Jumat, 26 Oktober 2018

Menakar Konsep Penjara dan Konsep Lembaga Pemasyarakatan


Menakar Konsep Penjara dan 
Konsep Lembaga Pemasyarakatan

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Masyarakat kita orang awam hari ini tidak paham betul bedanya konsep penjara dan konsep lembaga pemasyarakatan. Kalau konsep penjara itu narapidana itu di sel/dipenjara disiksa, digebukin, supaya takut tidak berani lagi melakukan kejahatan. Jadi fungsi penegakan hukum pidana selain sebagai pembalasan mutlak juga untuk mengintimidasi dan mencegah baik narapidana termasuk siapapun yang belum pernah dipidana untuk tidak melakukan kejahatan. Bahkan tidak jarang narapidana mati selama menjalani masa pidana di penjara, cacat fisik dan mental yang berat. Ada juga yang keluar dari penjara dikembalikan kepada keluarganya hanya tinggal nama. 

Konsep penjara ini penekanannya adalah pada penjeraan, efek jera atau pembalasan dendam oleh negara yang ditimpakan kepada seseorang atas kesalahannya melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan. Sedang model penegakan hukum acara pidananya dilakukan dengan pendekatan inquisitoir, yaitu tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai objek pemeriksaan yang dapat diperas dan dipaksa untuk dimintai keterangan. Sementara kedudukan Negara dalam hal ini penyidik  superior. Tak jarang selama dalam pemeriksaan oleh polisi maupun jaksa, tersangka/terdakwa seakan sudah diperlakukan sebagai seorang yang telah bersalah dan diperlakukan semena-mena. Hukum acara pidana yang berlaku pada waktu itu "Het Inlands Reglement (HIR)" mengandung banyak ketentuan yang bersifat sumir dan multitafsir. 

Singkatnya HIR memfasilitasi perlakuan semena-mena oleh aparat penyidik kepada tersangka/terdakwa dalam proses pemeriksaan. Bahkan dalam praktik orang yang tidak bersalah dipaksa mengakui suatu kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Konsep ini dianggap sangat buruk dari segi HAM dan sangat tidak beradab. Konsep ini kita anut sejak masa kolonial Belanda dulu sampai akhirnya Indonesia merdeka dan terus dipertahankan sampai tahun 1995. Seiiring berkembangnya pemikiran tentang HAM  dan pembaharuan hukum diikuti pula kritik dan kecaman dari pemerhati HAM dunia maka konsep penjara yang dianggap melanggar HAM, kolot, kuno, terbelakang sementara zaman terus berkembang maka tidak boleh lagi diterapkan, karena itu di Indonesia sejak disahkannya UU No. 12 Tahun 1995 tentang lembaga pemasyarakatan, konsep dan sistem penjara secara resmi ditinggalkan. 

Sebenarnya konsep lembaga pemasyarakatan sudah mulai diterapkan pada 1963 dimasa menteri kehakimannya Dr. Saharjo pada waktu itu, tapi resminya baru 1995. Pemahaman yang dibangun dalam konsep lembaga pemasyarakatan ini adalah bahwa yang dipidana (dijatuhi hukuman) itu warga negara kita juga, bukan orang yang kita jajah tidak seperti konsep penjara yang sarat nuansa kolonial. Karena itu tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai subjek hukum dan kepadanya diberikan sejumlah hak-hak serta kedudukannya dalam peradilan pidana setara dengan penyidik maupun penuntut umum. Konsep lembaga pemasyarakatan ini penekanannya adalah pada pembinaan narapidana. 

Pembalasan dendam itu berakhir dengan jatuhnya vonnis (putusan pengadilan), dan ketika narapidana itu ditempatkan di lembaga pemasyarakatan dia diperlakukan sama dengan semua narapidana tindak pidana apapun tidak boleh di diskriminasi. Selama menjalani masa pidana (hukuman) di lembaga pemasyarakatan narapidana itu di didik, dibina, supaya insyaf, sadar tidak melakukan lagi tindak pidana, termotivasi menjadi orang baik. Dan selepas keluarnya dari lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat berbaur kembali, diterima di lingkungan masyarakat, menjadi warga negara yang baik, berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. 

Untuk memotivasi narapidana itu menjadi baik maka negara kemudian menawarkan remisi (pengurangan masa menjalani hukuman). Remisi itu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada semua narapidana. Maka dalam undang-undang dikenal ada remisi umum, remisi khusus, ada lagi asimilasi, bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas. Karena itu pulalah hukuman seumur hidup itu termasuk hukuman mati pada prinsipnya bertentangan dengan konsep lembaga pemasyarakatan. Sebab konsep lembaga pemasyarakatan itu mendidik orang supaya jadi orang baik, keluar dari lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat berbaur, diterima kembali di lingkungan masyarakat, menjadi warga negara yang baik, berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Kalau orang itu dipidana seumur hidup atau pidana mati kapan mau dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan, menjadi warga negara yang baik, berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara??. 

Sebab itu pidana seumur hidup dan pidana mati itu dianggap menghilangkan/menggugurkan hak-hak narapidana. Kendatipun pidana seumur hidup dan pidana mati masih tetap dipertahankan dalam KUHP. Saya berpendapat khusus untuk eksistensi pidana mati mesti terus dipertahankan untuk mengantisipasi terjadinya exstra ordinary crime juga karena menurut penilaian sosiologis masyarakat kita bahwa nyawa memang sudah sepatutnya dibalas dengan nyawa. Betapapun konsep penjara itu dianggap sedemikian buruknya sehingga konsep lembaga pemasyarakatan dianggap ideal, humanis dan berkeadilan, sebuah konsep yang dipandang memanusiakan manusia sebagaimana menjadi akar pemikiran dalam hukum progresif oleh Prof. Stjipto Rahardjo, menjunjung tinggi prinsip human right dignity (penghormatan terhadap harkat martabat kemanusiaan). Sungguhpun demikian, kedua konsep ini tetap memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. 

Kebaikan yang terkandung dalam konsep penjara yaitu adanya semacam ketundukan mental dan kontrol emosional untuk melakukan kejahatan. Orang menjadi berpikir panjang untuk melakukan kejahatan. Sebab sudah dapat dibayangkan dampaknya, akan diperlakukan sangat buruk selama dalam pemeriksaan maupun ketika ditempatkan selama menjalani masa pidana. Berbanding terbalik dengan sistem pemasyarakatan/lembaga pemasyarakatan. Sebab dalam anutan konsep lembaga pemasyarakatan sangat potensial hilangnya rasa takut orang untuk melakukan kejahatan (tindak pidana). Bahkan dengan konsep seperti ini dapat mendorong orang melakukan tindak pidana. Belum di pidana saja orang-orang dapat membayangkan selama menjalani pidana akan diperlakukan dengan sangat baik, akan di didik, diberi pelatihan, ditambah adanya berbagai remisi sebagai hak yang akan diterima. Walaupun dalam praktiknya cukup sering kita mendengar mereka yang dipenjara itu diperlakukan dengan kasar, diberi makanan seadanya, remisi sulit di dapat. Ini persoalan lain yakni ketimpangan antara normatif dan praktik.

Meski demikian tidak jarang pula kita menyaksikan pemberitaan di media narapidana kelas pejabat atau elit mendapat fasilitas yang berbeda bahkan mewah sudah seperti di rumah pribadi. Selain itu kelemahan konsep lembaga pemasyarakatan dalam tataran teknis operasional di lapangan juga akhirnya terlalu membebani APBN untuk membangun Lapas akibat over kapasitas, termasuk membiayai makanan narapidana dan biaya-biaya untuk pelatihan atau pembinaan kepada narapidana. Lalu bagaimana kita menyikapi persoalan ini, sistem sudah tercipta seperti ini. Mau kembali ke konsep penjara warisan pemerintah kolonial sudah terlanjur di cap buruk dan sangat tidak berprikemanusiaan. Sedang konsep lembaga pemasyarakatan justru potensial menyebabkan hilangnya rasa takut orang untuk melakukan kejahatan bahkan mendorong orang melakukan kejahatan.

