Senin, 17 Juni 2024

Bobroknya Masyarakat Kita

Bobroknya Masyarakat Kita

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Banyak orang dengan bara semangat yang bergolak hebat menjadi ini-itu tidak lebih sekedar untuk mencari simbol, membangun simbol-simbol. Sementara sisanya lebih pada soal eksistensi belaka. Sedikit sekali diantara generasi yang ada kini berupaya membangun substansi, pembangunan kesadaran dengan membumikan literasi di kiri-kanan masyarakatnya. Lain lagi masalahnya di wilayah kepemimpinan, tidak seperti sebagian orang yang hobi mengatakan "jaga persatuan" sementara mereka tak paham dengan apa yang mereka ucapkan. Sejak puluhan tahun lalu Syafruddin Prawiranegara dengan gelar kemasyhurannya dalam ingatan sejarah bangsa ini "Sang PenyelamatRepublik" dalam bukunya "Agama dan Bangsa" beliau katakan pada kita, "mereka yang suka mengatakan jagalah persatuan sesungguhnya merekalah yang tidak pandai menjaga persatuan itu !".

Mengapa kita susah bersatu ?

Jawaban atas pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diketengahkan. Jika kita bicara takdir Allah maka jawabannya sudah cukup dengan mengatakan "apa saja yang terjadi di dunia ini sudah menjadi sunnatullah, semuanya telah tercatat dalam kitab yang agung yakni Lauh Mahfudz". Tapi apakah kita selesai sampai disitu saja ?, tentu saja tidak. Jika apa-apa saja yang terjadi kita kembalikan bahwasanya semua itu sudah menjadi takdir Allah belaka, maka dikhawatirkan kita terjebak kepada sifat lemah dan tidak mau berjuang. Padahal Allah sudah menegaskan: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia" (Q.S. Ar-Ra'd: 11). 

Meyakini segala sesuatu yang terjadi adalah takdir Allah sudah menjadi keharusan bagi setiap mukmin. Tapi Allah memberikan kita akal, hati, inderawi untuk memikirkan dan berikhtiar agar kita mengupayakan kebaikan bagi kemaslahatan umat, masyarakat dan bangsa ini. Apakah kita menjadi lemah dan berputus asa melihat carut marut kehidupan yang kita saksikan saat ini, apakah kita akan menjadi apatis dan tidak mau berjuang, ataukah kita akan berupaya sekuat tenaga memperbaiki sengkarut keadaan ini. 

Semuanya kita yang tentukan. Untuk itulah Allah berikan kita akal, hati dan inderawi sebagai alat bagi kita untuk menghadirkan sebanyak-banyaknya kebaikan di tengah kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbangsa dalam rangka pengabdian kepada Allah. Sebagaimana fiman Allah, "Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku" (QS. adz-Dzariyat: 56). Masih pada upaya mencari jawaban atas pertanyaan di atas. Saya tidak menemukan jawaban yang lebih tegas melainkan jawabannya adalah pendidikan. Bagi para peneliti atau pemerhati pendidikan di negeri ini tentu mereka sangat menyadari betapa pendidikan itu menjadi faktor paling penting penentu jatuh bangunnya suatu peradaban. 

Pendidikan bukan hal yang dapat dipandang enteng sambil lalu saja. Pendidikan ini soal yang sangat fundamental dan menentukan arah suatu masyarakat maupun bangsa. Menjadi masyarakat yang tertinggal, kolot, bodoh, miskin, lemah, masyarakat yang mudah dipecah dan dikotak-kotakkan atau menjadi masyarakat yang terbuka dan tercerahkan pikirannya, masyarakat yang cerdas, agamis, kuat, masyarakat yang sadar jati dirinya semuanya ada pada pendidikan. Semakin bagus kualitas pendidikan semakin baik kualitas masyarakatnya. Sementara orang mungkin bertanya apa hubungannya pendidikan dengan masyarakat. Jelas sangat berkaitan. Pendidikan berbanding lurus dengan kondisi masyarakat. Jika pendidikan rusak, salah urus, tidak diurus serius maka sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan itu adalah takdir atau nasib masyarakat bahkan peradaban suatu bangsa. 

Masyarakat yang buruk, bodoh, masyarakat yang mudah dipecah-belah adalah cerminan dari buruknya kualitas pendidikan. Pendidikan yang buruk tidak berefek apapun terhadap perbaikan pola pikir maupun mentalitas masyarakat. Hari ini pendidikan kita bermasalah, institusi pendidikan berubah menjadi industri kapitalis, dijadikan lahan bisnis yang eksploitatif dan menindas, industri yang memperkaya elit para pengurusnya, rumah tua yang hanya memproduksi para sarjana yakni orang-orang dengan sederet gelar diatas kertas yang tidak punya motivasi dan kualitas, bukannya mencetak para cendekiawan yaitu orang-orang yang mumpuni dalam penguasaan keilmuan menjadi orang-orang yang ahli di bidangnya. 

Proses seleksi masuk perguruan tinggi yang demikian ketat hanya akan menghilangkan kesempatan orang-orang dengan potensi yang memadai untuk mendapatkan pembelajaran demi meningkatkan kualitasnya. Sebaliknya terlalu memudahkan bahkan terkesan tanpa proses seleksi sama sekali juga hanya akan menghasilkan para sarjana yang tidak berkualitas. Institusi pendidikan itu dibentuk tidak untuk mencetak para sarjana, tetapi mencetak para ilmuan, para cendekiawan, orang-orang yang mumpuni dalam penguasaan suatu bidang keilmuan agar siap berkontribusi untuk memperbaiki keadaan masyarakat, bangsa dan negara. Ini yang tampaknya tidak lagi dipahami. Banyak hari ini perguruan tinggi baik berupa sekolah tinggi maupun universitas didirikan tak punya paradigma yang jelas, tak punya prinsip yang jelas hanya berfungsimemproduksi para sarjana, bukan para ilmuan. 

Hari ini para sarjana sangat ramai berserakan di masyarakat kita. Banyaknya perguruan tinggi yang didirikan meluluskan ribuan orang dalam setahun telah berlangsung selama puluhan tahun. Jumlah ini akan terus bertambah dan semakin tidak terhitung banyaknya. Orang-orang yang tidak punya motivasi, kerisauan dan kepedulian sosial tumpah ruah di masyarakat kita. Kita bertanya, apa yang diinginkan dengan banyaknya para sarjana itu ?. Perguruan tinggi hari ini-tanpa mengeneralisir-hanya menghasilkan para sarjana bukan para ilmuan sebagaimana yang telah disebutkan. Ada kesenjangan yang sangat besar kita perhatikan bahwa seseorang dengan sederet gelar akademik yang banyak tetap saja tidak selalu mencerminkan kualitas intelektualnya sama sekali. 

Artinya antara gelar dengan ilmu tidak berbanding lurus. Sehingga kita melihat gelar itu pada akhirnya tidak lebih hanya sekedar syarat administratif untuk diterima bekerja atau untuk mendapatkan suatu jabatan baik yang berorientasi uang maupun popularitas belaka. Bahkan gelar itu dipahami hanya untuk mempertinggi status sosial untuk mencari simpati dan mengharapkan respek dari masyarakatnya. Seakan dengan memiliki gelar sudah cukup menjadikan para pemuja gelar itu dalam pandangan masyarakat dianggap sebagai orang yang hidupnya lebih baik, maju, sukses dan lain sebagainya. 

Padahal tanggung jawab yang melekat pada gelar itulah yang paling penting bahwa melekat kewajiban moral dan intelektual yang besar untuk memperbaiki keadaan masyarakat dalam banyak aspek. Bagian substansial itulah seperti tak pernah dipahami. Masih saja banyak orang terlihat membanggakan diri dengan gelar yang sedemikian banyaknya meskipun kualitas mereka anjlok. Banyaknya aneka ragam gelar yang merepresentasikan berbagai bidang keilmuan justru membuat banyak orang dalam hal keilmuan tidak ada satupun yang tuntas. Itulah sebabnya hendaknya antara gelar-gelar itu mestinya selaras tidak melompat ke berbagai bidang.

Ramainya para sarjana yang minim motivasi kemasyarakatan, yang punya kesadaran memperbaiki masyarakatnya tidak saja karena mereka produk pendidikan yang gagal di perguruan tinggi. Tetapi masalahnya dimulai dari salah urusnya sekolah. Manajemen pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas yang buruk menjadi fase pertama lahirnya para lulusan yang minim motivasi mau menjadi apa mereka di masa yang akan datang. Keadaan ini terbawa sampai para alumni sekolah menengah atas itu menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Saya kira mengenai hal ini terlalu panjang jika harus di bahas semuanya satu persatu. 

Masyarakat yang tercerai berai 

Akibat dari salah urusnya institusi pendidikan menghasikan produk pendidikan yang buruk dan rusak. Jika mereka menjadi pejabat yang ada dalam kepalanya hanyalah uang atau kekayaan, fasilitas, penghormatan, nama besar atau popularitas, dan status sosial yang tinggi. Begitulah mereka memandang jabatan. Orang seperti ini bawaannya arogan (merasa sudah sangat besar, sangat tinggi, sangat berkuasa), rakus, suka menindas dan memperbudak. Masih ditambah lagi kebijakannya memecah-belah, anti pikiran, dan tidak sungkan menyebarkan pembusukan yang masif terhadap orang-orang yang dianggapnya mengancam kewibawaan sebab sikap kritisnya atau sebab kualitasnya lebih baik. 

Jika jabatan-jabatan di birokrasi dipegang oleh orang-orang yang buruk dan rusak seperti itu maka penuh sesaklah birokrasi itu dengan praktik kotor, korupsi, penyuapan, manipulasi, perlombaan mempertinggi gaya hidup dan lain sebagainya. Pada sisi yang lain lagi, mereka produk pendidikan yang buruk dan rusak dalam pergaulan di tengah masyarakat perilakunya suka membuat kegaduhan, membusuk-busukkan orang lain, menggunjing, menyebarkan aib, memecah-belah dan lain sebagainya. Akhirnya di lingkungan masyarakat manapun dapat kita jumpai bahwa orang-orang yang buruk, rusak, bodoh, arogan dan bebal ini mendominasi dan jumlah mereka semakin bertambah banyak. Keberadaan mereka ini dimana saja hanya menjadi racun yang meracuni kehidupan, merusak pola pikir, menanamkan kebodohan pada banyak orang, menyebarkan kebencian dan menciptakan permusuhan. 

Ditambah lagi hampir tidak adanya sikap saling menghargai, kurangnya adab diantaranya suka menyela pembicaraan, meremehkan pendapat orang lain, menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dan lain sebagainya. Rendahnya kualitas intelektual sering kali berdampak terhadap kejatuhan akhlak. Inilah yang membuat bobroknya masyarakat kita dan sebagai jawaban mengapa sulitnya kita bersatu. Masalah yang disebutkan di bagian akhir ini hanya akumulasi. Adapun akarnya atau sumbernya adalah pendidikan, terletak pada pengelolaan pendidikan. Akhirnya keadaan yang buruk ini menjadikan kita terus-menerus terpecah sebab ramainya danbetapa mendominasinya orang-orang bodoh lulusan institusi pendidikan itu melakukan kerusakan-kerusakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Oleh: Syahdi (Pemerhati Hukum Tata Negara) Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh ...