Takdir Pendidikan Dihadapan Palu Hakim
Oleh: Syahdi
(Cendekiawan Muslim)
Dunia pendidikan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kendatipun demikian ini hanya sebuah sektor dari hampir keseluruhan sektor kehidupan yang bermasalah. Pendidikan yang tidak diurus serius memang mendatangkan setumpuk problematika besar yang tidak mudah untuk diatasi. Simpul-simpul permasalahan yang melatarbelakangi munculnya berbagai dinamika yang semakin kompleks dan rumit memerlukan komitmen dan ikhtiar yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak terutama sekali pengambil kebijakan untuk melakukan pembenahan regulatif, penataan manajemen birokrasi, sistem seleksi pendidik dan peserta didik yang efektif tidak hanya berorientasi pada standar baku diatas kertas atau konseptual tetapi juga mesti berpijak pada basis kemampuan dan penguasaan akademik yang baik, mengutamakan aspek moralitas sebagai pembentuk akhlak atau karakter.
Uforia Kebebasan
Konsepsi hak asasi manusia yang dianut dalam produk hukum nasional semakin hari samakin bersifat liberal hingga hampir tidak ditemukan batasan yang tegas dan jelas. Liberalisasi hak asasi manusia tampak mulai tumbuh di era genderang demokrasi yang semakin menguat pasca era reformasi. Sesungguhnya sejak 18 agustus 1945 ketika UUD 1945 disahkan, secara konstitusional demokrasi telah diberlakukan kendatipun hanya secara normatif. Sebab dalam praktik demokrasi yang dijalankan mengalami pergeseran menjadi demokrasi terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menganulir fungsi konstitusionalitas Konstituante. Diabaikannya Konstituante sebagaimana banyak disebutkan dalam buku yang ditulis Endang Saifudin Anshari, "Piagam Jakarta (Konsensus Nasional Islam dan Nasionalis Sekuler) ditengarai oleh ambisi Presiden Soekarno untuk memberlakukan model demokrasi terpimpin bahwa pengambilan keputusan banyak didominasi oleh Presiden. Dengan demikian Presiden memiliki kewenangan besar.
Demikian pula pemerintahan dibawah kepemimpinan rezim orde baru model demokrasi yang ditegakkan ialah demokrasi Pancasila dengan slogannya yang terkenal: "Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen". Pelaksanaan demokrasi Pancasila tersebut dikukuhkan dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancaskarsa) yang menafsirkan lima sila kedalam 36 butir. Selanjutnya tafsir atas lima sila bertambah menjadi 45 butir berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002.
Kendatipun rezim orde baru di periode awal tampil memukau dengan spirit "Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen", praktiknya ternyata jauh panggang dari api terutama menyangkut otoriterianisme rezim orde baru yang menggembosi UUD 1945 dengan rekayasa politik menjadikan Soeharto dapat menjabat Presiden hingga 32 tahun. Selain itu kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik tidak mendapat tempat yang menjadikan nilai-nilai demokrasi tidak dapat dilaksanakan. Pasca rezim orde baru meruntuh, kebebasan yang selama puluhan tahun dikekang akhirnya mendapat tempat yang lapang tanpa sekat, uforia kebebasan bergemuruh dengan semarak, tak ayal pandangan-pandangan demokratispun tumbuh subur dan semakin menguat dipanggung nasional. Hingga saat ini kebebasan dan pandangan tentang hak asasi manusia semakin riuh dibicarakan dibanyak tempat menjadi isu sentral dalam legislasi di parlemen.
HAM Yang Membelenggu
Konsepsi hak asasi manusia yang dianut negeri ini di era liberalisasi saat ini banyak menyadur konsepsi hak asasi manusia ala Barat yang menghendaki kebebasan yang tanpa sekat dan bebas nilai. Konsepsi yang demikian itu tidak mempertimbangkan bahkan menolak moralitas yang luhur. Barat yang hidup dalam tradisi individualisme sangat menghargai jaminan perlindungan kebebasan individu diatas kepentingan kolektif sangat tidak cocok dengan kultur bangsa Indonesia yang secara historis hidup dalam suasana kolektivisme yang mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan individu. Kepentingan individu dihargai dan tetap diberikan ruang tetapi dibatasi oleh kepentingan umum.
Manakala kepentingan individu berpotensi atau menganggu kepentingan umum maka kepentingan individu dibatalkan oleh kepentingan umum. Sementara dalam pandangan dan gaya hidup Barat adalah kebalikan dari itu semua bahwa kepentingan dan kebebasan individu lah yang paling menentukan hingga kepentingan umum dapat dibatalkan jika bertentangan dengan kepentingan individu. Secara normatif nuansa kolektivisme yang dianut oleh bangsa ini misalnya tercantum dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa "semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial", demikian pula pada Pasal 7 diatur bahwa "Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan".
Nuansa yang sarat gaya hidup kolektivisme dapat pula kita cermati pada kebijakan pemerintah dalam pembangunan jalan tol, bahwa atas nama kepentingan umum pemilikan tanah oleh warganegara tunduk pada kebijakan pemerintah bahwa tanah atau lahan milik individu warganegara dapat diambilalih oleh pemerintah peruntukan atau fungsinya untuk pembangunan infrastruktur dengan cara menebus tanah tersebut dengan harga yang wajar. Adapun polemik terkait dengan pembebasan lahan milik individu merupakan suatu masalah tersendiri yang tidak mengurangi arti penting bahwa kepentingan umum diakui berada diatas kepentingan individu. Konsepsi hak asasi manusia yang liberal yang sarat individualisme, materialisme ketika diadopsi dalam produk hukum nasional praktis menimbulkan gesekan dan gejolak ditengah masyarakat.
Urgensi Rekonsepsi HAM
Rekonsepsi hak asasi manusia untuk diterapkan di negeri ini merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan. Konsepsi hak asasi manusia yang diberlakukan mesti berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh dan terpelihara dimasyarakat yakni norma adat, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma agama. Dengan kata lain nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang berkembang dan tumbuh dimasyarakat mesti menjadi landasan utama. Tidak boleh ada muncul peristiwa disebabkan atas dasar hak asasi manusia atau karena menegakkan hak asasi manusia kemudian mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh terpelihara di masyarakat. Jika nilai-nilai dan norma sosial tersebut diabaikan, dilanggar maka akan melukai rasa keadilan yang hidup dimasyarakat.
Artinya dengan menjadikan nilai-nilai dan norma sosial yang ada dimasyarakat sebagai landasan konseptual hak asasi manusia maka segala tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma sosial tersebut harus dibatalkan. Inilah konsepsi hak asasi manusia yang harus segera diterapkan. Kita boleh-boleh saja mengambil konsep-konsep Barat sebagai bahan dalam pembangunan sistem hukum nasional kita tetapi kita pun harus tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa ini yang telah lebih dahulu ada dan terpelihara hingga saat ini. Hukum adat misalnya, keberadaannya lebih awal ketimbang hukum kolonial ataupun hukum nasional.
Kenyataan historis yang sudah mengurat mengakar dalam tiap sendi kehidupan masyarakat kita tidak boleh diabaikan atau menjadi dikurangi oleh akulturasi kebudayaan yang datang dari luar. Jika kondisi ini tidak diantisipasi maka kebudayaan luar dapat menginvasi nilai-nilai luhur yang ada di negeri ini dan menggerusnya hingga ia terancam digantikan oleh yang datang dari luar itu. Ini merupakan tantangan pembangunan nasional dimasa ini dan masa yang akan datang. Akulturasi yang menginvasi melalui globalisasi jika tidak dibentengi akan sangat berbahaya dan berdampak besar yang dapat mendegradasi mentalitas dan moralitas bangsa ini menjadi bangsa yang kurang bahkan tidak beradab. Padahal sila ketiga Pancasila telah meneguhkan model pembangunan masyarakat kita yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pendidikan Diujung Tanduk
Maraknya kriminalisasi terhadap para guru diberbagai tempat dinegeri ini membuat kita sangat miris dan betapa bangsa ini sudah banyak terkontaminasi dengan konsepsi hak asasi manusia yang liberal yang menafikan rasa keadilan yang tumbuh dimasyarakat yang hidup dalam norma-norma sosial. Berbagai persitiwa imbas dari kriminalisasi harusnya membuat kita semakin sadar bahwa penghormatan dan apresiasi terhadap guru di negeri ini sudah sedemikian merosot menjadikan bangssa ini bangsa yang tidak beradab. Beragam kasus yang menimpa guru mulai dari cemoohan dan penganiayaan oleh siswa bahkan orangtua siswa, pembangkangan siswa yang luar biasa terhadap guru yang tidak mau diatur, ancaman, hingga kriminalisasi. Arogansi tersebut muncul sebab disemburkan dari pikiran dan hati yang kering dari sentuhan nilai-nilai moral dan sempitnya pengetahuan. Guru saat ini berada dalam suasana kebathinan yang serba dilematis dan canggung. Andai guru menghukum siswa maka satu sisi ia berhadapan dengan hak asasi manusia dan disisi lain berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Atas nama hak asasi manusia maka bentuk penghukuman apapun yang dilakukan guru tidak diperkenankan dan terlarang dilakukan. Misalnya guru menghukum siswa yang berambut gondrong dengan memotong rambutnya, memukul yang sifatnya mendidik, tidak diizinkan masuk kelas dikarenakan terlambat yang tidak dapat ditolerir, menghukum siswa yang merokok dan berbuat diluar batas kesopanan dan kesusilaan, atau menghukum siswa yang menganiaya siswa lain, membully siswa lain dan lain sebagainya. Semua bentuk hukuman yang dikenakan guru atas perbuatan yang semacam itu berpotensi memosisikan guru berhadapan dengan palu hakim atas dasar dakwaan kekerasan terhadap anak dan berbagai dakwaan yang tidak rasional diluar akal sehat. Pekerjaan mendidik dan menuntut ilmu bukanlah hal yang mudah. Berlelah-lelah dalam menuntut ilmu akan lebih baik daripada harus menanggung perihnya kebodohan. Tugas pencerdasan dan pembentukan akhlak mulia menjadi tanggungjawab guru, dipikulkan kepada guru tetapi perlakukan terhadap guru justru tidak sebanding dengan semua fikiran, tenaga dan ikhtiar mulia yang dilakukannya.
Guru pantas mendapatkan penghormatan dan apresiasi yang tinggi, sebab tidak ada seorangpun yang menjadi tokoh yang dihormati melainkan berkat pengajaran dan pendidikan dari guru. Jika kita ingin tumbuh menjadi bangsa yang besar dan maju maka mulailah menghormati dan menghargai guru atas usahanya mencerdaskan kehidupan bangsa. Manakala seorang guru telah tertunduk lesu dan larut dalam kesedihan yang melanda menyeret mereka dihadapan palu hakim, maka sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan pada palu hakim bukanlah tegaknya hak asasi manusia yang dipuja setinggi langit itu melainkan akhlak bangsa ini dan kehancuran negeri ini. Manakala guru sudah berhadapan dengan palu hakim maka ingat-ingatlah bagi para hakim Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan bahwa "Hakim dan hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Sebab itu penting menjadi iktibar bagi kita bahwa jika guru tidak lagi mendapat tempat apresiasi dan penghormatan di negeri ini maka bersiaplah tibanya kebinasaan dan kehancuran. Negeri ini tidak kekurangan orang cerdas tapi kekurangan orang yang berakhlak. Cerdas saja tetapi tidak berakhlak adalah undangan menuju kebinasaan, berakhlak meskipun tidak cerdas maka sedikit kebodohan dapat tertutupi.