Era Pemujaan Kemasyhuran
Oleh: Syahdi
(Cendekiawan Muslim)
Melesatnya perkembangan teknologi informasi telah mendorong masifnya koneksitas orang-orang di berbagai negeri saling terhubung dan membangun percakapan yang modern untuk sebuah relasi besar bahkan telah menginisiasi pula pertumbuhan sumber penghidupan yang relatif baru dengan memanfaatkan instrumen media sosial berbasis internet. Dari sini bermunculanlah banyak inovasi yang ditampilkan untuk mengeksplorasi kreatifitas, karya, sikap yang menginvasi ketabuan dan kejumudan tentang kepercayaan atau tradisi, pertunjukan keelokan bentuk fisik tubuh. Memperbincangkan aib dan urusan yang sangat privat dalam kehidupan keluarga dikomersialisasikan dengan runut dan lengkap sebagai bagian dari percakapan millenial yang lebih modern.
Bahkan untuk mendirikan bangunan eksistensi dan popularitas yang menjulang meskipun dengan jalan menyesatkan dan melakukan pembodohan orang-orang melakukan apa saja sebagai mata pencaharian. Hingga perlombaan menjadi pejabat publik cara apa saja dilakukan untuk mempertinggi status sosial demi menjadikan diri orang yang terpandang di masyarakat. Kendatipun tampaknya mayoritas peserta lomba ini memandang jabatan sebagai ladang uang dan hanya menjadi mata pencaharian untuk memperbesar lambung belaka. Semua itu juga terinspirasi dari hasrat akan kemasyhuran yang besar yang menyala membara di dalam diri.
Ruang-ruang di media sosial telah pula mengetengahkan realitas sosial seraya mengungkapkan pada kita percakapan dan dialektika yang menarik yang sarat emosional antara debat mengenai ajaran ketuhanan dalam Islam vs ketuhanan yang dipercayai dalam kekristenan. Kita tidak dapat menampik bahwa perkembangan teknologilah yang mempertemukan percakapan keilahian tersebut. Hingga muncul gejolak dan polemik diantara kedua sisi yang saling berkonfrontasi untuk menunjukkan kebenaran yang diyakini. Dahulunya soal-soal seperti ini sebuah ketabuan untuk dibicarakan.
Diantara sebabnya ialah sangat rentan mengundang disharmonisasi dan permusuhan. Tetapi oleh karena adanya kemiripan atau dalam beberapa bagian daripada ajaran agama menjadikan antara kelompok Islam dan Kristen bertemu pada sebuah percakapan yang panjang. Mulai dari Ahmad Deedat, Yusuf Estez, Zakir Naik yang mungkin dapat dicatat sebagai generasi pendobrak di era modern yang mempelopori percakapan yang semula tabu menjadi terbuka dengan terang benderang. Hingga saat ini soal-soal agama semakin ramai menghiasi layar-layar media sosial.
Dalam sorak sorai yang mengalun kencang itu hasrat akan kemasyhuran kian menguat menjadi motivasi untuk memperbanyak pengikut (followers). Andai memang orang-orang dengan mazhab pemuja kemasyhuran ini mendapat inspirasi dari ekspresi filsafat Friedrich Nietzsche bahwa untuk dikenal maka jangan menjadi kerumunan. Namun praktek yang ditunjukkan ialah dengan mengendapkan moralitas dan nilai-nilai luhur menjadikannya alas untuk hasrat ingin kemasyhuran, mengharapkan respek yang besar dari banyak orang.
Dalam suasana riuh rendah intensitas penggunaan media sosial munculnya orang semisal Gufron- ia dikenal pula dengan sebutan Mama Gufron yang kalau berbicara ngalor-ngidul tidak jelas ujung dan pangkal persoalan, materi pembicaraan yang absurd mengangkangi akal sehat dan tradisi keilmuan yang telah lama terbentang mewah dan mapan di kalangan para terpelajar dan intelektual muslim telah menjadikannya tidak ubahnya sosok guru yang diikuti dengan rasa hormat yang besar melanda. Kaidah keilmuan linguistik dikacaukan ia tampil dengan rasa percaya diri tinggi memperagakan apa yang dia sebut Bahasa Suryani.
Ia berbicara seakan fasih dengan bahasa tersebut. Konyolnya apapun materi yang dibawakannya dalilnya tetap: makoli innaka wama koli fiima allah. Itu saja diulang-ulang secara kacau. Dalam dialognya ia mengatakan bisa bahasa semut, bisa memerintahkan malaikat, para wali dan para nabi untuk mengikuti perintahnya, dengan pongahnya ia membuka Al-Qur'an lalu menghempaskannya secara sembrono, ia mengaku bisa membedah langit. Bahkan dia menyebut dirinya penjaga gawang neraka dan serangkaian cerita-cerita kebodohan yang mengakar.
Secara gamblang orang tua itu sudah terindikasi melakukan penyesatan dan pembodohan yang luar biasa besar dengan menyelewengkan ajaran Islam. Ia menggunakan label Islam dan mengacaukan ajaran keislaman yang telah komprehensif terbentang dalam literatur. Hanya saja yang mengherankan ia malah mendapat simpati dari banyak orang hingga memiliki banyak pengikut. Disinilah kualitas umat Islam diuji dan hasilnya meski umat Islam mayoritas dari sisi jumlah di negeri ini tapi kualitas mayoritas justru anjlok ketitik terbawah ketiadaan pengetahuan dan pemahaman yang memadai.
Semua kejadian dan kejanggalan di negeri ini selalu saja menjadikan negeri ini pasar yang laris tumpah ruah peminat. Apa saja yang dijual di negeri ini semuanya laku terjual habis. Ada yang ngaku jadi nabi bahkan malaikat Jibril toh ada saja pengikutnya. Meski orang yang mengaku nabi dan malaikat itu pun akhirnya dipenjarakan oleh kepolisian. Suburnya praktik ajaran Islam yang diselewengkan dan bercampur aduk dengan kemusyrikan tetap saja ada dan ramai pengikutnya.
Sampai disini sadarlah kita betapa di negeri ini umat mayoritas dengan penganut Islam terbanyak kedua setelah Pakistan di dunia ini kualitasnya jauh panggang dari api. Dengan kondisi seperti itu tidak bisa diharapkan untuk melakukan pembaharuan dan mendirikan kembali bangunan peradaban yang dahulu megah bermutu tinggi dibangun oleh para generasi pendahulu. Justru umat mayoritas ini banyak menjadi inisiator menjamurnya kejahatan dan melakukan kerusakan. Umat yang gemar menjadi maling, banyak melakukan pembunuhan. Bahkan dalam banyak kasus pembunuhan sadis justru dilakukan oleh mereka dengan embel-embel Islam, demikian pula berbakat menindas dan memperbudak. Umat yang hanya memikirkan lambung dan memperbesar perut.
Dari kejadian Gufron ini mirisnya kita belum menyaksikan sikap MUI, NU, dan Muhammadiyah. Sementara ceramah bathilnya sudah berseliweran di berbagai platform media sosial. Ada segelintir dari kalangan NU dan Muhammadiyah hanya menyentil sepintas lalu mengingkari kebathilan Gufron. Ada semacam sikap canggung dan gagap yang menghinggapi khususnya NU atas kehadiran Gufron ini sehingga tidak dapat mengambil sikap menyatakan sesatnya ajaran Gufron. Hal ini dikarenakan dalam tradisi Nahdliyin memang tumbuh dengan subur rasa hormat yang besar yang memuliakan para wali, para habib dan orang-orang yang disematkan padanya sebutan Gus.
Beberapa orang mereka istimewakan lantaran diyakini sebagai wali majdub yang penampilan dan sikap lahiriahnya tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Hanya saja manakala menyaksikan Gufron banyak umat Islam termasuk mereka yang di-tokohkan tampaknya gagap dan linglung akibat praktek-praktek pengagungan berlebihan orang-orang yang diistimewakan telah kerap kali kebablasan. Mungkin saja diantara mereka memandang Gufron ini termasuk wali majdub tapi mereka pun ragu untuk menegaskan sikapnya. Padahal jelas sekali ajaran Gufron ini tidak sejalan dengan akidah dan keseluruhan ajaran dalam Islam. Semakin banyak penyelewengan ajaran Islam oleh orang-orang yang mengatasnamakan dirinya muslim telah mengundang banyak cercaan dari umat beragama lain yang berujung pada tindakan yang merendahkan Islam sungguh telah mencoreng kemuliaan Islam.
Manusia modern yang hidupnya gandrung dengan kemasyhuran menjadikan apa saja sebagai instrument untuk membesarkan dirinya meskipun harus menukar akal sehatnya dengan kotoran dan bau busuk bangkai. Mereka bangga mengiklankan kebodohan dan kesesatannya dengan rasa gembira. Sungguh kita sudah tiba pada era generasi atau fase keempat seperti yang dinukilkan oleh Ibnu Khaldun bahwa generasi keempat adalah generasi perusak. Kesesatan dan pembodohan datang secepat kilat sementara fase kesadaran tertinggal terlampau jauh untuk mengimbangi kesesatan, merawat keparahan moralitas dan kejatuhan intelektualitas umat ini.**