Kamis, 31 Oktober 2024

Takdir Pendidikan Dihadapan Palu Hakim

 

Takdir Pendidikan Dihadapan Palu Hakim

Oleh: Syahdi 

(Cendekiawan Muslim)

Dunia pendidikan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kendatipun demikian ini hanya sebuah sektor dari hampir keseluruhan sektor kehidupan yang bermasalah. Pendidikan yang tidak diurus serius memang mendatangkan setumpuk problematika besar yang tidak mudah untuk diatasi. Simpul-simpul permasalahan yang melatarbelakangi munculnya berbagai dinamika yang semakin kompleks dan rumit memerlukan komitmen dan ikhtiar yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak terutama sekali pengambil kebijakan untuk melakukan pembenahan regulatif, penataan manajemen birokrasi, sistem seleksi pendidik dan peserta didik yang efektif tidak hanya berorientasi pada standar baku diatas kertas atau konseptual tetapi juga mesti berpijak pada basis kemampuan dan penguasaan akademik yang baik, mengutamakan aspek moralitas sebagai pembentuk akhlak atau karakter.

Uforia Kebebasan

Konsepsi hak asasi manusia yang dianut dalam produk hukum nasional semakin hari samakin bersifat liberal hingga hampir tidak ditemukan batasan yang tegas dan jelas. Liberalisasi hak asasi manusia tampak mulai tumbuh di era genderang demokrasi yang semakin menguat pasca era reformasi. Sesungguhnya sejak 18 agustus 1945 ketika UUD 1945 disahkan, secara konstitusional demokrasi telah diberlakukan kendatipun hanya secara normatif. Sebab dalam praktik demokrasi yang dijalankan mengalami pergeseran menjadi demokrasi terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menganulir fungsi konstitusionalitas Konstituante. Diabaikannya Konstituante sebagaimana banyak disebutkan dalam buku yang ditulis Endang Saifudin Anshari, "Piagam Jakarta (Konsensus Nasional Islam dan Nasionalis Sekuler) ditengarai oleh ambisi Presiden Soekarno untuk memberlakukan model demokrasi terpimpin bahwa pengambilan keputusan banyak didominasi oleh Presiden. Dengan demikian Presiden memiliki kewenangan besar.

Demikian pula pemerintahan dibawah kepemimpinan rezim orde baru model demokrasi yang ditegakkan ialah demokrasi Pancasila dengan slogannya yang terkenal: "Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen".  Pelaksanaan demokrasi Pancasila tersebut dikukuhkan dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancaskarsa) yang menafsirkan lima sila kedalam 36 butir. Selanjutnya tafsir atas lima sila bertambah menjadi 45 butir berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002. 

Kendatipun rezim orde baru di periode awal tampil memukau dengan spirit "Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen", praktiknya ternyata jauh panggang dari api terutama menyangkut otoriterianisme rezim orde baru yang menggembosi UUD 1945 dengan rekayasa politik menjadikan Soeharto dapat menjabat Presiden hingga 32 tahun. Selain itu kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik tidak mendapat tempat yang menjadikan nilai-nilai demokrasi tidak dapat dilaksanakan. Pasca rezim orde baru meruntuh, kebebasan yang selama puluhan tahun dikekang akhirnya mendapat tempat yang lapang tanpa sekat, uforia kebebasan bergemuruh dengan semarak, tak ayal pandangan-pandangan demokratispun tumbuh subur dan semakin menguat dipanggung nasional. Hingga saat ini kebebasan dan pandangan tentang hak asasi manusia semakin riuh dibicarakan dibanyak tempat menjadi isu sentral dalam legislasi di parlemen.

HAM Yang Membelenggu

Konsepsi hak asasi manusia yang dianut negeri ini di era liberalisasi saat ini banyak menyadur konsepsi hak asasi manusia ala Barat yang menghendaki kebebasan yang tanpa sekat dan bebas nilai. Konsepsi yang demikian itu tidak mempertimbangkan bahkan menolak moralitas yang luhur. Barat yang hidup dalam tradisi individualisme sangat menghargai jaminan perlindungan kebebasan individu diatas kepentingan kolektif sangat tidak cocok dengan kultur bangsa Indonesia yang secara historis hidup dalam suasana kolektivisme yang mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan individu. Kepentingan individu dihargai dan tetap diberikan ruang tetapi dibatasi oleh kepentingan umum. 

Manakala kepentingan individu berpotensi atau menganggu kepentingan umum maka kepentingan individu dibatalkan oleh kepentingan umum. Sementara dalam pandangan dan gaya hidup Barat adalah kebalikan dari itu semua bahwa kepentingan dan kebebasan individu lah yang paling menentukan hingga kepentingan umum dapat dibatalkan jika bertentangan dengan kepentingan individu. Secara normatif nuansa kolektivisme yang dianut oleh bangsa ini misalnya tercantum dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa "semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial", demikian pula pada Pasal 7 diatur bahwa "Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan". 

Nuansa yang sarat gaya hidup kolektivisme dapat pula kita cermati pada kebijakan pemerintah dalam pembangunan jalan tol, bahwa atas nama kepentingan umum pemilikan tanah oleh warganegara tunduk pada kebijakan pemerintah bahwa tanah atau lahan milik individu warganegara dapat diambilalih oleh pemerintah peruntukan atau fungsinya untuk pembangunan infrastruktur dengan cara menebus tanah tersebut dengan harga yang wajar. Adapun polemik terkait dengan pembebasan lahan milik individu merupakan suatu masalah tersendiri yang tidak mengurangi arti penting bahwa kepentingan umum diakui berada diatas kepentingan individu. Konsepsi hak asasi manusia yang liberal yang sarat individualisme, materialisme ketika diadopsi dalam produk hukum nasional praktis menimbulkan gesekan dan gejolak ditengah masyarakat. 

Urgensi Rekonsepsi HAM

Rekonsepsi hak asasi manusia untuk diterapkan di negeri ini merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan. Konsepsi hak asasi manusia yang diberlakukan mesti berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh dan terpelihara dimasyarakat yakni norma adat, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma agama. Dengan kata lain nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang berkembang dan tumbuh dimasyarakat mesti menjadi landasan utama. Tidak boleh ada muncul peristiwa disebabkan atas dasar hak asasi manusia atau karena menegakkan hak asasi manusia kemudian mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh terpelihara di masyarakat. Jika nilai-nilai dan norma sosial tersebut diabaikan, dilanggar maka akan melukai rasa keadilan yang hidup dimasyarakat. 

Artinya dengan menjadikan nilai-nilai dan norma sosial yang ada dimasyarakat sebagai landasan konseptual hak asasi manusia maka segala tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma sosial tersebut harus dibatalkan. Inilah konsepsi hak asasi manusia yang harus segera diterapkan. Kita boleh-boleh saja mengambil konsep-konsep Barat sebagai bahan dalam pembangunan sistem hukum nasional kita tetapi kita pun harus tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa ini yang telah lebih dahulu ada dan terpelihara hingga saat ini. Hukum adat misalnya, keberadaannya lebih awal ketimbang hukum kolonial ataupun hukum nasional. 

Kenyataan historis yang sudah mengurat mengakar dalam tiap sendi kehidupan masyarakat kita tidak boleh diabaikan atau menjadi dikurangi oleh akulturasi kebudayaan yang datang dari luar. Jika kondisi ini tidak diantisipasi maka kebudayaan luar dapat menginvasi nilai-nilai luhur yang ada di negeri ini dan menggerusnya hingga ia terancam digantikan oleh yang datang dari luar itu. Ini merupakan tantangan pembangunan nasional dimasa ini dan masa yang akan datang. Akulturasi yang menginvasi melalui globalisasi jika tidak dibentengi akan sangat berbahaya dan berdampak besar yang dapat mendegradasi mentalitas dan moralitas bangsa ini menjadi bangsa yang kurang bahkan tidak beradab. Padahal sila ketiga Pancasila telah meneguhkan model pembangunan masyarakat kita yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pendidikan Diujung Tanduk

