Kamis, 01 Februari 2024

Para Pemuja Eksistensi

Para Pemuja Eksistensi

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Sungguh sangat menggelikan dan betapa mengerikannya realitas yang kita lihat hari ini, hampir disetiap sudut akan selalu dijumpai orang-orang yang hanya berbakat menata tutur kata sebagus mungkin, membagus-baguskan perangai di depan orang banyak. Kita sedang berhadap-hadapan dengan kondisi betapa orang-orang acuh pada substansi, sibuk membangun eksistensi, membangun simbol, sementara nyaris tanpa ada kerisauan terhadap kondisi masyarakatnya dan nol kadar intelektualitas, bersungguh-sungguh untuk urusan yang main-main sebaliknya bermain-main pada urusan yang harusnya diseriusi. Dimana saja kita jumpai apa yang diucapkan tidak sejalan dengan apa yang diperbuat. Sementara ada rasa bangga bisa menipu orang, menindas dan memperbudak menjadi pakaian kebesaran yang diagung-agungkan. Mereka yang seperti ini isi kepalanya cuma uang, hidup bersenang-senang dan bengis pada orang yang dipandang tidak sejalan dengan kerakusannya. Pembusukan menjadi senjata untuk melumpuhkan orang yang tidak mau bergabung dalam barisannya dan dibawah komandonya. Dengan pembusukan itu dirusaklah sedemikian rupa nama baik dan karakter orang yang berseberangan. 

Manakala orang telah berkumpul ramai, yang dicari bukan persaudaraan melainkan panggung. Diatas panggung itu segala macam pertunjukan kebodohan disajikan. Ini ciri khas pemuja eksistensi yang paling dominan. Betapapun juga kita tidak pula hendak menafikan bahwa yang paling sulit dalam hidup ini adalah menyesuaikan antara ucapan dengan perbuatan. Tetapi ada yang lebih rumit dari itu ialah nalar yang sungguh-sungguh telah runtuh dan ringsek menjadi rongsokan akibat terlampau memuja materi dan gila penghormatan. Tanda bahwa nalar itu ringsek dapat kita lihat betapa ramainya orang yang menyeru pada kebaikan, himbauan-himbauan menjaga hati, menjaga persatuan, dan lain sebagainya. Bak api dalam sekam, ada niat buruk dan kejahatan yang sedang bersekongkol mencoba menenangkan dan mendamaikan keadaan agar kebusukan-kebusukan tersamarkan. Merasa nyaman dengan keadaan yang bobrok adalah penyakit yang tidak ada obatnya. 

Demikian peliknya keadaan kita hari ini lebih kurang seperti yang dikatakan Moh. Hatta, "kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman,  namun tidak jujur itu sulit diperbaiki". Sementara itu bobroknya keadaan memang dirancang dan dibentuk sedemikian rupa maka kita akan melihat pada tampilan luarnya dibungkus dengan retorika yang mengakar pada keserakahan, kecurangan, keangkuhan dan kebodohan. Betapapun juga yang namanya bangkai tetap akan tercium juga dimanapun ia disimpan sebab baunya yang menyengat. Sungguh keanehan yang tidak dapat dirasionalkan manakala orang-orang hobi mengucapkan kata-kata yang mereka sendiri tidak peduli, kata-kata yang mereka tidak paham dan tidak pula mau berpijak di dalamnya. Apa yang disebut dengan "Integritas", "Persatuan","Berkualitas", "Jujur", "Adil", "Amanah", tak dapat dipahami sama sekali. 

