Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan
Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Pendahuluan
Pasca tumbangnya Orde Baru dengan berhentinya Presiden Soeharto pada Mei 1998, uforia demokrasi mulai dirasakan dan dirayakan dengan semarak. Tuntutan reformasi yang diperjuangkan yaitu: amandemen UUD 1945, pemberantasan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), pencabutan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, perlindungan HAM, kebebasan pers dan otonomi daerah. Pasca runtuhnya Orde Baru, semua tuntutan reformasi tersebut mulai diusahakan dimulai dengan mengamandemen beberapa pasal UUD 1945 diantaranya pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat yang diposisikan berada ditangan rakyat, pasal tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dibatasi hanya paling lama untuk dua kali masa jabatan (2 periode jabatan), tatacara pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya, kewenangan legislasi, pasal-pasal tentang hak asasi manusia, pembentukan lembaga negara yang baru yaitu DPD dan Mahkamah Konstitusi, pasal mengenai pemilihan umum dan lain sebagainya.
Diantara tuntutan reformasi tersebut perlindungan HAM menjadi salah satu isu sentral yang menguat agar kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat benar-benar dilindungi oleh hukum sehingga tidak ada lagi seorangpun yang dipenjarakan sewenang-wenang karena menyampaikan pendapat atau kritik terhadap pemerintah. UUD 1945 diamandemen sebanyak 4 kali amandemen, atau ada pula yang menyebut satu kali amandemen yang dilakukan dengan 4 tahapan yaitu pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 November 2001, 11 Agustus 2002. Sejak diamandemennya UUD 1945 jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat memiliki dasar konstitusionalitas yang kuat. Hal itu misalnya dapat dibaca pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".
Pasca amandemen UUD 1945 hingga saat ini kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tersebut diimplementasikan dengan pembentukan berbagai organisasi kemasyarakatan baik yang bergerak dibidang hukum, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan, agama dan lain sebagainya. Diakuinya dan jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tersebut semakin diperkuat dengan disahkannya UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 Menjadi Undang-Undang. UU ini menggantikan UU No. 8 Tahun 1985 yang mensyaratkan asas tunggal Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) hanya Pancasila. Pada masa berlakunya UU "Astung" ini semua Ormas dipaksa harus berasaskan Pancasila sehingga menimbulkan banyak sekali perlawanan dan perpecahan terutama sekali organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, HMI, dan organisasi-organisasi yang semula berasaskan Islam atau berdasarkan selain Pancasila.
Ormas Lebih TNI daripada TNI
Demokrasi yang diidam-idamkan seakan mengalami kelahiran kembali dinegeri ini pasca Orde Baru tidak lagi berkuasa. Setiap momen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar dinikmati dengan bebas lepas dari ancaman kesewenang-wenangan pemerintah. Produktifitas berpikir dan menyampaikan pendapat dan kritik semakin tumbuh subur dalam majalah-majalah, koran, terbitnya buku-buku, pertunjukan-pertunjukan kebudayaan, seminar, ataupun dalam aneka ragam forum penyampaian pendapat yang bebas. Semua mengalir bebas bak air bah yang tumpah melanda apa saja yang dilewatinya.
Hanya saja belakangan ini (10 tahun terakhir) banyak bermunculan ormas yang membuat kegaduhan dan keresahan dimasyarakat karena perilaku anggota-anggotanya yang dirasakan melampaui militer, lebih tentara daripada tentara. Tidak hanya soal perilakunya tapi juga atribut yang digunakan nyaris sempurna menyerupai militer. Ormas tersebut bersifat paramiliter karena memiliki struktur, pelatihan, dan peralatan mirip dengan militer. Keberadaan ormas ini seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman dimasyarakat, banyak masyarakat bahkan merasa takut dan mengalami intimidasi sedemikian rupa.
Ormas-ormas tersebut bahkan banyak mengambil peran dan tugas kepolisian seperti tindakan pengamanan kegiatan sosial, lalu lintas atau aspek ketertiban umum bahkan melakukan tindakan penertiban secara sewenang-wenang yang merupakan tugasnya kepolisian. Selain itu banyak bermunculan tindakan premanisme menjadi tukang palak yang suka menghadang dan memeras sopir kendaraan, memeras pedagang atas nama uang keamanan, terlibat kerusuhan, provokator konflik dan lain sebagainya.
Dihimpun dari beberapa media terdapat beberapa ormas yang berseragam mirip militer dan atau melakukan tindakan yang menjadi kewenangannya aparat penegak hukum yaitu seperti United Nation Peace Keeping Forces Council (UN PKFC), Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI), Penerus Pejuang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKRI), Ikatan Pemuda Karya (IPK), Pemuda Pancasila (PP), Satgas Cakra Buana-PDIP yang berada dibawah afiliasi atau organisasi sayap PDIP, Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK) organisasi sayap PKB, Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan beberapa tahun yang lalu, Bantuan Anshor Serbaguna (Banser) organisasi dibawah naungan Nahdlatul Ulama, Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) organisasi dibawah naungan Muhammadiyah, Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB Jaya).
Belakangan ini diantara ormas tersebut beberapa ormas menjadi sorotan dan sasaran kritik tajam masyarakat karena tindakan penyelewengan mulai dari menjadi dalang kerusuhan hingga aksi pemalakan lalu lintas seperti Pemuda Pancasila (PP), Banser dan GRIB Jaya. Meskipun ormas seperti PKRI ataupun PPKRI disekitar tahun 2016-2018 telah beberapa kali dilucuti atribut ala militernya dan diburu keberadaannya oleh aparat militer karena aksi-aksi kontroversialnya.
Hanya saja sangat disayangkan ormas seperti PP dan Banser belakangan ini menjadi sasaran kemarahan banyak orang. Hari ini jika kita membaca komentar netizen kita menemukan banjirnya hujatan yang ditujukan pada kedua ormas ini. Tidak kalah hebohnya saat ini media sosial dipenuhi dengan cemoohan pada GRIB Jaya pimpinan Rosario de Marshal atau lebih dikenal dengan Hercules atas perilaku kontroversialnya yang bahkan sampai berani "menghina" purnawirawan jenderal TNI Sutiyoso yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta era 1997-2007 hingga menantang mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo. Selain itu GRIB Jaya ini juga menantang Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dengan mengancam akan menggeruduk Gedung Sate (Kantor Gubernur Jawa Barat) dengan mengerahkan 50 ribu anggotanya.
Larangan Penggunaan Atribut Militer Bagi Ormas
Ketentuan tentang larangan penggunaan atribut militer bagi ormas terdapat dalam UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 Menjadi Undang-Undang. Terdapat sejumlah larangan bagi ormas diatur dalam Pasal 59 ayat (1) sampai dengan ayat (4) undang-undang tersebut. Dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a tegas diatur bahwa ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan warna, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan. Selanjutnya pada Pasal 59 ayat (3) diatur bahwa ormas dilarang: a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi ormas yang melanggar ketentuan pada Pasal 59 ayat (1) diancam dengan sanksi administratif (lihat Pasal 60 ayat (1)), sementara jika melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (3) ormas dapat dijatuhi sanksi administratif bahkan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2). Jenis dan prosedur penjatuhan sanksi administratif diatur dalam Pasal 61, Pasal 62, Pasal 80A, Pasal 82A dan Pasal 83A. Sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Penertiban Atribut Ormas
Sikap pemerintah yang terkesan mendiamkan ormas paramiliter dengan serangkaian aksi kontroversialnya sudah seharusnya dihentikan. Jika tidak maka akan memicu konflik sosial yang lebih besar bahkan menghambat kinerja pemerintah karena dapat menjadi batu sandungan. Membuang-buang energi menghadapi ormas semacam itu juga tidak berguna. Jangan sampai sebab pemerintah tidak kunjung mengambil langkah tegas maka memungkinkan masyarakat berasumsi bahwa ormas berwatak premanisme tersebut "peliharaan" pemerintah untuk suatu kepentingan politik tertentu. Keberadaan ormas tersebut sudah seharusnya untuk ditertibkan. Larangan mengenai hal itu sudah jelas, negara dalam hal ini menteri hukum harus mengambil sikap tegas. Sebelum mekanisme hukum dijalankan, upaya persuasif dapat dilakukan yaitu dengan memanggil mereka semua instruksikan agar mengubah AD/ART atau peraturan dasar organisasinya terkait dengan atribut organisasi dan hal-hal yang menyangkut larangan melakukan tindakan yang menjadi wewenang aparat penegak hukum. Beri kesempatan sekian bulan, tetapi jika tidak diindahkan maka menteri hukum dapat langsung melaksanakan mekanisme hukum untuk mengeluarkan sanksi administratif.
Hal ini penting dilakukan agar jangan ada lagi ormas yang membuat kegaduhan dimasyarakat, berlagak ala militer dan menebar ancaman atau ketakutan dimasyarakat. Memang benar konstitusi menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Tetapi tidak ada kebebasan tanpa batas dan tidak ada kebebasan tanpa pertanggungjawaban manakala terjadi penyelewengan atas kebebasan itu. Mekanisme hukumlah menjadi pemutus atas sikap-sikap yang kontraporduktif yang dilakukan ormas. Larangan penggunaan atribut ala militer ini sejatinya cukup mudah diberlakukan pada ormas tulen. Tetapi organisasi seperti KOKAM dan Banser menjadi sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Kendatipun KOKAM tidak termasuk organisasi yang menjadi sasaran kritik masyarakat. Lain halnya dengan Banser sisi kontroversialnya banyak menjadi sorotan.
Kedua organisasi ini bukanlah berdiri sendiri melainkan ia dibentuk oleh ormas induknya yaitu Muhammadiyah yang membentuk KOKAM dan Nahdlatul Ulama (NU) yang membentuk Banser. Lebih spesifik lagi KOKAM berada dibawah Pemuda Muhammadiyah, dan Banser dibawah Gerakan Pemuda Anshor (GPA). Bagaimanapun juga KOKAM dan Banser menggunakan atribut ala militer sama halnya dengan ormas seperti PP, GRIB Jaya dan lain sebagainya yang telah dibahas diawal. Andai aturan tentang larangan penggunaan atribut ala militer diberlakukan pada ormas seperti PP, GRIB Jaya, IPK dan lain sebagainya maka mesti juga diberlakukan pada KOKAM dan Banser. Meskipun kedua organisasi yang disebut terakhir ini bukanlah ormas yang berdiri sendiri, tetapi organisasi ini memiliki struktur tersendiri yang berbeda dengan ormas induknya. Maka hal itu dapat diberlakukan juga pada organisasi ini (KOKAM dan Muhammadiyah). Akan menjadi tidak adil jika kedua organisasi tersebut tidak terkena larangan penggunaan atribut ala militer sehingga menimbulkan polemik dimasa yang akan datang.
Kendatipun demikian, khusus untuk Kokam dan Banser negara selayaknya menghargai dan mengapresiasi jasa besar keduanya dimasa lalu dalam upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Bahkan kelahiran dua organisasi kemasyarakatan ini sangat aktif dalam memberantas PKI. Kokam berdasarkan catatan sejarah keberadaannya tidak lepas dari sentuhan tentara bahkan pernah difasilitasi senjata oleh tentara untuk memberangus PKI pasca peristiwa yang memilukan khususnya bagi ABRI para jenderalnya dibantai dalam satu malam oleh PKI yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 (G 30S/PKI 1965). Maka tidak heran jika ada yang menyebut KOKAM ini anak emasnya militer.
Demikian pula dengan Bantuan Anshor Serbaguna (Banser) tidak sedikit kontribusinya dalam mempertahankan NKRI. Indonesia perlu memberikan atensi dan penghargaan khusus bagi kedua ormas ini. Adapun Pemuda Pancasila (PP) yang dibentuk oleh Jenderal Abdul Haris Nasution satu sisi berperan penting dalam pemberantasan PKI juga perannya dalam mendukung kudeta militer yang dilakukan Soeharto atas kekuasaan Presiden Soekarno. Demikianlah dikemukakan oleh wikipedia jika kita menelusuri latar belakang dibentuknya Pemuda Pancasila (PP). Sejarah dibentuknya PP disisi lain juga tidak dapat dilepaskan menjadi alat politik Orde Baru untuk mengkampanyekan "Proyek Nasional" melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam praktiknya proyek nasional tersebut malah banyak disalahgunakan untuk memberangus lawan politik dan melanggengkan kekuasaan sehingga puncaknya ialah peristiwa Mei 1998 yang meruntuhkan rezim Orde Baru.