Sabtu, 22 Desember 2018

Kedudukan Fatwa MUI Dalam Sistem Hukum Nasional


Kedudukan Fatwa MUI Dalam Sistem Hukum Nasional

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Semula tulisan ini berasal dari sebuah Penelitian yang dilakukan seorang dosen saya sekitar tahun 2017 lalu, saya juga diminta membantu dalam menyampaikan hasil kajian beliau. Kami sama-sama mempunyai latar belakang pendidikan atau konsentrasi akademik Hukum Tata Negara, sehingga banyak kesamaan pandangan juga tidak luput dari perbedaan pendapat. Bapak Wira Atma Hajri, SH., MH adalah senior sekaligus guru saya, beliaulah yang mengangkat topik perihal fatwa MUI ini. Hanya saja dari makalah Penelitian beliau dalam tulisan ini ada yang saya tambahkan dengan pemahaman keilmuan saya dan ada pula yang saya ubah. 

Adapun yang saya ubah itu adalah judul makalah Penelitian beliau dimana beliau memberi judul "Fatwa Majelis Ulama Indonesia  (MUI) Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia", kemudian dalam tulisan ini saya ubah sehingga menjadi  "Kedudukan Fatwa MUI Dalam Sistem Hukum Nasional". Saya fikir judul ini lebih tepat untuk mengakomodir pembahasan yang dimuat di dalamnya. Terlepas dari perbedaan pendapat, hal itu lumrah saja, tidak ada yang istimewa tentang hal itu, semuanya hanya perbedaan dalam menggunakan perspektif saja. 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia belakangan ini kembali menimbulkan pro-kontra di tengah-tengah dinamika politik dan penegakan hukum. Misalnya dipersoalkan Fatwa MUI No. 56 Tahun 2016 Tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim. Fatwa ini pada dasarnya berisi larangan dan hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim. Fatwa ini mendapat respon positif  dari Kapolres Bekas Kombes Umar Surya Fana dan Kapolres Kulon Progo Nanang Djunaidi. 

Kapolres tersebut menindaklanjuti secara positif keberadaan fatwa itu dengan mengeluarkan beleidsregel (aturan kebijakan) berupa surat edaran. Belum sempat surat edaran itu dilaksanakan, turun perintah dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang mengatakan bahwa Kapolres harus mencabut kembali surat tersebut, sebab fatwa MUI bukanlah hukum positif dan tidak mempunyai kekuatan berlaku mengikat sebagai hukum. Sikap Kapolres oleh Kapolri dinilai terlalu berlebihan, fatwa MUI tidak bisa dijadikan acuan bagi polri dalam mengeluarkan peraturan, karena itu tidak perlu diikuti.

Baru-baru ini Menko Polhukam Mahfud,  Md juga menyampaikan hal yang senada dengan Tito Karnavian yang sekarang Menteri Dalam Negeri terkait fatwa MUI tentang larangan mengucapkan selamat natal.  Pak Menko mengatakan bahwa "tidak ada keharusan untuk mengikuti fatwa MUI, sebab fatwa hanyalah pendapat hukum. Di Mahkamah Agung jiga dikenal adanya fatwa, demikian juga dengan di ormas Islam seperti NU maupun Muhammadiyah, antar ormas Islam dapat muncul perbedaan pendapat hukum sehingga ia tidak merupakan suatu keharusan untuk diikuti". 

Fatwa MUI tersebut hanya sebagai sebuah contoh, sedangkan kajian dalam tulisan ini bukanlah fatwa MUI tertentu, melainkan hakikat dari keberadaan fatwa MUI itu sendiri di Negara kita. Keberadaan MUI itu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan umat islam itu sendiri. Meski Indonesia oleh anggapan umum bukanlah Negara Islam, tetapi prakteknya hukum Islam tetap dijalankan dengan baik dan semarak oleh umatnya. Serta tidak dapat terbantahkan bahwa Negara ini mayoritas terdiri dari penduduk yang beragama Islam. Bahkan jauh sebelum Negara ini berdiri, agama islam, ajaran Islam, hukum-hukum islam sudah mengurat mengakar dalam setiap sendi kehidupan rakyat Indonesia sampai hari ini.

Masalah-masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat yang berhimpitan dengan persoalan keislaman, baik itu menyangkut akidah, muamalah ataupun akhlak selalu meliputi baik dalam suasana beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua itu membutuhkan jawaban untuk menghindari timbulnya perpecahan dan konflik akibat minimnya pengetahuan, serta untuk menghindari kekeliruan dalam memahami ayat-ayat Qur'an maupun hadist. Karena itulah respon dari para ulama dinilai sangat penting dalam menemukan jalan keluar atas masalah-masalah kontroversial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. 

Berawal dari hal itulah para cendekiawan muslim  Indonesia secara kolektif semakin terdorong semangatnya untuk menyatukan gerak langkah umat Islam dalam mewujudkan cita-cita bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka cendekiawan muslim tersebut membentuk lembaga besar keummatan yang berwenang memberikan respon atau menentukan sikap terhadap berbagai permasalahan yang terjadi terkait dengan keislaman. Dengan demikian teranglah bahwa MUI bukanlah lembaga negara dan pengurusnya bukan pejabat negara. Karena itu pula produk yang dikeluarkannya yaitu Fatwa juga tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.

Bila mengacu pada Pasal 1 angka (2) UU No.12 Tahun 2011 Tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tegas dikatakan bahwa, "Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat negara yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan".

Karena fatwa MUI bukan peraturan perundang-undangan maka fatwa MUI bukanlah hukum positif. Paradigma seperti inilah yang menghinggapi pikiran eks Kapolri Tito Karnavian maupun Menko Polhukam Mahfud. Md. Pemahaman seperti ini tidak salah, tapi juga bukan berarti benar seluruhnya. Harus dipahami bahwa UU No. 1 Tahun 2011 tersebut bicara dalam konteks hukum tertulis atau written law.  Sementara menurut doktrin sebagai ius communis opinio doctorum yang bertahan sampai hari ini mengatakan bahwa hukum bukan hanya terbatas pada hukum tertulis yang dibuat pemerintah negara saja, tapi juga meliputi hukum tidak tertulis atau the living law.

Dalam hal ini hukum adat adalah hukum tidak tertulis, termasuk juga norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma agama. Adapun Fatwa MUI merupakan ekspresi atau refleksi dari norma agama (Islam) sehingga masih tergolong dalam norma agama sebagai the living law. Dalam kajian ilmu hukum semua hukum tidak tertulis itu masuk kedalam cakupan ius constitutum disamping peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis. Ius constitutum berarti hukum yang berlaku menurut tempat dan waktu tertentu. Semua hukum tidak tertulis tersebut nyata masih berlaku hari ini,  maka dapat pula dipahami bahwa ius comstitutum itu sebagai hukum yang berlaku hari ini. 

Dengan demikian dapat dipahami, hukum yang berlaku sekarang cakupannya luas tidak hanya hukum positif yakni hukum tertulis buatan negara tetapi juga mencakup norma agama, norma adat, norma kesopanan, dan norma kesusilaan. Dalam konteks Negara hukum formal, benar bahwa bagi Negara, hukum itu adalah hukum buatan Negara itu sendiri, bentuknya tertulis, dibuat oleh pejabat/badan yang berwenang melalui prosedur tertentu, ada sanksinya dan dapat dipaksakan pemberlakuannya. Karena itu hanya hukum positif yang diakui oleh Negara sebagai hukum nasional.

Adapun hukum agama dalam hal ini Islam, tetap berlaku dan dipatuhi oleh umat Islam dan berlaku sebagai hukum positif khusus bagi umat Islam serta mempunyai kekuatan berlaku mengikat sebagai hukum dikalangan umat Islam. Hanya bedanya dengan hukum positif negara, bahwa hukum Islam berasal dari Allah Subhnahuwata'ala dan tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya kepada umat Islam. Pemberlakuannya sepenuhnya diserahkan kepada kesadaran beragama umat Islam itu sendiri, baik kesadaran kolektif maupun kesadaran individual. Tetapi mana kala norma agama itu telah ditransformasikan atau diakomodir dalam hukum positif atau hukum buatan negara maka ia dapat dipaksakan pemberlakuannya.

Disamping itu fatwa MUI kedudukannya sama juga dengan fatwa ulama secara personal seperti fatwanya 4 imam mazhab yang populer di tengah umat Islam. Fatwanya dalam banyak hal terdapat perbedaan satu dengan yang lain,  tapi fatwanya diikuti sebagai hukum yang hidup dal realitas beragama umat Islam. Sementara itu dalam konteks berhukum di Indonesia fatwa MUI selain sebagai hukum positif bagi umat Islam, ia juga memiliki kedudukan sebagai sumber hukum materil yaitu sebagai bahan bagi pembentukan kaidah hukum positif negara.

Orang tidak bisa dihukum (oleh Negara) karena tidak bayar zakat misalnya tetapi ketika perintah zakat itu diadopsi kedalam hukum positif negara, maka disaat itu orang dapat dipaksa untuk membayar zakat berdasarkan undang-undang atau peraturan daerah, karena undang-undang adalah hukum positif Negara. Jadi menghukum itu bukan lagi berdasarkan norma agama seperti Al-Qur'an maupun Hadist. Hukum agama (Islam) adalah the living law (hukum yang hidup) ditengah-tengah masyarakat muslim, ia dipatuhi karena itu ia mempunyai kekuatan berlaku mengikat sebagai hukum positif bagi umat Islam.

Hukum Islam kapanpun dapat menjadi acuan, referensi atau bahan bagi pembentukan kaidah hukum positif Negara. Bahan-bahan ketika suatu undang-undang atau perda yang ingin dibentuk itu salah satunya dapat diambil dari hukum Islam. Sebab hukum Islam kedudukannya dalam sistem hukum nasional diakui adalah sebagai sumber hukum materil disamping hukum adat, hukum kebiasaan, norma kesopanan dan norma kesusilaan. Karena itu tidak tepat jika pak Menko Polhukam mengatakan bahwa fatwa MUI tidak dapat dijadikan acuan bagi polri untuk keluarkan peraturan. Bahkan dulu pernah ada fatwa MUI tentang Jihad melawan tentara penjajah, hukum cinta tanah air adalah kewajiban umat Islam maka itulah yang melandasi semangat perjuangan yang mengobarkan perlawanan melawan penjajah di seluruh pelosok nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...