Lain dimulut lain di hati lain pula di perbuatan. Hanya saja banyak orang tanpa berpikir hobi mengobral kata-kata itu secara absurd. Tidak ada rasa malu melakukan kecurangan, merasa paling benar, merasa tinggi dan sangat bijak, rakus, arogan menjadi tabi'at. Kalau sudah tabi'at sangat sulit untuk dihilangkan sebab ia sudah mendarah daging. Dimana saja manusia seperti itu hanya akan merusak, menghalangi tumbuhnya pikiran yang sehat, menggembosi, memecah-belah dengan pembusukan-pembusukan. Dia hanya menginginkan puja-puji dan semua orang meyetujui kepongahannya tanpa syarat. Kita tidak habis pikir hingga terkadang muncul dipikiran mengapa ada manusia seperti itu. Ujung dari itu semua hanya akan menggiring kita pada sebuah hipotesis yang tidak pernah tuntas yaitu adanya manusia seperti itu untuk menguji atau musibah yang ditimpakan tuhan kepada masyarakat jika manusia-manusia itu memegang urusan orang banyak. Sebetulnya naiknya orang-orang yang dari sisi kualitas nol, dan dari sisi kelayakan sangat rendah merupakan cerminan dari masyarakat. 

Ditengah masyarakat yang tidak tersentuh literasi, tidak pula tersadarkan dengan nasehat, tidak pula terbangunkan dengan argumentasi moral hanya akan mencetak para pemangku kepentingan yang buruk. Bak pepatah "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Siapa yang menyemai akan menuai hasilnya. Jika tabi'at buruk yang dipelihara dan diwariskan maka kehancuranlah yang akan dituai. Mereka yang masih sehat akal pikirannya, memiliki kerisauan yang bersar tentang kondisi masyarakatnya tidak banyak yang dapat dilakukan melainkan hanya upaya penyadaran yang terus menerus. Tugas inipun tidak mudah. Selain kader-kader intelektual yang peduli soal ini jumlahnya sedikit juga betapa masifnya pembodohan dan pengrusakan yang disebarkan hampir disetiap aspek kehidupan. Mereka yang kerjanya merusak mendominasi dan aktif melakukan pengkaderan yang akan meneruskan tabi'at dan jalan hidup yang menyimpang. 

Di masyarakat kita minim kader-kader intelektual, yang punya kerisauan melakukan perbaikan. Bahkan fungsi pengkaderan itu sendiri tidak banyak dijalankan sehingga idealisme hanya mampu bertahan di jaket almamater mahasiswa saja. Kisah seorang mantan petinggi di salah satu universitas misalnya perlu menjadi pelajaran, manakala ia merasa kesal dengan buruknya pengelolaan perguruan tinggi dan proses pengambilan kebijakan yang juga buruk oleh para penggantinya. Mendengar itu, seorang guru idealisme pun berujar, "Itu kesalahan bapak. Ketika menjabat bapak tidak melakukan pengkaderan orang-orang yang akan meneruskan pikiran, kerisauan dan kepedulian bapak tentang masa depan lembaga ini. Sekarang inilah hasilnya, terima saja". Inilah alam tempat kita hidup dan bernafas yang semerbak dengan dominasi manusia-manusia hipokrit. Kita berlindung kepada Allah-Tuhan Semesta Alam dan berharap dijaga dalam anugerah-Nya yang besar terpelihara dari tabi'at hipokrit yang hanya memikirkan perut belaka. 

Sebab dihadapan para hipokrit sejuta nasehat hanya akan dipahami sebagai kesombongan dan pembangkangan, setinggi apapun argumen moral hanya akan dilabeli sebagai seorang yang belagak bijak, berlagak cerdas. Pada intinya manusia yang demikian itu cerminan yang sempurna sebagai gerombolan anti pikiran sehingga kecil sekali kemungkinan untuk tersadarkan kecuali berkat campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Sebagai kader intelektual yang di dalam dadanya menyimpan kerisauan melihat kondisi masyarakatnya meski betapapun kecilnya, tak peduli meski sebutir pasir sekalipun, perlu untuk kita renungkan apa yang pernah terucap dari lisan seorang yang mulia, "kezhaliman akan tetap ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Melainkan karena diamnya orang-orang baik". Demikian sayyidina Ali bin Abi Thalib mengingatkan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...