Sekarang ini keadaannya menjadi sangat dilematis, sering kita lihat pemberitaan di media manakala ada pejabat ataupun elit politik menjadi tersangka korupsi ataupun suap komentar masyarakat kita menghendaki harus dijatuhi hukuman yang berat. Demikian juga terhadap kasus pembunuhan dan pemerkosaan masyarakat kita inginnya dijatuhi hukuman berat bahkan hukuman mati. Ini sesungguhnya membuktikan bahwa masyarakat kita menghendaki penegakan hukum yang keras dan tegas asalkan berkeadilan, tidak pilih-pilih, pejabat, elit ataupun orang biasa yang melanggar hukum harus ditindak tegas. Tapi kondisi ini oleh pemikir hukum dengan pemikiran pembaharuan hukum malah dikatakan masyarakat kita sebagai orang dengan tipikal pendendam. Sementara itu implementasi konsep dan sistem pemasyarakatan sekalipun ia di agung-agaungkan, justru dipandang tidak memuaskan, bukannya menghukum tapi malah memanjakan narapidana. 
 
Mengenai hal ini persoalan sebenarnya adalah bagaimana kita menterjemahkan HAM itu sendiri. Jika mengacu kepada hukum acara pidana Islam, sepengetahuan saya tidak dikenal pembinaan kepada narapidana. Hakim menjatuhkan pidana sebagai pembalasan kepada terpidana atas kejahatan yang dilakukannya di dasarkan kepada pertimbangan nilai-nilai keadilan dan kepatutan atau moral. Sementara pembalasan itu dalam hal tertentu juga ada pengecualiannya, seperti diterangkan dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 178 bahwa "diwajibkan bagi kamu orang-orang yang beriman melaksanakan qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan....."

Pembalasan yang tidak bersifat mutlak itu dapat kita baca dalam Al-Qur'an pada surah dan ayat yang sama yaitu "mana kala barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah ia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (tebusan/denda) kepadanya dengan baik pula. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu (yaitu setelah diminta melaksanakan dengan baik dan membayar diat), maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih". Karakter pembalasan dalam anutan konsep penjara selalu orientasinya adalah penderitaan fisik dan mental narapidana. Sedang pembalasan yang dikenal dalam konsep lembaga pemasyarakatan dianggap telah ditimpakan oleh negara ditandai dengan dijatuhkannya vonnis (putusan pengadilan).

Sementara itu dalam kaidah hukum acara pidana Islam juga dikenal pembalasan yang ditimpakan kepada narapidana, tetapi dalam hal tertentu seperti qisas bahkan keharusan untuk dipidana (dijatuhkan hukuman) dan menjalani pidana dapat menjadi gugur dengan dibayarkannya diat. Memang tidak diakui adanya pembalasan yang bersifat mutlak dalam hukum acara pidana Islam seperti diterangkan dimuka, hanya saja tidak dikenal model pembinaan negara kepada narapidana. Bahkan dalam berbagai hadist kita ketahui bahwa dikenal jenis pidana rajam, atau cambuk bagi para pezina dan peminum khamar (minuman memabukkan). Jadi tidak semua melaksanakan larangan dalam agama dapat ditebus dengan maaf yang disertai diat.

Interpretasi HAM dalam jinayah (hukum pidana Islam) jelas sangat berbeda dengan konsep HAM yang dipahami di negara-negara barat. Bahkan konsep HAM  barat dalam banyak hal bersifat sangat bebas (liberal) tidak jelas sampai batas mana penerimaan terhadap hak dan kebebasan itu. Meski interpretasi kita terhadap HAM dalam panggung akademik masih dapat terus diperdebatkan dalam rangka pembaharuan atau re-interpretasi yang lebih cocok untuk konteks Indonesia kedepan, kenyataan harus kita terima sampai hari ini bahwa konsep pemasyarakatanlah yang dianggap ideal untuk dilaksanakan terlepas dari segala kekurangannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...