Senin, 14 Oktober 2019

Kemerosotan Organisasi Pergerakan Masa Kini


Kemerosotan Organisasi Pergerakan 
Masa Kini

Oleh: Syahdi

Dibandingkan dengan organisasi pergerakan periode lama seperti Indische Partij, SDI (1905) atau SI pada 1912, Indische Vereneeging pada 1908 (terutama Indische Vereneeging pada 1913) atau Perhimpunan Indonesia pada 1925, HMI 1947 pasca kemerdekaan, kelompok pergerakan Persatuan Perjuangan Tan Malaka, organisasi pergerakan hari ini khususnya HMI kita akan melihat ada kemerosotan yang sangat besar. Kemerosotan itu pertama berasal dari tokoh-tokohnya sendiri. Kita lihatlah misalnya organisasi pergerakan periode lama, pertama kita perlu lepaskan dahulu Bung Tomo dari nama besarnya, lepaskan dahulu Tjokro Aminoto dari nama besarnya, demikian juga KH. Agus Salim, Bung Karno, Hatta, Syahrir, Moh. Natsir, Buya Hamka, Tan Malaka, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara lepaskan dahulu mereka dari nama besarnya. Keaktifan mereka dalam organisasi adalah efek dari kepekaan sosial yang sangat tinggi, mereka adalah tokoh pemikir-penulis. Bukan hanya sekedar mengandalkan semangat anti kolonialisme. 

Mereka punya segudang referensi, aksi massa dilakukan bersamaan dengan upaya pencerdasan, memberikan pemahaman kepada penduduk pribumi bahwa kolonialisme itu berbahaya dan harus dilawan. Jadi paralel, surat-surat kabar, majalah mereka kuasai, dipakai untuk menularkan semangat juang yang kaya khazanah keilmuan (bukan retorika kosong, tanpa/minim khazanah keilmuan) sebagai wadah untuk memberikan pemahaman kepada penduduk pribumi agar bangkit semangat berjuang bersama-sama melawan kolonial. Kita dengar pidato mereka, sangat bermutu karena apa yang diucapkan bersumber dari kekayaan literatur dan proses pembelajaran yang mendalam. Bukan retorika kosong hasil dari aktivitas belajar yang selalu momentum sifatnya dan temporer, hanya sekedar mengandalkan aksi massa semata-mata melakukan propaganda agar orang lantang mengkritik pemerintah. Organisasi pergerakan hari ini memang banyak bermasalah dalam pembentukan jiwa pergerakan. Orientasi perkaderan belum mengarah pada penguatan kadar intelektualitas.

Sebagian besar dari kader-kader organisasi itu hanya segerombolan anak-anak muda yang kita lihat semangatnnya saja yang tinggi, tapi apa yang melandasi semangatnya itupun tidak begitu jelas. Lebih jauh dari itu perlu dijawab sejujurnya apakah dapat kita mengatakan bahwa mahasiswa yang tak memiliki kepedulian kepada ilmu itu sebagai kaum intelektual??, kecerobohan selama ini kecendrungan menganggap mahasiswa adalah kaum intelektual perlu di pilah-pilah, tidak dapat digeneralisir. Maka tidak heran sering dijumpai banyak diantara kader itu dari sisi kualitas tidak ada bedanya dengan masyarakat awam, minim pengetahuan, bahkan mirisnya lagi sangat minim literatur. Apakah yang dapat diharap dari segerombolan anak-anak muda seperti itu. Soal kualitas yang demikian itu, memang benar bahwa ilmu itu tak hanya bersumber dari setumpuk buku-buku berhalaman tebal belaka, tetapi buku adalah salah satu sumber pengetahuan otentik.

Pengetahuan yang dipancarkan oleh gejolak sosial, pesan-pesan alamiah hanya dapat ditangkap jika si kader memiliki kepekaan lalu ia suka merenung-renung tentang hakikat apa yang ia lihat, ia dengar dan apa yang ia rasakan dari realitas alamiah itu. Tetapi sulit kita menemukan tipikal kader seperti itu, yang banyak adalah tipe-tipe yang sebetulnya tidak dibutuhkan. Diantara tipikal kader itu ada yang memerankan dirinya sebagai simpatisan, ada yang gemar hidup kotor, bila bercanda menyakiti bila diajak berdiskusi menjatuhkan dan melecehkan lawan bicara, sedikit sekali yang menghargai perbedaan pendapat. Ini masalah besar. Perilaku seperti itu tidak akan kita jumpai pada tokoh-tokoh pergerakan periode lama. Justru mereka adalah orang-orang cerdas, sebab ditopang oleh kepekaan sosial yang tinggi, kaya literatur, bahkan antar sesama mereka tidak merasa kecil untuk saling berguru dan sedia menerima nasehat maupun perbedaan pendapat dan bila dikritik dapat menjawab dengan penjelasan yang penuh argumentatif bukan berdasarkan emosional.

metode pembentukan jiwa pergerakan di tubuh organisasi menurut saya harus dilakukan secara aktif. Pengurus organisasi harus melakukan gebrakan untuk mengupayakan pengisian atau peningkatan kadar intelektualitas kader, jadi tidak seperti sekarang selesai di rekrut lalu disuruh belajar sendiri, dan baru dipanggil jika ingin demonstrasi. Sehingga kebanyakan kader itu mereka menjelma menjadi simpatisan yang memeriahkan acara dijalanan, gema orasinya tidak seimbang dengan pengetahuannya. Maka tidak heran bagi kader yang mengerti, tidak jarang apa yang diucapkan sang orator hanya retorika belaka, kosong tanpa makna bahkan ngawur. Ini jelas memalukan. Karena itu metode pembentukan jiwa pergerakan mesti dievaluasi agar tidak hanya mampu bergema di jalanan tapi juga kokoh di dalam.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...