Jumat, 26 Oktober 2018

Menakar Putusan Mahkamah Agung


Menakar Putusan Mahkamah Agung

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)


Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan oleh PKPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Sebabnya PKPU tersebut memuat ketentuan yang melarang atau mencabut hak politik mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual pada anak untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 

Selain itu, KPU berpendapat hal itu adalah bentuk terobosan hukum yang dilakukan oleh KPU. Tidak lama sejak PKPU itu berlaku, gelombang penolakan yang tidak terbendung dari mereka yang tidak dapat menerima PKPU tersebut akhirnya mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) meminta agar MA batalkan ketentuan PKPU yang mencabut hak politik mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.

Sebagai seorang yang mendalami Hukum Tata Negara, bagi saya persoalan semacam ini tidak asing dan sudah lumrah terjadi. Secara konseptual saya sependapat dengan argumentasi yang dikemukakan oleh MA bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh memuat norma yang bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. 

Ini adalah salah satu asas dalam ilmu hukum, khususnya dalam ilmu perundang-undangan yang dalam bahasa latin disebut "lex superior derogat legi inferiori, yang berarti peraturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan hukum yang lebih rendah, peraturan hukum lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Selain itu juga bermakna peraturan hukum lebih rendah tidak boleh memuat norma yang mengikat norma induk yang telah melahirkannya.

A. Tentang kedudukan Peraturan KPU dalam peraturan perundang-undangan

Bagaimanapun, sebagai negara hukum konsekuensi yuridis adalah bahwa pengakuan sebagai negara hukum harus senantiasa terwujud dalam pentaatan terhadap asas hukum dalam tiap-tiap pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Karena itu ada baiknya kita ketahui apa-apa sajakah bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita. Peraturan perundang-undangan itu beragam jenis dan banyak jumlahnya, sebab itu secara umum dibedakanlah kedalam kedudukan dan sifat norma yang melekat padanya. 

Dalam rangka tertib hukum, untuk menentukan manakah yang lebih tinggi kedudukannya, bagaimana kekuatan berlaku mengikatnya maka disusunlah hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan itu. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 UU  No. 12 Tahun 2011 Tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut hierarki peraturan perundang-undangan itu terdiri atas:
1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU/Perppu
4. PP
5. Perpres
6. Perda

Namun jumlah dan jenis peraturan perundang-undangan tidak terbatas hanya pada hierarki pada Pasal 7 itu saja. Hierarki tersebut adalah panduan umum dan mendasar mengenai kedudukan, kekuatan berlaku mengikat, sifat norma atau materi muatan yang harus menjadi acuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Sementara itu pada Pasal 8 mengakui ada lebih banyak jenis peraturan perundang-undangan, diantaranya mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, BPK, KY, MA, MK, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Sementara itu mengenai pengujian peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan  diatur dalam Pasal 9 UU No.12 Tahun 2011, UU 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, maupun dalam UU No. 40 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Tapi sebelum itu penting untuk diketahui dimanakah kedudukan Peraturan KPU (PKPU) diantara hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut diatas. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus tahu dimanakah kedudukan KPU dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. 

Dalam doktrin, kekuasaan dalam negara dipisah-pisahkan kedalam apa yang disebut Trias Politica. Trias, artinya tiga poros, tiga cabang. Politica, berarti kekuasaan. Trias politica adalah tiga poros besar atau cabang kekuasaan dalam negara, ketiga poros tersebut adalah kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Poros Legislatif diisi oleh MPR, DPR, dan DPD untuk tingkat pusat. Sedang untuk tingkat daerah diisi oleh DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Poros Eksekutif jauh lebih banyak dan kompleks meliputi Presiden dan Wakil Presiden, menteri dan pejabat ataupun institusi setingkat menteri seperti Kapolri, Panglima TNI, Ketua Kejaksaan Agung, Kepala BIN, Duta Besar, Komnas HAM, KPK, BPK, KPU. Ditingkat lebih rendah ada Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, Kepala Desa.

Dan terakhir di poros Yudikatif diisi oleh MA dan badan peradilan yang ada dibawahnya, dan MK. Selain itu masih ada lembaga yang dikategorikan sebagaj lembaga quasi yudikatif seperti lembaga Arbitrase, Komisi Informasi Publik (KIP), Komisi Penyelesaian Sengketa Konsumen (KPSK), termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan lain sebagainya.

Tentang kedudukan KPU, seperti yang saya kemukakan diatas bahwa KPU ada dalam ranah eksekutif sebagai lembaga setingkat menteri. Karena itu pula Peraturan KPU (PKPU) adalah peraturan perundang-undangan yang sejajar kedudukannya dengan peraturan menteri. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan keberadaan peraturan menteri itu secara implisit ada dibawah Perpres dan diatas Perda. 

Karena itu jika mengacu kepada  hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 maka tentu saja baik peraturan menteri maupun PKPU kedudukannya berada jauh dibawah undang-undang. Jika peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang bertentangan dengan undang-undang maka untuk pengujiannya menjadi wewenang Mahkamah Agung.

B. Tentang Putusan MA Batalkan ketentuan dalam PKPU

Mahkamah Agung (MA) membatalkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) PKPU No. 20 Tahun 2018 dan PKPU No.26 Tahun 2018 sebab dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017. Saya berpendapat putusan MA tersebut sudah tepat. Pengadilan berperan penting dalam menjaga tertib hukum agar hierarki peraturan perundang-undangan dipatuhi.

Beberapa alasan dapat saya kemukakan diantaranya yaitu Pertama, taat asas hukum. semangat KPU untuk mengupayakan munculnya wakil rakyat yang baik kiranya patut kita apresiasi. Tetapi KPU pun tidak boleh sembarang membuat peraturan yang potensial bahkan bertentangan dengan undang-undang. 

KPU harus taat asas hukum bahwa peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Prinsipnya hanya undang-undang yang dapat mengurangi, mencabut atau merampas hak warganegara termasuk dalam hal ini hak politik. Dalam negara demokrasi ini apa-apa harus ada persetujuan rakyat yaitu undang-undang. 

Apalagi dalam PKPU itu terkait norma yang dibatalkan MA sangat membahayakan keutuhan demokrasi sebab hak politik warga negata dalam hal ini mantan narapidana yang dimaksud dalam PKPU tidak mengenal pembatasan waktu. Artinya berlaku untuk selamanya atau berlaku seumur hidup. Ini jelas sangat mengkhawatirkan kehidupan demokrasi.

Kedua, KPU bukan hakim atau lembaga peradilan. KPU tidak boleh menghukum orang, sebab domain menghukum itu domainnya pengadilan. Jika suatu perkara pidana diperiksa dan diadili di pengadilan, maka hakim berdasarkan undang-undang dapat menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa perampasan hak seperti hak politik yang sifatnya temporer yaitu untuk selama waktu tertentu.

Ketiga, secara konseptual bertentangan dengan semangat anutan lembaga pemasyarakatan. Bahwa orientasi penganutan konsep lembaga pemasyarakatan adalah pada pembinaan. Selama menjalani masa pidana, narapidana di didik, dibina supaya insaf, sadar, tidak mengulangi berbuat jahat melanggar hukum. Dan selepas keluar dari lembaga pemasyarakatan, selesai menjalani masa pidana maka diharapkan dapat diterima kembali dan berbaur ditengah masyarakat menjadi warga negara yang baik berguna 
bagi masyarakat, bangsa dan negara. 

Secara hukum, orang yang telah selesai menjalani masa pidana maka dia sudah dipandang bersih. Hanya memang harus diakui bahwa persoalannya sekarang adalah ternyata apa yang ideal menurut hukum tidak selalu sejalan dengan apa yang dipandang patut di masyarakat. Hal itu biasa dalam pembentukan kaidah hukum, wajar muncul banyak kompleksitas yang sulit terakomodir dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...