Menemukan Kembali Spirit Persatuan Kita
Oleh: Syahdi
(Cendekiawan Muslim)
"Generasi umat ini takkan terbaiki kecuali dengan faktor yang memperbaiki generasi awalnya", demikianlah nasehat Imam Malik bin Anas salah seorang tabi'in senior yang menjadi bagian dari 3 generasi umat terbaik sebagaimana sabda Rasullullah, "khoirunnasi qorni tsummalladzina yaluunahum tsummalladzina yaluunahum", yang berarti sebaik-baik manusia ialah mereka yang hidup dalam kurunku, kemudian setelahnya, lalu setelahnya. Faktor yang memperbaiki generasi awalnya tidak lain adalah tauhid yang kuat, keistiqomahan beribadah dan ukhuwah islamiyah yang kuat. Hadits ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an: "Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta`murụna bil-ma'rụfi wa tan-hauna 'anil-mungkari wa tu`minụna billāh", yang berarti: Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali-Imran:110).
Dari sepotong ayat tersebut mengertilah kita bahwa terkandung 3 syarat untuk menjadi umat terbaik, yaitu: menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Para ulama berkeyakinan bahwa umat terbaik tersebut tak lain adalah 3 generasi terbaik yang hidup semasa dan setelah Rasulullah yaitu generasi sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Namun 3 syarat tersebut masih tetap terbuka bagi generasi umat Islam setelahnya untuk menjadi umat terbaik selama memenuhi kaidah Al-Qur'an tersebut.
Dahulunya di bawah naungan keistiqomahan ber-Islam, umat Islam mengalami masa-masa persatuan dan persaudaraan yang luar biasa kuat sehingga mampu mewarnai dunia dengan warisan peradaban yang bernilai tinggi selama berabad-abad lamanya. Fase daulah Ummayah, daulah Bani Abbasiyah hingga kesultanan Turki Utsmani bukti betapa Islam menciptakan peradaban besar yang gemilang saat dunia Barat di fase titik terendah dalam sejarah umat manusia akibat otoriterianisme gereja di Eropa yang alergi pada perkembangan ilmu pengetahuan hingga memusuhi dan menghukumi secara bengis para ilmuwan dan para pemikir.
Zaman ini di Eropa disebut abad kegelapan (Dark Age) yang menjadikan Eropa kolot, terbelakang, dan kotor. Namun seiring bertukarnya zaman dan kelahiran generasi baru yang menggantikan generasi lama, persatuan yang luar biasa kokoh itu mulai melemah, meredup dan bahkan lenyap ditelan gelapnya perpecahan dari dalam ditambah invasi militer dari luar yang berupaya melumat kekuatan kaum muslimin, menguasai dan merebut kembali wilayah yang telah dimakmurkan oleh umat Islam dengan kearifannya, keadilannya dan toleransinya yang tinggi yang belum pernah ada dalam sejarah peradaban umat lainnya. Jauhnya umat ini dari agamanya (Islam), berpalingnya umat dari tradisi keilmuan, bergeser menjadi umat yang menggemari nyanyian yang melenakan.
Dalam sejarah yang mengiringi kejatuhan peradaban islam, munculnya Ziryab murid Ibrahim al Maushili misalnya, menjadi faktor sekaligus simbol yang memalingkan umat dari majelis ilmu kepada musik dan nyanyian yang melemahkan spirit menuntut ilmu dan menurunkan mentalitas berjuang merupakan salah satu sebab yang paling besar pengaruhnya atas jatuhnya peradaban Islam di Andalusia (Spanyol, Portugal dan Selatan Prancis) yang telah berdiri dengan megahnya selama 8 abad dari 711-1492 Masehi. Maraknya kezhaliman penguasa, kelobaan pada materi yang menggurita, merajalelanya kemaksiatan dan terpecahnya daulah kedalam negeri-negeri akibat ambisi berkuasa menjadi faktor yang menginisiasi kejatuhan kekuasaan pemerintahan Islam sekaligus menandai kehancuran peradabannya.
Sejak dari perisitiwa ini umat Islam di berbagai negeri kehilangan persatuannya dan spirit keber-Islamannya. Hingga peradaban barat menggantikan dominasi atas dunia, menyebarkan ajaran dan gaya hidup barat yang liberal dan netral agama. Peradaban barat yang dibangun diatas kebebasan dan netral agama tak lain imbas dari konfrontasi yang panjang dengan rezim gereja di abad pertengahan. Pentingnya mentadabburi sejarah sebagaimana telah digariskan dalam Al-Qur'an: "maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir" (Q.S. Al-A'raf: 176). Atau sebagaimana nasehat Sa'ad bin Abi Waqqash pada anaknya: "wahai anakku, sejarah itu adalah warisan dari nenek moyangmu, maka jangan sekali-kali engkau menyia-nyiakannya" (diabadikan dalam Kitab Al Jami li Akhlaq Ar Rawi wa Adab As Sami', dinukil dari Edgar Hamas dalam "The Untold Islamic History #2 Mengungkap Kisah Sejarah Islam yang Lama Terpendam). Setelah lama umat ini kehilangan persatuan.
Maka dari mentadabburi sejarah penting bagi kita untuk menemukan kembali spirit persatuan yang telah lama hilang itu. Di bawah naungan nation state (negara bangsa) dan nasionalisme sebagaimana nasionalisme yang dilafadzkan oleh H.O.S Tjokro Aminoto bahwa nasionalisme tidaklah mencampakkan ruh Islam dalam bernegara, diatas nasionalisme itulah kita mesti menemukan kembali puing-puing spirit persatuan kita, menyusun dan merekatkannya lagi untuk menaikkan kembali wibawa Indonesia di mata internasional sebagaimana di tangan founding fathers dahulu negeri ini disegani asing dan tokoh-tokohnya dihormati di kancah politik bahkan forum keagamaan internasional.
Namun dari manakah kita akan memulainya, jawaban atas pertanyaan ini tidak lain adalah dengan membiasakan sholat berjamaah di masjid. Sholat adalah ibadah pertama dalam risalah Islam, sholat adalah tiang agama, mendirikan sholat maka mendirikan agama dan meninggalkannya berarti meruntuhkan agama. Persatuan umat Islam diawali dengan sholat. Sholat bukan hanya sebentuk wujud penghambaan diri makhluk secara total pada sang khalik. Tetapi sholat memiliki dimensi sosial politikyang fundamental terhadap persatuan kaum muslimin. Sebaik-baik sholat ialah yang dikerjakan berjamaah. Makmum adalah rakyat dan imam adalah pemimpin yang ditunjuk melalui mekanisme syuro dari orang yang paling fasih bacaannya, ia disukai rakyat dan mengerti kondisi rakyatnya.
Demikianlah dasar-dasar persatuan dan kepemimpinan diletakkan dan diajarkan dalam Islam melalui praktik peribadatan sholat berjamaah. Ada makmum yang mentaati Imamnya, dan Imam yang berlapang dada menerima kritik dan saran dari makmumnya serta memahami permasalahan dan kondisi makmumnya menciptakan masyarakat dan negeri yang solid, negeri yang utuh dan negeri yang baldathun thayyibatun warabbun ghafur. Melalui momentum Ramadhan 1444 H inilah hendaknya menjadi kesempatan bagi kita semua tidak terkecuali bagi diri saya untuk berbenah diri.
Hendaknya kita belajar membiasakan sholat berjama'ah di masjid seraya memperbaiki perilaku kita ke arah yang sejalan dengan koridor syari'at guna menemukan kembali spirit keber-Islaman kita, dan spirit persatuan kita yang telah lama hilang di makan zaman. Umat ini hanya akan bangkit dan bersatu jika sholat subuhnya sudah kembali ramai seperti sholat hari rayanya. Lalu ciri kebangkitan itu akan terus terlihat dengan berpalingnya umat dari tradisi, gaya hidup, pola pikir barat yang liberal dan sekuler, individualis dan hedonis menuju kegandrungan pada tradisi keilmuan, menghidupkan kembali majelis ta'lim sebagaimana dilakukan para pendahulu kita di masa kejayaan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar