Filsafat Monisme Parmenides
Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum/Pengkaji Filsafat)
Pada tulisan sebelumnya saya telah memaparkan filsafatnya Heraclitus, dapat dibaca tulisan saya dalam "Heraclitus, Filsuf Introvert dan Pemikiran Besarnya", filsafatnya Niccolo Machiavelli dalam "Filsafat Politik Machiavelli" dan filsafatnya Karl Marx dalam "Materialisme Historis Marx". Sayapun juga telah menerbitkan filsafat hidup dan filsafat politik saya sendiri, masing-masing dapat dibaca dalam "Manusia, Kebendaan dan Kedudukan" dan "Nasehat Untuk Penguasa".
Dalam kesempatan ini saya mencoba memaparkan bagaimana pula filsafat monisme dari seorang filsuf besar Yunani Kuno yaitu Parmenides. Parmenides, hidup sekitar 540-470
Masehi. Seorang filsuf Yunani Kuno. Ia dan gurunya Senophanes menjadi pendiri
mazhab Elia. Parmenides sempat bertemu Socrates di waktu berusia 65 tahun,
ketika itu Socrates masih sangat muda tetapi telah kritis dan dapat diajak
berdiskusi. Salah satu tradisi orang bijak Yunani Kuno yang menarik yaitu
mereka senang berkumpul dan berdiskusi. Ketika melihat ada orang yang berkumpul
maka orang-orang bijak selalu hadir di perkumpulan itu dan selalu berdiskusi.
Mereka suka berdiskusi untuk saling menguji kebenaran yang diyakininya.
Membicarakan tentang Parmenides
tidak dapat dipisahkan dari Heraclitus, sebab mereka hidup se-zaman dan
pemikiran filsafat mereka saling bertolak belakang dalam melihat alam realitas.
Tetapi pembicaraan tentang Heraclitus telah saya tulis dalam tulisan saya yang
lain sehingga tetap dapat dibaca dan diperbandingkan pemikiran besar keduanya.
Perbedaan yang kontras dan mendasar antara Parmenides dengan Heraclitus yaitu
Parmenides melihat dari aspek sama-nya, ke-utuh-annya, kesamaan, atau
persamaan-persamaan. Parmenides melihat segala sesuatu adalah serba sama, serba
satu.
Sedangkan Heraclitus melihat detil perbedaan. Orientasi bangunan filsafat
Heraclitus melihat pada aspek perbedaan, segala sesuatu serba berbeda dan
berubah-ubah. Jika dalam
pandangan Heraclitus dikatakan,“tidak
seorangpun dapat melangkah dua kali di sungai yang sama, karena sungai itu
bukan lagi sungai yang sama dan dia juga bukan lagi orang yang sama”. Parmenides mengatakan sebaliknya, bahwa sungai yang
dilewati adalah sungai yang sama, yang berbeda itu hanyalah penampakannya saja,
substansinya sama yaitu masih sama-sama sungai. Ia tidak berubah menjadi
sesuatu yang lain selain sungai.
Gagasan Parmenides dikenal dengan
monisme. Bagi Parmenides, keragaman itu sesungguhnya semu, segala sesuatu itu
hakikat sebenarnya satu atau sama. Misalnya dalam kenyataan gagasan monisme ini
dapat kita ambil contohnya, kuliah di universitas A ataupun Universitas B,
intinya sama- itu-itu juga yaitu sama-sama mencari ilmu dan ijazah. Atau partai A maupun partai B keduanya sama saja, sama-sama mengejar kekuasaan.
Monisme dalam sejarah melahirkan dua kutub besar pemikiran yaitu Materialisme
dan Idealisme. Lawan dari monisme adalah dualisme dan pluralisme.
Pada monisme
yang dilihat adalah aspek samanya, sedangkan pada dualisme melihat bahwa segala
seuatu serba dua. Lain lagi dengan pluralisme melihat bahwa segala seuatu itu
beragam, banyak atau bervariasi, berbeda dan memiliki ciri khas satu sama lain
yang berbeda-beda. Ajaran
monisme ini misalnya seperti yang di ekspresikan oleh Robinson Jeffers, “Aku percaya bahwa alam semesta ini adalah
satu makhluk, satu sesuatu. Semua bagiannya hanya merupakan ekspresi yang
berbeda dari energi yang sama. Semuanya saling berkomunikasi, saling
berhubungan sehingga merupakan bagian dari satu organisme yang utuh”.
Dalam
bahasa Qur’an misalnya dikatakan bahwa setiap mukmin seperti satu tubuh, jika
yang satu sakit yang lainnya merasakan sakit pula. Dalam kehidupan kita pikiran
ini meyakini bahwa perbuatan buruk yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya
berdampak pada dirinya sendiri tapi juga dampaknya pada lingkungan sekitarnya. Sebab
itu manusia adalah bagian dari satu kesatuan organisme yang utuh, saling
terhubung satu dengan yang lain. Dapat saling memberi dampak positif atau
manfaat dapat juga saling memberi dampak buruk atau kerugian-kerugian.
Tentang
“Being (Yang Ada)”
Predikat
ada sifatnya a priori dan universal, ia mendahului dan menjadi syarat realitas
dan eksistensi. Segala sesuatu itu itu ada meskipun tidak selalu eksis sebagai
fisik yang dapat ditangkap oleh inderawi. Seseorang yang membayangkan sesuatu,
maka sesuatu itu telah ada, yaitu ada sebagai bayangan, lamunan atau khayalan
meskipun tidak eksis secara fisik. Misalnya, saya membayangkan menjadi pemimpin
besar dengan banyak pengikut, maka ketika membayangkan itu maka saya telah
sedang menjadi pemimpin besar dengan banyak pengikut, meskipun tidak eksis
sebagai kenyataan yang dapat dilihat inderawi, tapi saya telah eksis sebagai
bayangan atau khayalan menjadi pemimpin besar dengan banyak pengikut.
Kritik
Parmenides
Parmenides
mengkritik tradisi kepercayaan Yunani Kuno yaitu mitologi Yunani Kuno yang
menjelaskan proses penciptaan alam. Menurut Parmenides, penjelasan itu hanya
terjebak pada pendapat dan penampakan, serta jauh dari kebenaran. Filsafat hadir
dengan tugas membantu manusia untuk melampaui kelemahan ini, sehingga tidak
terjebak pada penampakan-penampakan yang dangkal dan berubah-ubah, serta mulai
berusaha mencari kebenaran sejati.
Kebenaran
dan Pendapat
Parmenides
membedakan antara kebenaran dan pendapat. Kebenaran menurut Parmenides bersifat
tetap dan berlaku untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sementara itu
pendapat selalu berubah-ubah. Sekarang kita berpendapat A, nanti atau besok
berpendapat B, demikian seterusnya. Kebenaran itu abstrak, sedangkan pendapat
dasarnya sesuatu yang tampak saja. Sedangkan apa yang tampak selalu labil,
berubah-ubah dan kadang menipu.
Seperti sebatang pensil ketika dimasukkan
kedalam air atau gelas berisi air maka akan tampak patah atau bengkok. Demikianlah
penampakan inderawi kadang kala dapat menipu. Banyak orang berhenti pada apa
yang tampak/penampakan dan melupakan yang hakiki. Pendapat dengan mudah
ditemukan dalam pengalaman sehari-hari. Sementara kebenaran itu ada dalam
bentuk pikiran dan konsep yang murni, ia stabil dan tidak berubah-ubah.
Jalan
Pengetahuan
Menurut
Parmenides ada dua jalan pengetahuan, yaitu jalan kebenaran yang disebut aletheia dan jalan kepercayaan yang disebut doxa. Satu-satunya cara untuk mencapai
pengetahuan adalah melalui jalan kebenaran. Sedangkan jalan yang kedua penuh
dengan kontradikasi dan pengetahuan palsu, hanya berdasarkan penampakan, apa
yang tampak atau apa yang dapat ditangkap panca indera sehingga membuat orang
mudah terjebak.
Prinsip
Epistemologi 1
Dari
pikiran berdasarkan jalan pengetahuan tersebut maka lahirlah prinsip berpikir dasar
meliputi prinsip identity, prinsip of
non- contradiction, dan prinsip of
exluded middle. Prinsip identity, diformulasikan dengan A=A. Bahwa yang ada
adalah yang tampak, sesuatu itu ada sebab ia dapat ditangkap panca inderawi,
sesuatu dikatakan benar karena memang nyata adanya. Ini adalah prinsip dasar
dalam berpikir menuju berpikir filsafat. Dalam praktiknya banyak orang yang
tidak mencerminkan model berpikir dasar ini, tidak jujur mengemukakan kebenaran
sebab dipengaruhi oleh kepentingan, atau nafsu. Misalnya pemerintah “mengatakan harga bahan pokok sampai saat ini
masih stabil dan terjangkau”.
Padahal ia tau keadaan yang sebenarnya
tidaklah demikian, pemerintah menutupinya karena kepentingan untuk menjaga
wibawanya di mata rakyat, walaupun bisa saja rakyat menjadi tidak percaya dan
tidak simpati pada pemerintah sebab rakyat benar-benar merasakan naiknya harga
bahan pokok dan betapa tidak berharganya uang yang mereka punya. Prinsip of non- contradiction menyatakan
bahwa segala sesuatu tidak bertentangan. Mengatakan, “kacamata berbeda dengan pena”, ini adalah prinsip of non-contradiction, bahwa tidak ada yang bertentangan. Sebab secara inderawi keduanya memang
berbeda.
Di tahap inipun banyak orang yang tidak menyatakan apa adanya, tidak
jujur dan suka memanipulasi karena kepentingan dan keinginan-keinginan. Mengatakan
bahwa menaikkan iuran BPJS, tarif dasar listrik, harga BBM dapat
mensejahterakan rakyat. Padahal antara kebijakan menaikkan iuran BPJS, tarif
dasar listrik, harga BBM sangat kontras sekali bedanya dengan kesejahteraan. Keduanya
adalah hal yang sama sekali berbeda dan bertentangan, yang terjadi rakyat
bukannya sejahtera tetapi semakin bertambah susah dan miskin sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhannya. Yang ketiga adalah prinsip
of exluded middle, bahwa tidak mungkin ada pertengahan. Selalu ada pilihan
pada salah satu pilihan, misalnya manusia itu hanya ada dua jenis kelamin yaitu
laki-laki dan perempuan.
Tidak ada yang selain laki-laki atau perempuan, tidak
ada setengah laki-laki atau setengah perempuan. Demikian juga misalnya tentang
keadilan, yang ada atau yang mungkin ada hanyalah adil dan tidak adil. Tidak ada
selain dari itu, tidak ada setengah adil setengah tidak adil. Hanya ada dua
pilihan dan penilaian atau kenyataan atas segala sesuatu yaitu adil dan tidak
adil. Antara berpihak/mendukung atau tidak berpihak/mendukung, hanya ada satu
pilihan, tidak mungkin ada netral berdiri ditengah-tengah. Sebab yang dikatakan
netral sekalipun pasti juga kenyataannya berada di salah satu pilihan, berada
dipihak tidak mendukung atau di kubu oposisi. Inilah prinsip berpikir dalam prinsip of exluded middle.
Prinsip
Epistemologi 2
Dari
prinsip epistemologi mendasar diatas kemudia berkembang kepada berpikir secara
filsafat dengan berpikir yang lebih dalam. Parmenides menyadari perbedaan
antara pengetahuan rasional dengan pengetahuan inderawi. Pengetahuan inderawi
sumbernya pluralitas yang bisa menjangkau dimana kita sama dimana kita beragam.
Menjadikan pengetahuan inderawi sebagai basis maka yang tampak hanya
perbedaan-perbedaan, sehingga semakin susah untuk bersatu atau menyatukan. Apalagi
semakin tegas/mempertegas perbedaan atau pengelompokan secara kategoris maka dapat
menimbulkan jarak dan semakin menjauhkan kita dari ide-ide persatuan. Untuk bersatu
kita harus melihat persamaan-persamaan diantara kita.
Bahwa pada kenyataannya
diantara kita ada orang jawa, orang sumatera, orang kalimantan, orang aceh,
orang papua, orang batak, orang melayu, orang bugis, tapi kita sama-sama warganegara
Indonesia, kita sama-sama manusia, kita sama-sama makhluk yang diciptakan
tuhan. Jika antara pengetahuan rasional dengan pengetahuan inderawi saling
bertentangan, Parmenides berpihak pada pengetahuan rasional. Karena hanya
pengetahuan yang rasional yang dapat dipercaya dibandingkan pengetahuan
inderawi yang mudah menjebak dan menipu. Karena itu dalam tataran tertentu bahkan
sering pengetahuan inderawi menjebak dan menipu sehingga tidak dapat
diandalkan.
Prinsip
“Ada”
Memahami
tentang “ada” Parmenides menerangkan bahwa “yang ada” itu ada, “yang ada” itu tidak dapat hilang, menjadi
tidak ada. Demikian juga “yang tidak ada” tidak mungkin muncul menjadi “yang
ada”. Sementara itu sebenarnya “yang tidak ada” itu tidak ada. Ketika kita
mengatakan bahwa “hantu itu tidak ada”, atau “tuhan itu tidak ada”, ketika itu
sebenarnya hantu itu ada dan tuhan itu ada, meskipun tidak eksis sebagai fisik
yang dapat ditangkap oleh inderawi, tetapi ia ada sebagai bayangan, ia ada
sebagai fikiran. Karena itulah semua yang kita katakan “tidak ada” ketika itu
sebenarnya kita telah memikirkan, membayangkan atau menghayalkannya dengan
mengumpulkan berbagai informasi yang kita peroleh dan merumuskannya sehingga
kita menyimpulkannya secara kontradiktif.
Sebab hanya “yang tidak ada” yang tidak dapat
dibayangkan. Jangankan untuk membayangkan, menyebutkannya kita tidak bisa. Lain
halnya ketika kita menyebut “hantu”, lalu ditambah dengan embel-embel “ia tidak
ada”. Sementara dari awal kita sudah tau berdasarkan informasi yang kita terima
“sesuatu” itu disebut hantu. “Yang tidak
ada” sejak awal dan untuk seterusnya tidak dapat dipikirkan. Hanya “yang ada”
yang dapat dipikirkan. Sebab kita tidak dapat menemukan pemikiran merencanakan,
merumuskan akan berbuat sesuatu jika sesuatu itu tidak ada, sehingga tidak
dapat dipikirkan.
Konsekuensi
“Ada” sebagai Kebenaran
“Yang ada” adalah satu dan tidak terbagi. Pluralitas adalah tidak
mungkin (secara pikiran/rasional). Tidak ada sesuatupun yang dapat terpisah
dari “yang ada”. Seperti ketika kita mengatakan saya orang/warganegara
Indonesia, jika dikaji lagi atau dikerucutkan maka saya adalah orang melayu
Riau, dikaji lagi saya akan sampai pada pernyataan bahwa saya tinggal di
Kabupaten Rokan Hulu, terus dikaji sampai semua atribut pribadi saya lepas
semuanya, maka saya akan sampai pada kesimpulan bahwa saya adalah manusia dan
saya ada.
Menurut Parmenides, yang ada tidak berubah dan tidak dapat
dimusnahkan. Hal ini merupakan konsekuensi logis. Selain itu, Parmenides juga
memiliki pemikiran yang berbeda dengan filsuf lainnya dalam memandang proses
penciptaan alam. Menurut Parmenides, alam ini tidak diciptakan dari api atau
air, tapi dari potensi alamiah alam itu sendiri untuk ada yaitu kemungkinan
untuk ada menjadi ada, dari yang semula hanya sebagai kemungkinan menjadi real.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar