Senin, 24 Desember 2018

Pergeseran Wewenang Penafsiran Pancasila Buka Peluang Kediktatoran


Pergeseran Wewenang Penafsiran 
Pancasila Buka Peluang Kediktatoran

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang ahirnya disahkan dengan undang-undang, menandakan telah menimbulkan pergeseran wewenang penafsiran Pancasila dari lembaga penafsir yang semula ada pada "MPR" beralih kepada Pemerintah (Presiden).

Tidak hanya sampai disitu, Pemerintah (Presiden) praktiknya telah memperluas domainnya menyebrang ke ranah yudikatif bertindak sebagai hakim yang berwenang memutuskan sesuatu kegiatan dan lain hal bertentangan atau tidak bertentangannya dengan Pancasila ataupun UUD 1945.

Wewenang penafsiran Pancasila ada baiknya diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga penafsir yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, dan yang memegang kuasa rakyat.

Sedang wewenang penghakiman terkait dengan pendapat Pemerintah tentang kegiatan sekelompok masyarakat yang dianggap dan diduga keras bertentangan dengan Pancasila maupun dengan UUD 1945, semua itu serahkan kepada pengadilan sebagai pihak ketiga yang netral untuk memeriksa dan mengadilinya.

Jika pembubaran ormas dituangkan kedalam Perppu maka Mahkamah Konstitusi tempat mengadilinya, tetapi jika dituangkan dalam bentuk surat keputusan maka cukup diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Dengan demikian kebijakan Pemerintah lebih berwibawa, objektif dan berkeadilan.

Bila ditelaah berdasarkan aspek demokrasi dengan menghubungkan pemberian wewenang penafsiran terhadap ideologi negara kepada MPR, dimana Negara ini menganut paham demokrasi, titik berat kekuasaan terletak pada rakyat. Kekuasaan pada Pemerintah berasal dari rakyat.

Rakyat menjadi komponen utama terbentuknya pemerintahan. Dan secara politik rakyat mempercayakan keberadaan dan nasib kehidupannya kepada anggota parlemen untuk mewakilinya memperjuangkan hak-haknya dalam aktivitas kenegaraan. Anggota parlemen yang dimaksud adalah himpunan seluruh anggota legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Rakyat Indonesia adalah seluruh manusia Indonesia yang tinggal dan menetap di wilayah Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain maupun setiap orang yang menjadi Warganaegara Indonesia (WNI) melalui proses naturalisasi.

Pengertian rakyat yang mencakup semua manusia Indonesia tersebut, termasuk Pemerintah sendiri dan hakim. Karena itu Pemerintah atau hakim tidak boleh merasa berada di atas hukum, merasa tidak terikat kepada paraturan hukum. Semua komponen bangsa terikat dan tunduk kepada hukum positif yang berlaku.

Pada masa orde lama (1959-1967), peran Pemerintah pada waktu itu belum mengarah pada kegiatan atau upaya menafsirkan Pancasila ataupun UUD 1945. Pemerintah tidak berfungsi sebagai lembaga penafsir atas Pancasila maupun UUD 1945. Bahkan Negara yang baru di usia balita tersebut belum dapat diselenggarakan secara tertib, oleh sebab berbagai faktor eksternal seperti menghadapi keinginan penjajah belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Pergolakan menghadapi agresi pemerintah kolonial Belanda dan pengaruh yang diciptakannya baru berahir pada 05 Juli 1959, yaitu ditandai dengan dikeluarkannya Keputisan Presiden No.150 Tahun 1959 Tentang Dekrit. Kepres ini menyatakan bajwa UUD 1945 diberlakukan kembali (sebelumnya UUD Sementara Tahun 1950). 

Sedang faktor dalam negeri yaitu, bangsa ini kerap terlibat perang saudara baik karena hasutan/propaganda asing, pengaruh ideologi, maupun upaya kudeta oleh kelompok yang dianggap menentang Pancasila, ataupun gerakan yang menentang ideologi lain selain Pancasila. 

Bahkan konflik ideologis yang berdarah terus terjadi di akhir orde baru sampai memasuki tahun 2005. Kita ingat peristiwa di Poso, di Ambon yang sepi pemberitaan, habis ulama-ulama, santri-santri, dan masyarakat sipil muslim dibantai, mesjid-mesjid dibakar, pondok pesantren dihancurkan. 

Sekarang ini malah umat islam dan tokoh-tokoh islam tertentu dilabeli sebagai teroris, radikal, ekstrem, intoleran. Sangat mengherankan.  Atau konflik ideologis dalam peristiwa GAM di aceh yang berujung ditandatanganinya MOU Helsinki di Finlandia menjadi dasar pemberian Otsus kepada Aceh untuk memberlakukan syari'at islam.

Memasuki orde baru (1967-1998), Pemerintah sudah mulai bertindak sebagai pihak yang berwenang menafsirkan Pancasila. Praktiknya secara materil Pemerintahlah penafsir tunggal atas Pancasila. Hanya peran dan fungsi itu dibungkus dengan mengambil bentuk formal berupa ketetapan MPR. MPR dikuasai oleh Presiden dan dimanfaatkan dengan mengintervensi produk hukum yang dikeluarkan MPR diantaranya ketatapan MPR yang berisi penafsiran atas Pancasila.

Di rezim orde baru ini, Pemerintah berkuasa dan menguasai semua lini pemerintahan yang mencakup legislatif dan yudikatif. MPR yang secara konstitusional adalah lembaga negara tertinggi, justru dikendalikan oleh Presiden. Ketetapan yang dikeluarkan MPR selalu mendapat intervensi dari Presiden. 

Secara materil Presiden memegang peran sebagai lembaga penafsir atas Pancasila dengan memanfaatkan MPR. MPR melalui ketetapannya mengukuhkan BP4 (Badan Penghayatan, Pedoman, dan Pengamalan Pancasila) yang digagas Presiden. Meski pada 1998 melalui Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998 MPR mencabut BP4.

Penafsiran atas Pancasila selalu dilakukan untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, apapun kebijakan yang diambil Pemerintah harus dianggap benar dan sesuai dengan Pancasila maupun UUD 1945. Pada tahap ini, Pemerintah telah memonopoli kebenaran sesuai dengan selera kekuasaannya.

Tap MPR Nomor II/MPR/1978 menafsirkan Pancasila berupa penjabaran nilai-nilai Pancasila kedalam 36 butir, Ketetapan ini dicabut oleh Tap MPR Nomor XVIII/1998 dan diganti dengan Tap MPR Nomor I/MPR/2003. Menurut Tap MPR Nomor I/MPR/2003, MPR menafsirkan Pancasila kedalam 45 butir. 

Penafsiran yang krusial itu terutama terkait sila pertama, dimana kalau kita melihat realitas sejarah yang melatarbelakangi dan dicapainya "kesepakatan" antara kelompok Nasionalis Sekuler dan kelompok Islam sila pertama itu adalah Tauhid, lalu MPR memperluas tafsirnya sehingga mengakomodir pula keyakinan umat beragama lainnya termasuk liberalisme, atheisme, animisme, memberikan tempat untuk pembenaran kelompok berperilaku menyimpang seperti LGBT.

Peran dan fungsi MPR sebagai penafsir Pancasila tersebut perlu diberikan kembali kepada MPR dengan memurnikannya yaitu tanpa intervensi oleh Presiden seperti halnya pada masa orde baru.

Namun baru-baru ini ternyata Pemerintah Jokowi bertekad untuk mengambil alih fungsi sebagai lembaga penafsir dengan membantuk sebuah badan semacam BP4 yaitu BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang dipimpin Ketum Partai pengusungnya sendiri yaitu Megawati. 

Badan tersebutlah yang akan memberikan "fatwa" kepada Presiden tentang suatu tindakan, gerakan yang bertentangan dengan Pancasila. Meski secara formal badan ini bertanggungjawab kepada Pemerintah, tetapi praktik menunjukkan bahwa Pemerintah ingin menjadikan dirinya sebagai penafsir mutlak atas Pancasila.

Hal ini harus diwaspadai, sebab dapat membuka peluang Pemerintah dapat berbuat sewenang-sewenang membubarkan ormas yang bertentangan dengan dirinya secara subjektif seperti halnya yang menimpa Hitzbut Tahrir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...