Senin, 24 Desember 2018

Mahkamah Konstitusi, Positive Legislator atau Negative Legislator


Mahkamah Konstitusi, Positive Legislator atau Negative Legislator 

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Tulisan ini penyempurnan dari tulisan saya sebelumnya yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perluasan tafsir atas beberapa ketentuan dalam KUHP mengenai perzinahan.

Penolakan 5 (lima) orang hakim konstitusi terkait dengan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang berakibat Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak seluruhnya permohonan pemohon dengan alasan katanya Mahkamah Konstitusi bukan positive legislator melainkan negative legislator lagi-lagi membuat dunia hukum bergemuruh. 

Saya tak sependapat hakim termasuk hakim konstitusi itu tak bisa bersikap sebagai positive legislator (pembentuk hukum).

Saya keberatan dengan pendapat yang mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi itu tidak bisa berperan sebagai positive legislator, Negara hukum yang kita bangun ini hendaknya bukanlah Negara hukum yang kaku seperti kondisi hari ini. 

Konsep trias politica yang menghendaki bahwa masing-masing poros kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) independen dalam menjalankan tugas dan kewenangannya itu kita terima tetapi hendaknya tidak berarti bahwa kita menolak konsep judge made law yang dikenal dalam tradisi hukum di Negara Common Law (Inggris, Amerika, dan Kanada). 

Bukankah telah sering dikatakan bahwa Negara hukum Indonesia merupakan Negara hukum prismatik, konvergensi atau kombinasi dari tradisi hukum yang berbeda-beda antara Rechtstaat, Rule of law/Common Law, dan Islamic law.

Walaupun dalam konsep Negara hukum yang kita anut sampai hari ini adalah konsep yang kaku bahwa hakim dilarang menggunakan analogi termasuk pula metode ekstensif dalam menemukan hukumnya sesuatu perkara yang sedang diadili. 

Sebab analogi dianggap dapat menciptakan norma baru, delik baru (sesuatu perbuatan yang semula bukan perbuatan yang terlarang kemudian menjadi suatu perbuatan yang terlarang), dan dapat mempengaruhi berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Dan itu diangggap tidak adanya kepastian hukum sehingga berpotensi menciptakan pelanggaran hak asasi. Artinya, dengan ditolaknya penggunaan analogi/ argumentum per analogiam maka tertutuplah peluang untuk judge made law atau positive legislator.

Sangat disayangkan, kedepan perlu difikirkan kembali kemungkinan untuk melakukan pembenahan konseptual Negara hukum kita. Hakim orang yang cerdas dan terdidik, orang yang berpengetahuan, disekolahkan sampai jadi profesor bukan untuk menjadi corong undang-undang. Hakim seharusnya tempat meminta solusi ketika undang-undang buntu tidak bisa menjawab persoalan. 

Selain itu keberadaan asas legalitas dalam hukum pidana membuat norma hukum terlalu kaku dan beku dengan sentuhan nilai-nilai moral. Maka demi dan atas nama keadilan itu sendiri, hakim dalam putusannya tidak perlu positivistik memahami hukum hanya deretan pasal-pasal kumpulan huruf-huruf dan angka-angka. 

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatakan, Indonesia adalah Negara hukum. Sebelum UUD 1945 di amandemen (diubah) semula dalam penjelasan tercantum  di dalamnya Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan belaka (machstaat). "Rechtstaat" bermakna Negara hukum yang bertumpu pada asas legisme (kepastian hukum, yang diwujudkan salah satunya dalam bentuk undang-undang). 

Ketika di amandemen, penjelasan dihapuskan, dan substansinya dimasukkan kedalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sehingga menjadi "Negara Indonesia adalah Negara hukum", tanpa embel-embel "rechtstaat". 

Penghapusan itu harus diapresiasi sebagai suatu bentuk kesadaran hukum yang patut untuk dihormati. Dengan demikian maka teranglah bahwa secara konstitusional, Negara ini tidak lagi bertumpu semata-mata pada asas legalitas. Keberadaan Pasal 28 j UUD 1945 pun tidak dapat dikonklusikan bahwa Negara menganut asas legalitas mutlak. 

Hanya masalahnya keberadaan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) penganutan asas legalitas dipermutlak. Permutlakan itu bertentangan dengan semangat dan jiwa UUD 1945 hasil amandemen. 

Sebab penghapusan kata "rechtstaat" yang semula tercantum dalam penjelasan UUD 1945 itu berpengaruh sangat besar dalam tatanan hukum kita, padahal sejak semula UUD 1945, bahkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS/UUD RIS 1949) dan  UUD Sementara 1950 semuanya mengatur sedemikian komprehensifnya keberlakuan asas legalitas secara mutlak. Sehingga UUD pada waku itu terdiri dari banyak pasal mencapai lebih dari seratus pasal. 

Sejak di amandemen dengan tidak lagi dicantumkannya kata "rechtstaat", itu menjadi tanda bahwa sebenarnya Negara tidak lagi menitikberatkan kepada anutan tradisi hukum rechstaat. Dengan demikian pengadilan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tidak perlu terpaku dengan asas legalitas apa lagi mempermutlakkannya.

Tidak hanya sampai disitu, dalil-dalil lain yang perlu diketengahkan adalah bahwa dalam undang-undang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan dalih hukum tidak ada, tidak jelas atau tidak lengkap melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.

Latar belakang munculnya ketentuan yang seperti ini adalah sebab hakim dianggap tahu, mengerti akan hukumnya setiap perkara yang diajukan pada dirinya. Dalam istilah latinnya inilah yang disebut dengan asas ius curia novit.

Asas ini secara mutlak dianut di Negara Anglo Saxon (Common law). Ini juga menjadi salah satu dalil yang kuat bahwa sebenarnya Negara kita menganut tradisi hukum Anglo Saxon dalam hal ini judge made law sehingga praktiknya seharusnya peradilan dapat mengambil peran sebagai positive legislator. Karena itu pulalah penerimaan nilai-nilai dalam tradisi hukum Anglo Saxon maka Negara kita tidak pula dapat dikatakan mutlak menganut tradisi hukum Eropa Kontinental (Rechtstaat).

Dalam ketentuan lain disebutkan bahwa hakim wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Berdasarkan dalil-dalil yang saya kemukakan dalam tulisan ini, sebagai seorang yang mendalami hukum tata negara, saya berpendapat tidak relevan secara konseptual kita hendak mendudukkan atau berkeinginan menempatkan peradilan termasuk Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator. 

Sebab sepertinya khususnya Mahkamah Konstitusi dari awal dirancang untuk memerankan diri hanya sebagai negative legislator, meskipun sejak Mahkamah Konstitusi berdiri praktiknya Mahkamah Konstitusi tidak pernah sekalipun konsisten dengan negative legislator.

Lagi pula makna Negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 haruslah ditafsirkan secara meluas bahwa di Negara ini tidak hanya hukum positif buatan Negara yang berlaku dan diakui, tetapi disamping itu masih ada hukum agama, hukum adat, norma kesusilaan dan norma kesopanan. 

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan penolakan memperluas tafsiran Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP telah mengabaikan keberadaan 4 norma diatas sebagai  living law (hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat). Sebab praktik perilaku menyimpang LGBT nyata-nyata sangat bertentangan dengan living law itu. 

Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadi perkara lebih memilih positivistik dalam memahami hukum bahwa hukum adalah deretan pasal-pasal diatas kertas terdiri dari kumpulan huruf dan angka-angka, tidak menyelesaikan masalah tetapi memperlama selesainya masalah dengan menyerahkan hal itu kepada legislator sebagai (Presiden dan DPR) sebagai positive legislator. 

Sebab menurut Saldi Isra, salah seorang hakim yang menolak permohonan pemohon berpendapat, kalaulah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon maka Mahkamah Konstitusi dipastikan memperluas tafsiran pasal-pasal yang di mohonkan itu, dengan demikian berarti Mahkamah Konstitusi telah bertindak sebagai positive legislator, padahal prinsipnya hanya sebagai negative legislator. 

Kalau memang demikian, sekalipun atas dasar keadilan mengapa dulu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan menambah/memperluas objek atau wewenang praperadilan dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?, bukankah itu berarti Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator?. 

Sekarang ini masalahnya lebih serius yaitu menjaga moral bangsa, mengapa Mahkamah Konstitusi bersikukuh dengan asas legalitas?, yaitu asas yang sangat kering dan beku dengan setuhan nilai-nilai moral dan sangat kaku karena hukum sulit menyesuaikan diri dengan laju dinamika kemasyarakatan. 

Belum lagi kalau kita bicara non hukum seperti tanggungjawab hakim terhadap putusannya kepada tuhan, dosa karena telah ikut-ikutan membiarkan praktik penyimpangan amoral seperti LGBT itu dan lain sebagainya dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...