Senin, 07 Januari 2019

Perihal Keterangan Ahli Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu


Perihal Keterangan Ahli Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

Oleh: Syahdi

Beragam dinamika dalam masa kampanye pemilihan umum khususnya penanganan suatu perkara yang sudah mulai mengarah pada upaya pro yusticia semakin menarik untuk dibicarakan. Semakin banyak muncul "masalah" semakin banyak pula yang dapat dituangkan dalam tulisan. Penulis itu pemikir, sebab menulis itu aktifitas berfikir, menganalisa, menghindari penyembahan/ketundukan kepada arogansi dan pemikiran picik baik yang dimunculkan oleh peraturan ataupun yang disemburkan melalui kebijakan. Tulisan ini bermaksud sebagai respon semangat intelektualitas seorang intelektual terhadap proses penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu yang sedang ditangani oleh sentra penegakan hukum terpadu atau Gakkumdu Kabupaten Kampar. Tulisan ini merujuk kepada proses beracara pidana menurut KUHAP, sebab memang hukum formil yang digunakan oleh Gakkumdu adalah KUHAP.

Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu pada Bagian Ketujuh tentang Penuntutan Pasal 28 masih terdapat kekurangan. Mestinya ditambahkan satu ayat lagi yaitu ayat (6) yang berisi penegasan bahwa proses pemeriksaan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu di Pengadilan Negeri dilakukan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ahli itu menurut disiplin bidang keilmuan sangat banyak seperti ahli di bidang Hukum Pidana, ahli di bidang Hukum Tata Negara, ahli di bidang bahan-bahan Kimia tertentu, ahli bedah, ahli organ dalam tubuh seperti ahli jantung, ahli paru-paru dan lain sebagainya. Demikian juga dengan apa yang diatur di dalam KUHAP.

Dalam KUHAP pengaturan tentang keterangan ahli terlalu ringkas dan sangat sumir, sehingga tidak ada acuan yang jelas dan konkret tentang kriteria atau kualifikasi ahli. Ahli memberikan keterangan berdasarkan keahliannya dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Sementara bidang ilmu atau disiplin ilmu itu ada banyak jumlahnya dan bercabang-cabang. Dalam hukum saja misalnya, hukum itu dibedakan lagi kedalam Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, Hukum Bisnis, Hukum Internasional. Demikian juga dalam flsafat, dikenal ada pula Filsafat Ilmu, Filsafat Ketuhanan, Filsafat Umum dan lain sebagainya. Apalagi di bidang fisika dan kimia tentu lebih banyak lagi pembidangan-pembidangan. Karena itu dalam konteks peradilan pidana seorang ahli hanya akan diminta keterangannya baik dalam pemeriksaan penyidikan maupun pemeriksaan persidangan berdasarkan bidang keilmuannya terkait dengan tindak pidana yang sedang terjadi.

I. Kriteria Seorang Ahli

Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya mengatur bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang  yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

KUHAP tidak mengatur kriteria konkret seseorang yang dapat ditunjuk atau dimintai keterangan sebagai ahli baik untuk hal yang diperlukan dalam pemeriksaan penyidikan maupun dalam pemeriksaan persidangan. Oleh karena KUHAP tidak mengaturnya, maka dalam praktik tumbuh kebiasaan dalam penegakan hukum bahwa mengenai hal itu diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berperkara untuk menghadirkan seseorang sebagai ahli guna diminta keterangannya. Kendatipun demikian, dalam pemeriksaan persidangan hakim berperan penting memberikan penilaian bahwa seseorang layak atau tidaknya di dengar keterangannya sebagai ahli. Peran ahli melalui keterangannya sangat penting bagi hakim, bahkan keterangan ahli dapat berpengaruh terhadap putusan yang akan diambil. Walaupun dalam hukum pembuktian keterangan ahli sebagai alat bukti bernilai sebagai alat bukti bebas, artinya hakim tidak terikat kepada keterangan ahli.

II. Nilai Pembuktian Keterangan Ahli

Suatu keterangan dapat bernilai sebagai keterangan ahli jika keterangan yang disampaikan itu murni berdasarkan bidang keilmuan yang ditekuninya, di dukung oleh dalil-dalil ilmiah dan kerangka teoritis yang jelas dan relevan dengan perkara yang sedang diperiksa. Selain itu keterangan yang diberikan itu harus lepas dari unsur subjektifitas atau partial (memihak) secara subjektif kepada salah satu pihak yang berperkara. Keterangan yang diberikan diluar pemeriksaan persidangan tidak bernilai sebagai keterangan ahli. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 186 KUHAP yaitu, "keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan". Tetapi jika ahli tidak dapat hadir dalam persidangan maka pendapat atau keterangan ahli dapat dituangkan dalam bentuk tertulis. Secara yuridis keterangan seperti ini disebut Visum et Repertum. Hanya harus dipahami bahwa keterangan yang diberikan secara tertulis nilai keterangannya lemah tidak seperti ketika ahli datang dan di dengar keterangannya secara langsung di persidangan. Mengapa lemah sebab dapat berdampak pada keyakinan hakim. 

Seorang ahli dengan kehadirannya di muka hakim, hakim menjadi lebih yakin bahwa keterangan itu memang murni diberikan oleh ahli berdasarkan bidang keilmuannya serta hakim dapat leluasa berinteraksi langsung dengan ahli jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan lebih komprehensif supaya perkara yang sedang diperiksa menjadi terang adanya. Keyakinan hakim sangat penting dalam menentukan ke arah mana suatu perkara yang sedang diperiksa itu akan diputuskan. Bahkan Pasal 183 KUHAP menegaskan, "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dengan demikian, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan yaitu:

1. Minimal pembuktian yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Keabsahan suatu alat bukti akan ditentukan dalam pemeriksaan persidangan pengadilan. Jika alat bukti berupa keterangan ahli maka sebelum ahli diminta keterangannya maka hakim akan menanyakan identitas, latar belakang pendidikannya serta bidang ilmu yang ditekuninya untuk memastikan bahwa seseorang benar-benar qualified untuk di dengar keteranganya sebagai ahli. Adapun mengenai alat bukti seperti mana termaktub dalam Pasal 184 KUHAP yaitu: 
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

2. Keyakinan hakim

Karena itulah mengapa keyakinan hakim itu sangat penting dan menentukan putusan yang akan diambil. Kayakinan hakim tidak hanya diperoleh atau muncul dalam diri hakim berdasarkan hasil mendengarkan keterangan ahli, tapi juga dari hasil pemeriksaan alat bukti lainnya seperti diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

3. Kesalahan Terdakwa

Untuk menentukan seorang terdakwa bersalah atau tidaknya tergantung kepada hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan, dan hakimlah yang menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Jika pelakunya subjek hukum natural person/naturlikj persoon yaitu manusia maka selalu mengacu kepada asas geen straf zonder schuld yang artinya tiada pidana (hukuman) tanpa kesalahan untuk menentukan mensrea dari suatu reus actus yang dilakukan terdakwa. Dan kesalahan itu ada yang berupa dolus (kesengajaan) dan ada yang berupa culpa atau kelalaian/kecerobohan. Dolus dan culpa juga sangat menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim kepada terdakwa.

Tapi jika terdakwa adalah recht person yaitu subjek hukum bukan manusia seperti korporasi atau badan hukum maka untuk menentukan kesalahan atau mensrea berkembang beberapa teori yaitu:
1. strict liability;
2. vicarious liability;
3. identifikasi;
4. agregasi;
5. Gabungan.

Strict liability/pertanggung jawaban langsung dan vicarious liability/pertanggung jawaban pengganti adalah bentuk penyimpangan terhadap asas geen straft zonder schuld, menganggap korporasi tidak mempunyai kesalahan. Mengenai syarat penjatuhan putusan pemidanaan ini, undang-undang kekuasaan kehakiman merumuskan dengan redaksi yang berbeda dari apa yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dan ada syarat lain yang harus diperhatikan oleh hakim.  Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, "Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya".

Poin yang ditambahkan sebagai syarat adalah.. " seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab...". Ini penting bahwa tidak semua orang dapat dipidana meskipun syarat minimal pembuktian telah terpenuhi dan hakim telah memperoleh keyakinan bahwa terdakwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan pembuktian persidangan telah bersalah melakuan perbuatan pidana yang didakwakan atas dirinya. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa klasifikasi orang yang dikecualikan dari menanggung beban pertanggungjawaban pidana, yaitu orang yang terganggu jiwanya, ingatannya atau lazim disebut gila dan semacamnya, anak-anak, orang tua renta yang sudah pikun. Mereka dianggap tidak cakap dan tidak mungkin dapat bertanggung jawab atau diminta pertanggung jawaban pidana atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. 

III. Kualifikasi Ahli

Mengingat KUHAP tidak mengatur secara konkret tentang orang yang dapat diminta keterangan sebagai ahli, maka dalam praktek telah berkembang suatu kebiasaan yang tumbuh dan terpelihara dalam praktek peradilan. Kebiasaan yang demikian itu dalam ilmu hukum berlaku sebagai sumber hukum, ia tidak ubahnya seperti undang-undang. Bahwa dalam perspektif ilmu hukum, sumber hukum itu tidak hanya undang-undang atau peraturan perundang-undangan, tetapi juga dikenal yurisprudensi, traktat, doktrin dan konvensi atau kebiasaan. Menurut kebiasaan yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik peradilan bahwa kualifikasi ahli itu diantaranya meliputi:

1. Sekurang-kurangnya bergelar Magister dalam bidang yang ditekuninya dengan strata pendidikan linear. Misalnya S1 nya Hukum Pidana, maka S2 nya pun juga mengambil bidang Hukum Pidana.

2. Telah pernah diminta keterangannya sebagai ahli dalam strata pendidikan sekurang-kurangnya bergelar Magister atau dianggap cakap dan kualitas keilmuannya diakui.

3. Berpengalaman mengajar atau berprofesi sebagai dosen selama beberapa tahun minimal 2 sampai 5 tahun mengajar bidang ilmu yang ditekuni.

4. Tidak memiliki kepentingan atau lepas dari kepentingan para pihak, termasuk tidak berafiliasi dalam suatu hubungan kerja dengan para pihak serta tidak memiliki pertalian darah dengan para pihak. Hal itu penting untuk menjamin bahwa keterangan yang diberikan ahli memang murni berdasarkan keahliannya pada disiplin ilmu yang ditekuninya.

Terkait dengan penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu oleh Gakkumdu Kabupaten Kampar, saya memperhatikan dengan seksama dan hati-hati bagaimana proses atau tata cara yang ditempuh oleh Gakkumdu. Ada beberapa catatan saya yang perlu dikemukakan sebagai respon intelektual dan sumbangsih pemikiran, yaitu hasil kajian Gakkumdu yang buntu tidak tercapai kesepakatan sebab adanya persepsi-persepsi yang berbeda antara unsur Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam Gakkumdu tentang dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu. Akibat belum ada kesatuan pemahaman itu maka Bawaslu sebagai unsur yang tergabung dalam Gakkumdu menawarkan usul untuk melakukan koordinasi konsultasi atau kunjungan kepada Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran (Kordiv PP) Bawaslu Provinsi Riau. Dan usul itu diterima secara aklamasi tanpa ada usul lainnya. Selanjutnya, unsur Bawaslu yang tergabung dalam Gakkumdu mengusulkan untuk menjumpai pihak Komisi Pemilihan Umum Provinsi Riau guna diminta keterangannya sebagai ahli untuk menjelaskan soal ada atau tidak adanya pelanggaran tindak pidana pemilu.

Cara-cara seperti ini menurut saya tidak bijak, keduanya terkesan memaksakan dan personil Gakkumdu seakan tidak memahami proses beracara di pengadilan. Saya melihat Gakkumdu belum begitu memahami tentang hakikat keberadaan dirinya sendiri. Harus dipahami bahwa Gakkumdu itu tidak hanya dari unsur Bawaslu, tapi juga terdiri dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan. Karena itu tidak relevan upaya pro justicia untuk di konsultasikan dengan Kordiv PP Bawaslu Provinsi Riau. Sah-sah saja jika cara itu dilakukan tetapi hendaknya tidak atas nama Gakkumdu, tetapi atas nama Bawaslu Kabupaten Kampar. Sebab konsultasi, kunjungan atau apapunlah namanya, itu sepihak Bawaslu. Dan hasil konsultasi itu hanya akan melahirkan pendapat sepihak Bawaslu, bukan pendapat Gakkumdu. Akan lebih baik andai konsultasi ke Kordiv PP Bawaslu Provinsi Riau tetap juga ingin dilakukan tetapi konsultasi itu mesti dilakukan juga ke institusi Kepolisian dan Kejaksaan. Itu baru proporsional (berimbang), dan konsultasi itu akan menghasilkan pendapat konkret Gakkumdu, bukan pendapat sepihak Bawaslu. Jika hanya pendapat sepihak Bawaslu maka kualitas hasil kunjungan atau konsultasi itu nyata bersifat subjektif belaka.

Yang kedua, terkait dengan keterangan ahli, orang yang diminta keterangannya atau pendapatnya sebagai ahli tidak boleh berafiliasi dengan penyelenggara pemilu. Kita sama-sama pahamlah saya fikir bahwa Bawaslu ingin agar ada kasus pelanggaran tindak pidana pemilu bisa sampai ke pengadilan, lalu kita disorot Bawaslu Provinsi dan kalau bisa inginnya dijadikan percontohan oleh Bawaslu kabupaten lainnya di Riau. Saya fikir semangat seperti ini perlu kita kobarkan bersama dan nantinya tentu kita mengharapkan akan ada apresiasi dari Bawaslu Provinsi Riau. Tetapi Bawaslu mesti memikirkan jauh kedepan, yaitu andai perkara ini sampai ke pengadilan lalu mentah dengan putusan bebas (vrijspraak), Bawaslu hanya akan merasakan lelahnya saja menangani perkara ini sampai sejauh itu. Kita tahu bahwa vrijspraak tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, dan berlakulah asas nebis in idem bahwa orang yang sama tidak dapat diadili dalam perkara yang sama untuk kedua kalinya. Vrijspraak terjadi karena dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti atau tidak cukup terbukti.

Hal itu dapat disebabkan bahwa alat bukti tidak qualified, tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah sehingga minimal pembuktian tidak terpenuhi. Seperti keterangan ahli, belum hakim mendengar keterangan ahli, ahli akan ditanya terlebih dahulu oleh hakim tentang latar belakang pendidikan, maupun profesinya untuk menentukan layak tidaknya ia menjadi ahli. Jika ahli yang dihadirkan tidak qualified misalnya berafiliasi dengan penyelenggara pemilu apalagi sebagai penyelenggara pemilu seperti pejabat struktural dalam kepengurusan Komisi Pemilihan Umum maka jelas orang yang seperti itu tidak layak di dengar keterangannya sebagai ahli. Sebab dikhawatirkan atau diragukan objektifitas keterangannya, sebab dirinya sendiri sebagai pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini tentu akan sangat merugikan Bawaslu sebagai pihak dalam Gakkumdu yang memprakrasai menghadirkan ahli yang berafiliasi dengan penyelenggara pemilu di pengadilan.

Andai ahli tidak dihadirkan di persidangan pengadilan pun, yaitu hanya dengan mengajukan visum et repertum Bawaslu juga akan dirugikan, sebab ahli yang memberikan keterengan secara langsung di persidangan akan berbeda nilai pembuktiannya sebagai alat bukti dibandingkan dengan jaksa penuntut umum hanya membacakan visum et repertum. Seperti telah dijelaskan dimuka, hal itu akan berdampak pada keyakinan hakim dalam menilai dan menjatuhkan putusan. Dari gerbong suara intelektual ini saya hanya hendak menyampaikan aspirasi dan spirit law enforcement agar Bawaslu bijak menangani persoalan seperti ini sehingga ada kewibawaan kita dalam berbangsa dan bernegara yang benar.

1 komentar:

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pe...