Jumat, 26 Oktober 2018

Tuntutan Unifikasi Hukum Ditengah Pluralisme Hukum


Tuntutan Unifikasi Hukum 
Ditengah Pluralisme Hukum

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Salah satu ciri Negara hukum ditandai dengan kesatuan hukum nasional (unifikasi) yang berlaku umum untuk semua warga negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. 

Unifikasi itu terutama diperlukan dalam bidang hukum publik seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi untuk memudahkan dalam pelaksanaan, penegakan maupun dalam penerapan hukum ketika kaidah hukum dilanggar/disimpangi secara onrechtmatigh oleh warga negara atau onrechtmatigh overheidsdaad oleh penguasa.

Seperti telah disinggung dimuka, unifikasi hukum terutama hanya dibutuhkan untuk pengaturan di wilayah publik. Adapun untuk di wilayah privat tidak ada keharusan untuk unifikasi hukum. Dalam hal tertentu tentu  unifikasi dapat saja diterapkan untuk urusan-urusan keperdataan, tetapi prinsipnya domain keperdataan itu adalah dianutnya pluralisme hukum (ajaran tentang kemajemukan hukum). 

Pluralisme hukum itu dalam praktik menjadi kemestian digantungkan kepada sosio-kultural masyarakat setempat. Karena itu pluralisme hukum dipengaruhi oleh adat istiadat, kebiasaan yang berkembang dan eksis terus di tengah masyarakat, kesopanan dan kesusilaan, agama, hubungan primordial seperti kekeluargaan masyarakatnya. 

Sehingga hukum yang dianut untuk suatu lingkungan masyarakat di suatu daerah akan berbeda dengan hukum yang berlaku di daerah lainnya. Karena itulah dikatakan kemajemukan hukum atau hukum yang majemuk. Tetapi hal itu terbatas hanya diurusan-urusan non publik.

Hanya persoalannya akhir-akhir ini adalah tuntutan terhadap unifikasi hukum dirasakan mulai mendesak untuk tidak dianutnya pluralisme hukum. Malahan secara berlebihan justru dikait-kaitkan dengan identitas nasional bangsa kita seperti merebaknya label-label anti kebhinekaan, bertentangan dengan Pancasila anti NKRI, ekstrem, radikal dan segala sesuatu yang tidak ada relevansinya  sama sekali yang dipasungkan kepada umat Islam. 

Misalnya, ada daerah yang menginginkan agar perda di daerah mereka megadopsi hukum-hukum Islam untuk diberlakukan kepada umat Islam setempat, seperti perihal zakat, pendidikan agama dalam sekolah-sekolah umum, institusi pendidikan keagamaan, adab berpakaian muslim bagi umat Islam termasuk bagi pekerja muslim terutama bagi wanita-wanita muslim, adab perayaan hari keagamaan untuk umat bergama, lalu dituduhlah perda itu adalah konkretisasi kebijakan anti kebhinekaan, anti Pancasila dan sebagainya dan sebagainya.

Jika kita menelaah agak jauh kebelakang, sejarah klasikasi hukum kedalam hukum publik dan hukum privat dikenal dalam tradisi hukum Romawi. Ketika Romawi menjajah Prancis maka pemerintahan kekaisaran Romawi memberlakukan klasifikasi hukum itu kepada Prancis. 

Ketika pemerintahan monarki Prancis menjajah Belanda, Prancis memberlakukan klasifikasi hukum  kepada daerah jajahannya itu. Dan ketika Belanda menjajah Nusantara atau Hindia maka kalsifikasi hukum itu diberlakukan sampai akhirnya Nusantara atau Hindia merdeka menjadi Indonesia kalsifikasi hukum itu tetap dipertahankan dan berlaku sampai hari ini. 

Dalam kehidupan masyarakat kita jauh sebelum NKRI ini terbentuk, telah ada, hidup dan terpelihara terus berbagai hukum adat yang tidak mengenal adanya klasifikasi hukum yang membeda-bedakan mana urusan publik dan mana yang masuk kedalam ranah perorangan (perdata). 

Demikian juga dalam hukum Islam (Syari'at Islam) juga tidak dikenal klasifikasi hukum secara kategoris dan kaku seperti itu. Sebab dalam Islam, apa yang menjadi urusan perorangan menentukan bagi kelangsungan kehidupan orang banyak. Demikian juga apa yang boleh jadi adalah urusan umum adalah juga berangkat, atau berasal dari urusan-urusan di wilayah perorangan. Hubungan yang terbangun antar keduanya adalah interdeterminan (saling menentukan, saling mempengaruhi).

Seperti Sholat, Puasa, Zakat, Haji menurut kewajiban secara syari'ah dilakukan perorangan. Tetapi tidak berarti menjadi urusan perorangan belaka. Karena melaksanakan atau tidak melaksanakan kewajiban itu berdampak langsung kepada persatuan dan kesatuan umat Islam (ukhuwah Islamiyah) dan  eksistensi Islam sendiri di muka bumi. 

Seorang muslim tidak melaksanakan ibadah yang telah diwajibkan kepadanya oleh syari'ah dalam waktu yang lama terus berkelanjutan sehingga menjadikan dia jauh dari agama seperti sholat, maka dia akan sangat mudah goyah dan terjerumus melakukan larangan-larangan tanpa kontrol iman atau agama sama sekali dalam hatinya, seperti tidak sungkan menganiaya orang, mabuk-mabukan mengganggu ketentraman, kenyaman dan stabilitas masyarakat, mencuri, memperkosa, membunuh atau mencelakakan orang. 

Semua efek itu masuk kedalam domain publik. Karena itu sekalipun kewajiban melaksanakan sholat adalah urusan perorangan tetapi menentukan kemaslahatan orang banyak (publik). Apalagi dalam Al-Qur'an itu dikatakan "innassholata tanha 'anil fahsya wal munkar" yang artinya sholat (yang khusu', terus menerus) mencegah diri dari melakukan perbuatan keji dan munkar, yaitu perbuatan yang mendatangkan murka allah. 

Sehingga semakin mengukuhkan bahwa ibadah sholat itu bukanlah benar-benar urusan perseorangan. Ada dimensi publik, ada kemaslahatan publik yang harus dilindungi. Karena itu dengan sendirinya penganutan unifikasi hukum secara ketat kedalam urusan keperdataan menjadi tidak relevan dipertahankan.

Dalam hal perkawinan misalnya, tidak mungkin keabsahan perkawinan umat Islam harus diseragamkan, disamaratakan dalam suatu unifikasi hukum dengan umat bergama lainnya, termasuk juga soal talak/perceraian, harta gono gini, pembagian harta warisan, rujuk (menikah kembali dengan mantan Isteri/suami selama belum melampaui ketentuan masa iddah 3 (tiga) bulan. 

Belum lagi soal-soal Haji, Zakat, Wakaf, Hibah, Wasiat semua itu bagi umat Islam harus tunduk kepada syari'at Islam (Al-Qur'an dan Hadist yang dilengkapi dengan pemahaman para ulama). Karena itu tidak perlu dipersoalkan kehadiran Pengadilan Agama yang khusus diperuntukkan buat umat Islam, Lembaga Zakat, Kementerian Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI, acuan bagi Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara keagamaan umat Islam). Negara hadir hanya memfasilitasi agar pelaksanaan aktivitas atau peribadatan umat Islam menjadi lebih tertib dan teratur.

Untuk hal-hal semacam itu tidak mungkin harus diterima unifikasi hukum buat diberlakukan kepada semua orang secara nasional. Itu akan ditolak oleh umat Islam. Justru di bidang privat karena kita majemuk maka kita harus menganut kemajemukan hukum itu. 

Syari'ah Islam itu bukanlah berkaitan dengan dasar negara, tetapi syari'ah Islam itu sendiri adalah sumber hukum bagi pembentukan hukum positif negara. Karena itu dapat kapanpun ditransformasikan kedalam hukum positif negara seperti undang-undang maupun perda untuk mengatur kehidupan umat Islam yang menghendaki pluralisme hukum. 

Tidak perlu kemudian dikembangkan kekhawatiran berlebihan umat Islam anti Pancasila, anti NKRI, akan begini akan begitu dan sebagainya-dan sebagainya. Tidak sama sekali. Justru Pancasila itu memfasilitasi umat beragama untuk bebas menganut, mengembangkan dan mengimplementasikan ajaran agamanya kedalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bahkan tegas saya katakan bahwa menolak pluralisme hukum sama dengan menolak kebhinekaan, karena itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Jadi, salah memahami konsep kebhinekaan akan berdampak serius dan fatal terhadap pemahaman hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Nyatanya dalam tahun-tahun terakhir ini rezim yang berkuasa terlalu memaksakan bahwa harus unifikasi hukum untuk semua hal. Perda-perda bernuansa keagamaan dalam hal ini Islam atau perda syari'ah ditolak, ditentang, diawasi dengan sangat ketat. 

Pengawasan itu dilakukan melalui evaluasi ketika masih berupa Ranperda untuk dapat disahkan menjadi perda oleh Gubernur, Mendagri ataupun Presiden. Padahal bangsa kita yang majemuk menuntut untuk dianutnya pluralisme hukum. Karena itu rezim yang berkuasa sesungguhnya adalah pihak anti kebhinekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...