Minggu, 15 Desember 2024

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Oleh: Syahdi

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Isu itu muncul karena diucapkan oleh Presiden beberapa hari yang lalu pada HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis 12 Desember 2024. Presiden membandingkan pemilihan seperti praktik di Singapura, Malaysia dan India yang dapat menghemat anggaran sehingga dapat digunakan untuk program lain demi kepentingan masyarakat.

Pemilihan secara langsung oleh rakyat dinilai mahal, menghabiskan banyak biaya. Hanya saja dalam kesempatan tersebut Presiden menyampaikan soal lain yang sesungguhnya jauh lebih problematik dengan mengatakan, "kayak kita kaya saja, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa memperbaiki sekolah, uang yang bisa memperbaiki irigasi". Sebetulnya tidak pada tempatnya hal ini disandingkan dengan pemilihan yang berbiaya mahal. Kendatipun dari pernyataan tersebut terdapat maksud yang amat baik dari Presiden.

Benarkah negeri ini miskin? Ini menjadi pertanyaan kebalikan atau antitesis untuk pernyataan sang Presiden. Kenyataannya sesungguhnya bukanlah demikian. Kalkulasi paling realisitis pernah diungkap oleh Abraham Samad kala menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa andai celah korupsi di sektor pertambangan dapat ditutupi dan dialihkan untuk pendapatan perkapita masyarakat Indonesia maka dapat memberikan gaji puluhan juta perbulan ke masyarakat Indonesia.

Selain itu juga pada Oktober 2013 Abraham Samad mengatakan hampir 50 persen perusahaan pertambangan di Indonesia tidak membayar royalti ke pemerintah yang jumlahnya mencapai 20 ribu triliun. Jika dibagi dengan 241 juta jiwa penduduk Indonesia saat itu maka ditemukan angka pendapatan terendah 30 juta perbulan. Itu disampaikan Abraham Samad dalam dialog kebangsaan dihadapan puluhan ribu buruh di Istora, Senayan, Jakarta. Ironisnya seperti yang diungkap Abraham Samad, mereka tidak membayar royalti karena mereka justru menghabiskan uangnya lebih banyak daripada royalti untuk menyuap oknum aparat.

Dari praktik korupsi di sektor pertambangan kita dapat bayangkan betapa sesungguhnya kesempatan untuk hidup sejahtera di negeri ini sudah dirampas seharusnya seluruh rakyat negeri ini sudah hidup mapan terbebas dari belenggu kemiskinan dari generasi ke generasi. Bayangkan ada berapa banyak lagi uang yang dikorup selain di sektor pertambangan. Andai di sektor perikanan, pertanian, kehutanan, kelautan, perpajakan, dan lain sebagainya tidak dikorupsi betapa rakyat negeri ini sudah selayaknya terbebas dari kemiskinan. Tugas pemberantasan korupsi ini menjadi bagian tersendiri yang harus diurus secara serius oleh pemerintah.

Pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Secara yuridis, pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebelumnya diatur dalam UU No. 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU ini tergolong tragis nasibnya sebab berlakunya cuma 2 hari saja. Disahkan pada 30 September 2014 dan dibatalkan oleh Perppu No. 1 Tahun 2014 yang disahkan pada 2 Oktober 2014. Perppu ini mengubah model atau mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Terjadi penolakan yang meluas sesaat setelah UU No. 22 Tahun 2014 disahkan yang diinisiasi oleh kelompok mahasiswa. Penolakan itu sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbang huruf c Perppu No. 1 Tahun 2014.

Penolakan model pemilihan kepala daerah oleh DPRD waktu itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran praktik jual beli jabatan, pemilihan yang tidak objektif, tidak stabilnya pemerintahan daerah, dan lain sebagainya. Kendatipun kepala daerah itu dipilih secara langsung ataupun oleh Dewan Perwakilan secara teoritis sama demokratisnya. Tetapi kualitas demokrasinya jelas berbeda. Pada pemilihan secara langsung oleh rakyat, rakyat sepenuhnya dapat menggunakan kedaulatannya karena partisipasinya rakyat dapat leluasa menilai, mempertimbangkan dan memilih seseorang dengan objektif menurut hati nuraninya yang dipandang layak dan mampu menjadi kepala daerah. Hal mana tidak dijumpai jika dipilih oleh Dewan Perwakilan.

Jika pemilihan secara langsung dianggap mahal karena menghabiskan banyak biaya dan upaya untuk efisiensi anggaran untuk program yang lebih substansial, maka hal inipun menjadi problematik. Sebab membaca persoalan ini haruslah satu paket dengan pemilihan umum atau pemilu yang dilaksanakan secara langsung yang juga menghabiskan biaya yang sangat banyak. Maka jika hanya fokus pada pemilihan kepala daerah maka sesungguhnya kita belum proporsional menempatkan hal ini sebagai satu rangkaian.

Untuk pemilihan umum, misalnya pemilihan Presiden dimasa orde baru (1967-1998) pengisian jabatan Presiden dilakukan dengan cara dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan UUD 1945 pra amandemen. Di era orde baru, dengan rekayasa sedemikian rupa MPR nyatanya tidak lebih tinggi daripada Presiden sehingga Soeharto dapat terus berkuasa menjadi Presiden hingga tujuh kali pemilihan umum sehingga dirasakan sangat tidak demokratis. Keanggotaan MPR dari utusan daerah banyak diisi oleh orang-orang yang "didudukkan" sang Presiden dengan misi mengamankan pemilu yang terus menerus memenangkan sang Presiden. 

Untuk konteks pemilihan kepala daerah, Pemilihan serentak ini nampaknya diilhami oleh praktik pemilihan umum, dengan kata lain hanya mengikuti pola pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilaksanakan serentak. Sebelumnya pemilihan umum dilaksanakan dua kali dalam lima tahun untuk memilih anggota legislatif pusat dan daerah, lalu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. 

Praktik ini dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan merujuk pada ketentuan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan satu kali dalam lima tahun. Tetapi undang-undang mengatur secara berbeda dan pengaturannyapun dengan dua undang-undang yang berbeda. Untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan UU No. 42 Tahun 2008, dan UU No. 8 Tahun 2012 untuk pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Secara konstitusional, pemilihan kepala daerah secara serentak tidak diatur dalam UUD 1945. Berbeda dengan pemilihan umum pelaksanaannya hanya satu kali dalam lima tahun sebagaimana amanat Pasal 22E UUD 1945 sehingga mengharuskan dilaksanakan serentak. Sementara itu ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengatur bahwa, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tetapi dalam implementasinya pemilihan kepala daerah dilaksanakan serentak berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang ditetapkan dengan UU No. 1 Tahun 2015 menjadi UU sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016. 

Pengaturan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bersifat opsional. Artinya dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan dipilih oleh DPRD. Pembentuk undang-undang mengambil opsi dipilih secara langsung oleh rakyat yang pelaksanaannya serentak bagi kepala daerah yang masa jabatannya selesai dalam waktu yang berdekatan.  Pemilihan secara langsung dan serentak ini sudah cukup efisien ketimbang dilaksanakan secara langsung tapi tidak serentak. 

Jika pemilihan model ini masih dianggap sebagai pemilihan yang mahal sebagaimana disampaikan Presiden maka kita harus mempertimbangkan mudharat yang lebih besar jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Tidak ada jaminan dalam sistem sebaik apapun money politic itu akan hilang. Jika dipilih oleh DPRD yang terjadi hanyalah sentralisasi money politic antar paslon dengan anggota DPRD. Sistem yang baik dan berkualitas jika dilaksanakan oleh aparatur yang tidak berkualitas tetap saja buruk.**

Rabu, 04 Desember 2024

Merasa Besar Tanda Kejatuhan Sudah Dekat

Merasa Besar Tanda Kejatuhan Sudah Dekat

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Hari-hari berganti meriwayatkan banyak problem sosial yang lalu lalang dalam arus media sosial. Periwayatan peristiwa, kabar penindasan, propaganda pembodohan tiba silih berganti bak suburnya cendawan di musim hujan. Masih kuat diingatan kita bagaimana bobroknya sistem pendidikan telah membuat para guru harus diungsikan dari sekolah ke penjara dan menjadikan pendidik sebagai bahan eksperimental yang dramatis. 

Kini muncul pula kejadian menyayat hati seorang pejuang nafkah direndahkan, dihinakan dihadapan keramaian majelis yang dikabarkan majelis sholawatan. Aduhaii.. majelis itu rupanya majelis bangkai yang busuknya menembus hati, merengkuh kemarahan, merobek-robek nurani, muak yang tidak terkira. Seorang staf khusus yang digaji oleh rakyat, seorang yang lebih dikenal dengan sebutan G*s, bukan baru-baru ini saja beliau bersikap pongah dalam pertunjukan akrobatiknya. 

Jika dirunut aksi-aksi degradasi moralnya cukup banyak dan mudah ditemukan di media sosial. Sepertinya di era kebobrokan- kejatuhan akhlak para pemuja popularitas tumbuh dengan keyakinan bahwa agar dikenali dan memiliki banyak pengikut praktik-praktik tercela merupakan cara yang cukup memukau dan memesona bagi mereka yang tebal muka untuk diperagakan. Betapa tidak, di era kebobrokan yang kini melanda, betapapun buruk dan tercelanya seseorang yang membuat kita heran dan tercengang ialah tetap saja mereka yang demikian itu selalu ada saja pengikutnya dan mirisnya lagi dijadikan tokoh sentral di komunitas masyarakat tertentu atau dijadikan publik figur yang diikuti dan dihormati secara total. "Negeri ini pasar murah, apa saja dijual laku ada saja pembelinya", mungkin itulah kata-kata yang tepat menggambarkan keadaan saat ini. 

Laku bukan karena mutunya yang bagus, tapi karena akal yang tidak terdidik telah menjadikan barang-barang yang dijual itu bagaikan berkah yang turun dari langit kilaunya seumpama pahatan emas yang memikat hati. Mungkinkah perasaan merasa besar telah memenuhi hati manusia semacam itu, karena selalu ditempatkan satu langkah di depan satu hasta di atas duduk bak ulama besar panutan umat dengan semarak tepuk tangan dan riuh rendah mereka yang tertawa gembira tidak lebih hanya menyaksikan pertunjukan kebodohan.

Gambaran tentang seorang ayah, dan seorang suami yang terpaksa harus hidup bersusah payah mencari nafkah demi anak istri dan keluarganya tetap makan dengan harapan punya masa depan yang lebih baik. Seorang ayah, suami yang setiap harinya bermandikan keringat dibawah terik matahari yang membakar, kepayahan yang teramat sangat telah membuat kaki dan tangannya kapalan oleh Rasulullah diberi kabar gembira tentang dosanya yang diampuni tentang hisabnya yang mudah dan tentang keutamaannya daripada menggantungkan hidup menjadi peminta-minta, seorang ayah, dan seorang suami itu dihinakan oleh dia yang ditokohkan, oleh dia yang dipakaikan jubah kebesaran syari'at kepadanya. 

Sebuah pemandangan yang sangat melukai rasa kemanusiaan, melukai nurani yang terdalam. Tak lain memperjelas kepada kita bahwa ia dan kebesaran yang dipasangkan kepadanya hanyalah sebagian dari tanda-tanda kejatuhan yang sudah semakin dekat. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu (Q.S. Al Hadid: 20). Sungguh amat banyak diantara kita yang lalai, terperdaya dan tersungkur kedalam panggung sandiwara ini. Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan belaka, karenanya jangan sampai kalian ditipu oleh kehidupan dunia (Q.S. Al Ankabut: 64). Sembari mengingatkan diri sendiri kita pun mengingatkan mereka yang terlupa dan perhatian yang telah teralihkan pada kesenangan duniawi.

Apa yang patut dibanggakan dengan pakaian kebesaran yang dikenakan, dengan nama besar, dengan jabatan, dengan kekayaan yang menggunung yang melekat pada diri tetapi tidak berguna sama sekali, tidak mengubah apapun menjadi lebih baik. Jabatan dengan kuasa yang melekat justru dipergunakan untuk menindas dan memperbudak orang lain, menipu orang lain, mengambil hak-hak orang lain dengan zhalim, harta digunakan untuk menghegemoni kaum miskin menjadi lebih melarat dan hidup menderita, ilmu digunakan untuk merendahkan orang lain. Aduhaii.. celaka.. sungguh celaka dan sia-sialah manusia yang hidupnya demikian itu. 

Al Hasan Al Bashry dalam Az Zuhd karya al- Imam Ahmad diceritakan, suatu ketika Umar bin Khattab melewati tempat sampah dan berhenti sejenak disitu, para sahabat beliau merasa sangat terganggu dengan bau dari sampah tersebut. Beliaupun berkata, "seperti inilah dunia yang kalian sangat berambisi padanya". Sungguh amat tegas nasehat sahabat nabi yang agung ini. Namun tetap saja kehidupan dunia ini sangat memukau kesenangan yang melenakan yang menyeret kita semakin menjauh dari era kesadaran.

Seorang ayah, suami yang oleh dominasi kapitalisme dan kedigdayaan korupsi yang menginvasinya dan bangsa ini dipaksa hidup dalam kepayahan yang bertambah-tambah dengan penghasilan yang sangat tidak memadai, seorang ayah memberi makan anak istrinya sementara ia sendiri bertaruh menahan lapar berhari-hari adalah sebuah pemandangan yang jelas benar di mata kita ditengah hiruk pikuk perkotaan.

Andai sektor pertambangan tak dikorupsi elit politik, aktor penguasa, maka setiap orang yang hidup dan tinggal dinegeri ini mendapat bagian tidak kurang 20 juta tiap bulan tanpa perlu kerja apapun. Belum lagi di sektor pertanian, kelautan, perikanan, perpajakan dan lain-lain. Demikian lebih kurangnya dipresentasikan oleh Abraham Samad-mantan komisioner (pimpinan) Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. 

Jadi kemiskinan di negeri ini bukan terletak pada semata-mata pada kurangnya lapangan pekerjaan sebagaimana dikampanyekan orang, juga bukan karena rendahnya kualitas SDM anak bangsa ini yang jika dilihat data dari Badan Pusat Statistik atau BPS akan kita dapati adanya gap yang besar jumlah sarjana dan mereka yang bahkan tidak tamat sekolah menengah atas. Melainkan karena kesempatan untuk hidup sejahtera di negeri ini sudah dirampas oleh para penguasa busuk, segelintir elit politik yang merampok kekayaan sumber daya alam bangsa ini. 

Masihkah kita berani menghina dan merendahkan para pejuang nafkah yang hidupnya lebih banyak menahan lapar dengan tubuhnya penuh dengan bekas penderitaan karena hidup dalam kemiskinan?. Kapankah kita akan sadar dan menghargai betapa berat perjuangan tak bertepi yang dirasakan saudara kita yang didikte oleh para tirani di negeri ini, diperbudak dan ditindas setiap hari.**

Kamis, 31 Oktober 2024

Takdir Pendidikan Dihadapan Palu Hakim

 

Takdir Pendidikan Dihadapan Palu Hakim

Oleh: Syahdi 

(Cendekiawan Muslim)

Dunia pendidikan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kendatipun demikian ini hanya sebuah sektor dari hampir keseluruhan sektor kehidupan yang bermasalah. Pendidikan yang tidak diurus serius memang mendatangkan setumpuk problematika besar yang tidak mudah untuk diatasi. Simpul-simpul permasalahan yang melatarbelakangi munculnya berbagai dinamika yang semakin kompleks dan rumit memerlukan komitmen dan ikhtiar yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak terutama sekali pengambil kebijakan untuk melakukan pembenahan regulatif, penataan manajemen birokrasi, sistem seleksi pendidik dan peserta didik yang efektif tidak hanya berorientasi pada standar baku diatas kertas atau konseptual tetapi juga mesti berpijak pada basis kemampuan dan penguasaan akademik yang baik, mengutamakan aspek moralitas sebagai pembentuk akhlak atau karakter.

Uforia Kebebasan

Konsepsi hak asasi manusia yang dianut dalam produk hukum nasional semakin hari samakin bersifat liberal hingga hampir tidak ditemukan batasan yang tegas dan jelas. Liberalisasi hak asasi manusia tampak mulai tumbuh di era genderang demokrasi yang semakin menguat pasca era reformasi. Sesungguhnya sejak 18 agustus 1945 ketika UUD 1945 disahkan, secara konstitusional demokrasi telah diberlakukan kendatipun hanya secara normatif. Sebab dalam praktik demokrasi yang dijalankan mengalami pergeseran menjadi demokrasi terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menganulir fungsi konstitusionalitas Konstituante. Diabaikannya Konstituante sebagaimana banyak disebutkan dalam buku yang ditulis Endang Saifudin Anshari, "Piagam Jakarta (Konsensus Nasional Islam dan Nasionalis Sekuler) ditengarai oleh ambisi Presiden Soekarno untuk memberlakukan model demokrasi terpimpin bahwa pengambilan keputusan banyak didominasi oleh Presiden. Dengan demikian Presiden memiliki kewenangan besar.

Demikian pula pemerintahan dibawah kepemimpinan rezim orde baru model demokrasi yang ditegakkan ialah demokrasi Pancasila dengan slogannya yang terkenal: "Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen".  Pelaksanaan demokrasi Pancasila tersebut dikukuhkan dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancaskarsa) yang menafsirkan lima sila kedalam 36 butir. Selanjutnya tafsir atas lima sila bertambah menjadi 45 butir berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002. 

Kendatipun rezim orde baru di periode awal tampil memukau dengan spirit "Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen", praktiknya ternyata jauh panggang dari api terutama menyangkut otoriterianisme rezim orde baru yang menggembosi UUD 1945 dengan rekayasa politik menjadikan Soeharto dapat menjabat Presiden hingga 32 tahun. Selain itu kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik tidak mendapat tempat yang menjadikan nilai-nilai demokrasi tidak dapat dilaksanakan. Pasca rezim orde baru meruntuh, kebebasan yang selama puluhan tahun dikekang akhirnya mendapat tempat yang lapang tanpa sekat, uforia kebebasan bergemuruh dengan semarak, tak ayal pandangan-pandangan demokratispun tumbuh subur dan semakin menguat dipanggung nasional. Hingga saat ini kebebasan dan pandangan tentang hak asasi manusia semakin riuh dibicarakan dibanyak tempat menjadi isu sentral dalam legislasi di parlemen.

HAM Yang Membelenggu

Konsepsi hak asasi manusia yang dianut negeri ini di era liberalisasi saat ini banyak menyadur konsepsi hak asasi manusia ala Barat yang menghendaki kebebasan yang tanpa sekat dan bebas nilai. Konsepsi yang demikian itu tidak mempertimbangkan bahkan menolak moralitas yang luhur. Barat yang hidup dalam tradisi individualisme sangat menghargai jaminan perlindungan kebebasan individu diatas kepentingan kolektif sangat tidak cocok dengan kultur bangsa Indonesia yang secara historis hidup dalam suasana kolektivisme yang mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan individu. Kepentingan individu dihargai dan tetap diberikan ruang tetapi dibatasi oleh kepentingan umum. 

Manakala kepentingan individu berpotensi atau menganggu kepentingan umum maka kepentingan individu dibatalkan oleh kepentingan umum. Sementara dalam pandangan dan gaya hidup Barat adalah kebalikan dari itu semua bahwa kepentingan dan kebebasan individu lah yang paling menentukan hingga kepentingan umum dapat dibatalkan jika bertentangan dengan kepentingan individu. Secara normatif nuansa kolektivisme yang dianut oleh bangsa ini misalnya tercantum dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa "semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial", demikian pula pada Pasal 7 diatur bahwa "Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan". 

Nuansa yang sarat gaya hidup kolektivisme dapat pula kita cermati pada kebijakan pemerintah dalam pembangunan jalan tol, bahwa atas nama kepentingan umum pemilikan tanah oleh warganegara tunduk pada kebijakan pemerintah bahwa tanah atau lahan milik individu warganegara dapat diambilalih oleh pemerintah peruntukan atau fungsinya untuk pembangunan infrastruktur dengan cara menebus tanah tersebut dengan harga yang wajar. Adapun polemik terkait dengan pembebasan lahan milik individu merupakan suatu masalah tersendiri yang tidak mengurangi arti penting bahwa kepentingan umum diakui berada diatas kepentingan individu. Konsepsi hak asasi manusia yang liberal yang sarat individualisme, materialisme ketika diadopsi dalam produk hukum nasional praktis menimbulkan gesekan dan gejolak ditengah masyarakat. 

Urgensi Rekonsepsi HAM

Rekonsepsi hak asasi manusia untuk diterapkan di negeri ini merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan. Konsepsi hak asasi manusia yang diberlakukan mesti berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh dan terpelihara dimasyarakat yakni norma adat, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma agama. Dengan kata lain nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang berkembang dan tumbuh dimasyarakat mesti menjadi landasan utama. Tidak boleh ada muncul peristiwa disebabkan atas dasar hak asasi manusia atau karena menegakkan hak asasi manusia kemudian mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh terpelihara di masyarakat. Jika nilai-nilai dan norma sosial tersebut diabaikan, dilanggar maka akan melukai rasa keadilan yang hidup dimasyarakat. 

Artinya dengan menjadikan nilai-nilai dan norma sosial yang ada dimasyarakat sebagai landasan konseptual hak asasi manusia maka segala tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma sosial tersebut harus dibatalkan. Inilah konsepsi hak asasi manusia yang harus segera diterapkan. Kita boleh-boleh saja mengambil konsep-konsep Barat sebagai bahan dalam pembangunan sistem hukum nasional kita tetapi kita pun harus tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa ini yang telah lebih dahulu ada dan terpelihara hingga saat ini. Hukum adat misalnya, keberadaannya lebih awal ketimbang hukum kolonial ataupun hukum nasional. 

Kenyataan historis yang sudah mengurat mengakar dalam tiap sendi kehidupan masyarakat kita tidak boleh diabaikan atau menjadi dikurangi oleh akulturasi kebudayaan yang datang dari luar. Jika kondisi ini tidak diantisipasi maka kebudayaan luar dapat menginvasi nilai-nilai luhur yang ada di negeri ini dan menggerusnya hingga ia terancam digantikan oleh yang datang dari luar itu. Ini merupakan tantangan pembangunan nasional dimasa ini dan masa yang akan datang. Akulturasi yang menginvasi melalui globalisasi jika tidak dibentengi akan sangat berbahaya dan berdampak besar yang dapat mendegradasi mentalitas dan moralitas bangsa ini menjadi bangsa yang kurang bahkan tidak beradab. Padahal sila ketiga Pancasila telah meneguhkan model pembangunan masyarakat kita yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pendidikan Diujung Tanduk

Maraknya kriminalisasi terhadap para guru diberbagai tempat dinegeri ini membuat kita sangat miris dan betapa bangsa ini sudah banyak terkontaminasi dengan konsepsi hak asasi manusia yang liberal yang menafikan rasa keadilan yang tumbuh dimasyarakat yang hidup dalam norma-norma sosial. Berbagai persitiwa imbas dari kriminalisasi harusnya membuat kita semakin sadar bahwa penghormatan dan apresiasi terhadap guru di negeri ini sudah sedemikian merosot menjadikan bangssa ini bangsa yang tidak beradab. Beragam kasus yang menimpa guru mulai dari cemoohan dan penganiayaan oleh siswa bahkan orangtua siswa, pembangkangan siswa yang luar biasa terhadap guru yang tidak mau diatur, ancaman, hingga kriminalisasi. Arogansi tersebut muncul sebab disemburkan dari pikiran dan hati yang kering dari sentuhan nilai-nilai moral dan sempitnya pengetahuan. Guru saat ini berada dalam suasana kebathinan yang serba dilematis dan canggung. Andai guru menghukum siswa maka satu sisi ia berhadapan dengan hak asasi manusia dan disisi lain berhadapan dengan aparat penegak hukum. 

Atas nama hak asasi manusia maka bentuk penghukuman apapun yang dilakukan guru tidak diperkenankan dan terlarang dilakukan. Misalnya guru menghukum siswa yang berambut gondrong dengan memotong rambutnya, memukul yang sifatnya mendidik, tidak diizinkan masuk kelas dikarenakan terlambat yang tidak dapat ditolerir, menghukum siswa yang merokok dan berbuat diluar batas kesopanan dan kesusilaan, atau menghukum siswa yang menganiaya siswa lain, membully siswa lain dan lain sebagainya. Semua bentuk hukuman yang dikenakan guru atas perbuatan yang semacam itu berpotensi memosisikan guru berhadapan dengan palu hakim atas dasar dakwaan kekerasan terhadap anak dan berbagai dakwaan yang tidak rasional diluar akal sehat. Pekerjaan mendidik dan menuntut ilmu bukanlah hal yang mudah. Berlelah-lelah dalam menuntut ilmu akan lebih baik daripada harus menanggung perihnya kebodohan. Tugas pencerdasan dan pembentukan akhlak mulia menjadi tanggungjawab guru, dipikulkan kepada guru tetapi perlakukan terhadap guru justru tidak sebanding dengan semua fikiran, tenaga dan ikhtiar mulia yang dilakukannya. 

Guru pantas mendapatkan penghormatan dan apresiasi yang tinggi, sebab tidak ada seorangpun yang menjadi tokoh yang dihormati melainkan berkat pengajaran dan pendidikan dari guru. Jika kita ingin tumbuh menjadi bangsa yang besar dan maju maka mulailah menghormati dan menghargai guru atas usahanya mencerdaskan kehidupan bangsa. Manakala seorang guru telah tertunduk lesu dan larut dalam kesedihan yang melanda menyeret mereka dihadapan palu hakim, maka sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan pada palu hakim bukanlah tegaknya hak asasi manusia yang dipuja setinggi langit itu melainkan akhlak bangsa ini dan kehancuran negeri ini. Manakala guru sudah berhadapan dengan palu hakim maka ingat-ingatlah bagi para hakim Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan bahwa "Hakim dan hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Sebab itu penting menjadi iktibar bagi kita bahwa jika guru tidak lagi mendapat tempat apresiasi dan penghormatan di negeri ini maka bersiaplah tibanya kebinasaan dan kehancuran. Negeri ini tidak kekurangan orang cerdas tapi kekurangan orang yang berakhlak. Cerdas saja tetapi tidak berakhlak adalah undangan menuju kebinasaan, berakhlak meskipun tidak cerdas maka sedikit kebodohan dapat tertutupi.

Senin, 21 Oktober 2024

Carut Marut Institusi Pendidikan

Carut Marut Institusi Pendidikan 

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

Polemik tentang ramainya pelecehan dan kekerasan seksual dilingkungan pendidikan yang belum menemukan solusi efektif muncul sekejap lalu menghilang dalam pemberitaan yang silih berganti seiiring dengan banyaknya rentetan masalah yang dihadapi bangsa ini. Sebutlah misalnya  Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dari sekian regulasi terkait pendidikan yang ada Permendikbud ini termasuk yang paling buruk dan sudah seharusnya dicabut. Banyak sekali terdapat pengaturan yang semuanya itu bermuara pada membuka ruang dan kebebasan bagi civititas akademika melakukan tindakan asusila asalkan dilakukan atas dasar kerelaan atau tidak karena adanya paksaan. 

Ini pikiran liberal ala gaya hidup Barat yang menghendaki kehidupan yang bebas nilai, tidak mau terikat pada norma dan nilai-nilai sosial yang luhur seperti di negeri ini kita mengenal adanya norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat dan norma agama. Dilihat dari aspek manapun terlebih dari sudut pandang moral atau akhlak bangsa Indonesia yang hingga saat ini selalu dipresentasikan sebagai bangsa yang berbudi luhur, pikiran liberal yang disusupkan dalam Permendikbud tersebut sungguh merupakan suatu ketercelaan moral yang bersar dan sikap tidak beradab yang mengabaikan ikhtiar menghasilkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia. Maraknya kekerasan seksual yang serba problematik tersebut hanya segelintir masalah yang muncul kepermukaan. Kalaulah kita mau berterus terang melihat persoalan yang menjadi penyakit menular yang tumbuh subur dilingkungan pendidikan secara objektif maka akan kita temukan persoalan lain yang lebih buruk.

Secara normatif cita-cita ideal diatas kertas perihal pendidikan ini dapat kita temukan landasannya untuk diurai dengan saksama. Marilah kita simak beberapa ekspresi moral yang tinggi yang dimuat dalam berbagai perangkat hukum yang ada di negeri ini. "Untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...." demikian bunyi amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Secara lebih spesifik konstitusi mengamanatkan pada pemerintah agar "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang" sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (3). Demikian pula kewajiban konstitusional yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (5) "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia".

Selain itu akan kita jumpai pula nilai-nilai ideal penyelenggaraan pendidikan pada regulasi lainnya bahwa "Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman", demikian bunyi ketentuan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Selanjutnya terdapat beberapa landasan normatif yang memuat cita-cita ideal mengapa dan untuk apa pendidikan diselenggarakan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan  Tinggi sebagai berikut.

Kondiseran menimbang huruf b: "Bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan".

Konsideran menimbang huruf c: "bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa".

Pasal 5 huruf a: "berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa".

Pasal 5 huruf b: "dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa".

Masih berkaitan dengan spirit dan cita-cita ideal dalam penyelenggaraan pendidikan, terdapat penegasan yang kuat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat  (1) huruf a: "Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip: memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme". Sementara itu pada huruf b ditegaskan: "memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia".

Jika semua cita-cita ideal penyelenggaraan pendidikan ini disebutkan satu persatu maka untuk itu perlu menerbitkan buku khusus menerangkan pendidikan dan ragam persoalannya. Sudah saatnya para alumni perguruan tinggi yang menyimpan kerisauan dan kegundaan di dalam sanubarinya menyaksikan carut marut dunia pendidikan untuk mempresentasikan dan membangun solidaritas untuk membahas persoalan yang terjadi dan merekomendasikan terobosan pemikiran untuk menyelamatkan masa depan anak bangsa ini dan nasib bangsa ini kedepan.

Institusi Bisnis Modern

Dari sekian banyak regulasi yang berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan secara umum dapat kita temukan adanya kesadaran dan keseriusan normatif meskipun antara norma dan praktik atau Das Sollen dengan Das Sein terdapat gap yang lebar. Jika kita mau jujur membaca tragedi dunia pendidikan hari ini maka akan kita temukan persoalan serius yang merusak dimensi ideal penyelenggaraan pendidikan. Elit perguruan tinggi seakan menikmati carut marut yang terjadi mereka merasa aman, nyaman menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis menghasilkan uang yang banyak untuk memperkaya diri dan meningkatkan kesejahteraan pribadi dengan menggadaikan fungsi dan tujuan ideal dibentuk dan diselenggarakannya pendidikan. Berbagai persoalan yang menjadi penyakit yang menjamur di lingkungan pendidikan diakui aatu tidak, diterima atau tidak kenyataannya sulit terbantahkan bahwa semuanya itu menjadi lahan bisnis modern yang elegan.

Institusi Pemberi Gelar

Semakin besarnya disparitas atau gap dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang secara normatif menghendaki penyelenggaraan pendidikan yang ideal memperlihatkan kepada kita wajah perguruan tinggi yang hanya menjalankan fungsi sebagai institusi pemberi gelar belaka. Pada sebagian besarnya sama sekali tidak mencerminkan atau mengupayakan menghasilkan atau memproduksi para ilmuwan atau sarjana yang berkompeten memiliki keahlian dibidangnya. Diantaranya dapat kita temukan tidak adanya standar yang jelas dan sikap yang tegas dan konsisten dalam pengujian skripsi, tesis dan disertasi. Sejelek apapun presentasi mahasiswa/i calon sarjana dan selemah apapun pemahaman akademiknya terkhusus berkaitan dengan objek penelitiannya kenyataannya pada pelaksanaan ujian akhir para dosen penguji tetap memberikan nilai yang bagus dan dinyatakan lulus. 

Akhirnya kampus hanya mewisuda para sarjana yang tidak bermutu, hanya menghasilkan para sarjana bukan para ilmuwan. Kondisi ini menjadi penyumbang yang signifikan membentuk karakter mahasiswa pemburu gelar belaka, mahasiswa yang tidak menaruh perhatian betapa pentingnya menjadi insan yang berilmu, hanya mencari gelar sebagai simbol untuk memperbaiki dan mempertinggi status sosial untuk kebanggaan ditengah keluarga dan masyarakatnya, sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan dan memiliki pendapatan untuk menopang kehidupannya. Implikasi dari keadaan tersebut menjadi penyumbang besar kerusakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Para sarjana yang tidak bermutu ini tidak memberi pengaruh positif dalam peningkatan IQ bangsa ini. 

Hanya semakin memperparah polemik dan kusutnya kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, kerukunan beragama dan sebagainya manakala mereka menjadi pejabat publik dengan kebijakan yang menyengsarakan dan nihil kecakapan memimpin. Kondisi saat ini dimana kita menyaksikan mulai maraknya pemberian gelar honoris causa untuk gelar doktor meskipun orang yang diberi gelar tersebut tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi atau hanya tamatan Strata 1 atau Strata 2. Pemberian gelar honoris causa ini terkesan sangat subjektif mulai diobral dan dijadikan sarana perdagangan yang sarat nuansa politis untuk kepentingan tertentu serta tidak menutup kemungkinan adanya transaksi suap yang melibatkan oknum rektor dan penerima gelar tersebut. Ini tragedi dunia pendidikan yang serius. Betapa institusi pendidikan hari ini banyak menjalankan fungsi sebagai institusi pemberi gelar. Padahal perguruan tinggi memiliki tanggungjawab sosial dan moral yang besar untuk mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bukan justru menjadi pemicu kerusakan kehidupan bermasyarakat, dan bernegara yang lebih serius.

Mengajar Profesi Sambilan, Obral Nilai Hingga Transaksi Jual Beli Buku

Praktik ini tidak dapat dipungkiri marak terjadi di banyak kampus. Tanpa menyebut kampus mana yang "melegalkan" praktik seperti ini. Mengajar sebagai profesi sambilan ini ada yang diciptakan karena sistem administrasi yang melelahkan juga karena spirit dan idealisme atau keseriusan menjadi pengajar yang tidak ada. Para profesor misalnya mereka diharuskan menerbitkan karya tulis ilmiah secara berkala sementara mereka mengajar banyak mata kuliah diberbagai fakultas dan dibanyak perguruan tinggi yang semuanya itu memiliki administrasi yang harus dilengkapi atau harus dilaksanakan secara rutin dan tepat waktu. Kondisi ini mendorong para pengajar terutama profesor termasuk pula mereka yang doktor disibukkan dengan aktivitas administrasi yang melelahkan. Belum lagi diluar kampus mereka menjadi pejabat di berbagai lembaga atau pengurus diberbagai organisasi atau perusahaan. 

Perlu ada pembatasan bagi para pengajar untuk beban mata kuliah yang dapat diajarkan dan kemudahan administrasi. Akan lebih baik tiap-tiap dosen pengampu difasilitasi dengan satu atau beberapa asisten yang dikhususkan untuk mengurus administrasi dosen sehingga dapat lebih efektif mengajar. Asisten dosen pengampu ini honornya dibayarkan oleh perguruan tinggi dengan prosedur tertentu yang diatur oleh perguruan tinggi. Praktik jual beli buku disebagian tempat tampaknya juga mulai mewabah dan terang-terangan dihadapan para mahasiswa saat mengajar. Terkadang banyak sekali alasan yang tidak rasional beberapa dosen beralasan materi ujian diambil dari bukunya, menetapkan jumlah buku yang harus dibeli oleh mahasiswa dari dirinya atau melaluinya sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan nilai bagus dari sang dosen. Praktik seperti ini menjadikan suasana akademik yang buruk dan mencoreng wajah pendidikan yang bertujuan mencari materi dengan mengekploitasi mahasiswa.

Label Agama yang Merepotkan

Perangkat hukum yang ada memang dibentuk untuk menjamin serta melindungi hak dan kebebasan untuk mendirikan perguruan tinggi yang menonjolkan ciri khasnya sendiri. Ciri khas tersebut misalnya dapat berupa program dan jenis pendidikan yang ditawarkan, dapat pula dengan penggunaan nama-nama tokoh pejuang atau tokoh yang menginspirasi sebagai latar belakang didirikannya perguruan tinggi juga dapat pula menjadikan agama tertentu dalam penamaan perguruan tinggi sebagai identitas yang diharapkan dan diidealkan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi berlandaskan dan berjalan pada rel identitas tersebut. Tapi kenyataan yang disuguhkan sangat jauh berbeda. Suasana dan kehidupan civitas akademika dilingkungan kampus sehari-hari sangat bertentangan dan malah mengodopsi gaya hidup Barat yang liberal, hedonis, dan sekuler. Label kampus yang sedianya mencerminkan identitasnya justru lain dicover lain diisi. Sesungguhnya ini menjadi beban tanggungjawab moral dan sosial yang besar. Perbedaan yang sangat mencolok terlihat dalam cara berpakaian, akhlak dan pengambilan kebijakan yang menimbulkan banyak polemik. 

Namun seakan tidak seorangpun dapat dan secara terbuka berani menginterupsi ketimpangan tersebut sebab beresiko dimarginalkan, mengalami pembusukan masif dan disingkirkan dengan aalsan tidak kooperatif dan sederet alasan di luar akal sehat. Manakala label agama dijadikan sebagai bagian dari nama yang dipakai oleh sebuah perguruan tinggi dan kemudian ternyata implementasinya tidak sejalan bahkan menyeleweng sangat jauh sesungguhnya tidak dijumpai apa yang disebut dengan integritas di perguruan tinggi itu. Dimana-mana tempat perguruan tinggi mengedepankan berbagai motto atau slogan untuk meyakinkan warga masyarakat bahwa mereka akan mendapatkan sejumlah manfaat jika mereka mengenyam pendidikan di perguruan tinggi tersebut. Jika integritas tidak ada maka komitmen untuk menghadirkan perguruan tinggi yang berkualitas juga sulit ditemukan. Semua keadaan yang ditimbulkan akibat manajemen perguruan tinggi yang buruk dengan kualitas moral dan intelektual yang rendah akan menghasilkan banyak produk para sarjana yang tidak bermutu yang hanya memiliki gelar tapi tidak memiliki ilmu yang memadai.

Jabatan Politik Rektor

Tampaknya sudah menjadi kondisi yang dianggap wajar bahwa untuk menjadi rektor harus pandai-pandai patgulipat dengan rezim yang berkuasa ataupun menjalin relasi yang baik dengan pengurus organisasi keagamaan kenamaan sebagai pendompleng ambisi untuk menduduki jabatan rektor. Tentu saja ada persyaratan administratif prosedural seperti kepangkatan, pengalaman mengajar, akses nasional ataupun internasional, publikasi karya tulis dan masa pengabdian dan lain sebagainya. Tetapi untuk memuluskan itu semua akses dan jaringan ke elit pemerintah dan organisasi keagamaan seringkali menjadi faktor penting yang tidak dapat dipandang sebelah mata. 

Jika sudah demikian kondisinya maka efeknya adalah bahwa sang rektor akan terikat balas budi atau balas jasa politik. Ia harus melaksanakan "kontrak" yang telah disepakati dengan majikan untuk tujuan kepentingan tertentu. Ada take and give kepentingan. Bahkan rektor dibeberapa universitas ada yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Sebuah pemandangan yang membuat kita tercengang ternyata menjabat rektor menjadi batu loncatan untuk mencari keuntungan berkali-kali lipat. Keadaan ini masih berlanjut menjadi tragedi yang lebih serius lagi yaitu manakala banyak sekali kebijakan kolonial yang menindas masyarakat maka akan kita lihat seakan di negeri ini tidak terdapat satupun perguruan tinggi. Semuanya menjadi bisu tidak berani menyatakan sikapnya akibat selalu disuap, lambung mereka penuh dengan asupan proyek pemerintah. Bisunya perguruan tinggi merupakan tanda bahwa bobroknya sangat parah dan sedemikian berkarat. 

Perguruan tinggi harus mampu berperan ganda yakni satu sisi sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas, generasi cerdas yang tercerahkan pikirannya dan yang bagus akhlaknya. Perguruan tinggi disatu sisi juga harus mampu menempatkan dirinya sebagai sosial of change dan social of control terutama sekali terkait dengan penyelewengan kekuasaan pemerintahan negara yang menyengsarakan rakyat. Sementara itu memang independensi perguruan tinggi patut diragukan terlebih perguruan tinggi mendapatkan bagian dari APBN atau APBD untuk dana-dana tertentu seperti dana untuk penelitian maupun pembayaran tunjangan jabatan profesor dan lain sebagainya. Kendatipun hal itu sesungguhnya adalah amanat konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". 

Korupsi 

Penyelewengan anggaran semacam dana untuk penelitian tampaknya seringkali terjadi menjadikan institusi ini kehilangan kepercayaan dan kewibawaan. Mereka yang doktor hingga profesor yang menyelewengkan anggaran tersebut semakin membuat gelap wajah perguruan tinggi. Menunjukkan mereka tidak punya akhlak yang baik, tidak mampu menjadi contoh dan teladan yang baik bagi para mahasiswa. Ambisi untuk menumpuk keuntungan dan menjadi kaya berperan besar dengan memanfaatkan peluang yang ada. Ini merupakan tragedi yang sangat memalukan dan mereka yang terlibat melakukan penyelewengan tersebut harus diberhentikan tidak dengan hormat. Mahasiswa yang calon sarjana disuguhkan dengan perilaku amoral seperti itu oleh mereka yang doktor hingga profesor. Keadaan yang membuat kita sangat miris.

Institusi Keluarga

Jika kenyataannya institusi itu dibentuk oleh sebuah keluarga tentu tidak ada yang salah dengan hal itu. Tetapi menjadi masalah adalah jika ternyata para pengajar dan mereka yang bekerja di perguruan tinggi direkrut dari orang-orang atas dasar relasi keluarga tanpa melalui tes kelayakan dan kecakapan untuk mengajar. Siapa saja yang memiliki akses atau relasi kekeluargaan akan dengan mudah menjadi pegawai dan pengajar serta pengangkatan menjadi dosen tetap dalam waktu yang sangat singkat sejak mulai diterima bekerja. Kualitas tidak menjadi patokan. Kecerdasan akademik ataupun  kemampuan manajerial yang baik tidak menjadi indikator. Justru hal-hal non akademik yang seringkali dijadikan acuan misalnya calon dosen memiliki akses sosial, politik, agama, dapat diharapkan untuk mengerjakan jurnal dan penelitian sang guru besar dengan kata lain dapat dieksploitasi tenaga dan kecerdasannya. Bahkan dapat dieksploitasi uangnya misalnya calon dosen atau pegawai tersebut dapat memberikan banyak keuntungan finansial bagi sang guru besar. Lagi-lagi ini semua semakin menyuburkan praktik diskriminatif, pembodohan dan menjauhkan dari cita-cita ideal dibentuknya perguruan tinggi.

Akreditasi yang Problematik

Jika kita bicara akreditasi indikator akreditasi banyak dipengaruhi oleh angka-angka misalnya, jumlah profesor, jumlah doktor dan magister lulusan dalam dan luar negeri kampus ternama, tren peningkatan jumlah mahasiswa dari tahun ke tahun, jumlah fakultas, jumlah alumni, jumlah publikasi karya tulis ilmiah. Meskipun indikator lain juga besar pengaruhnya seperti ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas yang memadai, pencapaian prestasi ilmiah atau kontribusi sosial dan lain sebagainya. Secara administratif mungkin saja syarat tersebut terpenuhi tetapi tetap saja belum menjamin atau berbanding lurus dengan cita-cita ideal sebagaimana telah disebutkan disebabkan banyaknya carut marut dalam pengelolaan perguruan tinggi. Realitasnya dalam pengelolaan perguruan tinggi itu terdapat ketimpangan yang besar yang lebih penting untuk diatasi terlebih dahulu agar antara cover atau status perguruan tinggi itu sejalan dengan kualitas rilnya. Bukan lain di cover atau status lain pula diisi.

Ikatan Keluarga Alumni yang Belum Jelas Fungsinya

Umumnya perguruan tinggi membentuk wadah bagi para alumninya seperti Ikatan Keluarga Alumni atau IKA. Hanya saja dibentuknya perkumpulan ini belum jelas fungsinya. Mau diapakan para alumni ini, untuk apa dibentuk. Ini belum jelas sama sekali. Apakah hanya menjadi forum temu ramah untuk kumpul-kumpul makan-makan bernostalgia mengenang masa ketika menjadi mahasiswa. Atau hanya menjadi alat atau corong untuk mendapatkan akses politik, atau guna kepentingan akreditasi belaka. Mestinya kumpulan ini diberdayakan untuk membantu para alumni fresh graduates yang belum mendapatkan pekerjaan atau bagi mereka yang potensial secara intelektual untuk diberi beasiswa melanjutkan pendidikan atau untuk pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat yang langsung mengena pada problem sosial yang berkembang di masyarakat.

Publikasi Karya Tulis yang Kaku

Banyak sekali buku-buku berjibun diterbitkan semuanya bersifat kaku seperti pengantar studi ini-itu, kewenangan lembaga ini-itu, teori ini-itu, tidak menyentuh secara langsung persoalan yang terjadi di masyarakat. Memang bagi para pelajar keberadaan buku-buku tersebut perlu untuk mengokohkan fondasi berpikirnya, tetapi buku-buku yang bersifat pemikiran atau terobosan pemikiran masih sangat minim. Sulit kita temukan buku-buku yang mempreteli masalah yang terjadi dalam pengambilan kebijakan yang merugikan masyarakat, carut marut penegakan hukum yang jauh dari nilai-nilai keadilan, rekomendasi pemikiran tentang solusi atas buruknya pengelolaan lembaga pendidikan, kritik terhadap konsep dan ajaran-ajaran dalam bernegara, dan lain sebagainya. Kelak buku-buku yang seperti itulah yang lebih banyak diproduksi ketimbang hanya bicara yang senantiasa teoritis yang tidak dikenali dan dirasakan tidak berguna bagi masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidupnya. 

Para akademisi mestinya mulai mewarnai ruang dialog masyarakat dimedia sosial dengan menghadirkan tulisan ringan dan mudah dicerna masyarakat yang bersifat respon atas berbagai persoalan yang dikeluhkan masyarakat sehar-hari seperti isu tentang pajak, tarif tol, BBM, banyaknya jalan rusak yang menimbulkan banyak korban jiwa, buruknya fasilitas dan kualitas pelayanan umum, mahalnya biaya pendidikan, sulitnya mencari pekerjaan, maraknya korupsi, mahalnya harga sembako dan lain sebagainya. Tentu dengan menghadirkan tulisan yang langsung mengena ke masyarakat tersebut akan lebih terasa gunanya ketimbang menulis yang melulu serba normatif serba teoritis. Mulailah untuk menghiasi media sosial yang notabene digunakan oleh hampir remaja dan orang dewasa di republik ini. Sehingga upaya pencerdasan dapat tersebar lebih efektif. Jadi bukan hanya menulis untuk kepentingan menunjang karir seperti jurnal belaka. Alumni perguruan tinggi yakni para sarjana itu harus peka dengan situasi yang berkembang dan permasalahan yang dirasakan, yang dikeluhkan sehari-hari oleh masyarakat. Itu semua diantara bukti tanggungjawab moral keilmuan yang harus dihadirkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian keberadaan para sarjana di masyarakat dapat dirasakan manfaatnya yang mampu memberikan pencerahan sosial sehingga polemik dimasyarakat tidak liar dan menimbulkan anarkisme sosial yang tidak perlu.

Senin, 08 Juli 2024

Era Pemujaan Kemasyhuran

Era Pemujaan Kemasyhuran

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Melesatnya perkembangan teknologi informasi telah mendorong masifnya koneksitas orang-orang di berbagai negeri saling terhubung dan membangun percakapan yang modern untuk sebuah relasi besar bahkan telah menginisiasi pula pertumbuhan sumber penghidupan yang relatif baru dengan memanfaatkan instrumen media sosial berbasis internet. Dari sini bermunculanlah banyak inovasi yang ditampilkan untuk mengeksplorasi kreatifitas, karya, sikap yang menginvasi ketabuan dan kejumudan tentang kepercayaan atau tradisi, pertunjukan keelokan bentuk fisik tubuh. Memperbincangkan aib dan urusan yang sangat privat dalam kehidupan keluarga dikomersialisasikan dengan runut dan lengkap sebagai bagian dari percakapan millenial yang lebih modern. 

Bahkan untuk mendirikan bangunan eksistensi dan popularitas yang menjulang meskipun dengan jalan menyesatkan dan melakukan pembodohan orang-orang melakukan apa saja sebagai mata pencaharian. Hingga perlombaan menjadi pejabat publik cara apa saja dilakukan untuk mempertinggi status sosial demi menjadikan diri orang yang terpandang di masyarakat. Kendatipun tampaknya mayoritas peserta lomba ini memandang jabatan sebagai ladang uang dan hanya menjadi mata pencaharian untuk memperbesar lambung belaka. Semua itu juga terinspirasi dari hasrat akan kemasyhuran yang besar yang menyala membara di dalam diri.

Ruang-ruang di media sosial telah pula mengetengahkan realitas sosial seraya mengungkapkan pada kita percakapan dan dialektika yang menarik yang sarat emosional antara debat mengenai ajaran ketuhanan dalam Islam vs ketuhanan yang dipercayai dalam kekristenan. Kita tidak dapat menampik bahwa perkembangan teknologilah yang mempertemukan percakapan keilahian tersebut. Hingga muncul gejolak dan polemik diantara kedua sisi yang saling berkonfrontasi untuk menunjukkan kebenaran yang diyakini. Dahulunya soal-soal seperti ini sebuah ketabuan untuk dibicarakan.

Diantara sebabnya ialah sangat rentan mengundang disharmonisasi dan permusuhan. Tetapi oleh karena adanya kemiripan atau dalam beberapa bagian daripada ajaran agama menjadikan antara kelompok Islam dan Kristen bertemu pada sebuah percakapan yang panjang. Mulai dari Ahmad Deedat, Yusuf Estez, Zakir Naik yang mungkin dapat dicatat sebagai generasi pendobrak di era modern yang mempelopori percakapan yang semula tabu menjadi terbuka dengan terang benderang. Hingga saat ini soal-soal agama semakin ramai menghiasi layar-layar media sosial.

Dalam sorak sorai yang mengalun kencang itu hasrat akan kemasyhuran kian menguat menjadi motivasi untuk memperbanyak pengikut (followers). Andai memang orang-orang dengan mazhab pemuja kemasyhuran ini mendapat inspirasi dari ekspresi filsafat Friedrich Nietzsche bahwa untuk dikenal maka jangan menjadi kerumunan. Namun praktek yang ditunjukkan ialah dengan mengendapkan moralitas dan nilai-nilai luhur menjadikannya alas untuk hasrat ingin kemasyhuran, mengharapkan respek yang besar dari banyak orang.

Dalam suasana riuh rendah intensitas penggunaan media sosial munculnya orang semisal Gufron- ia dikenal pula dengan sebutan Mama Gufron yang kalau berbicara ngalor-ngidul tidak jelas ujung dan pangkal persoalan, materi pembicaraan yang absurd mengangkangi akal sehat dan tradisi keilmuan yang telah lama terbentang mewah dan mapan di kalangan para terpelajar dan intelektual muslim telah menjadikannya tidak ubahnya sosok guru yang diikuti dengan rasa hormat yang besar melanda. Kaidah keilmuan linguistik dikacaukan ia tampil dengan rasa percaya diri tinggi memperagakan apa yang dia sebut Bahasa Suryani.

Ia berbicara seakan fasih dengan bahasa tersebut. Konyolnya apapun materi yang dibawakannya dalilnya tetap: makoli innaka wama koli fiima allah. Itu saja diulang-ulang secara kacau. Dalam dialognya ia mengatakan bisa bahasa semut, bisa memerintahkan malaikat, para wali dan para nabi untuk mengikuti perintahnya, dengan pongahnya ia membuka Al-Qur'an lalu menghempaskannya secara sembrono, ia mengaku bisa membedah langit. Bahkan dia menyebut dirinya penjaga gawang neraka dan serangkaian cerita-cerita kebodohan yang mengakar.

Secara gamblang orang tua itu sudah terindikasi melakukan penyesatan dan pembodohan yang luar biasa besar dengan menyelewengkan ajaran Islam. Ia menggunakan label Islam dan mengacaukan ajaran keislaman yang telah komprehensif terbentang dalam literatur. Hanya saja yang mengherankan ia malah mendapat simpati dari banyak orang hingga memiliki banyak pengikut. Disinilah kualitas umat Islam diuji dan hasilnya meski umat Islam mayoritas dari sisi jumlah di negeri ini tapi kualitas mayoritas justru anjlok ketitik terbawah ketiadaan pengetahuan dan pemahaman yang memadai. 

Semua kejadian dan kejanggalan di negeri ini selalu saja menjadikan negeri ini pasar yang laris tumpah ruah peminat. Apa saja yang dijual di negeri ini semuanya laku terjual habis. Ada yang ngaku jadi nabi bahkan malaikat Jibril toh ada saja pengikutnya. Meski orang yang mengaku nabi dan malaikat itu pun akhirnya dipenjarakan oleh kepolisian. Suburnya praktik ajaran Islam yang diselewengkan dan bercampur aduk dengan kemusyrikan tetap saja ada dan ramai pengikutnya. 

Sampai disini sadarlah kita betapa di negeri ini umat mayoritas dengan penganut Islam terbanyak kedua setelah Pakistan di dunia ini kualitasnya jauh panggang dari api. Dengan kondisi seperti itu tidak bisa diharapkan untuk melakukan pembaharuan dan mendirikan kembali bangunan peradaban yang dahulu megah bermutu tinggi dibangun oleh para generasi pendahulu. Justru umat mayoritas ini banyak menjadi inisiator menjamurnya kejahatan dan melakukan kerusakan. Umat yang gemar menjadi maling, banyak melakukan pembunuhan. Bahkan dalam banyak kasus pembunuhan sadis justru dilakukan oleh mereka dengan embel-embel Islam, demikian pula berbakat menindas dan memperbudak. Umat yang hanya memikirkan lambung dan memperbesar perut.

Dari kejadian Gufron ini mirisnya kita belum menyaksikan sikap MUI, NU, dan Muhammadiyah. Sementara ceramah bathilnya sudah berseliweran di berbagai platform media sosial. Ada segelintir dari kalangan NU dan Muhammadiyah hanya menyentil sepintas lalu mengingkari kebathilan Gufron. Ada semacam sikap canggung dan gagap yang menghinggapi khususnya NU atas kehadiran Gufron ini sehingga tidak dapat mengambil sikap menyatakan sesatnya ajaran Gufron. Hal ini dikarenakan dalam tradisi Nahdliyin memang tumbuh dengan subur rasa hormat yang besar yang memuliakan para wali, para habib dan orang-orang yang disematkan padanya sebutan Gus. 

Beberapa orang mereka istimewakan lantaran diyakini sebagai wali majdub yang penampilan dan sikap lahiriahnya tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Hanya saja manakala menyaksikan Gufron banyak umat Islam termasuk mereka yang di-tokohkan tampaknya gagap dan linglung akibat praktek-praktek pengagungan berlebihan orang-orang yang diistimewakan telah kerap kali kebablasan. Mungkin saja diantara mereka memandang Gufron ini termasuk wali majdub tapi mereka pun ragu untuk menegaskan sikapnya. Padahal jelas sekali ajaran Gufron ini tidak sejalan dengan akidah dan keseluruhan ajaran dalam Islam. Semakin banyak penyelewengan ajaran Islam oleh orang-orang yang mengatasnamakan dirinya muslim telah mengundang banyak cercaan dari umat beragama lain yang berujung pada tindakan yang merendahkan Islam sungguh telah mencoreng kemuliaan Islam. 

Manusia modern yang hidupnya gandrung dengan kemasyhuran menjadikan apa saja sebagai instrument untuk membesarkan dirinya meskipun harus menukar akal sehatnya dengan kotoran dan bau busuk bangkai. Mereka bangga mengiklankan kebodohan dan kesesatannya dengan rasa gembira. Sungguh kita sudah tiba pada era generasi atau fase keempat seperti yang dinukilkan oleh Ibnu Khaldun bahwa generasi keempat adalah generasi perusak. Kesesatan dan pembodohan datang secepat kilat sementara fase kesadaran tertinggal terlampau jauh untuk mengimbangi kesesatan, merawat keparahan moralitas dan kejatuhan intelektualitas umat ini.**

Senin, 17 Juni 2024

Bobroknya Masyarakat Kita

Bobroknya Masyarakat Kita

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Banyak orang dengan bara semangat yang bergolak hebat menjadi ini-itu tidak lebih sekedar untuk mencari simbol, membangun simbol-simbol. Sementara sisanya lebih pada soal eksistensi belaka. Sedikit sekali diantara generasi yang ada kini berupaya membangun substansi, pembangunan kesadaran dengan membumikan literasi di kiri-kanan masyarakatnya. Lain lagi masalahnya di wilayah kepemimpinan, tidak seperti sebagian orang yang hobi mengatakan "jaga persatuan" sementara mereka tak paham dengan apa yang mereka ucapkan. Sejak puluhan tahun lalu Syafruddin Prawiranegara dengan gelar kemasyhurannya dalam ingatan sejarah bangsa ini "Sang PenyelamatRepublik" dalam bukunya "Agama dan Bangsa" beliau katakan pada kita, "mereka yang suka mengatakan jagalah persatuan sesungguhnya merekalah yang tidak pandai menjaga persatuan itu !".

Mengapa kita susah bersatu ?

Jawaban atas pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diketengahkan. Jika kita bicara takdir Allah maka jawabannya sudah cukup dengan mengatakan "apa saja yang terjadi di dunia ini sudah menjadi sunnatullah, semuanya telah tercatat dalam kitab yang agung yakni Lauh Mahfudz". Tapi apakah kita selesai sampai disitu saja ?, tentu saja tidak. Jika apa-apa saja yang terjadi kita kembalikan bahwasanya semua itu sudah menjadi takdir Allah belaka, maka dikhawatirkan kita terjebak kepada sifat lemah dan tidak mau berjuang. Padahal Allah sudah menegaskan: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia" (Q.S. Ar-Ra'd: 11). 

Meyakini segala sesuatu yang terjadi adalah takdir Allah sudah menjadi keharusan bagi setiap mukmin. Tapi Allah memberikan kita akal, hati, inderawi untuk memikirkan dan berikhtiar agar kita mengupayakan kebaikan bagi kemaslahatan umat, masyarakat dan bangsa ini. Apakah kita menjadi lemah dan berputus asa melihat carut marut kehidupan yang kita saksikan saat ini, apakah kita akan menjadi apatis dan tidak mau berjuang, ataukah kita akan berupaya sekuat tenaga memperbaiki sengkarut keadaan ini. 

Semuanya kita yang tentukan. Untuk itulah Allah berikan kita akal, hati dan inderawi sebagai alat bagi kita untuk menghadirkan sebanyak-banyaknya kebaikan di tengah kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbangsa dalam rangka pengabdian kepada Allah. Sebagaimana fiman Allah, "Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku" (QS. adz-Dzariyat: 56). Masih pada upaya mencari jawaban atas pertanyaan di atas. Saya tidak menemukan jawaban yang lebih tegas melainkan jawabannya adalah pendidikan. Bagi para peneliti atau pemerhati pendidikan di negeri ini tentu mereka sangat menyadari betapa pendidikan itu menjadi faktor paling penting penentu jatuh bangunnya suatu peradaban. 

Pendidikan bukan hal yang dapat dipandang enteng sambil lalu saja. Pendidikan ini soal yang sangat fundamental dan menentukan arah suatu masyarakat maupun bangsa. Menjadi masyarakat yang tertinggal, kolot, bodoh, miskin, lemah, masyarakat yang mudah dipecah dan dikotak-kotakkan atau menjadi masyarakat yang terbuka dan tercerahkan pikirannya, masyarakat yang cerdas, agamis, kuat, masyarakat yang sadar jati dirinya semuanya ada pada pendidikan. Semakin bagus kualitas pendidikan semakin baik kualitas masyarakatnya. Sementara orang mungkin bertanya apa hubungannya pendidikan dengan masyarakat. Jelas sangat berkaitan. Pendidikan berbanding lurus dengan kondisi masyarakat. Jika pendidikan rusak, salah urus, tidak diurus serius maka sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan itu adalah takdir atau nasib masyarakat bahkan peradaban suatu bangsa. 

Masyarakat yang buruk, bodoh, masyarakat yang mudah dipecah-belah adalah cerminan dari buruknya kualitas pendidikan. Pendidikan yang buruk tidak berefek apapun terhadap perbaikan pola pikir maupun mentalitas masyarakat. Hari ini pendidikan kita bermasalah, institusi pendidikan berubah menjadi industri kapitalis, dijadikan lahan bisnis yang eksploitatif dan menindas, industri yang memperkaya elit para pengurusnya, rumah tua yang hanya memproduksi para sarjana yakni orang-orang dengan sederet gelar diatas kertas yang tidak punya motivasi dan kualitas, bukannya mencetak para cendekiawan yaitu orang-orang yang mumpuni dalam penguasaan keilmuan menjadi orang-orang yang ahli di bidangnya. 

Proses seleksi masuk perguruan tinggi yang demikian ketat hanya akan menghilangkan kesempatan orang-orang dengan potensi yang memadai untuk mendapatkan pembelajaran demi meningkatkan kualitasnya. Sebaliknya terlalu memudahkan bahkan terkesan tanpa proses seleksi sama sekali juga hanya akan menghasilkan para sarjana yang tidak berkualitas. Institusi pendidikan itu dibentuk tidak untuk mencetak para sarjana, tetapi mencetak para ilmuan, para cendekiawan, orang-orang yang mumpuni dalam penguasaan suatu bidang keilmuan agar siap berkontribusi untuk memperbaiki keadaan masyarakat, bangsa dan negara. Ini yang tampaknya tidak lagi dipahami. Banyak hari ini perguruan tinggi baik berupa sekolah tinggi maupun universitas didirikan tak punya paradigma yang jelas, tak punya prinsip yang jelas hanya berfungsimemproduksi para sarjana, bukan para ilmuan. 

Hari ini para sarjana sangat ramai berserakan di masyarakat kita. Banyaknya perguruan tinggi yang didirikan meluluskan ribuan orang dalam setahun telah berlangsung selama puluhan tahun. Jumlah ini akan terus bertambah dan semakin tidak terhitung banyaknya. Orang-orang yang tidak punya motivasi, kerisauan dan kepedulian sosial tumpah ruah di masyarakat kita. Kita bertanya, apa yang diinginkan dengan banyaknya para sarjana itu ?. Perguruan tinggi hari ini-tanpa mengeneralisir-hanya menghasilkan para sarjana bukan para ilmuan sebagaimana yang telah disebutkan. Ada kesenjangan yang sangat besar kita perhatikan bahwa seseorang dengan sederet gelar akademik yang banyak tetap saja tidak selalu mencerminkan kualitas intelektualnya sama sekali. 

Artinya antara gelar dengan ilmu tidak berbanding lurus. Sehingga kita melihat gelar itu pada akhirnya tidak lebih hanya sekedar syarat administratif untuk diterima bekerja atau untuk mendapatkan suatu jabatan baik yang berorientasi uang maupun popularitas belaka. Bahkan gelar itu dipahami hanya untuk mempertinggi status sosial untuk mencari simpati dan mengharapkan respek dari masyarakatnya. Seakan dengan memiliki gelar sudah cukup menjadikan para pemuja gelar itu dalam pandangan masyarakat dianggap sebagai orang yang hidupnya lebih baik, maju, sukses dan lain sebagainya. 

Padahal tanggung jawab yang melekat pada gelar itulah yang paling penting bahwa melekat kewajiban moral dan intelektual yang besar untuk memperbaiki keadaan masyarakat dalam banyak aspek. Bagian substansial itulah seperti tak pernah dipahami. Masih saja banyak orang terlihat membanggakan diri dengan gelar yang sedemikian banyaknya meskipun kualitas mereka anjlok. Banyaknya aneka ragam gelar yang merepresentasikan berbagai bidang keilmuan justru membuat banyak orang dalam hal keilmuan tidak ada satupun yang tuntas. Itulah sebabnya hendaknya antara gelar-gelar itu mestinya selaras tidak melompat ke berbagai bidang.

Ramainya para sarjana yang minim motivasi kemasyarakatan, yang punya kesadaran memperbaiki masyarakatnya tidak saja karena mereka produk pendidikan yang gagal di perguruan tinggi. Tetapi masalahnya dimulai dari salah urusnya sekolah. Manajemen pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas yang buruk menjadi fase pertama lahirnya para lulusan yang minim motivasi mau menjadi apa mereka di masa yang akan datang. Keadaan ini terbawa sampai para alumni sekolah menengah atas itu menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Saya kira mengenai hal ini terlalu panjang jika harus di bahas semuanya satu persatu. 

Masyarakat yang tercerai berai 

Akibat dari salah urusnya institusi pendidikan menghasikan produk pendidikan yang buruk dan rusak. Jika mereka menjadi pejabat yang ada dalam kepalanya hanyalah uang atau kekayaan, fasilitas, penghormatan, nama besar atau popularitas, dan status sosial yang tinggi. Begitulah mereka memandang jabatan. Orang seperti ini bawaannya arogan (merasa sudah sangat besar, sangat tinggi, sangat berkuasa), rakus, suka menindas dan memperbudak. Masih ditambah lagi kebijakannya memecah-belah, anti pikiran, dan tidak sungkan menyebarkan pembusukan yang masif terhadap orang-orang yang dianggapnya mengancam kewibawaan sebab sikap kritisnya atau sebab kualitasnya lebih baik. 

Jika jabatan-jabatan di birokrasi dipegang oleh orang-orang yang buruk dan rusak seperti itu maka penuh sesaklah birokrasi itu dengan praktik kotor, korupsi, penyuapan, manipulasi, perlombaan mempertinggi gaya hidup dan lain sebagainya. Pada sisi yang lain lagi, mereka produk pendidikan yang buruk dan rusak dalam pergaulan di tengah masyarakat perilakunya suka membuat kegaduhan, membusuk-busukkan orang lain, menggunjing, menyebarkan aib, memecah-belah dan lain sebagainya. Akhirnya di lingkungan masyarakat manapun dapat kita jumpai bahwa orang-orang yang buruk, rusak, bodoh, arogan dan bebal ini mendominasi dan jumlah mereka semakin bertambah banyak. Keberadaan mereka ini dimana saja hanya menjadi racun yang meracuni kehidupan, merusak pola pikir, menanamkan kebodohan pada banyak orang, menyebarkan kebencian dan menciptakan permusuhan. 

Ditambah lagi hampir tidak adanya sikap saling menghargai, kurangnya adab diantaranya suka menyela pembicaraan, meremehkan pendapat orang lain, menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dan lain sebagainya. Rendahnya kualitas intelektual sering kali berdampak terhadap kejatuhan akhlak. Inilah yang membuat bobroknya masyarakat kita dan sebagai jawaban mengapa sulitnya kita bersatu. Masalah yang disebutkan di bagian akhir ini hanya akumulasi. Adapun akarnya atau sumbernya adalah pendidikan, terletak pada pengelolaan pendidikan. Akhirnya keadaan yang buruk ini menjadikan kita terus-menerus terpecah sebab ramainya danbetapa mendominasinya orang-orang bodoh lulusan institusi pendidikan itu melakukan kerusakan-kerusakan.

Menemukan Kembali Spirit Persatuan Kita

Menemukan Kembali Spirit Persatuan Kita

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

"Generasi umat ini takkan terbaiki kecuali dengan faktor yang memperbaiki generasi awalnya", demikianlah nasehat Imam Malik bin Anas salah seorang tabi'in senior yang menjadi bagian dari 3 generasi umat terbaik sebagaimana sabda Rasullullah, "khoirunnasi qorni tsummalladzina yaluunahum tsummalladzina yaluunahum", yang berarti sebaik-baik manusia ialah mereka yang hidup dalam kurunku, kemudian setelahnya, lalu setelahnya. Faktor yang memperbaiki generasi awalnya tidak lain adalah tauhid yang kuat, keistiqomahan beribadah dan ukhuwah islamiyah yang kuat. Hadits ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an: "Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta`murụna bil-ma'rụfi wa tan-hauna 'anil-mungkari wa tu`minụna billāh", yang berarti: Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali-Imran:110). 

Dari sepotong ayat tersebut mengertilah kita bahwa terkandung 3 syarat untuk menjadi umat terbaik, yaitu: menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Para ulama berkeyakinan bahwa umat terbaik tersebut tak lain adalah 3 generasi terbaik yang hidup semasa dan setelah Rasulullah yaitu generasi sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Namun 3 syarat tersebut masih tetap terbuka bagi generasi umat Islam setelahnya untuk menjadi umat terbaik selama memenuhi kaidah Al-Qur'an tersebut. 

Dahulunya di bawah naungan keistiqomahan ber-Islam, umat Islam mengalami masa-masa persatuan dan persaudaraan yang luar biasa kuat sehingga mampu mewarnai dunia dengan warisan peradaban yang bernilai tinggi selama berabad-abad lamanya. Fase daulah Ummayah, daulah Bani Abbasiyah hingga kesultanan Turki Utsmani bukti betapa Islam menciptakan peradaban besar yang gemilang saat dunia Barat di fase titik terendah dalam sejarah umat manusia akibat otoriterianisme gereja di Eropa yang alergi pada perkembangan ilmu pengetahuan hingga memusuhi dan menghukumi secara bengis para ilmuwan dan para pemikir. 

Zaman ini di Eropa disebut abad kegelapan (Dark Age) yang menjadikan Eropa kolot, terbelakang, dan kotor. Namun seiring bertukarnya zaman dan kelahiran generasi baru yang menggantikan generasi lama, persatuan yang luar biasa kokoh itu mulai melemah, meredup dan bahkan lenyap ditelan gelapnya perpecahan dari dalam ditambah invasi militer dari luar yang berupaya melumat kekuatan kaum muslimin, menguasai dan merebut kembali wilayah yang telah dimakmurkan oleh umat Islam dengan kearifannya, keadilannya dan toleransinya yang tinggi yang belum pernah ada dalam sejarah peradaban umat lainnya. Jauhnya umat ini dari agamanya (Islam), berpalingnya umat dari tradisi keilmuan, bergeser menjadi umat yang menggemari nyanyian yang melenakan. 

Dalam sejarah yang mengiringi kejatuhan peradaban islam, munculnya Ziryab murid Ibrahim al Maushili misalnya, menjadi faktor sekaligus simbol yang memalingkan umat dari majelis ilmu kepada musik dan nyanyian yang melemahkan spirit menuntut ilmu dan menurunkan mentalitas berjuang merupakan salah satu sebab yang paling besar pengaruhnya atas jatuhnya peradaban Islam di Andalusia (Spanyol, Portugal dan Selatan Prancis) yang telah berdiri dengan megahnya selama 8 abad dari 711-1492 Masehi. Maraknya kezhaliman penguasa, kelobaan pada materi yang menggurita, merajalelanya kemaksiatan dan terpecahnya daulah kedalam negeri-negeri akibat ambisi berkuasa menjadi faktor yang menginisiasi kejatuhan kekuasaan pemerintahan Islam sekaligus menandai kehancuran peradabannya. 

Sejak dari perisitiwa ini umat Islam di berbagai negeri kehilangan persatuannya dan spirit keber-Islamannya. Hingga peradaban barat menggantikan dominasi atas dunia, menyebarkan ajaran dan gaya hidup barat yang liberal dan netral agama. Peradaban barat yang dibangun diatas kebebasan dan netral agama tak lain imbas dari konfrontasi yang panjang dengan rezim gereja di abad pertengahan. Pentingnya mentadabburi sejarah sebagaimana telah digariskan dalam Al-Qur'an: "maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir" (Q.S. Al-A'raf: 176). Atau sebagaimana nasehat Sa'ad bin Abi Waqqash pada anaknya: "wahai anakku, sejarah itu adalah warisan dari nenek moyangmu, maka jangan sekali-kali engkau menyia-nyiakannya" (diabadikan dalam Kitab Al Jami li Akhlaq Ar Rawi wa Adab As Sami', dinukil dari Edgar Hamas dalam "The Untold Islamic History #2 Mengungkap Kisah Sejarah Islam yang Lama Terpendam). Setelah lama umat ini kehilangan persatuan. 

Maka dari mentadabburi sejarah penting bagi kita untuk menemukan kembali spirit persatuan yang telah lama hilang itu. Di bawah naungan nation state (negara bangsa) dan nasionalisme sebagaimana nasionalisme yang dilafadzkan oleh H.O.S Tjokro Aminoto bahwa nasionalisme tidaklah mencampakkan ruh Islam dalam bernegara, diatas nasionalisme itulah kita mesti menemukan kembali puing-puing spirit persatuan kita, menyusun dan merekatkannya lagi untuk menaikkan kembali wibawa Indonesia di mata internasional sebagaimana di tangan founding fathers dahulu negeri ini disegani asing dan tokoh-tokohnya dihormati di kancah politik bahkan forum keagamaan internasional. 

Namun dari manakah kita akan memulainya, jawaban atas pertanyaan ini tidak lain adalah dengan membiasakan sholat berjamaah di masjid. Sholat adalah ibadah pertama dalam risalah Islam, sholat adalah tiang agama, mendirikan sholat maka mendirikan agama dan meninggalkannya berarti meruntuhkan agama. Persatuan umat Islam diawali dengan sholat. Sholat bukan hanya sebentuk wujud penghambaan diri makhluk secara total pada sang khalik. Tetapi sholat memiliki dimensi sosial politikyang fundamental terhadap persatuan kaum muslimin. Sebaik-baik sholat ialah yang dikerjakan berjamaah. Makmum adalah rakyat dan imam adalah pemimpin yang ditunjuk melalui mekanisme syuro dari orang yang paling fasih bacaannya, ia disukai rakyat dan mengerti kondisi rakyatnya. 

Demikianlah dasar-dasar persatuan dan kepemimpinan diletakkan dan diajarkan dalam Islam melalui praktik peribadatan sholat berjamaah. Ada makmum yang mentaati Imamnya, dan Imam yang berlapang dada menerima kritik dan saran dari makmumnya serta memahami permasalahan dan kondisi makmumnya menciptakan masyarakat dan negeri yang solid, negeri yang utuh dan negeri yang baldathun thayyibatun warabbun ghafur. Melalui momentum Ramadhan 1444 H inilah hendaknya menjadi kesempatan bagi kita semua tidak terkecuali bagi diri saya untuk berbenah diri. 

Hendaknya kita belajar membiasakan sholat berjama'ah di masjid seraya memperbaiki perilaku kita ke arah yang sejalan dengan koridor syari'at guna menemukan kembali spirit keber-Islaman kita, dan spirit persatuan kita yang telah lama hilang di makan zaman. Umat ini hanya akan bangkit dan bersatu jika sholat subuhnya sudah kembali ramai seperti sholat hari rayanya. Lalu ciri kebangkitan itu akan terus terlihat dengan berpalingnya umat dari tradisi, gaya hidup, pola pikir barat yang liberal dan sekuler, individualis dan hedonis menuju kegandrungan pada tradisi keilmuan, menghidupkan kembali majelis ta'lim sebagaimana dilakukan para pendahulu kita di masa kejayaan Islam.

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Oleh: Syahdi (Pemerhati Hukum Tata Negara) Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh ...