Kamis, 08 Mei 2025

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Pendahuluan

Pasca tumbangnya Orde Baru dengan berhentinya Presiden Soeharto pada Mei 1998, uforia demokrasi mulai dirasakan dan dirayakan dengan semarak. Tuntutan reformasi yang diperjuangkan yaitu: amandemen UUD 1945, pemberantasan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), pencabutan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, perlindungan HAM, kebebasan pers dan otonomi daerah. Pasca runtuhnya Orde Baru, semua tuntutan reformasi tersebut mulai diusahakan dimulai dengan mengamandemen beberapa pasal UUD 1945 diantaranya pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat yang diposisikan berada ditangan rakyat, pasal tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dibatasi hanya paling lama untuk dua kali masa jabatan (2 periode jabatan), tatacara pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya, kewenangan legislasi,  pasal-pasal tentang hak asasi manusia, pembentukan lembaga negara yang baru yaitu DPD dan Mahkamah Konstitusi, pasal mengenai pemilihan umum dan lain sebagainya. 

Diantara tuntutan reformasi tersebut perlindungan HAM menjadi salah satu isu sentral yang menguat agar kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat benar-benar dilindungi oleh hukum sehingga tidak ada lagi seorangpun yang dipenjarakan sewenang-wenang karena menyampaikan pendapat atau kritik terhadap pemerintah. UUD 1945 diamandemen sebanyak 4 kali amandemen, atau ada pula yang menyebut satu kali amandemen yang dilakukan dengan 4 tahapan yaitu pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 November 2001, 11 Agustus 2002. Sejak diamandemennya UUD 1945 jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat memiliki dasar konstitusionalitas yang kuat. Hal itu misalnya dapat dibaca pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".

Pasca amandemen UUD 1945 hingga saat ini kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tersebut diimplementasikan dengan pembentukan berbagai organisasi kemasyarakatan baik yang bergerak dibidang hukum, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan, agama dan lain sebagainya. Diakuinya dan jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tersebut semakin diperkuat dengan disahkannya UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017  tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 Menjadi Undang-Undang. UU ini menggantikan UU No. 8 Tahun 1985 yang mensyaratkan asas tunggal Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) hanya Pancasila. Pada masa berlakunya UU "Astung" ini semua Ormas dipaksa harus berasaskan Pancasila sehingga menimbulkan banyak sekali perlawanan dan perpecahan terutama sekali organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, HMI, dan organisasi-organisasi yang semula berasaskan Islam atau berdasarkan selain Pancasila.

Ormas Lebih TNI daripada TNI

Demokrasi yang diidam-idamkan seakan mengalami kelahiran kembali dinegeri ini pasca Orde Baru tidak lagi berkuasa. Setiap momen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar dinikmati dengan bebas lepas dari ancaman kesewenang-wenangan pemerintah. Produktifitas berpikir dan menyampaikan pendapat dan kritik semakin tumbuh subur dalam majalah-majalah, koran, terbitnya buku-buku, pertunjukan-pertunjukan kebudayaan, seminar, ataupun dalam aneka ragam forum penyampaian pendapat yang bebas. Semua mengalir bebas bak air bah yang tumpah melanda apa saja yang dilewatinya.

Hanya saja belakangan ini (10 tahun terakhir) banyak bermunculan ormas yang membuat kegaduhan dan keresahan dimasyarakat karena perilaku anggota-anggotanya yang dirasakan melampaui militer, lebih tentara daripada tentara. Tidak hanya soal perilakunya tapi juga atribut yang digunakan nyaris sempurna menyerupai militer. Ormas tersebut bersifat paramiliter karena memiliki struktur, pelatihan, dan peralatan mirip dengan militer. Keberadaan ormas ini seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman dimasyarakat, banyak masyarakat bahkan merasa takut dan mengalami intimidasi sedemikian rupa. 

Ormas-ormas tersebut bahkan banyak mengambil peran dan tugas kepolisian seperti tindakan pengamanan kegiatan sosial, lalu lintas atau aspek ketertiban umum bahkan melakukan tindakan penertiban secara sewenang-wenang yang merupakan tugasnya kepolisian. Selain itu banyak bermunculan tindakan premanisme menjadi tukang palak yang suka menghadang dan memeras sopir kendaraan, memeras pedagang atas nama uang keamanan, terlibat kerusuhan, provokator konflik dan lain sebagainya.

Dihimpun dari beberapa media terdapat beberapa ormas yang berseragam mirip militer dan atau melakukan tindakan yang menjadi kewenangannya aparat penegak hukum yaitu seperti United Nation Peace Keeping Forces Council (UN PKFC), Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI), Penerus Pejuang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKRI), Ikatan Pemuda Karya (IPK), Pemuda Pancasila (PP), Satgas Cakra Buana-PDIP yang berada dibawah afiliasi atau organisasi sayap PDIP, Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK) organisasi sayap PKB, Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan beberapa tahun yang lalu, Bantuan Anshor Serbaguna (Banser) organisasi dibawah naungan Nahdlatul Ulama, Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) organisasi dibawah naungan Muhammadiyah, Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB Jaya). 

Belakangan ini diantara ormas tersebut beberapa ormas menjadi sorotan dan sasaran kritik tajam masyarakat karena tindakan penyelewengan mulai dari menjadi dalang kerusuhan hingga aksi pemalakan lalu lintas seperti Pemuda Pancasila (PP), Banser dan GRIB Jaya. Meskipun ormas seperti PKRI ataupun PPKRI disekitar tahun 2016-2018 telah beberapa kali dilucuti atribut ala militernya dan diburu keberadaannya oleh aparat militer karena aksi-aksi kontroversialnya. 

Hanya saja sangat disayangkan ormas seperti PP dan Banser belakangan ini menjadi sasaran kemarahan banyak orang. Hari ini jika kita membaca komentar netizen kita menemukan banjirnya hujatan yang ditujukan pada kedua ormas ini. Tidak kalah hebohnya saat ini media sosial dipenuhi dengan cemoohan pada GRIB Jaya pimpinan Rosario de Marshal atau lebih dikenal dengan  Hercules atas perilaku kontroversialnya yang bahkan sampai berani "menghina" purnawirawan jenderal TNI Sutiyoso yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta era 1997-2007 hingga menantang mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo. Selain itu GRIB Jaya ini juga menantang Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dengan mengancam akan menggeruduk Gedung Sate (Kantor Gubernur Jawa Barat) dengan mengerahkan 50 ribu anggotanya.

Larangan Penggunaan Atribut Militer Bagi Ormas

Ketentuan tentang larangan penggunaan atribut militer bagi ormas terdapat dalam UU No. 16 Tahun 2017  tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 Menjadi Undang-Undang. Terdapat sejumlah larangan bagi ormas diatur dalam Pasal 59 ayat (1) sampai dengan ayat (4) undang-undang tersebut. Dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a tegas diatur bahwa ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan warna, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan. Selanjutnya pada Pasal 59 ayat (3) diatur bahwa  ormas dilarang: a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagi ormas yang melanggar ketentuan pada Pasal 59 ayat (1) diancam dengan sanksi administratif (lihat Pasal 60 ayat (1)), sementara jika melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (3) ormas dapat dijatuhi sanksi administratif bahkan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2). Jenis dan prosedur penjatuhan sanksi administratif diatur dalam Pasal 61, Pasal 62, Pasal 80A, Pasal 82A dan Pasal 83A. Sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Penertiban Atribut Ormas

Sikap pemerintah yang terkesan mendiamkan ormas paramiliter dengan serangkaian aksi kontroversialnya sudah seharusnya dihentikan. Jika tidak maka akan memicu konflik sosial yang lebih besar bahkan menghambat kinerja pemerintah karena dapat menjadi batu sandungan. Membuang-buang energi menghadapi ormas semacam itu juga tidak berguna. Jangan sampai sebab pemerintah tidak kunjung mengambil langkah tegas maka memungkinkan masyarakat berasumsi bahwa ormas berwatak premanisme tersebut "peliharaan" pemerintah untuk suatu kepentingan politik tertentu. Keberadaan ormas tersebut sudah seharusnya untuk ditertibkan. Larangan mengenai hal itu sudah jelas, negara dalam hal ini menteri hukum harus mengambil sikap tegas. Sebelum mekanisme hukum dijalankan, upaya persuasif dapat dilakukan yaitu dengan memanggil mereka semua instruksikan agar mengubah AD/ART atau peraturan dasar organisasinya terkait dengan atribut organisasi dan hal-hal yang menyangkut larangan melakukan tindakan yang menjadi wewenang aparat penegak hukum. Beri kesempatan sekian bulan, tetapi jika tidak diindahkan maka menteri hukum dapat langsung melaksanakan mekanisme hukum untuk mengeluarkan sanksi administratif. 

Hal ini penting dilakukan agar jangan ada lagi ormas yang membuat kegaduhan dimasyarakat, berlagak ala militer dan menebar ancaman atau ketakutan dimasyarakat. Memang benar konstitusi menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Tetapi tidak ada kebebasan tanpa batas dan tidak ada kebebasan tanpa pertanggungjawaban manakala terjadi penyelewengan atas kebebasan itu. Mekanisme hukumlah menjadi pemutus atas sikap-sikap yang kontraporduktif yang dilakukan ormas. Larangan penggunaan atribut ala militer ini sejatinya cukup mudah diberlakukan pada ormas tulen. Tetapi organisasi seperti KOKAM dan Banser menjadi sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Kendatipun KOKAM tidak termasuk organisasi yang menjadi sasaran kritik masyarakat. Lain halnya dengan Banser sisi kontroversialnya banyak menjadi sorotan.

Kedua organisasi ini bukanlah berdiri sendiri melainkan ia dibentuk oleh ormas induknya yaitu Muhammadiyah yang membentuk KOKAM dan Nahdlatul Ulama (NU) yang membentuk Banser. Lebih spesifik lagi KOKAM berada dibawah Pemuda Muhammadiyah, dan Banser dibawah Gerakan Pemuda Anshor (GPA). Bagaimanapun juga KOKAM dan Banser menggunakan atribut ala militer sama halnya dengan ormas seperti PP, GRIB Jaya dan lain sebagainya yang telah dibahas diawal. Andai aturan tentang larangan penggunaan atribut ala militer diberlakukan pada ormas seperti PP, GRIB Jaya, IPK dan lain sebagainya maka mesti juga diberlakukan pada KOKAM dan Banser. Meskipun kedua organisasi yang disebut terakhir ini bukanlah ormas yang berdiri sendiri, tetapi organisasi ini memiliki struktur tersendiri yang berbeda dengan ormas induknya. Maka hal itu dapat diberlakukan juga pada organisasi ini (KOKAM dan Muhammadiyah). Akan menjadi tidak adil jika kedua organisasi tersebut tidak terkena larangan penggunaan atribut ala militer sehingga menimbulkan polemik dimasa yang akan datang.

Kendatipun demikian, khusus untuk Kokam dan Banser negara selayaknya menghargai dan mengapresiasi jasa besar keduanya dimasa lalu dalam upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Bahkan kelahiran dua organisasi kemasyarakatan ini sangat aktif dalam memberantas PKI. Kokam berdasarkan catatan sejarah keberadaannya tidak lepas dari sentuhan tentara bahkan pernah difasilitasi senjata oleh tentara untuk memberangus PKI pasca peristiwa yang memilukan khususnya bagi ABRI para jenderalnya dibantai dalam satu malam oleh PKI yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 (G 30S/PKI 1965). Maka tidak heran jika ada yang menyebut KOKAM ini anak emasnya militer. 

Demikian pula dengan Bantuan Anshor Serbaguna (Banser) tidak sedikit kontribusinya dalam mempertahankan NKRI. Indonesia perlu memberikan atensi dan penghargaan khusus bagi kedua ormas ini. Adapun Pemuda Pancasila (PP) yang dibentuk oleh Jenderal Abdul Haris Nasution satu sisi berperan penting dalam pemberantasan PKI juga perannya dalam mendukung kudeta militer yang dilakukan Soeharto atas kekuasaan Presiden Soekarno. Demikianlah dikemukakan oleh wikipedia jika kita menelusuri latar belakang dibentuknya Pemuda Pancasila (PP). Sejarah dibentuknya PP disisi lain juga tidak dapat dilepaskan menjadi alat politik Orde Baru untuk mengkampanyekan "Proyek Nasional" melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam praktiknya proyek nasional tersebut malah banyak disalahgunakan untuk memberangus lawan politik dan melanggengkan kekuasaan sehingga puncaknya ialah peristiwa Mei 1998 yang meruntuhkan rezim Orde Baru.

Jumat, 02 Mei 2025

Tuntutan Purnawirawan TNI Berhentikan Wakil Presiden: Pandangan Konstitusional Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden Berdasarkan UUD 1945

Tuntutan Purnawirawan TNI Berhentikan Wakil Presiden: Pandangan Konstitusional Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden Berdasarkan UUD 1945

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Belakangan ini publik dihebohkan dengan sejumlah isu krusial yaitu desakan atau tuntutan sejumlah Purnawirawan TNI agar Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka diberhentikan karena dugaan pelanggaran yang dilakukannya pada saat pencalonannya sebagai Wakil Presiden dalam pemilu tahun 2024 lalu. Beberapa hal yang dipersoalkan sebagaimana disebutkan dalam beberapa media yang tersebar yaitu menyangkut legalitas pendidikannya yang diragukan terkait status gelar strata-1 atau legalitas ijazah sarjananya dan fenomena pelanggaran etik yang dilakukan Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana diketahui juga merupakan paman dari Gibran. 

Keterlibatan Anwar Usman dalam menyidangkan dan memutus uji materi ketentuan tentang batas usia minimal calon Wakil Presiden dalam Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dianggap tidak patut dan dinilai bentuk intervensi politis untuk meloloskan/memfasilitasi Gibran menuju singgasana kekuasaan. Meski terdapat 9 orang hakim, nyatanya pendapat mayoritas hakim dengan tafsir konstitusionalnya akhirnya memberikan jalan yang mudah bagi Gibran untuk menjadi calon Wakil Presiden walaupun usianya belum mencapai 40 tahun angka minimal. Kalau kita meneliti lebih terperinci akan ditemukan problematika dan kontradiksi antara hakim dengan concuring opinion dan dissenting opinion sebagaimana disampaikan hakim MK Saldi Isra. 

Sementara itu jika kita menelaah ketentuan dan prosedur konstitusional terkait upaya impeachment (pemakzulkan/pemberhentian) Presiden dan Wakil Presiden maka tuntutan untuk meng-impeach Wakil Presiden Gibran misalnya tidaklah semudah yang dibayangkan, ada indikator tertentu, prosedur hukum dan tarikan kepentingan politis yang besar. Secara konstitusiional dasar konstitusionalitas pemberhentian Presiden ataupun Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa "Presiden dan/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".

Dalam pasal tersebut garis besar atau poin-poin utama dapat dikumpulkan sebagai berikut:

1. UUD 1945 membuka peluang bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, tanpa perlu menunggu masa jabatannya selesai dengan persyaratan tertentu.

2. Lembaga negara yang berwenang untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, sementara itu lembaga negara yang berwenang mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu Dewan Perwakilan Rakyat.

3. Syarat agar dapat diberhentikannya Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa: a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang; b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang; c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden; e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 7B UUD 1945 mengatur prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai berikut. Pada pengaturan Pasal 7B ayat (1) pada intinya memuat keharusan sebelum usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diajukan ke MPR, DPR mengajukan terlebih dahulu permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.  Dari pengaturan yang demikian maka penting dipahami bahwa sesungguhnya prosedur pemberhentian tersebut tidak hanya melibatkan peran DPR dan MPR, tapi juga Mahkamah Konstitusi (MK). 

Jika dirunut secara garis besarnya prosedur impeachment (pemberhentian) Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut dimulai dari penggunaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat yang digunakan DPR dalam sidang-sidangnya. Penggunaan hak tersebut baru dapat dilakukan setelah menenuhi ketentuan quorum tertentu dan juga prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Setelah DPR selesai dengan hak menyatakan pendapat barulah DPR dapat mengajukan permintaan kepada MK setelah memenuhi quorum 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. 

Setelah permintaan diajukan kepada MK, maka MK pun bersidang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR paling lama 90 hari. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum (bentuk pelanggaran hukumnya sebagaimana telah disebutkan diawal), maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. Selanjutnya MPR bersidang untuk memutuskan usul pemberhentian DPR tersebut. Mengenai hal itu dapat dibaca lebih lengkap dalam ketentuan Pasal 7B ayat (4) sampai dengan ayat (7) UUD 1945. 

Secara normatif keterlibatan MPR sebagai pemutus terakhir menjadi penentu diberhentikannya Presiden dan/atau Wakil Presiden. Maka disini secara normatif ataupun dalam tataran praktik terbuka peluang MPR dapat saja menganulir putusan MK. Padahal putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Putusan MK adalah putusan hukum dapat ditembus atau dikesampingkan oleh keputusan politis MPR. Satu sisi MPR sebagai lembaga negara yang berwenang melantik dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden (lihat Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945), namun disisi lain UUD 1945 tidak mengatur secara tegas agar putusan MK atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dilaksanakan oleh MPR. Ini menjadi kelemahan konstitusional yang cukup signifikan.

Ketentuan tentang impeachment atau pemakzulan (pemberhentian) Presiden dan/atau Wakil Presiden secara konstitusional tidak selesai hanya dengan mengacu pada Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, sebab pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan kekosongan jabatan/kekuasaan andai Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan diberhentikan. Maka untuk mengatasi kekosongan kekuasaan Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut Pasal 8 UUD 1945 mengatur mekanisme pengisian jabatan/kekuasaan yang kosong tersebut.

Membaca Peluang Impeachment

Diawal tulisan telah dikemukakan bahwa impeachment itu terbuka dan mungkin untuk dilakukan dengan prosedur konstitusional. Hanya saja jika kita bicara peluang seberapa besar kemungkinan impeachment itu akan terjadi maka selain faktor hukum, perlu pula kita pahami faktor politis yang melandasi semua usaha-usaha untuk pemakzulan tersebut. Praktiknya meskipun Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial tetapi disaat yang sama juga membangun dan memberlakukan koalisi kepartaian yang secara teoritis hanya digunakan pada sistem parlementer sehingga masih terus menjadi polemik hingga saat ini. 

Hal itu berakibat pada hilangnya keberadaan dan kemampuan oposisi yang diidealkan sebagai check and balances atau pengawas dan penyeimbang pemerintah (eksekutif). Akibat lain yang muncul ialah banyaknya produk undang-undang yang tergolong buruk dibuat atas kompromi kepentingan DPR dan pemerintah. Oposisi yang harusnya ada di DPR menjadi lemah dan tumpul karena pemerintah sejak awal partai-partai sudah membangun koalisi untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kekuatan politik yang berada di eksekutif adalah kekuatan politik yang sama dengan yang berada di parlemen (DPR). 

Partai politik di DPR akan sangat berterimakasih pada Presiden dan Wakil Presiden karena anggota-anggotanya diangkat menjadi menteri, pejabat di BUMN, ataupun pejabat setingkat kementerian. Kondisi ini tidak lebih dari politik balas budi atau bagi-bagi jabatan karen partai-partai politik telah mengusulkan dan memenangkan seorang tokoh yang semula calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Sebab itu sangat kecil peluang DPR akan menggunakan hak angket dan hak menyatakan pendapat yang dianggap sebagai tingkatan yang paling menentukan atas usul impeachment. DPR hanya akan terus menjaga agar berada pada posisi hak interpelasi yang sifatnya hanya meminta penjelasan pemerintah tanpa ada konsekuensi yang berarti.

Desakan Impeachment Wakil Presiden Gibran

Forum Purnawirawan TNI telah mempublikasikan tuntutan mereka agar Wakil Presiden yaitu Gibran untuk diberhentikan dan diganti karena dianggap telah melakukan kecurangan atau melakukan pelanggaran hukum pada saat pemilu tahun 2024 lalu yaitu terkait dengan pencalonannya dimana legalitas atau keabsahan persyaratan pencalonannya diragukan kebenarannya dan diduga ijazahnya tidak asli. Selain itu juga telah memanfaatkan relasi kuasa antara dirinya, ayahnya dan pamannya Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi yang mengubah persyaratan batas usia minimal 40 tahun bagi calon Wakil Presiden dalam UU Pemilu. 

Dengan tafsir inkonstitusional bersyarat MK dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 menafsirkan bahwa Pasal 169 guruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai berusia 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Dengan kata lain bahwa seorang yang diusulkan sebagai calon Wakil Presiden yang belum berumur 40 tahun tetap dapat dicalonkan asalkan yang bersangkutan pernah menjabat sebagai pejabat yang dipilih berdasarkan pemilu dan pilkada. Tafsir ini dianggap menguntungkan bagi Gibran karena posisinya sebagai mantan Walikota Surakarta. Menariknya menyikapi cara-cara kerja MK ini, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menuturkan bahwa dimasa ia menjadi hakim MK telah berupa membuat batasan legal standing orang-orang yang dinilai dapat menjadi pemohon. 

Hal itu untuk menghindari orang-orang yang mencari panggung untuk dirinya sendiri. Karena itu haruslah orang-orang yang mengalami dampak aktual atau yang mengalami kerugian secara langsung yang dapat menjadi pemohon dalam sidang MK. Batasan ini sudah diatur dalam UU MK dan dikuatkan dalam beberapa putusan MK diantaranya dalam Putusan No. 006/PUU-III/2005 ataupun Putusan No. 11/PUU-V/2007. Hal ini tampaknya telah dilanggar oleh seluruh hakim MK yaitu menerima permohonan judicial review yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNSA) yang menggugat batasan minimal umur bagi calon Wakil Presiden. 

Dengan diterimanya permohonan tersebut maka terdapat cacat formil dalam penerapan hukum acara MK. Jika ditelaah dalam permohonannya pemohon menerangkan kekagumannya pada Gibran saat menjabat Walikota dan beliau merasa  dirugikan sebab tidak dapat memilih idolanya tersebut pada pemilu 2024 lalu karena Gibran sendiri saat itu tidak dapat maju pada kontestasi pemilu mengingat umurnya masih 36/37 tahun. Selain itu disebutkan juga dalam permohonannya bahwa pemohon bercita-cita ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, ini belum dapat disebut kerugian yang aktual masih bersifat potensial mengutip pendapatnya Jimly Asshiddiqie dalam penjelasannya yang dimuat dalam hukum online. 

Nyatanya MK menerima permohonan yang diajukan oleh mahasiswa ini padahal harusnya permohonannya tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) atau NO karena tidak berkompeten sebagai pihak yang dapat memiliki legal standing sebagai pemohon. Dalam putusannya MK menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang telah digenapi dengan penafsiran MK dinyatakan berlaku mulai dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Putusan ini hanyalah satu diantara inkonsistensi putusan yang pernah dibuat oleh MK. 

Pada putusan yang lain misalnya terkait pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 lalu saat kisruh uji materi pemilihan umum yang dilaksanakan dua kali dalam lima tahun yakni pemilihan umum untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD disatu sisi dan beberapa bulan kemudian dilaksanakan pemilihan umum untuk Presiden dan Wakil Presiden. Dalam putusannya MK menyatakan pasal yang diuji materi itu inkonstitusional tetapi berlakunya pada pemilihan umum 5 tahun berikutnya yaitu pemilihan umum tahun 2019. Tidak langsung berlaku seketika, hal ini sangat bertentangan dengan sifat putusan hakim yang berlaku einmaligh (sekali selesai) atau berlaku seketika setelah diucapkan. Alhasil pada pemilihan umum tahun 2014 masih diselenggarakan sebanyak dua kali dalam lima tahun yang secara hukum telah nyata-nyata dihukumi inkonstitusional oleh MK sendiri.

Betapapun masalah yang terjadi pada saat pencalonan Gibran sebagai calon Wakil Presiden tahun 2024 lalu secara konstitusional saya menganggap tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan impeachment terhadapnya. Hal itu karena yang dapat dipersoalkan hanyalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Wakil Presiden bukan yang dilakukan oleh calon Wakil Presiden. Hal itu sudah sangat jelas dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Asas retroaktif tidak dapat diberlakukan untuk mengimpeach Wakil Presiden Gibran atas apa yang katakanlah andaikata memang dilakukannya pada saat pencalonan pada pemilihan umum tahun 2024 lalu. Maka alasan Wakil Presiden Gibran melanggar hukum dimasa pencalonan dirinya dahulu tidak dapat menjadi alasan konstitusional untuk mengimpeach nya saat ini dimana ia telah menjadi Wakil Presiden yang sah dan konstitusional. Sebab itu hanya pelanggaran hukum yang dilakukan pada saat Gibran menjabat Wakil Presiden saja yang hanya mungkin untuk dipersoalkan menjadi alasan-alasan pemakzulannya.

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pe...