Minggu, 23 Desember 2018

Polemik Koalisi Kepartaian


Polemik Koalisi Kepartaian

Oleh: Syahdi

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Meski ada sisi parlementer, tetapi porsi presidensial masih tetap dominan. Misalnya Pertama, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedua, Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan atas alasan politis. Ketiga, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan termasuk reshuffle mutlak menjadi hak prerogatif Presiden  (dalam praktiknya suara parpol pengusung/koalisi sangat mempengaruhi keputusan Presiden dalam menentukan para pembantunya). Keempat, Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (pejabat administrasi negara tertinggi), itulah sebabnya Indonesia tak miliki jabatan Perdana Menteri. Sebab peran perdana menteri yang bertindak sebagai kepala pemerintahan sudah dirangkap oleh Presiden. Kelima, Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan setara dengan parlemen (DPR,DPD,MPR), ini berdampak bahwa Eksekutif tidak dapat dibubarkan oleh parlemen dan begitupun Eksekutif tidak dapat membubarkan parlemen. Mengapa tidak dapat saling membubarkan?, sebab Presiden dan Wakil Presiden dan anggota Parlemen dipilih secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tertentu secara periodik. 

Mengapa kekuasaan Presiden dibatasi, sebab dikhawatirkan munculnya penyalahgunaan kekuasaan Presiden bertindak otoriter dan tiran melanggar hukum. Masih pada pertanyaan yang sama mengapa kekuasaan Presiden dibatasi, sebab jika tidak dibatasi akan bertentangan dengan bentuk pemerintahan "Republik" yang dipilih berdasarkan resultante politik founding father. Namun uniknya pemberhentian/pemakzulan kepala negara dilakukan oleh parlemen (MPR), tidak oleh rakyat melalui referendum dan sebagainya. Sebab parlemen dinilai representatif seluruh rakyat. Terkait dengan koalisi kepartaian, dalam sistem presidensil tidak dikenal yang namanya koalisi. Sebab dalam sistem presidensil penekanan atau titik berat kekuasaan ada pada Presiden/Eksekutif. Sedang koalisi itu lazimnya hanya dikenal dalam sistem parlementer, sebab orientasi kekuasaan adalah pada parlemen. 

Karena itu itu pemilihan dan struktural parlemen menghendaki perlu adanya koalisi. Meskipun demikian, secara konstitusional, UUD 1945 ternyata memang mengakui secara implisit meskipun tanpa penegasan malahan hanya bersifat pilihan saja keberadaan koalisi kepartaian itu. Pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu dikatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta-peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Frasa diusulkan oleh "gabungan partai politik" inilah pintu yang membuka koalisi kepartaian. Secara harfiah koalisi artinya gabungan, beberapa partai politik bergabung karena kesamaan persepsi dan cita-cita politik. Setelah disahkannya uu pilpres, di dalamnya justru diatur perihal presidential threshold 20-25% yang memperkuat keberadaan koalisi itu, sehingga jelaslah legalitasnya. Lalu apakah hal ini bertentangan dengan UUD 1945, saya berpendapat tidak bertentangan. Sebab UUD 1945 sendirilah yang membuka celah dan kesempatan koalisi itu. 

Adapun dilema kita bernegara dengan keberadaan koalisi ini dapat saya kemukakan diantaranya :
1. Iklim politik pilpres cenderung terfokus pada bagi-bagi kursi di kabinet maupun di eksekutif.

2. Koalisi menjadi strategi mempertahankan posisi politik maupun kepentingan politis parpol di pemerintahan.

3. Strategi parpol untuk mendominasi sektor-sektor strategis di pemerintahan.

4. Pada ahirnya praktiknya parpol lah yang berkuasa secara materil, sedang keberadaan dan kekuasaan Presiden hanya diatas kertas (secara formil). 

5. Keputusan maupun kebijakan Presiden banyak dipengaruhi dan di intervensi oleh suara partai. Hal ini mengakibatkan Presiden tidak leluasa dan tidak independen memerintah.

6. Pada ahirnya Presiden harus menyelaraskan kebijakannya dengan kepentingan parpol koalisi. Apapun kebijakan Presiden diupayakan jangan sampai bertentangan dengan kemauan dan kepentingan politis parpol. 

Ini oleh banyak pihak dikatakan sebagai bentuk balas budi Presiden kepada parpol yang telah berhasil mendudukkannya menjadi orang nomor satu di Republik ini. Singkatnya, suara Presiden suara parpol, diamnya Presiden kemauannya parpol. Ini semua menghantarkan kita pada suasana bernegara yang dilematis seperti sekarang ini. Belum lagi pasca putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014 yang menyatakan bahwa pemilu mulai dari tahun 2019 demikian seterusnya dilaksanakan serentak.  Konsekuensi logisnya sebetulnya presidential threshold menjadi tidak rasional dan tidak lagi relevan untuk dipertahankan, demikian pula keberadaan koalisi menjadi sangat longgar. Namun nyatanya pembentuk undang-undang tetap mempertahankan presidential threshold itu. Nampaknya motivasi legislator hanya berbasis politis semata dan cenderung mengabaikan demokratisasi dalam kita bernegara hukum ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...