Senin, 24 Desember 2018

Living Law Constitution, dan Problematik UUD 1945


Living Law Constitution
dan Problematik UUD 1945 

Oleh: Syahdi, S.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Konvensi, kebiasaan, rechtvinding (penemuan hukum) melalui tafsiran/putusan pengadilan hanya dapat menutupi kelemahan UUD 1945. 

Tetapi tidak bisa mengisi rechtvacuum (kekosongan hukum) dalam UUD 1945. Untuk mengisi rechtvacuum hanya dapat dilakukan dengan amandemen UUD 1945 (perubahan melalui prosedur formal yang diatur dalam UUD 1945 itu sendiri).

Pemberlakuan kembali UUD 1945 oleh Presiden Soekarno berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 Tentang Dekrit adalah Coup d'Etat dan inkonstitusional. Pada waktu itu (1950-1959 berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara/UUDS 1950) sesuai dengan sistem parlementer yang dianut, Presiden adalah Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan. 

Dan yang berwenang membentuk dan menetapkan UUD yang tetap pengganti UUDS 1950 adalah Majlis Konstituante yang pada waktu 1956-1959 tengah bersidang membahas UUD yang akan dipakai dan diberlakukan. Coup d'Etat oleh Presiden Soekarno telah mengambil alih kekuasaan secara paksa dari Pemerintah (kabinet) dan mengambil alih wewenang Majelis Konstituante secara tidak sah (inkonstitusional). 

Lalu apakah UUD 1945 yang diberlakukan berdasarkan Dekrit Presiden tahun 1959 itu sah atau tidak sah??, 

Ada pendapat yang mengatakan UUD 1945 sah atas dasar keadaan darurat karena situasi pada waktu itu terjadi konflik antar kelompok dan ideologi di kalangan rakyat, juga karena agresi belanda yang terus merongrong kewibawaan Pemerintah dan lain sebagainya.

Saya berpendapat, bila disandarkan pada  keadaan darurat ada benarnya tapi tidak sepenuhnya benar, praktik nyata menunjukkan keadaan darurat, tapi untuk konteks keadaan daruratpun dalam Ilmu Hukum Tata Negara ada hukum yang juga berlaku yaitu abnormal law/ law emergency) tetapi tidak dipatuhi oleh Presiden. Bagaimanapun Coup d'Etat inkonstitusional tak dapat diterima di Negara hukum ini.

Satu-satunya alasan yang dapat menjadi dalil untuk membenarkan tindakan Presiden Soekarno itulah yang dalam hukum tata negara disebut sebagai "sesuatu yang haram tapi seketika dapat menjadi halal". 

Maksudnya, meski dengan keputusan hukum/produk hukum yang buruk sekalipun tetapi mampu dipertahankan, selama tidak dicabut/dibatalkan berlaku sebagai hukum yang harus dianggap benar adanya. 

Sebab itu ia adalah law in fact, hukum yang berlaku dalam kenyataan atau kenyataan yang diterima dan berlaku sebagai hukum. Ini satu hal yang buruk dalam hukum tata negara.

**(Percikan Pemikiran Dalam Telaah Sejarah Ketatanegaraan Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...