa berasal dari rakyat, dan rakyat sebagai pemilik kekuasaan dalam negara. Penguasa harus tertib menghadapi rakyat, ia (rakyat) itu tempat bertanya dan mengambil rujukan dalam kekuasaannya itu.
Bahwa konsepsi ketertiban umum telah kehilangan pijakan, penyimpangan-penyimpangan terhadapnya begitu terang. Hal tersebut tidak lagi sesuai dengan pembawaan kondisi alamiah yang melingkupi rakyat (manusia), bahwa tiap-tiap bagian daripada rakyat itu (manusia individual) memiliki kemerdekaan untuk berbuat sekehendak hatinya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ketertiban umum adalah bentukan dan formulasi dari kondisi alamiah rakyat itu sendiri, rakyatlah yang dapat mengubah dan merumuskannya kembali untuk ketertiban umum yang baru, yaitu sebuah pikiran tentang menertibkan kekuasaan. Demonstrasi sebagai hak alamiah harus menciptakan anarkisme. Dengannya keteraturan akan di dapatkan.
Pergerakan massa aksi harus mampu menciptakan anarkisme untuk ketertiban yang sebenarnya, yaitu ketertiban pemerintah negara dalam bekerja untuk rakyatnya. Tempat terbaik mendidik penguasa adalah dijalanan, di tengah jalan. Dan cara yang paling baik mendidik penguasa yaitu dengan anarkisme. Anarkisme adalah jalan juang multi elemen dipelopori oleh massa pejuang hak dan harkat martabat kemanusiaan rakyat. Anarkisme harus ada dan dalam banyak kondisi menjadi jalan yang utama disamping jalan-jalan lain sebagai alternatif, yaitu sebuah konsepsi tanpa mengabaikan gerakan-gerakan intelektual menghadapi otoritarianisme.
Anarkisme hanya diarahkan untuk tujuan-tujuan keadilan, penghapusan diskriminasi, serta tujuan kemanusiaan, mengembalikan dan meletakkan asas-asas kemanusiaan pada tempat yang tinggi melebihi tingginya penghormatan terhadap negara maupun diatas tempat yang lebih tinggi daripada kedaulatan. Inilah anarkisme "yang berjiwa persatuan". Anarkisme yang tidak berpijak pada "yang berjiwa persatuan" adalah anarkisme yang beku, ia adalah anarkisme yang bergerak tanpa standar capaian-capaian keteraturan.
Anarkisme yang beku ini tidak boleh dilakukan dan harus ditentang sebab tidak membawa pada cita-cita ketertiban. Konsepsi "ketertiban lama" yang menghendaki ketertiban umum, telah membuat pengecualian, bahwa di luar struktur hukum dan tatanan praktis pembentuk hukum tidak terikat kepada ketertiban. Tetapi ia diberi fasilitas atau perlengkapan untuk meredam upaya pelanggaran ketertiban umum. Konsepsi ketertiban lama ini menampakkan arus otoriter bahwa setiap pendapat dan kritik hanya akan diterima kalau kooperatif dengan kehendak pemerintah, tetapi jika bertolak belakang dianggap telah terjadi kekacauan, maka perlu represifitas alat-alat pemerintah untuk mempertahankan ketertiban umum.
Ketertiban lama kita koreksi dengan sebuah ketertiban baru, bahwa yang pertama sekali harus ditertibkan adalah penguasa atau pemerintah negara. Ketertiban haruslah ditujukan untuk pemerintah, agar penyakitnya sembuh dengan penawar atau obat-obatan racikan dari rakyat. Penawar tersebut tak lain adalah anarkisme. Semakin anarkis semakin baik dan ketertiban akan dibentuk ulang dengan redaksi regulatif-implementatif yang lebih matang dan kuat. Anarkisme sebagai metode pendidikan dan instrumen gerakan multi elemen sangat efektif untuk perbaikan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh arogansi dan kesewenang-wenangan.
Bahwa hanya dengan anarkisme ketertiban lama dapat hapus dan diganti dengan ketertiban baru. Disamping kita haruslah tetap ingat, kekuasaan rakyat adalah kondisi alamiah untuk terus bergerak menciptakan keseimbangan pergaulan dan keteraturan perilaku merupakan hukum alam yang dijupai dimana saja. Betapapun negara memiliki peralatan pelembagaan norma-norma positif tetaplah kita jangan lalai bahwa peraturan perundang-undangan negara bersumber dari asas-asas hukum alam, bahkan ia penerjemahan konkret lebih lanjut terhadap ketentuan abstrak alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar