Sabtu, 07 Desember 2019

Filsafat Monisme Parmenides


Filsafat Monisme Parmenides

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum/Pengkaji Filsafat)

Pada tulisan sebelumnya saya telah memaparkan filsafatnya Heraclitus, dapat dibaca tulisan saya dalam "Heraclitus, Filsuf Introvert dan Pemikiran Besarnya", filsafatnya Niccolo Machiavelli dalam "Filsafat Politik Machiavelli" dan filsafatnya Karl Marx dalam "Materialisme Historis Marx". Sayapun juga telah menerbitkan filsafat hidup dan filsafat politik saya sendiri, masing-masing dapat dibaca dalam "Manusia, Kebendaan dan Kedudukan" dan "Nasehat Untuk Penguasa". 

Dalam kesempatan ini saya mencoba memaparkan bagaimana pula filsafat monisme dari seorang filsuf besar Yunani Kuno yaitu Parmenides. Parmenides, hidup sekitar 540-470 Masehi. Seorang filsuf Yunani Kuno. Ia dan gurunya Senophanes menjadi pendiri mazhab Elia. Parmenides sempat bertemu Socrates di waktu berusia 65 tahun, ketika itu Socrates masih sangat muda tetapi telah kritis dan dapat diajak berdiskusi. Salah satu tradisi orang bijak Yunani Kuno yang menarik yaitu mereka senang berkumpul dan berdiskusi. Ketika melihat ada orang yang berkumpul maka orang-orang bijak selalu hadir di perkumpulan itu dan selalu berdiskusi. Mereka suka berdiskusi untuk saling menguji kebenaran yang diyakininya. 

Membicarakan tentang Parmenides tidak dapat dipisahkan dari Heraclitus, sebab mereka hidup se-zaman dan pemikiran filsafat mereka saling bertolak belakang dalam melihat alam realitas. Tetapi pembicaraan tentang Heraclitus telah saya tulis dalam tulisan saya yang lain sehingga tetap dapat dibaca dan diperbandingkan pemikiran besar keduanya. Perbedaan yang kontras dan mendasar antara Parmenides dengan Heraclitus yaitu Parmenides melihat dari aspek sama-nya, ke-utuh-annya, kesamaan, atau persamaan-persamaan. Parmenides melihat segala sesuatu adalah serba sama, serba satu. 

Sedangkan Heraclitus melihat detil perbedaan. Orientasi bangunan filsafat Heraclitus melihat pada aspek perbedaan, segala sesuatu serba berbeda dan berubah-ubah. Jika dalam pandangan Heraclitus dikatakan,“tidak seorangpun dapat melangkah dua kali di sungai yang sama, karena sungai itu bukan lagi sungai yang sama dan dia juga bukan lagi orang yang sama”. Parmenides mengatakan sebaliknya, bahwa sungai yang dilewati adalah sungai yang sama, yang berbeda itu hanyalah penampakannya saja, substansinya sama yaitu masih sama-sama sungai. Ia tidak berubah menjadi sesuatu yang lain selain sungai.

Gagasan Parmenides dikenal dengan monisme. Bagi Parmenides, keragaman itu sesungguhnya semu, segala sesuatu itu hakikat sebenarnya satu atau sama. Misalnya dalam kenyataan gagasan monisme ini dapat kita ambil contohnya, kuliah di universitas A ataupun Universitas B, intinya sama- itu-itu juga yaitu sama-sama mencari ilmu dan ijazah. Atau partai A maupun  partai B keduanya sama saja, sama-sama mengejar kekuasaan. Monisme dalam sejarah melahirkan dua kutub besar pemikiran yaitu Materialisme dan Idealisme. Lawan dari monisme adalah dualisme dan pluralisme. 

Pada monisme yang dilihat adalah aspek samanya, sedangkan pada dualisme melihat bahwa segala seuatu serba dua. Lain lagi dengan pluralisme melihat bahwa segala seuatu itu beragam, banyak atau bervariasi, berbeda dan memiliki ciri khas satu sama lain yang berbeda-beda. Ajaran monisme ini misalnya seperti yang di ekspresikan oleh Robinson Jeffers, “Aku percaya bahwa alam semesta ini adalah satu makhluk, satu sesuatu. Semua bagiannya hanya merupakan ekspresi yang berbeda dari energi yang sama. Semuanya saling berkomunikasi, saling berhubungan sehingga merupakan bagian dari satu organisme yang utuh”. 

Dalam bahasa Qur’an misalnya dikatakan bahwa setiap mukmin seperti satu tubuh, jika yang satu sakit yang lainnya merasakan sakit pula. Dalam kehidupan kita pikiran ini meyakini bahwa perbuatan buruk yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri tapi juga dampaknya pada lingkungan sekitarnya. Sebab itu manusia adalah bagian dari satu kesatuan organisme yang utuh, saling terhubung satu dengan yang lain. Dapat saling memberi dampak positif atau manfaat dapat juga saling memberi dampak buruk atau kerugian-kerugian.

Tentang “Being (Yang Ada)”

Predikat ada sifatnya a priori dan universal, ia mendahului dan menjadi syarat realitas dan eksistensi. Segala sesuatu itu itu ada meskipun tidak selalu eksis sebagai fisik yang dapat ditangkap oleh inderawi. Seseorang yang membayangkan sesuatu, maka sesuatu itu telah ada, yaitu ada sebagai bayangan, lamunan atau khayalan meskipun tidak eksis secara fisik. Misalnya, saya membayangkan menjadi pemimpin besar dengan banyak pengikut, maka ketika membayangkan itu maka saya telah sedang menjadi pemimpin besar dengan banyak pengikut, meskipun tidak eksis sebagai kenyataan yang dapat dilihat inderawi, tapi saya telah eksis sebagai bayangan atau khayalan menjadi pemimpin besar dengan banyak pengikut.

Kritik Parmenides

Parmenides mengkritik tradisi kepercayaan Yunani Kuno yaitu mitologi Yunani Kuno yang menjelaskan proses penciptaan alam. Menurut Parmenides, penjelasan itu hanya terjebak pada pendapat dan penampakan, serta jauh dari kebenaran. Filsafat hadir dengan tugas membantu manusia untuk melampaui kelemahan ini, sehingga tidak terjebak pada penampakan-penampakan yang dangkal dan berubah-ubah, serta mulai berusaha mencari kebenaran sejati.

Kebenaran dan Pendapat

Parmenides membedakan antara kebenaran dan pendapat. Kebenaran menurut Parmenides bersifat tetap dan berlaku untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sementara itu pendapat selalu berubah-ubah. Sekarang kita berpendapat A, nanti atau besok berpendapat B, demikian seterusnya. Kebenaran itu abstrak, sedangkan pendapat dasarnya sesuatu yang tampak saja. Sedangkan apa yang tampak selalu labil, berubah-ubah dan kadang menipu. 

Seperti sebatang pensil ketika dimasukkan kedalam air atau gelas berisi air maka akan tampak patah atau bengkok. Demikianlah penampakan inderawi kadang kala dapat menipu. Banyak orang berhenti pada apa yang tampak/penampakan dan melupakan yang hakiki. Pendapat dengan mudah ditemukan dalam pengalaman sehari-hari. Sementara kebenaran itu ada dalam bentuk pikiran dan konsep yang murni, ia stabil dan tidak berubah-ubah.

Jalan Pengetahuan

Menurut Parmenides ada dua jalan pengetahuan, yaitu jalan kebenaran yang disebut aletheia dan jalan kepercayaan yang disebut doxa. Satu-satunya cara untuk mencapai pengetahuan adalah melalui jalan kebenaran. Sedangkan jalan yang kedua penuh dengan kontradikasi dan pengetahuan palsu, hanya berdasarkan penampakan, apa yang tampak atau apa yang dapat ditangkap panca indera sehingga membuat orang mudah terjebak.

Prinsip Epistemologi 1

Dari pikiran berdasarkan jalan pengetahuan tersebut maka lahirlah prinsip berpikir dasar meliputi prinsip identity, prinsip of non- contradiction, dan prinsip of exluded middle. Prinsip identity, diformulasikan dengan A=A. Bahwa yang ada adalah yang tampak, sesuatu itu ada sebab ia dapat ditangkap panca inderawi, sesuatu dikatakan benar karena memang nyata adanya. Ini adalah prinsip dasar dalam berpikir menuju berpikir filsafat. Dalam praktiknya banyak orang yang tidak mencerminkan model berpikir dasar ini, tidak jujur mengemukakan kebenaran sebab dipengaruhi oleh kepentingan, atau nafsu. Misalnya pemerintah “mengatakan harga bahan pokok sampai saat ini masih stabil dan terjangkau”

Padahal ia tau keadaan yang sebenarnya tidaklah demikian, pemerintah menutupinya karena kepentingan untuk menjaga wibawanya di mata rakyat, walaupun bisa saja rakyat menjadi tidak percaya dan tidak simpati pada pemerintah sebab rakyat benar-benar merasakan naiknya harga bahan pokok dan betapa tidak berharganya uang yang mereka punya. Prinsip of non- contradiction menyatakan bahwa segala sesuatu tidak bertentangan. Mengatakan, “kacamata berbeda dengan pena”, ini adalah prinsip of non-contradiction, bahwa tidak ada yang bertentangan. Sebab secara inderawi keduanya memang berbeda. 

Di tahap inipun banyak orang yang tidak menyatakan apa adanya, tidak jujur dan suka memanipulasi karena kepentingan dan keinginan-keinginan. Mengatakan bahwa menaikkan iuran BPJS, tarif dasar listrik, harga BBM dapat mensejahterakan rakyat. Padahal antara kebijakan menaikkan iuran BPJS, tarif dasar listrik, harga BBM sangat kontras sekali bedanya dengan kesejahteraan. Keduanya adalah hal yang sama sekali berbeda dan bertentangan, yang terjadi rakyat bukannya sejahtera tetapi semakin bertambah susah dan miskin sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Yang ketiga adalah prinsip of exluded middle, bahwa tidak mungkin ada pertengahan. Selalu ada pilihan pada salah satu pilihan, misalnya manusia itu hanya ada dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. 

Tidak ada yang selain laki-laki atau perempuan, tidak ada setengah laki-laki atau setengah perempuan. Demikian juga misalnya tentang keadilan, yang ada atau yang mungkin ada hanyalah adil dan tidak adil. Tidak ada selain dari itu, tidak ada setengah adil setengah tidak adil. Hanya ada dua pilihan dan penilaian atau kenyataan atas segala sesuatu yaitu adil dan tidak adil. Antara berpihak/mendukung atau tidak berpihak/mendukung, hanya ada satu pilihan, tidak mungkin ada netral berdiri ditengah-tengah. Sebab yang dikatakan netral sekalipun pasti juga kenyataannya berada di salah satu pilihan, berada dipihak tidak mendukung atau di kubu oposisi. Inilah prinsip berpikir dalam prinsip of exluded middle.

Prinsip Epistemologi 2

Dari prinsip epistemologi mendasar diatas kemudia berkembang kepada berpikir secara filsafat dengan berpikir yang lebih dalam. Parmenides menyadari perbedaan antara pengetahuan rasional dengan pengetahuan inderawi. Pengetahuan inderawi sumbernya pluralitas yang bisa menjangkau dimana kita sama dimana kita beragam. Menjadikan pengetahuan inderawi sebagai basis maka yang tampak hanya perbedaan-perbedaan, sehingga semakin susah untuk bersatu atau menyatukan. Apalagi semakin tegas/mempertegas perbedaan atau pengelompokan secara kategoris maka dapat menimbulkan jarak dan semakin menjauhkan kita dari ide-ide persatuan. Untuk bersatu kita harus melihat persamaan-persamaan diantara kita. 

Bahwa pada kenyataannya diantara kita ada orang jawa, orang sumatera, orang kalimantan, orang aceh, orang papua, orang batak, orang melayu, orang bugis, tapi kita sama-sama warganegara Indonesia, kita sama-sama manusia, kita sama-sama makhluk yang diciptakan tuhan. Jika antara pengetahuan rasional dengan pengetahuan inderawi saling bertentangan, Parmenides berpihak pada pengetahuan rasional. Karena hanya pengetahuan yang rasional yang dapat dipercaya dibandingkan pengetahuan inderawi yang mudah menjebak dan menipu. Karena itu dalam tataran tertentu bahkan sering pengetahuan inderawi menjebak dan menipu sehingga tidak dapat diandalkan.

Prinsip “Ada”

Memahami tentang “ada” Parmenides menerangkan bahwa “yang ada” itu ada,  “yang ada” itu tidak dapat hilang, menjadi tidak ada. Demikian juga “yang tidak ada” tidak mungkin muncul menjadi “yang ada”. Sementara itu sebenarnya “yang tidak ada” itu tidak ada. Ketika kita mengatakan bahwa “hantu itu tidak ada”, atau “tuhan itu tidak ada”, ketika itu sebenarnya hantu itu ada dan tuhan itu ada, meskipun tidak eksis sebagai fisik yang dapat ditangkap oleh inderawi, tetapi ia ada sebagai bayangan, ia ada sebagai fikiran. Karena itulah semua yang kita katakan “tidak ada” ketika itu sebenarnya kita telah memikirkan, membayangkan atau menghayalkannya dengan mengumpulkan berbagai informasi yang kita peroleh dan merumuskannya sehingga kita menyimpulkannya secara kontradiktif. 

Sebab hanya “yang tidak ada” yang tidak dapat dibayangkan. Jangankan untuk membayangkan, menyebutkannya kita tidak bisa. Lain halnya ketika kita menyebut “hantu”, lalu ditambah dengan embel-embel “ia tidak ada”. Sementara dari awal kita sudah tau berdasarkan informasi yang kita terima “sesuatu” itu disebut hantu.  “Yang tidak ada” sejak awal dan untuk seterusnya tidak dapat dipikirkan. Hanya “yang ada” yang dapat dipikirkan. Sebab kita tidak dapat menemukan pemikiran merencanakan, merumuskan akan berbuat sesuatu jika sesuatu itu tidak ada, sehingga tidak dapat dipikirkan.

Konsekuensi “Ada” sebagai Kebenaran

“Yang ada” adalah satu dan tidak terbagi. Pluralitas adalah tidak mungkin (secara pikiran/rasional). Tidak ada sesuatupun yang dapat terpisah dari “yang ada”. Seperti ketika kita mengatakan saya orang/warganegara Indonesia, jika dikaji lagi atau dikerucutkan maka saya adalah orang melayu Riau, dikaji lagi saya akan sampai pada pernyataan bahwa saya tinggal di Kabupaten Rokan Hulu, terus dikaji sampai semua atribut pribadi saya lepas semuanya, maka saya akan sampai pada kesimpulan bahwa saya adalah manusia dan saya ada. 

Menurut Parmenides, yang ada tidak berubah dan tidak dapat dimusnahkan. Hal ini merupakan konsekuensi logis. Selain itu, Parmenides juga memiliki pemikiran yang berbeda dengan filsuf lainnya dalam memandang proses penciptaan alam. Menurut Parmenides, alam ini tidak diciptakan dari api atau air, tapi dari potensi alamiah alam itu sendiri untuk ada yaitu kemungkinan untuk ada menjadi ada, dari yang semula hanya sebagai kemungkinan menjadi real.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...