Kamis, 01 Februari 2024

Ketika Nalar Ringsek

Ketika Nalar Ringsek

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Barangkali sudah menjadi sunnatullah terlebih hidup di zaman akhir ini, beberapa orang sepertinya diciptakan Allah hanya untuk menjadi ujian bagi orang lain dengan semua tingkah pongah, kelobaan dan kebebalannya. Ia sanggup berdakwah berpanjang lebar menasehati orang lain. Segala hadits dia baca lengkap dengan syarahnya seakan seorang 'alim berilmu luas. Sementara antara perkataan dan perilakunya terpaut jauh hingga sejauh sidratul muntaha bahkan menyamai jarak ke baitul makmur. Manusia jenis inilah yang harus di dakwahi bukan malah mendakwahi.  Sementara itu janganlah kita lupa teguran Allah dalam Al-Qur'an: "wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Sungguh sangat besar kebencian di sisi allah kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (Q.S. Ash-Shaf: 2-3). Ini bukan hanya sekedar peringatan, tetapi terkandung di dalamnya ajaran tentang konsistensi atau keistiqomahan atau dapat pula dimaknai dalam bahasa pseudo-politis saat ini sebagai ajaran tentang integritas atau moralitas. 

Islam sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar integritas atau moralitas agar manusia dalam hidupnya hendaknya sejalan perkataan dengan perbuatan, berperilaku baik yang berupaya mengimplementasikan syari'at sebagai konsekuensi keberimanan. Bahwa menjadi muslim tidak cukup hanya dengan mengikrarkan syahadat di lisan. Melainkan syahadat itu haruslah diterjemahkan kedalam perbuatan konkret. Terlebih dalam setiap sholat seorang muslim selalu membaca dalam sholatnya: innassholati, wanusuki, wamahyaya, wamamati lillahirabbil'alamin. Yang bila diterjemahkan ialah: sesungguhnya sholatku, dan ibadahku, dan hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Satu sisi ini adalah ajaran tentang penghambaan diri secara total kepada sang khalik bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah beribadah dan mengabdi kepada Allah. 

Di sisi lain sesungguhnya ini tidak lain adalah apa yang masyhur disebut manusia hari ini sebagai pakta integritas. Hanya sedikit sekali muslim yang mampu menginsyafinya. Menghadapi orang-orang yang disebutkan di awal yang mungkin saja keberadaannya di muka bumi ini hanya menjadi ujian belaka bagi orang lain sungguh sangat merepotkan dan menghabiskan banyak energi. Betapa tidak, bawaannya saja selalu sinis melihat orang lain penuh kebencian dengan sebab yang tidak dapat diidentifikasi secara rasional dan objektif, setiap pendapat dianggapnya adalah ancaman. Ini sudah berada pada fase bodoh diatas bodoh yang tidak termakan nasehat. Kendati demikian jika dibiarkan malah semakin bertambah-tambah arogansinya. Ia merasa diri sudah sangat besar, sudah sangat tinggi, merasa sangat berkuasa dan berwibawa. Hal itu tercermin dalam kesehariannya. Semua itu memang hanyalah klaim-klaim saja. Masih saja ia menyangka orang-orang menghormatinya. 

Hanya orang yang lemah analisanyalah yang menjadi pendukung setia. Kalbunya buta bahwa lingkungannya menyumpah-serapahinya sementara ia tiada mengetahuinya. Jika seseorang tempurung kepalanya hanya uang dan kuasa saja maka jadilah dia seorang dungu yang menindas, kerjanya hanya membuat kerusakan demi kerusakan. Bahkan setiap huruf yang keluar dari mulutnya hampir pasti semuanya adalah kebohongan. Memang manusia jenis ini kualitasnya dibangun dengan kemampuan piawai berbohong. Lalu tertipulah orang yang lemah analisanya memandang si dungu itu sebagai seorang yang sangat berwibawa, seorang yang ma'rifat dengan simpati sosial yang tak bertepi. Memberi mahkota pada monyet adalah kesia-siaan. Dan memberi mahkota pada maling adalah sangat berbahaya. Hilangnya kemampuan mempertimbangkan, mengerti baik-buruk, benar-salah (nalar) pada seseorang atau sekelompok orang yang dipercayakan mengurusi kemaslahatan orang banyak memang menjadi tragedi besar mengingat daya rusaknya yang tidak terkira. 

Jika setiap nasehat dan pendapat dianggap sebagai ancaman maka tidak ada kata yang tepat untuk dihidangkan kecuali "perlawanan". Menukil apa yang diucapkan Wiji Tukul yang dihilangkan oleh kekuasaan otoriter: "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: "lawan".  Demikianlah sejatinya kekuasaan yang otoriter harus ditertibkan. Penertiban yang paling efektif untuk itu adalah dengan menghambat, menghalangi para dungu otoriter memimpin di masa yang akan datang. Mereka yang isi kepalanya cuma uang dan uang tidak pantas diberi kuasa memimpin orang banyak. Selama berkuasa hembusan nafasnya seperti orang yang kerasukan berteriak agar pabrik percetakan uang berpindah ke kantongnya. Demikianlah orang yang orientasi hidupnya hanya uang saja. Jika kegilaan pada materi menguasai diri yang terjadi adalah perlombaan dalam kelobaan (kerakusan) penguasaan materi, perampokan untuk hidup berkelimpahan materi dengan segala cara.

Dengan kondisi nalar yang ringsek itu, adab dan akhlakpun turut tercabut dan hilang. Ini tak ubahnya pemandangan kengerian yang tak terperikan. Ini musibah besar yang melanda masyarakat kita dengan segala carut marutnya. Maka cukuplah bagi kita sebagai pengingat untuk direnungkan bahwa apa yang dikatakan seorang sahabat Rasulullah yakni Amar bin Ash sungguh benar adanya, "matinya seribu orang yang beradab lebih kecil mudharatnya ketimbang tenarnya seorang yang dungu". Masalahnya kini si dungu dengan mentalitas maling di banyak tempat diberikan panggung dengan mahkota di kepalanya. Tidak sadarkah kita betapa berbahayanya membiarkan si bodoh yang diberi kuasa bahwa ia hanya menjadi maling, menindas dan membuat kerusakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...