Maraknya kriminalisasi terhadap para guru diberbagai tempat dinegeri ini membuat kita sangat miris dan betapa bangsa ini sudah banyak terkontaminasi dengan konsepsi hak asasi manusia yang liberal yang menafikan rasa keadilan yang tumbuh dimasyarakat yang hidup dalam norma-norma sosial. Berbagai persitiwa imbas dari kriminalisasi harusnya membuat kita semakin sadar bahwa penghormatan dan apresiasi terhadap guru di negeri ini sudah sedemikian merosot menjadikan bangssa ini bangsa yang tidak beradab. Beragam kasus yang menimpa guru mulai dari cemoohan dan penganiayaan oleh siswa bahkan orangtua siswa, pembangkangan siswa yang luar biasa terhadap guru yang tidak mau diatur, ancaman, hingga kriminalisasi. Arogansi tersebut muncul sebab disemburkan dari pikiran dan hati yang kering dari sentuhan nilai-nilai moral dan sempitnya pengetahuan. Guru saat ini berada dalam suasana kebathinan yang serba dilematis dan canggung. Andai guru menghukum siswa maka satu sisi ia berhadapan dengan hak asasi manusia dan disisi lain berhadapan dengan aparat penegak hukum. 

Atas nama hak asasi manusia maka bentuk penghukuman apapun yang dilakukan guru tidak diperkenankan dan terlarang dilakukan. Misalnya guru menghukum siswa yang berambut gondrong dengan memotong rambutnya, memukul yang sifatnya mendidik, tidak diizinkan masuk kelas dikarenakan terlambat yang tidak dapat ditolerir, menghukum siswa yang merokok dan berbuat diluar batas kesopanan dan kesusilaan, atau menghukum siswa yang menganiaya siswa lain, membully siswa lain dan lain sebagainya. Semua bentuk hukuman yang dikenakan guru atas perbuatan yang semacam itu berpotensi memosisikan guru berhadapan dengan palu hakim atas dasar dakwaan kekerasan terhadap anak dan berbagai dakwaan yang tidak rasional diluar akal sehat. Pekerjaan mendidik dan menuntut ilmu bukanlah hal yang mudah. Berlelah-lelah dalam menuntut ilmu akan lebih baik daripada harus menanggung perihnya kebodohan. Tugas pencerdasan dan pembentukan akhlak mulia menjadi tanggungjawab guru, dipikulkan kepada guru tetapi perlakukan terhadap guru justru tidak sebanding dengan semua fikiran, tenaga dan ikhtiar mulia yang dilakukannya. 

Guru pantas mendapatkan penghormatan dan apresiasi yang tinggi, sebab tidak ada seorangpun yang menjadi tokoh yang dihormati melainkan berkat pengajaran dan pendidikan dari guru. Jika kita ingin tumbuh menjadi bangsa yang besar dan maju maka mulailah menghormati dan menghargai guru atas usahanya mencerdaskan kehidupan bangsa. Manakala seorang guru telah tertunduk lesu dan larut dalam kesedihan yang melanda menyeret mereka dihadapan palu hakim, maka sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan pada palu hakim bukanlah tegaknya hak asasi manusia yang dipuja setinggi langit itu melainkan akhlak bangsa ini dan kehancuran negeri ini. Manakala guru sudah berhadapan dengan palu hakim maka ingat-ingatlah bagi para hakim Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan bahwa "Hakim dan hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Sebab itu penting menjadi iktibar bagi kita bahwa jika guru tidak lagi mendapat tempat apresiasi dan penghormatan di negeri ini maka bersiaplah tibanya kebinasaan dan kehancuran. Negeri ini tidak kekurangan orang cerdas tapi kekurangan orang yang berakhlak. Cerdas saja tetapi tidak berakhlak adalah undangan menuju kebinasaan, berakhlak meskipun tidak cerdas maka sedikit kebodohan dapat tertutupi.

Senin, 21 Oktober 2024

Carut Marut Institusi Pendidikan

Carut Marut Institusi Pendidikan 

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

Polemik tentang ramainya pelecehan dan kekerasan seksual dilingkungan pendidikan yang belum menemukan solusi efektif muncul sekejap lalu menghilang dalam pemberitaan yang silih berganti seiiring dengan banyaknya rentetan masalah yang dihadapi bangsa ini. Sebutlah misalnya  Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dari sekian regulasi terkait pendidikan yang ada Permendikbud ini termasuk yang paling buruk dan sudah seharusnya dicabut. Banyak sekali terdapat pengaturan yang semuanya itu bermuara pada membuka ruang dan kebebasan bagi civititas akademika melakukan tindakan asusila asalkan dilakukan atas dasar kerelaan atau tidak karena adanya paksaan. 

Ini pikiran liberal ala gaya hidup Barat yang menghendaki kehidupan yang bebas nilai, tidak mau terikat pada norma dan nilai-nilai sosial yang luhur seperti di negeri ini kita mengenal adanya norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat dan norma agama. Dilihat dari aspek manapun terlebih dari sudut pandang moral atau akhlak bangsa Indonesia yang hingga saat ini selalu dipresentasikan sebagai bangsa yang berbudi luhur, pikiran liberal yang disusupkan dalam Permendikbud tersebut sungguh merupakan suatu ketercelaan moral yang bersar dan sikap tidak beradab yang mengabaikan ikhtiar menghasilkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia. Maraknya kekerasan seksual yang serba problematik tersebut hanya segelintir masalah yang muncul kepermukaan. Kalaulah kita mau berterus terang melihat persoalan yang menjadi penyakit menular yang tumbuh subur dilingkungan pendidikan secara objektif maka akan kita temukan persoalan lain yang lebih buruk.

Secara normatif cita-cita ideal diatas kertas perihal pendidikan ini dapat kita temukan landasannya untuk diurai dengan saksama. Marilah kita simak beberapa ekspresi moral yang tinggi yang dimuat dalam berbagai perangkat hukum yang ada di negeri ini. "Untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...." demikian bunyi amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Secara lebih spesifik konstitusi mengamanatkan pada pemerintah agar "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang" sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (3). Demikian pula kewajiban konstitusional yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (5) "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia".

Selain itu akan kita jumpai pula nilai-nilai ideal penyelenggaraan pendidikan pada regulasi lainnya bahwa "Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman", demikian bunyi ketentuan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Selanjutnya terdapat beberapa landasan normatif yang memuat cita-cita ideal mengapa dan untuk apa pendidikan diselenggarakan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan  Tinggi sebagai berikut.

Kondiseran menimbang huruf b: "Bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan".

Konsideran menimbang huruf c: "bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa".

Pasal 5 huruf a: "berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa".

Pasal 5 huruf b: "dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa".

Masih berkaitan dengan spirit dan cita-cita ideal dalam penyelenggaraan pendidikan, terdapat penegasan yang kuat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat  (1) huruf a: "Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip: memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme". Sementara itu pada huruf b ditegaskan: "memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia".

Jika semua cita-cita ideal penyelenggaraan pendidikan ini disebutkan satu persatu maka untuk itu perlu menerbitkan buku khusus menerangkan pendidikan dan ragam persoalannya. Sudah saatnya para alumni perguruan tinggi yang menyimpan kerisauan dan kegundaan di dalam sanubarinya menyaksikan carut marut dunia pendidikan untuk mempresentasikan dan membangun solidaritas untuk membahas persoalan yang terjadi dan merekomendasikan terobosan pemikiran untuk menyelamatkan masa depan anak bangsa ini dan nasib bangsa ini kedepan.

Institusi Bisnis Modern

Dari sekian banyak regulasi yang berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan secara umum dapat kita temukan adanya kesadaran dan keseriusan normatif meskipun antara norma dan praktik atau Das Sollen dengan Das Sein terdapat gap yang lebar. Jika kita mau jujur membaca tragedi dunia pendidikan hari ini maka akan kita temukan persoalan serius yang merusak dimensi ideal penyelenggaraan pendidikan. Elit perguruan tinggi seakan menikmati carut marut yang terjadi mereka merasa aman, nyaman menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis menghasilkan uang yang banyak untuk memperkaya diri dan meningkatkan kesejahteraan pribadi dengan menggadaikan fungsi dan tujuan ideal dibentuk dan diselenggarakannya pendidikan. Berbagai persoalan yang menjadi penyakit yang menjamur di lingkungan pendidikan diakui aatu tidak, diterima atau tidak kenyataannya sulit terbantahkan bahwa semuanya itu menjadi lahan bisnis modern yang elegan.

Institusi Pemberi Gelar

Semakin besarnya disparitas atau gap dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang secara normatif menghendaki penyelenggaraan pendidikan yang ideal memperlihatkan kepada kita wajah perguruan tinggi yang hanya menjalankan fungsi sebagai institusi pemberi gelar belaka. Pada sebagian besarnya sama sekali tidak mencerminkan atau mengupayakan menghasilkan atau memproduksi para ilmuwan atau sarjana yang berkompeten memiliki keahlian dibidangnya. Diantaranya dapat kita temukan tidak adanya standar yang jelas dan sikap yang tegas dan konsisten dalam pengujian skripsi, tesis dan disertasi. Sejelek apapun presentasi mahasiswa/i calon sarjana dan selemah apapun pemahaman akademiknya terkhusus berkaitan dengan objek penelitiannya kenyataannya pada pelaksanaan ujian akhir para dosen penguji tetap memberikan nilai yang bagus dan dinyatakan lulus. 

Akhirnya kampus hanya mewisuda para sarjana yang tidak bermutu, hanya menghasilkan para sarjana bukan para ilmuwan. Kondisi ini menjadi penyumbang yang signifikan membentuk karakter mahasiswa pemburu gelar belaka, mahasiswa yang tidak menaruh perhatian betapa pentingnya menjadi insan yang berilmu, hanya mencari gelar sebagai simbol untuk memperbaiki dan mempertinggi status sosial untuk kebanggaan ditengah keluarga dan masyarakatnya, sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan dan memiliki pendapatan untuk menopang kehidupannya. Implikasi dari keadaan tersebut menjadi penyumbang besar kerusakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Para sarjana yang tidak bermutu ini tidak memberi pengaruh positif dalam peningkatan IQ bangsa ini. 

Hanya semakin memperparah polemik dan kusutnya kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, kerukunan beragama dan sebagainya manakala mereka menjadi pejabat publik dengan kebijakan yang menyengsarakan dan nihil kecakapan memimpin. Kondisi saat ini dimana kita menyaksikan mulai maraknya pemberian gelar honoris causa untuk gelar doktor meskipun orang yang diberi gelar tersebut tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi atau hanya tamatan Strata 1 atau Strata 2. Pemberian gelar honoris causa ini terkesan sangat subjektif mulai diobral dan dijadikan sarana perdagangan yang sarat nuansa politis untuk kepentingan tertentu serta tidak menutup kemungkinan adanya transaksi suap yang melibatkan oknum rektor dan penerima gelar tersebut. Ini tragedi dunia pendidikan yang serius. Betapa institusi pendidikan hari ini banyak menjalankan fungsi sebagai institusi pemberi gelar. Padahal perguruan tinggi memiliki tanggungjawab sosial dan moral yang besar untuk mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bukan justru menjadi pemicu kerusakan kehidupan bermasyarakat, dan bernegara yang lebih serius.

Mengajar Profesi Sambilan, Obral Nilai Hingga Transaksi Jual Beli Buku

Praktik ini tidak dapat dipungkiri marak terjadi di banyak kampus. Tanpa menyebut kampus mana yang "melegalkan" praktik seperti ini. Mengajar sebagai profesi sambilan ini ada yang diciptakan karena sistem administrasi yang melelahkan juga karena spirit dan idealisme atau keseriusan menjadi pengajar yang tidak ada. Para profesor misalnya mereka diharuskan menerbitkan karya tulis ilmiah secara berkala sementara mereka mengajar banyak mata kuliah diberbagai fakultas dan dibanyak perguruan tinggi yang semuanya itu memiliki administrasi yang harus dilengkapi atau harus dilaksanakan secara rutin dan tepat waktu. Kondisi ini mendorong para pengajar terutama profesor termasuk pula mereka yang doktor disibukkan dengan aktivitas administrasi yang melelahkan. Belum lagi diluar kampus mereka menjadi pejabat di berbagai lembaga atau pengurus diberbagai organisasi atau perusahaan. 

Perlu ada pembatasan bagi para pengajar untuk beban mata kuliah yang dapat diajarkan dan kemudahan administrasi. Akan lebih baik tiap-tiap dosen pengampu difasilitasi dengan satu atau beberapa asisten yang dikhususkan untuk mengurus administrasi dosen sehingga dapat lebih efektif mengajar. Asisten dosen pengampu ini honornya dibayarkan oleh perguruan tinggi dengan prosedur tertentu yang diatur oleh perguruan tinggi. Praktik jual beli buku disebagian tempat tampaknya juga mulai mewabah dan terang-terangan dihadapan para mahasiswa saat mengajar. Terkadang banyak sekali alasan yang tidak rasional beberapa dosen beralasan materi ujian diambil dari bukunya, menetapkan jumlah buku yang harus dibeli oleh mahasiswa dari dirinya atau melaluinya sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan nilai bagus dari sang dosen. Praktik seperti ini menjadikan suasana akademik yang buruk dan mencoreng wajah pendidikan yang bertujuan mencari materi dengan mengekploitasi mahasiswa.

Label Agama yang Merepotkan

Perangkat hukum yang ada memang dibentuk untuk menjamin serta melindungi hak dan kebebasan untuk mendirikan perguruan tinggi yang menonjolkan ciri khasnya sendiri. Ciri khas tersebut misalnya dapat berupa program dan jenis pendidikan yang ditawarkan, dapat pula dengan penggunaan nama-nama tokoh pejuang atau tokoh yang menginspirasi sebagai latar belakang didirikannya perguruan tinggi juga dapat pula menjadikan agama tertentu dalam penamaan perguruan tinggi sebagai identitas yang diharapkan dan diidealkan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi berlandaskan dan berjalan pada rel identitas tersebut. Tapi kenyataan yang disuguhkan sangat jauh berbeda. Suasana dan kehidupan civitas akademika dilingkungan kampus sehari-hari sangat bertentangan dan malah mengodopsi gaya hidup Barat yang liberal, hedonis, dan sekuler. Label kampus yang sedianya mencerminkan identitasnya justru lain dicover lain diisi. Sesungguhnya ini menjadi beban tanggungjawab moral dan sosial yang besar. Perbedaan yang sangat mencolok terlihat dalam cara berpakaian, akhlak dan pengambilan kebijakan yang menimbulkan banyak polemik. 

Namun seakan tidak seorangpun dapat dan secara terbuka berani menginterupsi ketimpangan tersebut sebab beresiko dimarginalkan, mengalami pembusukan masif dan disingkirkan dengan aalsan tidak kooperatif dan sederet alasan di luar akal sehat. Manakala label agama dijadikan sebagai bagian dari nama yang dipakai oleh sebuah perguruan tinggi dan kemudian ternyata implementasinya tidak sejalan bahkan menyeleweng sangat jauh sesungguhnya tidak dijumpai apa yang disebut dengan integritas di perguruan tinggi itu. Dimana-mana tempat perguruan tinggi mengedepankan berbagai motto atau slogan untuk meyakinkan warga masyarakat bahwa mereka akan mendapatkan sejumlah manfaat jika mereka mengenyam pendidikan di perguruan tinggi tersebut. Jika integritas tidak ada maka komitmen untuk menghadirkan perguruan tinggi yang berkualitas juga sulit ditemukan. Semua keadaan yang ditimbulkan akibat manajemen perguruan tinggi yang buruk dengan kualitas moral dan intelektual yang rendah akan menghasilkan banyak produk para sarjana yang tidak bermutu yang hanya memiliki gelar tapi tidak memiliki ilmu yang memadai.

Jabatan Politik Rektor

Tampaknya sudah menjadi kondisi yang dianggap wajar bahwa untuk menjadi rektor harus pandai-pandai patgulipat dengan rezim yang berkuasa ataupun menjalin relasi yang baik dengan pengurus organisasi keagamaan kenamaan sebagai pendompleng ambisi untuk menduduki jabatan rektor. Tentu saja ada persyaratan administratif prosedural seperti kepangkatan, pengalaman mengajar, akses nasional ataupun internasional, publikasi karya tulis dan masa pengabdian dan lain sebagainya. Tetapi untuk memuluskan itu semua akses dan jaringan ke elit pemerintah dan organisasi keagamaan seringkali menjadi faktor penting yang tidak dapat dipandang sebelah mata. 

Jika sudah demikian kondisinya maka efeknya adalah bahwa sang rektor akan terikat balas budi atau balas jasa politik. Ia harus melaksanakan "kontrak" yang telah disepakati dengan majikan untuk tujuan kepentingan tertentu. Ada take and give kepentingan. Bahkan rektor dibeberapa universitas ada yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Sebuah pemandangan yang membuat kita tercengang ternyata menjabat rektor menjadi batu loncatan untuk mencari keuntungan berkali-kali lipat. Keadaan ini masih berlanjut menjadi tragedi yang lebih serius lagi yaitu manakala banyak sekali kebijakan kolonial yang menindas masyarakat maka akan kita lihat seakan di negeri ini tidak terdapat satupun perguruan tinggi. Semuanya menjadi bisu tidak berani menyatakan sikapnya akibat selalu disuap, lambung mereka penuh dengan asupan proyek pemerintah. Bisunya perguruan tinggi merupakan tanda bahwa bobroknya sangat parah dan sedemikian berkarat. 

Perguruan tinggi harus mampu berperan ganda yakni satu sisi sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas, generasi cerdas yang tercerahkan pikirannya dan yang bagus akhlaknya. Perguruan tinggi disatu sisi juga harus mampu menempatkan dirinya sebagai sosial of change dan social of control terutama sekali terkait dengan penyelewengan kekuasaan pemerintahan negara yang menyengsarakan rakyat. Sementara itu memang independensi perguruan tinggi patut diragukan terlebih perguruan tinggi mendapatkan bagian dari APBN atau APBD untuk dana-dana tertentu seperti dana untuk penelitian maupun pembayaran tunjangan jabatan profesor dan lain sebagainya. Kendatipun hal itu sesungguhnya adalah amanat konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". 

Korupsi 

Penyelewengan anggaran semacam dana untuk penelitian tampaknya seringkali terjadi menjadikan institusi ini kehilangan kepercayaan dan kewibawaan. Mereka yang doktor hingga profesor yang menyelewengkan anggaran tersebut semakin membuat gelap wajah perguruan tinggi. Menunjukkan mereka tidak punya akhlak yang baik, tidak mampu menjadi contoh dan teladan yang baik bagi para mahasiswa. Ambisi untuk menumpuk keuntungan dan menjadi kaya berperan besar dengan memanfaatkan peluang yang ada. Ini merupakan tragedi yang sangat memalukan dan mereka yang terlibat melakukan penyelewengan tersebut harus diberhentikan tidak dengan hormat. Mahasiswa yang calon sarjana disuguhkan dengan perilaku amoral seperti itu oleh mereka yang doktor hingga profesor. Keadaan yang membuat kita sangat miris.

Institusi Keluarga

Jika kenyataannya institusi itu dibentuk oleh sebuah keluarga tentu tidak ada yang salah dengan hal itu. Tetapi menjadi masalah adalah jika ternyata para pengajar dan mereka yang bekerja di perguruan tinggi direkrut dari orang-orang atas dasar relasi keluarga tanpa melalui tes kelayakan dan kecakapan untuk mengajar. Siapa saja yang memiliki akses atau relasi kekeluargaan akan dengan mudah menjadi pegawai dan pengajar serta pengangkatan menjadi dosen tetap dalam waktu yang sangat singkat sejak mulai diterima bekerja. Kualitas tidak menjadi patokan. Kecerdasan akademik ataupun  kemampuan manajerial yang baik tidak menjadi indikator. Justru hal-hal non akademik yang seringkali dijadikan acuan misalnya calon dosen memiliki akses sosial, politik, agama, dapat diharapkan untuk mengerjakan jurnal dan penelitian sang guru besar dengan kata lain dapat dieksploitasi tenaga dan kecerdasannya. Bahkan dapat dieksploitasi uangnya misalnya calon dosen atau pegawai tersebut dapat memberikan banyak keuntungan finansial bagi sang guru besar. Lagi-lagi ini semua semakin menyuburkan praktik diskriminatif, pembodohan dan menjauhkan dari cita-cita ideal dibentuknya perguruan tinggi.

Akreditasi yang Problematik

Jika kita bicara akreditasi indikator akreditasi banyak dipengaruhi oleh angka-angka misalnya, jumlah profesor, jumlah doktor dan magister lulusan dalam dan luar negeri kampus ternama, tren peningkatan jumlah mahasiswa dari tahun ke tahun, jumlah fakultas, jumlah alumni, jumlah publikasi karya tulis ilmiah. Meskipun indikator lain juga besar pengaruhnya seperti ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas yang memadai, pencapaian prestasi ilmiah atau kontribusi sosial dan lain sebagainya. Secara administratif mungkin saja syarat tersebut terpenuhi tetapi tetap saja belum menjamin atau berbanding lurus dengan cita-cita ideal sebagaimana telah disebutkan disebabkan banyaknya carut marut dalam pengelolaan perguruan tinggi. Realitasnya dalam pengelolaan perguruan tinggi itu terdapat ketimpangan yang besar yang lebih penting untuk diatasi terlebih dahulu agar antara cover atau status perguruan tinggi itu sejalan dengan kualitas rilnya. Bukan lain di cover atau status lain pula diisi.

Ikatan Keluarga Alumni yang Belum Jelas Fungsinya

Umumnya perguruan tinggi membentuk wadah bagi para alumninya seperti Ikatan Keluarga Alumni atau IKA. Hanya saja dibentuknya perkumpulan ini belum jelas fungsinya. Mau diapakan para alumni ini, untuk apa dibentuk. Ini belum jelas sama sekali. Apakah hanya menjadi forum temu ramah untuk kumpul-kumpul makan-makan bernostalgia mengenang masa ketika menjadi mahasiswa. Atau hanya menjadi alat atau corong untuk mendapatkan akses politik, atau guna kepentingan akreditasi belaka. Mestinya kumpulan ini diberdayakan untuk membantu para alumni fresh graduates yang belum mendapatkan pekerjaan atau bagi mereka yang potensial secara intelektual untuk diberi beasiswa melanjutkan pendidikan atau untuk pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat yang langsung mengena pada problem sosial yang berkembang di masyarakat.

Publikasi Karya Tulis yang Kaku

Banyak sekali buku-buku berjibun diterbitkan semuanya bersifat kaku seperti pengantar studi ini-itu, kewenangan lembaga ini-itu, teori ini-itu, tidak menyentuh secara langsung persoalan yang terjadi di masyarakat. Memang bagi para pelajar keberadaan buku-buku tersebut perlu untuk mengokohkan fondasi berpikirnya, tetapi buku-buku yang bersifat pemikiran atau terobosan pemikiran masih sangat minim. Sulit kita temukan buku-buku yang mempreteli masalah yang terjadi dalam pengambilan kebijakan yang merugikan masyarakat, carut marut penegakan hukum yang jauh dari nilai-nilai keadilan, rekomendasi pemikiran tentang solusi atas buruknya pengelolaan lembaga pendidikan, kritik terhadap konsep dan ajaran-ajaran dalam bernegara, dan lain sebagainya. Kelak buku-buku yang seperti itulah yang lebih banyak diproduksi ketimbang hanya bicara yang senantiasa teoritis yang tidak dikenali dan dirasakan tidak berguna bagi masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidupnya. 

Para akademisi mestinya mulai mewarnai ruang dialog masyarakat dimedia sosial dengan menghadirkan tulisan ringan dan mudah dicerna masyarakat yang bersifat respon atas berbagai persoalan yang dikeluhkan masyarakat sehar-hari seperti isu tentang pajak, tarif tol, BBM, banyaknya jalan rusak yang menimbulkan banyak korban jiwa, buruknya fasilitas dan kualitas pelayanan umum, mahalnya biaya pendidikan, sulitnya mencari pekerjaan, maraknya korupsi, mahalnya harga sembako dan lain sebagainya. Tentu dengan menghadirkan tulisan yang langsung mengena ke masyarakat tersebut akan lebih terasa gunanya ketimbang menulis yang melulu serba normatif serba teoritis. Mulailah untuk menghiasi media sosial yang notabene digunakan oleh hampir remaja dan orang dewasa di republik ini. Sehingga upaya pencerdasan dapat tersebar lebih efektif. Jadi bukan hanya menulis untuk kepentingan menunjang karir seperti jurnal belaka. Alumni perguruan tinggi yakni para sarjana itu harus peka dengan situasi yang berkembang dan permasalahan yang dirasakan, yang dikeluhkan sehari-hari oleh masyarakat. Itu semua diantara bukti tanggungjawab moral keilmuan yang harus dihadirkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian keberadaan para sarjana di masyarakat dapat dirasakan manfaatnya yang mampu memberikan pencerahan sosial sehingga polemik dimasyarakat tidak liar dan menimbulkan anarkisme sosial yang tidak perlu.

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Oleh: Syahdi (Pemerhati Hukum Tata Negara) Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh ...