Sabtu, 23 Agustus 2025

Amnesti dan Abolisi: Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung

Amnesti dan Abolisi: Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung

Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Belakangan ini pemberitaan diberbagai media perihal kebijakan pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden kepada ribuan terpidana menjadi topik pembicaraan yang banyak dibahas dimedia sosial. Disebutkan bahwa Presiden memberi amnesti kepada 1.116 orang terpidana diantaranya termasuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong. Kebijakan inipun direspon dengan berbagai pendapat dari para pengamat, ataupun para pakar. Pasca pemberian amnesti dan abolisi tersebut, media kembali dihebohkan dengan penangkapan terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan beserta beberapa pejabat lainnya dikementerian tersebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan tindak pidana pemerasan pengurusan penerbitan sertifikasi Keamanan, Keselamatan Kerja (K3) sebagaimana diungkap oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, semula biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh untuk memperoleh sertifikat tersebut hanya Rp.275.000 dimark-up menjadi Rp. 6.000.000. Mirisnya lagi, pasca ditangkap Wakil Menteri tersebut dengan rasa percaya diri tampak tidak malu menyampaikan bahwa ia berharap Presiden mau memberikannya amnesti meskipun proses pemidanaannya baru akan berjalan. 

Dasar Konstitusionalitas dan Legalitas 

Secara konstitusional, kewenangan Presiden dalam hal pemberian amnesti dan abolisi diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 bahwa "Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat". Jika ditelusuri alasan Presiden memberi amnesti dan abolisi ialah untuk menjaga keutuhan bangsa, karena terdakwa atau terpidan telah berkontribusi untuk negara, hingga alasan kemanusiaan.

Sementara itu dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi pada Pasal 4 diatur bahwa "semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang temaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dihapuskan. Dengan pemberian abolisi terhadap orang-orang yang termakaud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ditiadakan". Pemberian amnesti dan abolisi dilakukan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat jika tidak dilaksanakan berdasarkan pertimbangan yang objektif akan sangat berbahaya bagi eksistensi negara hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat. 

Mengingat Presiden dan DPR merupakan lembaga politik, berasal dari lingkaran politik yang sama baik pada saat pemilihan umum maupun dalam pembentukan atau pemilihan anggota kabinet pembantu Presiden. Oleh sebab itu tentu semua tindakan atau kebijakan Presiden sarat dengan muatan politik termasuk dalam pemberian amnesti dan abolisi ini. PDIP yang semula diduga akan menjadi oposisi ternyata setelah mantan Sekretaris Jenderalnya (Hasto Kristiyanto) diberikan amnesti oleh Presiden, Megawati selaku Ketua Umum langsung mengajak seluruh kadernya mendukung pemerintahan. Artinya tiada lain ialah instruksi untuk berkoalisi dengan rezim yang berkuasa. Praktis tidak ada satupun partai oposisi dalam rezim ini. 

Pemberian amnesti, abolisi, termasuk pula grasi, remisi, cuti menjelang bebas, semua itu bentuk intervensi eksekutif pada kekuasaan kehakiman (yudikatif) dan sangat rawan disalahgunakan. Pertimbangannya sangat subjektif dan sarat kepentingan politis. Maka dari itu saya sudah menulis dalam buku saya "Amandemen UUD 1945 Upaya Mengokohkan Landasan Konstitusional Dalam Bernegara", dan dalam buku "Format Ketatanegaraan Yang Ideal" bahwa akan lebih baik pemberian amnesti, abolisi, grasi, remisi, cuti menjelang bebas melibatkan peran aktif Mahkamah Agung sebagai penanggungjawab tertinggi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. 

Penting untuk memberi kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menetapkan syarat dan mengevaluasi pemberian amnesti, abolisi, grasi, remisi, cuti menjelang bebas bagi pelaku kejahatan (tersangka, terdakwa, terpidana). Adapun teknisnya masih dapat dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Dengan begitu akan lebih efektif dan berkeadilan. Dalam rangka penguatan kewenangan Mahkamah Agung tersebut maka Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 perlu dilakukan revisi

Revisi Undang-Undang

Mengingat undang-undang ini sudah usang karena pengaturannya yang sangat ringkas dan terlalu sederhana selayaknya menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan akan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. Selain itu perlu diatur batasan cakupan tindak pidana yang hanya dapat diberikan  amnesti dan abolisi. Jika mengacu pada UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tidak ada pengecualian ataupun batasan pemberian amnesti dan abolisi kepada terdakwa atau terpidana. 

Artinya amnesti dan abolisi dapat diberikan kepada siapa saja terdakwa atau terpidana yang melakukan tindak pidana apa saja untuk semua jenis tindak pidana. Saat ini peran Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, Mahkamah Agung hanya sekedar memberikan nasehat tertulis atas permintaan Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum) sehingga belum menempatkan Mahkamah Agung pada posisi yang proporsional. 

Kendatipun pemberian amnesti dan abolisi itu merupakan hak prerogatif Presiden dibidang peradilan, tetapi jika pemberian amnesti dan abolisi semata-mata atas dasar pertimbangan subjektif Presiden yang dalam praktiknya rentan dipengaruhi kepentingan politis terutama untuk pelaku tindak pidana korupsi, maka setiap orang yang diproses pidana atau telah berstatus terdakwa atau telah divonis pidana lalu Presiden membebaskannya dengan pemberian amnesti, abolisi, maka betapa kondisi tersebut sangat melukai rasa keadilan masyarakat dan betapa kekuasaan kehakiman menjadi runtuh wibawanya dan penegakan hukum menjadi sia-sia sebab dengan mudahnya diintervensi untuk membebaskan orang-orang tertentu yang terjerat tindak pidana. Jika amnesti dan abolisi itu diberikan (diobral) secara bebas, sesungguhnya kita sedang menggotong negara hukum ini menuju lubang kubur. jika semua pelaku tindak pidana diberi amnesti dan abolisi, maka penegakan hukum menjadi tidak diperlukan lagi.

Menurut saya kedepan perlu dipertimbangkan undang-undang mengatur bahwa untuk tindak pidana tertentu seperti korupsi, penyuapan, pencucian uang, penghianatan terhadap negara, terorisme, upaya pembunuhan terhadap kepala negara, tindak pidana narkotika utamanya bagi pembuat atau bandar tidak diberikan amnesti dan abolisi. Disinilah komitmen pemberantasan korupsi diuji, dan disinilah komitmen bernegara hukum bahwa kita mengakui supremasi hukum diuji. Kita harus meletakkan komitmen bernegara hukum pada posisi yang tinggi sama tingginya dengan supremasi hukum itu sendiri.

Jika Presiden dengan kewenangan konstitusionalnya yang bersifat prerogatif itu tidak diimbangi melalui penguatan kewenangan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan dan penanggungjawab tertinggi penyelenggaraan kekuasaan kehakikan sebagimana telah dikemukakan, maka Presiden sebagai lembaga politik sangat leluasa dan bebas memberikan amnesti dan abolisi kepada siapa saja tanpa memandang seberapa besar kerusakan atau kerugian yang timbul dari suatu tindak pidana baik bagi negara ataupun bagi masyarakat. 

Keadaan yang demikian itu menempatkan posisi penegakan hukum oleh kepolisian dan kejaksaan pada akhirnya menjadi lemah bahkan hanya akan menyisakan lelahnya saja memproses pidana seseorang yang memerlukan waktu tidak sebentar itu sebab tiba-tiba Presiden membebaskan pelaku kejahatan itu sehingga semua proses pemidananaan harus dihentikan atau ditiadakan. Demikian pula halnya dengan pemberian remisi, apa yang disebut dengan terpidana telah berkelakuan baik selama menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan meskipun dapat dinilai objektifitasnya, tetapi tidak menghilangkan kecurigaan bahkan kemungkinan telah terjadi "patgulipat" dalam pemberian remisi dan cuti menjelang bebas itu. 

Oleh sebab itu Mahkamah Agung perlu dilibatkan secara aktif bukan hanya sekedar memberikan nasehat tertulis kepada Presiden sebagaimana diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Lebih dari itu Mahkamah Agung dilibatkan untuk menetapkan syarat dan melakukan evaluasi terhadap pemberian amnesti, abolisi, grasi, termasuk pula remisi dan cuti menjelang bebas bagi terpidana. Penguatan kewenangan Mahkamah Agung tersebut untuk menjamin bahwa pemberian amnesti dan sebagainya itu benar-benar berdasarkan pertimbangan objektif dan menjamin rasa keadilan tanpa ada manipulasi administratif-prosedural. Jika terdapat pemberian amnesti, abolisi, grasi, atau cuti menjelang bebas yang tidak benar maka Mahkamah Agung dapat mengevaluasinya dengan jalan merekomendasikan pada Presiden untuk mengoreksi dan membatalkan atau menunda pemberian itu semua sampai dipenuhi syarat objektif yang mencerminkan rasa keadilan tanpa ada manipulasi administratif-prosedural. 

Ini merupakan bentuk check and balances yang baik yang perlu diadakan untuk memperkuat sendi-sendi penegakan hukum dan ketatanegaraan. Jika tidak demikian maka pemberian amnesti dan sebagainya itu hanya mempermainkan penegakan hukum, menggembosi penegakan hukum, tidak lebih. Kendatipun demikian kewenangan evaluasi oleh Mahkamah Agung tidak menghilangkan atau mengurangi kewenangan Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi atau dalam pemberian grasi dan rehabilitasi berdasarkan Pasal 14 UUD 1945. Demikian pula tidak menghilangkan kewenangan Lembaga Pemasyarakatan untuk memberikan remisi, cuti menjelang bebas.

Jumat, 15 Agustus 2025

Merdeka -100%: Seremonial Tahunan dan Wacana Kesejahteraan Rakyat

Merdeka -100%: Seremonial Tahunan dan Wacana Kesejahteraan Rakyat

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Jika Tan Malaka berdiri lantang dengan doktrinnya Merdeka 100%, maka sesungguhnya keadaan kita "Republik" yang lahir dari usulan konseptual Bung Tan itu ialah kebalikannya secara sempurna. Negara yang berangsur menua dari tahun ke tahun seakan daripadanya sirna percakapan tentang romantika masa lalu yang menopang bangsa ini dengan kekuatan pikiran, kesederhanaan, keteladanan, keberanian sebagai alat pembebasan. Tentu romantika yang ditaburkan disini bukanlah kita bermaksud hendak meletakkan serapi-rapinya sejarah sebagai kenang-kenangan, ingatan bangsa atau sekedar pengalaman. Lebih dari itu ialah untuk menegakkan maknanya kembali dalam praktik bernegara dan meneruskan spirit kenegaraannya untuk menjawab permasalahan hari ini. Diatas kertas konstitusi tertulis doktrin demokrasi yang menjadi asas dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan sebagai landasan bagi warganegara untuk berperilaku dan berbincang akrab dengan penguasa hingga saat ini kita saksikan benar-benar telah diletakkan pada posisi yang kontra historis yang menyimpang jauh dari sumbu spirit kemerdekaan generasi founding fathers hingga mudah sekali atas setiap pendapat yang berbeda yang diucapkan dalam suasana negara yang mengaku negara demokrasi seketika dapat berubah menjadi delik.

Sabda Konstitusi 

Pembukaan konstitusi masih jelas terpampang daripadanya: "...penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan", atau komitmen konstitusional yang bertuliskan: "...membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya...". Juga jika kita membaca kebagian akhir dari konstitusi kita itu masih terhampar jelas kalimat yang amat menyentuh hati: "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Demikian terurai dalam konstitusi kita apakah ia kita anggap hanya sekedar pepatah, nasehat, atau ungkapan mendalam dari seorang sastrawan kenamaan yang bertaruh rindu pada kekasihnya atau hanya sebatas bangunan mewah intuisinya yang tersibak kekagumannya pada indahnya struktur alam yang tidak berseluk beluk dan tidak pula menyentuh sendi kehidupan sosial politik bangsa kita (?). Saat ini dalam setiap teriakan merdeka itu mestilah kita insyafi benar bahwa disitu ada 23,85 juta orang penduduk miskin (berdasar data Badan Pusat Statistik, atau 194 juta penduduk miskin menurut data World Bank). Dalam teriakan merdeka itu pula ada Rp.7.033,45 T utang luar negeri Indonesia

Pun dalam teriakan merdeka itu juga kita saksikan pendapatan negara disektor pertambangan akibat mewah dan gagahnya korupsi hanya menyisakan Rp.300 T padahal potensi aslinya bisa mencapai 6 sampai dengan 8 kali lipat. Tidak hanya sektor pertambangan, korupsi kini tampil memukau dalam pemberitaan rutin bulanan negeri ini disemua aspek dengan jumlah yang fantastis. Jika dikalkulasikan dan diurutkan berdasar data yang masyhur diberbagai platform media sosial maka kita akan dapati data korupsi di Indonesia yaitu: 

1. Korupsi PT. Pertamina Rp.968,5 T (bahkan ditaksir Kejaksaan Agung mencapai berkali lipat dari jumlah itu)

2. Korupsi PT. Timah Rp.300 T

3. Korupsi BLBI Rp. 138 T

4. Korupsi PT. Duta Palma Rp.78 T

5. Korupsi PT. TPPI Rp.37 T

6. Korupsi PT. Asabri Rp. 22 T

7. Korupsi PT. Jiwasraya Rp.17 T

8. Korupsi Kemensos Rp.17 T

9. Korupsi Sawit CPO Rp.12 T

10. Korupsi Garuda Indonesia Rp.9 T

11. Korupsi BTS Kominfo Rp.8 T

12. Korupsi Bank Century Rp. 7 T

Sampai saat ini deretan kasus korupsi tersebut masih terus bermunculan seperti dugaan korupsi di kemendikbud dan di kemenag. Betapa negeri ini benar-benar diambang keruntuhan yang sulit dibayangkan dan takkan mampu dibendung jika korupsi selalu tumbuh dan menghegemoni negeri ini. Masih dalam teriakan merdeka itu kita menyaksikan anjloknya moralitas para pelajar dan guru serta kenyataan kualitas pendidikan Indonesia tertinggal 128 tahun dari negara maju. Dalam kata merdeka itu pula Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam urusan tarif impor Amerika Serikat. Maka kita harus sangat berhati-hati jika ingin mengucapkan kata "merdeka" itu. "Merdeka" itu bukan kosa kata kosong yang dapat diucapkan serampangan dengan fasih, ia bukan pula sebentuk dekorasi dalam demokrasi. 

Merdeka dan Tragedi

Pada substansinya kata "merdeka" itu mengandung makna yang amat dalam yaitu kehendak lepas dari penjajahan dan perbudakan, perjuangan berdarah-darah menentang kolonialisme, kehendak untuk berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain untuk bercakap-cakap secara humanis dan posisi untuk menentukan nasib suatu bangsa. Saat ini kata "merdeka" tampak hanya tinggal seremonial tahunan yang diperingati dengan sukacita serba retorik seakan tidak berurat berakar. Kata "merdeka" pula diteriakkan dengan gagah bak jiwa kesatria yang menyala membara menyambut kemenangan besar didepan matanya, padahal negeri ini sudah lapuk dan memulai fase keruntuhannya akibat digembosi tikus dan rayap yang tak pernah kenyang. Ada kondisi yang lain dan salah dalam hal cara kita bernegara yang menjadikan peringatan kemerdekaan itu dari tahun ke tahun hanya seremonial belaka tak bersubstansi pada gerakan kepemimpinan prospektif setelahnya, tak lebih hanya momentum penyampaian spirit kebangsaan yang tidak berbekas pada kebijakan nyata, bagaikan drum kosong yang nyaring bunyinya. Tiada lain ialah komitmen yang tidak disertai dengan tindakan nyata, prinsip untuk mengurus negara dan bangsa yang lemah, mentalitas pejabat publik yang lemah mudah disuap.

Hari ini jika kita bicara merdeka apakah indikatornya haruslah menjadi inti dari percakapan rasional dan objektif ketimbang hanya menggebrak-gebrak meja atau menggetarkan podium didepan bangsa ini. Kondisi nyata kemerdekaan kita jika diuji dengan seberapa mandiri dan berhasil pemerintah mengelola sumber daya alam dan mensejahterakan rakyatnya maka akan kita dapati sesungguhnya kita jauh sekali dari kata "merdeka" itu meskipun kita ulangi merdeka itu sampai seribu kali. Jika kita merujuk pada fakta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam menyuguhkan kepada kita sebuah kenyataan betapa Indonesia negara kaya raya. Tetapi membuat kita terperangah justru pendapatan negara terbesar misalnya pada tahun anggaran 2024 tercatat 82,4 % dari pajak dengan angka Rp.2.309,9 T. Sementara pendapatan dari hasil pengelolaan sumber daya alam hanya 7,4 % dengan angka Rp.207,7 T. Menteri keuangan selain rajin berutang ke IMF ataupun Word Bank, dari bulan ke bulan selalu hanya menambahi tarif pajak dan menciptakan berbagai pajak baru untuk mengatasi defisit anggaran.

Korupsi dan Kemewahannya

Apa sebabnya hasil pengelolaan sumber daya alam kita yang kaya raya ini yang kembali ke kas negara hanya Rp.207,7 T padahal potensi aslinya sebagaimana pernah diungkap oleh LSM lingkungan hidup mestinya mencapai 6 sampai dengan 8 kali lipat hingga diperkirakan mencapai Rp.2.000 T. Artinya persentasenya justru dapat menyamai pendapatan dari sektor pajak saat ini. Benar-benar jumlah yang sangat fantastis, sangat besar. Tetapi apa yang terjadi dibalik semua ini sehingga Menteri Keuangan seakan hanya mampu membayangkan dalam pikirannya sumber terbesar penerimaan negara yaitu dari pajak sehingga terus menerus membebani rakyat dengan tingginya tarif pajak dan bermunculannya beragam pajak baru yang menjarah kantong-kantong rakyat. Hal ini terjadi tidak lain ialah sebab politik kebijakan legislasi atau regulasi yang menguntungkan perusahaan swasta asing dan memperkaya mereka selama puluhan tahun yang tak mampu dikoreksi, dibaliknya lagi ada faktor korupsi yang benar-benar menjarah hampir seluruhnya perolehan hasil sumber daya alam negeri ini, menyisakan hanya 7,4% ke kas negara saja. 

Ini bentuk kekalahan telak bangsa ini, betapa saat ini kita harus mengakui merupakan masa-masa jayanya penjajahan dan penindasan terstruktur oleh para mafia dan koruptor yang nyaris tidak tersentuh hukum, mereka itu tidak lain ialah orang-orang yang menjarah bangsa ini yang terpelihara dari rezim ke rezim, elit politik dan pemerintah yang selalu meregenerasi setiap saat merampok kekayaan negeri ini dan menikmatinya dengan gembira diatas penderitaan jutaan penduduk miskin negeri ini. Kenyataan yang lebih menyakitkan lagi ialah bahwa jika sektor pertambangan tidak dikorupsi sebagaimana pernah dikalkulasikan oleh mantan komisioner KPK, Abraham Samad pada 2013 lalu ialah dari hasil pertambangan itu setiap penduduk Indonesia tanpa terkecuali mendapat bagian atau jatah perbulan tidak kurang 20 juta perorang bukan per kepala keluarga. 

Belum lagi jika kita bicara disektor kehutanan, pertanian, perikanan, kelautan jika tidak dikorupsi maka seharusnya Indonesia sudah menjadi negara yang amat kaya raya dan bebas hutang luar negeri sehingga tarif pajak yang memeras rakyat dapat diturunkan dan bermacam-macamnya pajak itu dapat dihapuskan, tidak ada lagi seorangpun penduduk miskin dinegara ini, setiap orang sejahtera hidupnya. Hanya saja kondisi kesejahteraan tersebut akan menjadi ancaman serius dan mematikan para kapitalis dimana perbankannya menjadi bangkrut total, sistem ribanya dalam berbagai sektor ikut runtuh bersamaan sehingga mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi menimpanya. Maka kerusakan yang terjadi pada kita dalam berbangsa dan bernegara satu sisi menguntungkan bagi kapitalis itu dan orang-orang yang merasa nyaman dengan sistem yang buruk.

Kapitalisme dan Revolusi Pendidikan

Jika kita baca perlahan kondisi kita bernegara saat ini, selain karena mentalitas bangsa ini utamanya elit politiknya sangat rendah, satu sisi menjadi sumber pertumbuhan yang menentukan hidup matinya kapitalisme. Artinya semakin bagus mental bangsa ini maka moralnyapun akan bagus, kebijakan pemerintahnya pun akan mengusahakan secara total kesejahteraan rakyatnya, kondisi itu akan mempercepat kapitalisme menemui ajalnya. Sebaliknya semakin rendah mentalitas bangsa ini, maka moralnya pun semakin jatuh dan bejat memunculkan penguasa serakah yang terus menerus memperkaya dirinya, kebijakannya menindas dan menyeret rakyatnya menjadi sangat melarat, dan semua itu semakin membuat kapitalisme tidak tergoyahkan menjadi raksasa kekuatan ekonomi besar yang menghegemoni hingga suatu negara akan bangkrut. 

Tragisnya kondisi kita saat ini berada dilevel mentalitas yang rendah tersebut. Darimana kita akan memulai membenahi kondisi ini maka faktor penyebab merajalelanya korupsi jika kita lacak akar permasalahannya, maka barangkali kita akan menyebut misalnya buruknya regulasi yang menciptakan celah korupsi, lemahnya pengawasan, minimnya kejujuran, gaji yang dipandang masih rendah, lemahnya penegakan hukum, hukum yang tidak tegas, dan lain-lain. Tetapi jika kita berhenti disitu maka semua faktor tersebut belum dapat mengantarkan kita pada akar permasalahan yang sesungguhnya. Faktor-faktor tersebut berkaitan satu sama lain tetapi tidak menjawab inti masalahnya. 

Pelacakan kita jika diteruskan akan tertuju pada salah urusnya pendidikan yang menciptakan generasi pemimpin sosial politik yang bermasalah. Maka yang perlu dilakukan ialah revolusi pendidikan secara total. Pendidikan yang bermutu akan melahirkan generasi yang tidak saja cerdas tapi jujur dan berakhlak mulia. Alumni institusi pendidikan ini yang tercerahkan pikirannya akan memimpin negeri ini dengan kebijaksanaannya dan mensejahterakan bangsa ini. Pendidikan yang bermutu akan menjadi alat pembebas paling penting dan menentukan yang menata ulang arah negara dan bangsa ini, akan menentukan pula tempat duduk pemimpin bangsa ini dalam posisi internasional yang artinya tidak lain posisi negara ini yang sesungguhnya.

Gap atau jurang besar yang menghalangi dan menjauhkan bangsa ini menjadi bangsa yang sejahtera tidak lain ialah kedigdayaan kapitalisme dan rusaknya sistem pendidikan. Jika kita bicara intervensi negara-negara barat maka basis argumennya tidak lain ialah kapitalisme. Senjata ekonomi negara-negara barat untuk menjajah negara yang mentalitasnya rendah, moralnya rendah, dan rusak karena korupsinya ialah kapitalisme perekonomian. Semua kondisi itu menjadikan negara seperti Indonesia tidak punya posisi tawar karena tidak dianggap setara semisal untuk negosiasi tarif impor yang keseluruhan isinya merugikan Indonesia secara total. Kita saksikan betapa Indonesia tidak punya posisi tawar, lain sekali dengan China yang melawan balik Amerika Serikat dengan membalas menaikkan secara berani dan berwibawa tarif impor untuk barang-barang produk AS yang masuk ke negeri tersebut. Dari kebijakan tarif impor AS ini mengukuhkan fakta yang menyayat hati bahwa Indonesia benar-benar tidak lagi memiliki kedaulatan secara ekonomi sekaligus politik, yang artinya Indonesia sudah berada dalam posisi negara jajahan kapitalisme AS. 

Mengherankan sekali pemerintahan tanpa oposisi ini tokoh elit politiknya selalu mengkampanyekan bahwa rendahnya tarif impor AS dibanding negara ASEAN lainnya bentuk "kemenangan negosiasi". Padahal apa yang disebut negosiasi itu jauh sekali dari kebenaran. Bahwa syarat untuk dapat dikatakan negosiasi ialah tercapainya win-win solution, serta adanya kesetaraan posisi pihak negosiator. Hal itu tidak dimiliki sama sekali oleh Indonesia, yang terjadi sesungguhnya hanyalah "penyerahan negeri ini beserta kekayaan alam yang ada didalamnya secara sukarela" kepada AS untuk dijajah secara menyeluruh dengan jalan mempersilahkan kapitalisme ekonomi AS menjajah negeri ini dengan eksploitasi seluruh sumber daya alam secara bebas tanpa batas, negeri yang dahulunya diperjuangkan dengan berkorban darah dan nyawa untuk sebuah proklamasi kemerdekaan dan semua upaya mempertahankannya dalam perjanjian Linggarjati, Renvil, Roem Royen hingga diplomasi KMB di Den Haag, Belanda. Atau ketiadaan posisi tawar Indonesia saat berhadapan dengan kontrak karya dengan Freeport atau Chevron, dan perusahaan-perusahaan swasta asing lain yang telah lama bercokol mengeksploitasi besar-besaran kekayaan alam bangsa ini seraya memperkaya diri mereka dalam perampokan sumber-sumber daya alam yang berlimpah ruah dinegeri ini. 

Setelah menyadari hal itu maka jalan yang harus ditempuh ialah revolusi pendidikan yang dapat dilakukan kedalam beberapa langkah yaitu:

1. Perbaikan kurikulum. 

Kita selayaknya mencontoh praktik penyelenggaraan pendidikan di negara-negara yang pendidikannya maju. Untuk beberapa hal bolehlah kita menyesuaikan dengan situasi ataupun kultur bangsa kita. Beberapa poin yang perlu kita ambil dari negara-negara yang pendidikannya maju itu ialah misalnya: 1). Hapuskan sistem perengkingan sebab sekolah bukan tempat berkompetisi tapi tempat untuk belajar, membentuk akhlak dan menimba ilmu. 2). Tidak membebani siswa dengan pekerjaan rumah. Selayaknya tugas sekolah itu (PR) diberikan pada kelas 4 atau 5 sekolah dasar. 3). Sekolah dasar harus lebih terfokus pada pembentukan karakter, pengajaran dan pengembangan kreatifitas. 4). Penjatuhan sanksi yang mendidik. Cara-cara penjatuhan sanksi ala kolonial yang menganiaya siswa harus dihapuskan diganti dengan cara yang  mendidik. 5). Fokus pada pengajaran berpikir bukan pada sikap penerimaan diri atas semua hal, melainkan siswa diajarkan berpikir kritis berani mempertanyakan kebenaran segala sesuatu. Guru berperan sebagai pembimbing dan pengarah yang mengajarkan berpikir yang benar.

2. Birokrasi yang tidak jlimet, berbelit-belit, kaku. Birokrasi yang berbelit-belit hanya akan mempersulit dan tidak efektif dalam penyelenggaraan pendidikan. Perlu penyederhanaan tetapi tetap terukur.

3. Perketat seleksi guru. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan proses Computer Assist Test (CAT), tapi juga lulus pembinaan dan pelatihan keguruan untuk menyaring agar jangan sampai orang-orang yang bermasalah yang datang dari mentalitas dan moralitas yang rendah atau buruk menjadi guru. 

Guru bukan sekedar profesi, lebih dari itu ialah ujung tombak peradaban. Seseorang yang menjadi guru haruslah orang yang terjaga dan terpelihara mentalitas dan akhlaknya yang baik didalam praktik sekolah maupun diluar saat menjadi orangtua untuk anak-anaknya, atau saat menjadi anak yang berbakti pada orangtuanya, demikian pula saat ia menjadi bagian dari warga masyarakat. Dimana saja ia harus mencerminkan karakter yang baik, hidup bersahaja, sosok yang menjadi sumber motivasi dan menginspirasi dengan keluhuran akhlaknya, pengajarannya yang mencerdaskan dan mencerahkan. Dengan itu semua guru akan berwibawa tidak hanya dihadapan muridnya, tapi juga lingkungannya sehingga guru akan dihargai dan dihormati dikomunitas masyarakatnya. 

Kita tidak akan dengar lagi pemberitaan guru menganiaya murid, melakukan asusila, menghinakan diri dengan joget-joget dan menghiasi ruang-ruang sosial dengan permasalahan pribadi, maupun menjadi sasaran kemarahan banyak orang. Berat, memang berat untuk menyandang status sebagai guru sebab ia penyangga peradaban. Guru dituntut memiliki karakter yang luhur meskipun sifat dasar manusia penuh kekurangan. Tetapi bagaimanapun juga seorang yang telah dengan sadar memutuskan menjadi guru maka ia harus selalu berupaya menjadi sosok yang berkepribadian yang luhur.

4. Pengaturan honorarium guru yang layak. Guru yang dituntut menjadi manusia paripurna tidak akan diperoleh jika ia setiap saat harus menanggung kecemasan dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, anak-anaknya bahkan orangtuanya. Jika tidak diatasi maka guru rentan menyalahi kodrat akademisnya menjadi manusia yang tidak siap menjadi penyangga peradaban. Sebab itu gaji guru harus disesuaikan agar terpenuhi semua kebutuhan dasarnya.

5. Kurangi beban kerja administratif guru. Guru jika dibebani dengan segudang pekerjaan administratif energi dan waktu produktifnya habis terbuang, sisa daripada semangat mengajarnya yang ala kadarnya itu saja yang akan diberikan pada siswanya. Tentu ini sangat tidak efektif, belum lagi dirumah guru-guru itu harus mengurus keluarganya. Waktu membaca dan berkarya guru pun akan terhisap habis untuk hanya menyelesaikan tugas-tugas administratif. Sebaiknya untuk setiap guru disediakan baginya seorang asisten untuk menyelesaikan urusan administratif sehingga tidak mengganggu waktu mengajarnya.

Kendatipun demikian, pembicaraan kita tentang revolusi pendidikan disini sama sekali tidak mengurangi usaha perbaikan pada tataran regulatif terutama pada aspek penegakan hukum, penguatan kewenangan dan independensi lembaga penegak hukum sebagai corong keadilan bukan corong kekuasaan politik. Segala apa yang dipaparkan diatas kiranya ia semata-mata diajukan agar menjadi momentum membangunkan kesadaran bernegara kearah yang lebih baik, bernegara dengan idealisme, bukan sekedar peringatan tahunan yang tidak berarti apa-apa yang hanya mampu berbicara tentang wacana kesejahteraan rakyat.

Kamis, 08 Mei 2025

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Pendahuluan

Pasca tumbangnya Orde Baru dengan berhentinya Presiden Soeharto pada Mei 1998, uforia demokrasi mulai dirasakan dan dirayakan dengan semarak. Tuntutan reformasi yang diperjuangkan yaitu: amandemen UUD 1945, pemberantasan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), pencabutan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, perlindungan HAM, kebebasan pers dan otonomi daerah. Pasca runtuhnya Orde Baru, semua tuntutan reformasi tersebut mulai diusahakan dimulai dengan mengamandemen beberapa pasal UUD 1945 diantaranya pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat yang diposisikan berada ditangan rakyat, pasal tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dibatasi hanya paling lama untuk dua kali masa jabatan (2 periode jabatan), tatacara pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya, kewenangan legislasi,  pasal-pasal tentang hak asasi manusia, pembentukan lembaga negara yang baru yaitu DPD dan Mahkamah Konstitusi, pasal mengenai pemilihan umum dan lain sebagainya. 

Diantara tuntutan reformasi tersebut perlindungan HAM menjadi salah satu isu sentral yang menguat agar kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat benar-benar dilindungi oleh hukum sehingga tidak ada lagi seorangpun yang dipenjarakan sewenang-wenang karena menyampaikan pendapat atau kritik terhadap pemerintah. UUD 1945 diamandemen sebanyak 4 kali amandemen, atau ada pula yang menyebut satu kali amandemen yang dilakukan dengan 4 tahapan yaitu pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 November 2001, 11 Agustus 2002. Sejak diamandemennya UUD 1945 jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat memiliki dasar konstitusionalitas yang kuat. Hal itu misalnya dapat dibaca pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".

Pasca amandemen UUD 1945 hingga saat ini kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tersebut diimplementasikan dengan pembentukan berbagai organisasi kemasyarakatan baik yang bergerak dibidang hukum, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan, agama dan lain sebagainya. Diakuinya dan jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tersebut semakin diperkuat dengan disahkannya UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017  tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 Menjadi Undang-Undang. UU ini menggantikan UU No. 8 Tahun 1985 yang mensyaratkan asas tunggal Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) hanya Pancasila. Pada masa berlakunya UU "Astung" ini semua Ormas dipaksa harus berasaskan Pancasila sehingga menimbulkan banyak sekali perlawanan dan perpecahan terutama sekali organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, HMI, dan organisasi-organisasi yang semula berasaskan Islam atau berdasarkan selain Pancasila.

Ormas Lebih TNI daripada TNI

Demokrasi yang diidam-idamkan seakan mengalami kelahiran kembali dinegeri ini pasca Orde Baru tidak lagi berkuasa. Setiap momen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar dinikmati dengan bebas lepas dari ancaman kesewenang-wenangan pemerintah. Produktifitas berpikir dan menyampaikan pendapat dan kritik semakin tumbuh subur dalam majalah-majalah, koran, terbitnya buku-buku, pertunjukan-pertunjukan kebudayaan, seminar, ataupun dalam aneka ragam forum penyampaian pendapat yang bebas. Semua mengalir bebas bak air bah yang tumpah melanda apa saja yang dilewatinya.

Hanya saja belakangan ini (10 tahun terakhir) banyak bermunculan ormas yang membuat kegaduhan dan keresahan dimasyarakat karena perilaku anggota-anggotanya yang dirasakan melampaui militer, lebih tentara daripada tentara. Tidak hanya soal perilakunya tapi juga atribut yang digunakan nyaris sempurna menyerupai militer. Ormas tersebut bersifat paramiliter karena memiliki struktur, pelatihan, dan peralatan mirip dengan militer. Keberadaan ormas ini seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman dimasyarakat, banyak masyarakat bahkan merasa takut dan mengalami intimidasi sedemikian rupa. 

Ormas-ormas tersebut bahkan banyak mengambil peran dan tugas kepolisian seperti tindakan pengamanan kegiatan sosial, lalu lintas atau aspek ketertiban umum bahkan melakukan tindakan penertiban secara sewenang-wenang yang merupakan tugasnya kepolisian. Selain itu banyak bermunculan tindakan premanisme menjadi tukang palak yang suka menghadang dan memeras sopir kendaraan, memeras pedagang atas nama uang keamanan, terlibat kerusuhan, provokator konflik dan lain sebagainya.

Dihimpun dari beberapa media terdapat beberapa ormas yang berseragam mirip militer dan atau melakukan tindakan yang menjadi kewenangannya aparat penegak hukum yaitu seperti United Nation Peace Keeping Forces Council (UN PKFC), Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI), Penerus Pejuang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKRI), Ikatan Pemuda Karya (IPK), Pemuda Pancasila (PP), Satgas Cakra Buana-PDIP yang berada dibawah afiliasi atau organisasi sayap PDIP, Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK) organisasi sayap PKB, Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan beberapa tahun yang lalu, Bantuan Anshor Serbaguna (Banser) organisasi dibawah naungan Nahdlatul Ulama, Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) organisasi dibawah naungan Muhammadiyah, Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB Jaya). 

Belakangan ini diantara ormas tersebut beberapa ormas menjadi sorotan dan sasaran kritik tajam masyarakat karena tindakan penyelewengan mulai dari menjadi dalang kerusuhan hingga aksi pemalakan lalu lintas seperti Pemuda Pancasila (PP), Banser dan GRIB Jaya. Meskipun ormas seperti PKRI ataupun PPKRI disekitar tahun 2016-2018 telah beberapa kali dilucuti atribut ala militernya dan diburu keberadaannya oleh aparat militer karena aksi-aksi kontroversialnya. 

Hanya saja sangat disayangkan ormas seperti PP dan Banser belakangan ini menjadi sasaran kemarahan banyak orang. Hari ini jika kita membaca komentar netizen kita menemukan banjirnya hujatan yang ditujukan pada kedua ormas ini. Tidak kalah hebohnya saat ini media sosial dipenuhi dengan cemoohan pada GRIB Jaya pimpinan Rosario de Marshal atau lebih dikenal dengan  Hercules atas perilaku kontroversialnya yang bahkan sampai berani "menghina" purnawirawan jenderal TNI Sutiyoso yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta era 1997-2007 hingga menantang mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo. Selain itu GRIB Jaya ini juga menantang Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dengan mengancam akan menggeruduk Gedung Sate (Kantor Gubernur Jawa Barat) dengan mengerahkan 50 ribu anggotanya.

Larangan Penggunaan Atribut Militer Bagi Ormas

Ketentuan tentang larangan penggunaan atribut militer bagi ormas terdapat dalam UU No. 16 Tahun 2017  tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 Menjadi Undang-Undang. Terdapat sejumlah larangan bagi ormas diatur dalam Pasal 59 ayat (1) sampai dengan ayat (4) undang-undang tersebut. Dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a tegas diatur bahwa ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan warna, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan. Selanjutnya pada Pasal 59 ayat (3) diatur bahwa  ormas dilarang: a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagi ormas yang melanggar ketentuan pada Pasal 59 ayat (1) diancam dengan sanksi administratif (lihat Pasal 60 ayat (1)), sementara jika melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (3) ormas dapat dijatuhi sanksi administratif bahkan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2). Jenis dan prosedur penjatuhan sanksi administratif diatur dalam Pasal 61, Pasal 62, Pasal 80A, Pasal 82A dan Pasal 83A. Sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Penertiban Atribut Ormas

Sikap pemerintah yang terkesan mendiamkan ormas paramiliter dengan serangkaian aksi kontroversialnya sudah seharusnya dihentikan. Jika tidak maka akan memicu konflik sosial yang lebih besar bahkan menghambat kinerja pemerintah karena dapat menjadi batu sandungan. Membuang-buang energi menghadapi ormas semacam itu juga tidak berguna. Jangan sampai sebab pemerintah tidak kunjung mengambil langkah tegas maka memungkinkan masyarakat berasumsi bahwa ormas berwatak premanisme tersebut "peliharaan" pemerintah untuk suatu kepentingan politik tertentu. Keberadaan ormas tersebut sudah seharusnya untuk ditertibkan. Larangan mengenai hal itu sudah jelas, negara dalam hal ini menteri hukum harus mengambil sikap tegas. Sebelum mekanisme hukum dijalankan, upaya persuasif dapat dilakukan yaitu dengan memanggil mereka semua instruksikan agar mengubah AD/ART atau peraturan dasar organisasinya terkait dengan atribut organisasi dan hal-hal yang menyangkut larangan melakukan tindakan yang menjadi wewenang aparat penegak hukum. Beri kesempatan sekian bulan, tetapi jika tidak diindahkan maka menteri hukum dapat langsung melaksanakan mekanisme hukum untuk mengeluarkan sanksi administratif. 

Hal ini penting dilakukan agar jangan ada lagi ormas yang membuat kegaduhan dimasyarakat, berlagak ala militer dan menebar ancaman atau ketakutan dimasyarakat. Memang benar konstitusi menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Tetapi tidak ada kebebasan tanpa batas dan tidak ada kebebasan tanpa pertanggungjawaban manakala terjadi penyelewengan atas kebebasan itu. Mekanisme hukumlah menjadi pemutus atas sikap-sikap yang kontraporduktif yang dilakukan ormas. Larangan penggunaan atribut ala militer ini sejatinya cukup mudah diberlakukan pada ormas tulen. Tetapi organisasi seperti KOKAM dan Banser menjadi sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Kendatipun KOKAM tidak termasuk organisasi yang menjadi sasaran kritik masyarakat. Lain halnya dengan Banser sisi kontroversialnya banyak menjadi sorotan.

Kedua organisasi ini bukanlah berdiri sendiri melainkan ia dibentuk oleh ormas induknya yaitu Muhammadiyah yang membentuk KOKAM dan Nahdlatul Ulama (NU) yang membentuk Banser. Lebih spesifik lagi KOKAM berada dibawah Pemuda Muhammadiyah, dan Banser dibawah Gerakan Pemuda Anshor (GPA). Bagaimanapun juga KOKAM dan Banser menggunakan atribut ala militer sama halnya dengan ormas seperti PP, GRIB Jaya dan lain sebagainya yang telah dibahas diawal. Andai aturan tentang larangan penggunaan atribut ala militer diberlakukan pada ormas seperti PP, GRIB Jaya, IPK dan lain sebagainya maka mesti juga diberlakukan pada KOKAM dan Banser. Meskipun kedua organisasi yang disebut terakhir ini bukanlah ormas yang berdiri sendiri, tetapi organisasi ini memiliki struktur tersendiri yang berbeda dengan ormas induknya. Maka hal itu dapat diberlakukan juga pada organisasi ini (KOKAM dan Muhammadiyah). Akan menjadi tidak adil jika kedua organisasi tersebut tidak terkena larangan penggunaan atribut ala militer sehingga menimbulkan polemik dimasa yang akan datang.

Kendatipun demikian, khusus untuk Kokam dan Banser negara selayaknya menghargai dan mengapresiasi jasa besar keduanya dimasa lalu dalam upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Bahkan kelahiran dua organisasi kemasyarakatan ini sangat aktif dalam memberantas PKI. Kokam berdasarkan catatan sejarah keberadaannya tidak lepas dari sentuhan tentara bahkan pernah difasilitasi senjata oleh tentara untuk memberangus PKI pasca peristiwa yang memilukan khususnya bagi ABRI para jenderalnya dibantai dalam satu malam oleh PKI yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 (G 30S/PKI 1965). Maka tidak heran jika ada yang menyebut KOKAM ini anak emasnya militer. 

Demikian pula dengan Bantuan Anshor Serbaguna (Banser) tidak sedikit kontribusinya dalam mempertahankan NKRI. Indonesia perlu memberikan atensi dan penghargaan khusus bagi kedua ormas ini. Adapun Pemuda Pancasila (PP) yang dibentuk oleh Jenderal Abdul Haris Nasution satu sisi berperan penting dalam pemberantasan PKI juga perannya dalam mendukung kudeta militer yang dilakukan Soeharto atas kekuasaan Presiden Soekarno. Demikianlah dikemukakan oleh wikipedia jika kita menelusuri latar belakang dibentuknya Pemuda Pancasila (PP). Sejarah dibentuknya PP disisi lain juga tidak dapat dilepaskan menjadi alat politik Orde Baru untuk mengkampanyekan "Proyek Nasional" melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam praktiknya proyek nasional tersebut malah banyak disalahgunakan untuk memberangus lawan politik dan melanggengkan kekuasaan sehingga puncaknya ialah peristiwa Mei 1998 yang meruntuhkan rezim Orde Baru.

Jumat, 02 Mei 2025

Tuntutan Purnawirawan TNI Berhentikan Wakil Presiden: Pandangan Konstitusional Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden Berdasarkan UUD 1945

Tuntutan Purnawirawan TNI Berhentikan Wakil Presiden: Pandangan Konstitusional Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden Berdasarkan UUD 1945

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Belakangan ini publik dihebohkan dengan sejumlah isu krusial yaitu desakan atau tuntutan sejumlah Purnawirawan TNI agar Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka diberhentikan karena dugaan pelanggaran yang dilakukannya pada saat pencalonannya sebagai Wakil Presiden dalam pemilu tahun 2024 lalu. Beberapa hal yang dipersoalkan sebagaimana disebutkan dalam beberapa media yang tersebar yaitu menyangkut legalitas pendidikannya yang diragukan terkait status gelar strata-1 atau legalitas ijazah sarjananya dan fenomena pelanggaran etik yang dilakukan Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana diketahui juga merupakan paman dari Gibran. 

Keterlibatan Anwar Usman dalam menyidangkan dan memutus uji materi ketentuan tentang batas usia minimal calon Wakil Presiden dalam Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dianggap tidak patut dan dinilai bentuk intervensi politis untuk meloloskan/memfasilitasi Gibran menuju singgasana kekuasaan. Meski terdapat 9 orang hakim, nyatanya pendapat mayoritas hakim dengan tafsir konstitusionalnya akhirnya memberikan jalan yang mudah bagi Gibran untuk menjadi calon Wakil Presiden walaupun usianya belum mencapai 40 tahun angka minimal. Kalau kita meneliti lebih terperinci akan ditemukan problematika dan kontradiksi antara hakim dengan concuring opinion dan dissenting opinion sebagaimana disampaikan hakim MK Saldi Isra. 

Sementara itu jika kita menelaah ketentuan dan prosedur konstitusional terkait upaya impeachment (pemakzulkan/pemberhentian) Presiden dan Wakil Presiden maka tuntutan untuk meng-impeach Wakil Presiden Gibran misalnya tidaklah semudah yang dibayangkan, ada indikator tertentu, prosedur hukum dan tarikan kepentingan politis yang besar. Secara konstitusiional dasar konstitusionalitas pemberhentian Presiden ataupun Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa "Presiden dan/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".

Dalam pasal tersebut garis besar atau poin-poin utama dapat dikumpulkan sebagai berikut:

1. UUD 1945 membuka peluang bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, tanpa perlu menunggu masa jabatannya selesai dengan persyaratan tertentu.

2. Lembaga negara yang berwenang untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, sementara itu lembaga negara yang berwenang mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu Dewan Perwakilan Rakyat.

3. Syarat agar dapat diberhentikannya Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa: a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang; b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang; c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden; e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 7B UUD 1945 mengatur prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai berikut. Pada pengaturan Pasal 7B ayat (1) pada intinya memuat keharusan sebelum usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diajukan ke MPR, DPR mengajukan terlebih dahulu permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.  Dari pengaturan yang demikian maka penting dipahami bahwa sesungguhnya prosedur pemberhentian tersebut tidak hanya melibatkan peran DPR dan MPR, tapi juga Mahkamah Konstitusi (MK). 

Jika dirunut secara garis besarnya prosedur impeachment (pemberhentian) Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut dimulai dari penggunaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat yang digunakan DPR dalam sidang-sidangnya. Penggunaan hak tersebut baru dapat dilakukan setelah menenuhi ketentuan quorum tertentu dan juga prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Setelah DPR selesai dengan hak menyatakan pendapat barulah DPR dapat mengajukan permintaan kepada MK setelah memenuhi quorum 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. 

Setelah permintaan diajukan kepada MK, maka MK pun bersidang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR paling lama 90 hari. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum (bentuk pelanggaran hukumnya sebagaimana telah disebutkan diawal), maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. Selanjutnya MPR bersidang untuk memutuskan usul pemberhentian DPR tersebut. Mengenai hal itu dapat dibaca lebih lengkap dalam ketentuan Pasal 7B ayat (4) sampai dengan ayat (7) UUD 1945. 

Secara normatif keterlibatan MPR sebagai pemutus terakhir menjadi penentu diberhentikannya Presiden dan/atau Wakil Presiden. Maka disini secara normatif ataupun dalam tataran praktik terbuka peluang MPR dapat saja menganulir putusan MK. Padahal putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Putusan MK adalah putusan hukum dapat ditembus atau dikesampingkan oleh keputusan politis MPR. Satu sisi MPR sebagai lembaga negara yang berwenang melantik dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden (lihat Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945), namun disisi lain UUD 1945 tidak mengatur secara tegas agar putusan MK atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dilaksanakan oleh MPR. Ini menjadi kelemahan konstitusional yang cukup signifikan.

Ketentuan tentang impeachment atau pemakzulan (pemberhentian) Presiden dan/atau Wakil Presiden secara konstitusional tidak selesai hanya dengan mengacu pada Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, sebab pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan kekosongan jabatan/kekuasaan andai Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan diberhentikan. Maka untuk mengatasi kekosongan kekuasaan Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut Pasal 8 UUD 1945 mengatur mekanisme pengisian jabatan/kekuasaan yang kosong tersebut.

Membaca Peluang Impeachment

Diawal tulisan telah dikemukakan bahwa impeachment itu terbuka dan mungkin untuk dilakukan dengan prosedur konstitusional. Hanya saja jika kita bicara peluang seberapa besar kemungkinan impeachment itu akan terjadi maka selain faktor hukum, perlu pula kita pahami faktor politis yang melandasi semua usaha-usaha untuk pemakzulan tersebut. Praktiknya meskipun Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial tetapi disaat yang sama juga membangun dan memberlakukan koalisi kepartaian yang secara teoritis hanya digunakan pada sistem parlementer sehingga masih terus menjadi polemik hingga saat ini. 

Hal itu berakibat pada hilangnya keberadaan dan kemampuan oposisi yang diidealkan sebagai check and balances atau pengawas dan penyeimbang pemerintah (eksekutif). Akibat lain yang muncul ialah banyaknya produk undang-undang yang tergolong buruk dibuat atas kompromi kepentingan DPR dan pemerintah. Oposisi yang harusnya ada di DPR menjadi lemah dan tumpul karena pemerintah sejak awal partai-partai sudah membangun koalisi untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kekuatan politik yang berada di eksekutif adalah kekuatan politik yang sama dengan yang berada di parlemen (DPR). 

Partai politik di DPR akan sangat berterimakasih pada Presiden dan Wakil Presiden karena anggota-anggotanya diangkat menjadi menteri, pejabat di BUMN, ataupun pejabat setingkat kementerian. Kondisi ini tidak lebih dari politik balas budi atau bagi-bagi jabatan karen partai-partai politik telah mengusulkan dan memenangkan seorang tokoh yang semula calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Sebab itu sangat kecil peluang DPR akan menggunakan hak angket dan hak menyatakan pendapat yang dianggap sebagai tingkatan yang paling menentukan atas usul impeachment. DPR hanya akan terus menjaga agar berada pada posisi hak interpelasi yang sifatnya hanya meminta penjelasan pemerintah tanpa ada konsekuensi yang berarti.

Desakan Impeachment Wakil Presiden Gibran

Forum Purnawirawan TNI telah mempublikasikan tuntutan mereka agar Wakil Presiden yaitu Gibran untuk diberhentikan dan diganti karena dianggap telah melakukan kecurangan atau melakukan pelanggaran hukum pada saat pemilu tahun 2024 lalu yaitu terkait dengan pencalonannya dimana legalitas atau keabsahan persyaratan pencalonannya diragukan kebenarannya dan diduga ijazahnya tidak asli. Selain itu juga telah memanfaatkan relasi kuasa antara dirinya, ayahnya dan pamannya Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi yang mengubah persyaratan batas usia minimal 40 tahun bagi calon Wakil Presiden dalam UU Pemilu. 

Dengan tafsir inkonstitusional bersyarat MK dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 menafsirkan bahwa Pasal 169 guruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai berusia 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Dengan kata lain bahwa seorang yang diusulkan sebagai calon Wakil Presiden yang belum berumur 40 tahun tetap dapat dicalonkan asalkan yang bersangkutan pernah menjabat sebagai pejabat yang dipilih berdasarkan pemilu dan pilkada. Tafsir ini dianggap menguntungkan bagi Gibran karena posisinya sebagai mantan Walikota Surakarta. Menariknya menyikapi cara-cara kerja MK ini, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menuturkan bahwa dimasa ia menjadi hakim MK telah berupa membuat batasan legal standing orang-orang yang dinilai dapat menjadi pemohon. 

Hal itu untuk menghindari orang-orang yang mencari panggung untuk dirinya sendiri. Karena itu haruslah orang-orang yang mengalami dampak aktual atau yang mengalami kerugian secara langsung yang dapat menjadi pemohon dalam sidang MK. Batasan ini sudah diatur dalam UU MK dan dikuatkan dalam beberapa putusan MK diantaranya dalam Putusan No. 006/PUU-III/2005 ataupun Putusan No. 11/PUU-V/2007. Hal ini tampaknya telah dilanggar oleh seluruh hakim MK yaitu menerima permohonan judicial review yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNSA) yang menggugat batasan minimal umur bagi calon Wakil Presiden. 

Dengan diterimanya permohonan tersebut maka terdapat cacat formil dalam penerapan hukum acara MK. Jika ditelaah dalam permohonannya pemohon menerangkan kekagumannya pada Gibran saat menjabat Walikota dan beliau merasa  dirugikan sebab tidak dapat memilih idolanya tersebut pada pemilu 2024 lalu karena Gibran sendiri saat itu tidak dapat maju pada kontestasi pemilu mengingat umurnya masih 36/37 tahun. Selain itu disebutkan juga dalam permohonannya bahwa pemohon bercita-cita ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, ini belum dapat disebut kerugian yang aktual masih bersifat potensial mengutip pendapatnya Jimly Asshiddiqie dalam penjelasannya yang dimuat dalam hukum online. 

Nyatanya MK menerima permohonan yang diajukan oleh mahasiswa ini padahal harusnya permohonannya tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) atau NO karena tidak berkompeten sebagai pihak yang dapat memiliki legal standing sebagai pemohon. Dalam putusannya MK menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang telah digenapi dengan penafsiran MK dinyatakan berlaku mulai dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Putusan ini hanyalah satu diantara inkonsistensi putusan yang pernah dibuat oleh MK. 

Pada putusan yang lain misalnya terkait pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 lalu saat kisruh uji materi pemilihan umum yang dilaksanakan dua kali dalam lima tahun yakni pemilihan umum untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD disatu sisi dan beberapa bulan kemudian dilaksanakan pemilihan umum untuk Presiden dan Wakil Presiden. Dalam putusannya MK menyatakan pasal yang diuji materi itu inkonstitusional tetapi berlakunya pada pemilihan umum 5 tahun berikutnya yaitu pemilihan umum tahun 2019. Tidak langsung berlaku seketika, hal ini sangat bertentangan dengan sifat putusan hakim yang berlaku einmaligh (sekali selesai) atau berlaku seketika setelah diucapkan. Alhasil pada pemilihan umum tahun 2014 masih diselenggarakan sebanyak dua kali dalam lima tahun yang secara hukum telah nyata-nyata dihukumi inkonstitusional oleh MK sendiri.

Betapapun masalah yang terjadi pada saat pencalonan Gibran sebagai calon Wakil Presiden tahun 2024 lalu secara konstitusional saya menganggap tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan impeachment terhadapnya. Hal itu karena yang dapat dipersoalkan hanyalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Wakil Presiden bukan yang dilakukan oleh calon Wakil Presiden. Hal itu sudah sangat jelas dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Asas retroaktif tidak dapat diberlakukan untuk mengimpeach Wakil Presiden Gibran atas apa yang katakanlah andaikata memang dilakukannya pada saat pencalonan pada pemilihan umum tahun 2024 lalu. Maka alasan Wakil Presiden Gibran melanggar hukum dimasa pencalonan dirinya dahulu tidak dapat menjadi alasan konstitusional untuk mengimpeach nya saat ini dimana ia telah menjadi Wakil Presiden yang sah dan konstitusional. Sebab itu hanya pelanggaran hukum yang dilakukan pada saat Gibran menjabat Wakil Presiden saja yang hanya mungkin untuk dipersoalkan menjadi alasan-alasan pemakzulannya.

Minggu, 15 Desember 2024

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Oleh: Syahdi

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Isu itu muncul karena diucapkan oleh Presiden beberapa hari yang lalu pada HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis 12 Desember 2024. Presiden membandingkan pemilihan seperti praktik di Singapura, Malaysia dan India yang dapat menghemat anggaran sehingga dapat digunakan untuk program lain demi kepentingan masyarakat.

Pemilihan secara langsung oleh rakyat dinilai mahal, menghabiskan banyak biaya. Hanya saja dalam kesempatan tersebut Presiden menyampaikan soal lain yang sesungguhnya jauh lebih problematik dengan mengatakan, "kayak kita kaya saja, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa memperbaiki sekolah, uang yang bisa memperbaiki irigasi". Sebetulnya tidak pada tempatnya hal ini disandingkan dengan pemilihan yang berbiaya mahal. Kendatipun dari pernyataan tersebut terdapat maksud yang amat baik dari Presiden.

Benarkah negeri ini miskin? Ini menjadi pertanyaan kebalikan atau antitesis untuk pernyataan sang Presiden. Kenyataannya sesungguhnya bukanlah demikian. Kalkulasi paling realisitis pernah diungkap oleh Abraham Samad kala menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa andai celah korupsi di sektor pertambangan dapat ditutupi dan dialihkan untuk pendapatan perkapita masyarakat Indonesia maka dapat memberikan gaji puluhan juta perbulan ke masyarakat Indonesia.

Selain itu juga pada Oktober 2013 Abraham Samad mengatakan hampir 50 persen perusahaan pertambangan di Indonesia tidak membayar royalti ke pemerintah yang jumlahnya mencapai 20 ribu triliun. Jika dibagi dengan 241 juta jiwa penduduk Indonesia saat itu maka ditemukan angka pendapatan terendah 30 juta perbulan. Itu disampaikan Abraham Samad dalam dialog kebangsaan dihadapan puluhan ribu buruh di Istora, Senayan, Jakarta. Ironisnya seperti yang diungkap Abraham Samad, mereka tidak membayar royalti karena mereka justru menghabiskan uangnya lebih banyak daripada royalti untuk menyuap oknum aparat.

Dari praktik korupsi di sektor pertambangan kita dapat bayangkan betapa sesungguhnya kesempatan untuk hidup sejahtera di negeri ini sudah dirampas seharusnya seluruh rakyat negeri ini sudah hidup mapan terbebas dari belenggu kemiskinan dari generasi ke generasi. Bayangkan ada berapa banyak lagi uang yang dikorup selain di sektor pertambangan. Andai di sektor perikanan, pertanian, kehutanan, kelautan, perpajakan, dan lain sebagainya tidak dikorupsi betapa rakyat negeri ini sudah selayaknya terbebas dari kemiskinan. Tugas pemberantasan korupsi ini menjadi bagian tersendiri yang harus diurus secara serius oleh pemerintah.

Pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Secara yuridis, pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebelumnya diatur dalam UU No. 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU ini tergolong tragis nasibnya sebab berlakunya cuma 2 hari saja. Disahkan pada 30 September 2014 dan dibatalkan oleh Perppu No. 1 Tahun 2014 yang disahkan pada 2 Oktober 2014. Perppu ini mengubah model atau mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Terjadi penolakan yang meluas sesaat setelah UU No. 22 Tahun 2014 disahkan yang diinisiasi oleh kelompok mahasiswa. Penolakan itu sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbang huruf c Perppu No. 1 Tahun 2014.

Penolakan model pemilihan kepala daerah oleh DPRD waktu itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran praktik jual beli jabatan, pemilihan yang tidak objektif, tidak stabilnya pemerintahan daerah, dan lain sebagainya. Kendatipun kepala daerah itu dipilih secara langsung ataupun oleh Dewan Perwakilan secara teoritis sama demokratisnya. Tetapi kualitas demokrasinya jelas berbeda. Pada pemilihan secara langsung oleh rakyat, rakyat sepenuhnya dapat menggunakan kedaulatannya karena partisipasinya rakyat dapat leluasa menilai, mempertimbangkan dan memilih seseorang dengan objektif menurut hati nuraninya yang dipandang layak dan mampu menjadi kepala daerah. Hal mana tidak dijumpai jika dipilih oleh Dewan Perwakilan.

Jika pemilihan secara langsung dianggap mahal karena menghabiskan banyak biaya dan upaya untuk efisiensi anggaran untuk program yang lebih substansial, maka hal inipun menjadi problematik. Sebab membaca persoalan ini haruslah satu paket dengan pemilihan umum atau pemilu yang dilaksanakan secara langsung yang juga menghabiskan biaya yang sangat banyak. Maka jika hanya fokus pada pemilihan kepala daerah maka sesungguhnya kita belum proporsional menempatkan hal ini sebagai satu rangkaian.

Untuk pemilihan umum, misalnya pemilihan Presiden dimasa orde baru (1967-1998) pengisian jabatan Presiden dilakukan dengan cara dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan UUD 1945 pra amandemen. Di era orde baru, dengan rekayasa sedemikian rupa MPR nyatanya tidak lebih tinggi daripada Presiden sehingga Soeharto dapat terus berkuasa menjadi Presiden hingga tujuh kali pemilihan umum sehingga dirasakan sangat tidak demokratis. Keanggotaan MPR dari utusan daerah banyak diisi oleh orang-orang yang "didudukkan" sang Presiden dengan misi mengamankan pemilu yang terus menerus memenangkan sang Presiden. 

Untuk konteks pemilihan kepala daerah, Pemilihan serentak ini nampaknya diilhami oleh praktik pemilihan umum, dengan kata lain hanya mengikuti pola pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilaksanakan serentak. Sebelumnya pemilihan umum dilaksanakan dua kali dalam lima tahun untuk memilih anggota legislatif pusat dan daerah, lalu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. 

Praktik ini dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan merujuk pada ketentuan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan satu kali dalam lima tahun. Tetapi undang-undang mengatur secara berbeda dan pengaturannyapun dengan dua undang-undang yang berbeda. Untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan UU No. 42 Tahun 2008, dan UU No. 8 Tahun 2012 untuk pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Secara konstitusional, pemilihan kepala daerah secara serentak tidak diatur dalam UUD 1945. Berbeda dengan pemilihan umum pelaksanaannya hanya satu kali dalam lima tahun sebagaimana amanat Pasal 22E UUD 1945 sehingga mengharuskan dilaksanakan serentak. Sementara itu ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengatur bahwa, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tetapi dalam implementasinya pemilihan kepala daerah dilaksanakan serentak berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang ditetapkan dengan UU No. 1 Tahun 2015 menjadi UU sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016. 

Pengaturan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bersifat opsional. Artinya dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan dipilih oleh DPRD. Pembentuk undang-undang mengambil opsi dipilih secara langsung oleh rakyat yang pelaksanaannya serentak bagi kepala daerah yang masa jabatannya selesai dalam waktu yang berdekatan.  Pemilihan secara langsung dan serentak ini sudah cukup efisien ketimbang dilaksanakan secara langsung tapi tidak serentak. 

Jika pemilihan model ini masih dianggap sebagai pemilihan yang mahal sebagaimana disampaikan Presiden maka kita harus mempertimbangkan mudharat yang lebih besar jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Tidak ada jaminan dalam sistem sebaik apapun money politic itu akan hilang. Jika dipilih oleh DPRD yang terjadi hanyalah sentralisasi money politic antar paslon dengan anggota DPRD. Sistem yang baik dan berkualitas jika dilaksanakan oleh aparatur yang tidak berkualitas tetap saja buruk.**

Rabu, 04 Desember 2024

Merasa Besar Tanda Kejatuhan Sudah Dekat

Merasa Besar Tanda Kejatuhan Sudah Dekat

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Hari-hari berganti meriwayatkan banyak problem sosial yang lalu lalang dalam arus media sosial. Periwayatan peristiwa, kabar penindasan, propaganda pembodohan tiba silih berganti bak suburnya cendawan di musim hujan. Masih kuat diingatan kita bagaimana bobroknya sistem pendidikan telah membuat para guru harus diungsikan dari sekolah ke penjara dan menjadikan pendidik sebagai bahan eksperimental yang dramatis. 

Kini muncul pula kejadian menyayat hati seorang pejuang nafkah direndahkan, dihinakan dihadapan keramaian majelis yang dikabarkan majelis sholawatan. Aduhaii.. majelis itu rupanya majelis bangkai yang busuknya menembus hati, merengkuh kemarahan, merobek-robek nurani, muak yang tidak terkira. Seorang staf khusus yang digaji oleh rakyat, seorang yang lebih dikenal dengan sebutan G*s, bukan baru-baru ini saja beliau bersikap pongah dalam pertunjukan akrobatiknya. 

Jika dirunut aksi-aksi degradasi moralnya cukup banyak dan mudah ditemukan di media sosial. Sepertinya di era kebobrokan- kejatuhan akhlak para pemuja popularitas tumbuh dengan keyakinan bahwa agar dikenali dan memiliki banyak pengikut praktik-praktik tercela merupakan cara yang cukup memukau dan memesona bagi mereka yang tebal muka untuk diperagakan. Betapa tidak, di era kebobrokan yang kini melanda, betapapun buruk dan tercelanya seseorang yang membuat kita heran dan tercengang ialah tetap saja mereka yang demikian itu selalu ada saja pengikutnya dan mirisnya lagi dijadikan tokoh sentral di komunitas masyarakat tertentu atau dijadikan publik figur yang diikuti dan dihormati secara total. "Negeri ini pasar murah, apa saja dijual laku ada saja pembelinya", mungkin itulah kata-kata yang tepat menggambarkan keadaan saat ini. 

Laku bukan karena mutunya yang bagus, tapi karena akal yang tidak terdidik telah menjadikan barang-barang yang dijual itu bagaikan berkah yang turun dari langit kilaunya seumpama pahatan emas yang memikat hati. Mungkinkah perasaan merasa besar telah memenuhi hati manusia semacam itu, karena selalu ditempatkan satu langkah di depan satu hasta di atas duduk bak ulama besar panutan umat dengan semarak tepuk tangan dan riuh rendah mereka yang tertawa gembira tidak lebih hanya menyaksikan pertunjukan kebodohan.

Gambaran tentang seorang ayah, dan seorang suami yang terpaksa harus hidup bersusah payah mencari nafkah demi anak istri dan keluarganya tetap makan dengan harapan punya masa depan yang lebih baik. Seorang ayah, suami yang setiap harinya bermandikan keringat dibawah terik matahari yang membakar, kepayahan yang teramat sangat telah membuat kaki dan tangannya kapalan oleh Rasulullah diberi kabar gembira tentang dosanya yang diampuni tentang hisabnya yang mudah dan tentang keutamaannya daripada menggantungkan hidup menjadi peminta-minta, seorang ayah, dan seorang suami itu dihinakan oleh dia yang ditokohkan, oleh dia yang dipakaikan jubah kebesaran syari'at kepadanya. 

Sebuah pemandangan yang sangat melukai rasa kemanusiaan, melukai nurani yang terdalam. Tak lain memperjelas kepada kita bahwa ia dan kebesaran yang dipasangkan kepadanya hanyalah sebagian dari tanda-tanda kejatuhan yang sudah semakin dekat. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu (Q.S. Al Hadid: 20). Sungguh amat banyak diantara kita yang lalai, terperdaya dan tersungkur kedalam panggung sandiwara ini. Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan belaka, karenanya jangan sampai kalian ditipu oleh kehidupan dunia (Q.S. Al Ankabut: 64). Sembari mengingatkan diri sendiri kita pun mengingatkan mereka yang terlupa dan perhatian yang telah teralihkan pada kesenangan duniawi.

Apa yang patut dibanggakan dengan pakaian kebesaran yang dikenakan, dengan nama besar, dengan jabatan, dengan kekayaan yang menggunung yang melekat pada diri tetapi tidak berguna sama sekali, tidak mengubah apapun menjadi lebih baik. Jabatan dengan kuasa yang melekat justru dipergunakan untuk menindas dan memperbudak orang lain, menipu orang lain, mengambil hak-hak orang lain dengan zhalim, harta digunakan untuk menghegemoni kaum miskin menjadi lebih melarat dan hidup menderita, ilmu digunakan untuk merendahkan orang lain. Aduhaii.. celaka.. sungguh celaka dan sia-sialah manusia yang hidupnya demikian itu. 

Al Hasan Al Bashry dalam Az Zuhd karya al- Imam Ahmad diceritakan, suatu ketika Umar bin Khattab melewati tempat sampah dan berhenti sejenak disitu, para sahabat beliau merasa sangat terganggu dengan bau dari sampah tersebut. Beliaupun berkata, "seperti inilah dunia yang kalian sangat berambisi padanya". Sungguh amat tegas nasehat sahabat nabi yang agung ini. Namun tetap saja kehidupan dunia ini sangat memukau kesenangan yang melenakan yang menyeret kita semakin menjauh dari era kesadaran.

Seorang ayah, suami yang oleh dominasi kapitalisme dan kedigdayaan korupsi yang menginvasinya dan bangsa ini dipaksa hidup dalam kepayahan yang bertambah-tambah dengan penghasilan yang sangat tidak memadai, seorang ayah memberi makan anak istrinya sementara ia sendiri bertaruh menahan lapar berhari-hari adalah sebuah pemandangan yang jelas benar di mata kita ditengah hiruk pikuk perkotaan.

Andai sektor pertambangan tak dikorupsi elit politik, aktor penguasa, maka setiap orang yang hidup dan tinggal dinegeri ini mendapat bagian tidak kurang 20 juta tiap bulan tanpa perlu kerja apapun. Belum lagi di sektor pertanian, kelautan, perikanan, perpajakan dan lain-lain. Demikian lebih kurangnya dipresentasikan oleh Abraham Samad-mantan komisioner (pimpinan) Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. 

Jadi kemiskinan di negeri ini bukan terletak pada semata-mata pada kurangnya lapangan pekerjaan sebagaimana dikampanyekan orang, juga bukan karena rendahnya kualitas SDM anak bangsa ini yang jika dilihat data dari Badan Pusat Statistik atau BPS akan kita dapati adanya gap yang besar jumlah sarjana dan mereka yang bahkan tidak tamat sekolah menengah atas. Melainkan karena kesempatan untuk hidup sejahtera di negeri ini sudah dirampas oleh para penguasa busuk, segelintir elit politik yang merampok kekayaan sumber daya alam bangsa ini. 

Masihkah kita berani menghina dan merendahkan para pejuang nafkah yang hidupnya lebih banyak menahan lapar dengan tubuhnya penuh dengan bekas penderitaan karena hidup dalam kemiskinan?. Kapankah kita akan sadar dan menghargai betapa berat perjuangan tak bertepi yang dirasakan saudara kita yang didikte oleh para tirani di negeri ini, diperbudak dan ditindas setiap hari.**

Kamis, 31 Oktober 2024

Takdir Pendidikan Dihadapan Palu Hakim

 

Takdir Pendidikan Dihadapan Palu Hakim

Oleh: Syahdi 

(Cendekiawan Muslim)

Dunia pendidikan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kendatipun demikian ini hanya sebuah sektor dari hampir keseluruhan sektor kehidupan yang bermasalah. Pendidikan yang tidak diurus serius memang mendatangkan setumpuk problematika besar yang tidak mudah untuk diatasi. Simpul-simpul permasalahan yang melatarbelakangi munculnya berbagai dinamika yang semakin kompleks dan rumit memerlukan komitmen dan ikhtiar yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak terutama sekali pengambil kebijakan untuk melakukan pembenahan regulatif, penataan manajemen birokrasi, sistem seleksi pendidik dan peserta didik yang efektif tidak hanya berorientasi pada standar baku diatas kertas atau konseptual tetapi juga mesti berpijak pada basis kemampuan dan penguasaan akademik yang baik, mengutamakan aspek moralitas sebagai pembentuk akhlak atau karakter.

Uforia Kebebasan

Konsepsi hak asasi manusia yang dianut dalam produk hukum nasional semakin hari samakin bersifat liberal hingga hampir tidak ditemukan batasan yang tegas dan jelas. Liberalisasi hak asasi manusia tampak mulai tumbuh di era genderang demokrasi yang semakin menguat pasca era reformasi. Sesungguhnya sejak 18 agustus 1945 ketika UUD 1945 disahkan, secara konstitusional demokrasi telah diberlakukan kendatipun hanya secara normatif. Sebab dalam praktik demokrasi yang dijalankan mengalami pergeseran menjadi demokrasi terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menganulir fungsi konstitusionalitas Konstituante. Diabaikannya Konstituante sebagaimana banyak disebutkan dalam buku yang ditulis Endang Saifudin Anshari, "Piagam Jakarta (Konsensus Nasional Islam dan Nasionalis Sekuler) ditengarai oleh ambisi Presiden Soekarno untuk memberlakukan model demokrasi terpimpin bahwa pengambilan keputusan banyak didominasi oleh Presiden. Dengan demikian Presiden memiliki kewenangan besar.

Demikian pula pemerintahan dibawah kepemimpinan rezim orde baru model demokrasi yang ditegakkan ialah demokrasi Pancasila dengan slogannya yang terkenal: "Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen".  Pelaksanaan demokrasi Pancasila tersebut dikukuhkan dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancaskarsa) yang menafsirkan lima sila kedalam 36 butir. Selanjutnya tafsir atas lima sila bertambah menjadi 45 butir berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002. 

Kendatipun rezim orde baru di periode awal tampil memukau dengan spirit "Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen", praktiknya ternyata jauh panggang dari api terutama menyangkut otoriterianisme rezim orde baru yang menggembosi UUD 1945 dengan rekayasa politik menjadikan Soeharto dapat menjabat Presiden hingga 32 tahun. Selain itu kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik tidak mendapat tempat yang menjadikan nilai-nilai demokrasi tidak dapat dilaksanakan. Pasca rezim orde baru meruntuh, kebebasan yang selama puluhan tahun dikekang akhirnya mendapat tempat yang lapang tanpa sekat, uforia kebebasan bergemuruh dengan semarak, tak ayal pandangan-pandangan demokratispun tumbuh subur dan semakin menguat dipanggung nasional. Hingga saat ini kebebasan dan pandangan tentang hak asasi manusia semakin riuh dibicarakan dibanyak tempat menjadi isu sentral dalam legislasi di parlemen.

HAM Yang Membelenggu

Konsepsi hak asasi manusia yang dianut negeri ini di era liberalisasi saat ini banyak menyadur konsepsi hak asasi manusia ala Barat yang menghendaki kebebasan yang tanpa sekat dan bebas nilai. Konsepsi yang demikian itu tidak mempertimbangkan bahkan menolak moralitas yang luhur. Barat yang hidup dalam tradisi individualisme sangat menghargai jaminan perlindungan kebebasan individu diatas kepentingan kolektif sangat tidak cocok dengan kultur bangsa Indonesia yang secara historis hidup dalam suasana kolektivisme yang mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan individu. Kepentingan individu dihargai dan tetap diberikan ruang tetapi dibatasi oleh kepentingan umum. 

Manakala kepentingan individu berpotensi atau menganggu kepentingan umum maka kepentingan individu dibatalkan oleh kepentingan umum. Sementara dalam pandangan dan gaya hidup Barat adalah kebalikan dari itu semua bahwa kepentingan dan kebebasan individu lah yang paling menentukan hingga kepentingan umum dapat dibatalkan jika bertentangan dengan kepentingan individu. Secara normatif nuansa kolektivisme yang dianut oleh bangsa ini misalnya tercantum dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa "semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial", demikian pula pada Pasal 7 diatur bahwa "Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan". 

Nuansa yang sarat gaya hidup kolektivisme dapat pula kita cermati pada kebijakan pemerintah dalam pembangunan jalan tol, bahwa atas nama kepentingan umum pemilikan tanah oleh warganegara tunduk pada kebijakan pemerintah bahwa tanah atau lahan milik individu warganegara dapat diambilalih oleh pemerintah peruntukan atau fungsinya untuk pembangunan infrastruktur dengan cara menebus tanah tersebut dengan harga yang wajar. Adapun polemik terkait dengan pembebasan lahan milik individu merupakan suatu masalah tersendiri yang tidak mengurangi arti penting bahwa kepentingan umum diakui berada diatas kepentingan individu. Konsepsi hak asasi manusia yang liberal yang sarat individualisme, materialisme ketika diadopsi dalam produk hukum nasional praktis menimbulkan gesekan dan gejolak ditengah masyarakat. 

Urgensi Rekonsepsi HAM

Rekonsepsi hak asasi manusia untuk diterapkan di negeri ini merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan. Konsepsi hak asasi manusia yang diberlakukan mesti berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh dan terpelihara dimasyarakat yakni norma adat, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma agama. Dengan kata lain nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang berkembang dan tumbuh dimasyarakat mesti menjadi landasan utama. Tidak boleh ada muncul peristiwa disebabkan atas dasar hak asasi manusia atau karena menegakkan hak asasi manusia kemudian mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh terpelihara di masyarakat. Jika nilai-nilai dan norma sosial tersebut diabaikan, dilanggar maka akan melukai rasa keadilan yang hidup dimasyarakat. 

Artinya dengan menjadikan nilai-nilai dan norma sosial yang ada dimasyarakat sebagai landasan konseptual hak asasi manusia maka segala tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma sosial tersebut harus dibatalkan. Inilah konsepsi hak asasi manusia yang harus segera diterapkan. Kita boleh-boleh saja mengambil konsep-konsep Barat sebagai bahan dalam pembangunan sistem hukum nasional kita tetapi kita pun harus tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa ini yang telah lebih dahulu ada dan terpelihara hingga saat ini. Hukum adat misalnya, keberadaannya lebih awal ketimbang hukum kolonial ataupun hukum nasional. 

Kenyataan historis yang sudah mengurat mengakar dalam tiap sendi kehidupan masyarakat kita tidak boleh diabaikan atau menjadi dikurangi oleh akulturasi kebudayaan yang datang dari luar. Jika kondisi ini tidak diantisipasi maka kebudayaan luar dapat menginvasi nilai-nilai luhur yang ada di negeri ini dan menggerusnya hingga ia terancam digantikan oleh yang datang dari luar itu. Ini merupakan tantangan pembangunan nasional dimasa ini dan masa yang akan datang. Akulturasi yang menginvasi melalui globalisasi jika tidak dibentengi akan sangat berbahaya dan berdampak besar yang dapat mendegradasi mentalitas dan moralitas bangsa ini menjadi bangsa yang kurang bahkan tidak beradab. Padahal sila ketiga Pancasila telah meneguhkan model pembangunan masyarakat kita yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pendidikan Diujung Tanduk

Maraknya kriminalisasi terhadap para guru diberbagai tempat dinegeri ini membuat kita sangat miris dan betapa bangsa ini sudah banyak terkontaminasi dengan konsepsi hak asasi manusia yang liberal yang menafikan rasa keadilan yang tumbuh dimasyarakat yang hidup dalam norma-norma sosial. Berbagai persitiwa imbas dari kriminalisasi harusnya membuat kita semakin sadar bahwa penghormatan dan apresiasi terhadap guru di negeri ini sudah sedemikian merosot menjadikan bangssa ini bangsa yang tidak beradab. Beragam kasus yang menimpa guru mulai dari cemoohan dan penganiayaan oleh siswa bahkan orangtua siswa, pembangkangan siswa yang luar biasa terhadap guru yang tidak mau diatur, ancaman, hingga kriminalisasi. Arogansi tersebut muncul sebab disemburkan dari pikiran dan hati yang kering dari sentuhan nilai-nilai moral dan sempitnya pengetahuan. Guru saat ini berada dalam suasana kebathinan yang serba dilematis dan canggung. Andai guru menghukum siswa maka satu sisi ia berhadapan dengan hak asasi manusia dan disisi lain berhadapan dengan aparat penegak hukum. 

Atas nama hak asasi manusia maka bentuk penghukuman apapun yang dilakukan guru tidak diperkenankan dan terlarang dilakukan. Misalnya guru menghukum siswa yang berambut gondrong dengan memotong rambutnya, memukul yang sifatnya mendidik, tidak diizinkan masuk kelas dikarenakan terlambat yang tidak dapat ditolerir, menghukum siswa yang merokok dan berbuat diluar batas kesopanan dan kesusilaan, atau menghukum siswa yang menganiaya siswa lain, membully siswa lain dan lain sebagainya. Semua bentuk hukuman yang dikenakan guru atas perbuatan yang semacam itu berpotensi memosisikan guru berhadapan dengan palu hakim atas dasar dakwaan kekerasan terhadap anak dan berbagai dakwaan yang tidak rasional diluar akal sehat. Pekerjaan mendidik dan menuntut ilmu bukanlah hal yang mudah. Berlelah-lelah dalam menuntut ilmu akan lebih baik daripada harus menanggung perihnya kebodohan. Tugas pencerdasan dan pembentukan akhlak mulia menjadi tanggungjawab guru, dipikulkan kepada guru tetapi perlakukan terhadap guru justru tidak sebanding dengan semua fikiran, tenaga dan ikhtiar mulia yang dilakukannya. 

Guru pantas mendapatkan penghormatan dan apresiasi yang tinggi, sebab tidak ada seorangpun yang menjadi tokoh yang dihormati melainkan berkat pengajaran dan pendidikan dari guru. Jika kita ingin tumbuh menjadi bangsa yang besar dan maju maka mulailah menghormati dan menghargai guru atas usahanya mencerdaskan kehidupan bangsa. Manakala seorang guru telah tertunduk lesu dan larut dalam kesedihan yang melanda menyeret mereka dihadapan palu hakim, maka sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan pada palu hakim bukanlah tegaknya hak asasi manusia yang dipuja setinggi langit itu melainkan akhlak bangsa ini dan kehancuran negeri ini. Manakala guru sudah berhadapan dengan palu hakim maka ingat-ingatlah bagi para hakim Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan bahwa "Hakim dan hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Sebab itu penting menjadi iktibar bagi kita bahwa jika guru tidak lagi mendapat tempat apresiasi dan penghormatan di negeri ini maka bersiaplah tibanya kebinasaan dan kehancuran. Negeri ini tidak kekurangan orang cerdas tapi kekurangan orang yang berakhlak. Cerdas saja tetapi tidak berakhlak adalah undangan menuju kebinasaan, berakhlak meskipun tidak cerdas maka sedikit kebodohan dapat tertutupi.

Amnesti dan Abolisi: Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung

Amnesti dan Abolisi : Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung Syahdi Firman, S.H., M.H ( Pemerhati Hukum Tata Negara ) Belakangan ini ...