Sabtu, 24 September 2022

Membumikan Pemilu yang Demokratis

Membumikan Pemilu yang Demokratis 

Oleh: Syahdi

(Pemerhati Hukum dan Konstitusi)

Pemilihan umum seperti telah mafhum dalam konstitusi kita sebagaimana termaktub pada Pasal 22E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Kalaulah kita ingin menerjemahkan hakikat daripada defenisi tersebut tentu  kita akan memahami bahwa di dalamnya terdapat harapan besar untuk perbaikan kondisi yang fundamental bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa pemilihan umum tersebut harus benar-benar mengurat dan mengakar dari aspirasi rakyat yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dalam ekonomi, politik, pemerintahan. Bahkan seluruh aspek dalam kehidupan bernegara dipertaruhkan dalam pemilihan umum.

Sebab itu pemilihan umum harus benar-benar bersih dari penyuapan, rekayasa, tipu muslihat. Empat tujuan bernegara sebagaimana disebut di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial semuanya bertitik tolak dan ditentukan dari mekanimse dan penyelenggaraan pemilihan umum. Karena itulah pemilihan umum yang demokratis dan transparan, yang bersih dan konstitusional, yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, moral dan sosiologis merupakan keharusan untuk dilaksanakan. 

Regulasi pemilihan umum terutama sekali di tingkat undang-undang harus benar-benar menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi dan melibatkan sebesar-besarnya partisipasi masyarakat agar pemilihan umum tersebut memang dimaksudkan dan diarahkan pada terwujudnya pemerintahan yang stabil, intelektual, yang peduli pada perbaikan kondisi masyarakat yang merindukan keadilan, pemerataan kesejahteraan dan lain sebagainya. Harapan pada hal tersebut sangat besar dan merupakan hal yang sangat wajar pula mengingat betapa bermasalahnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita dalam beberapa tahun belakangan. Ada kesenjangan yang besar antara penguasa dengan rakyat dalam banyak aspek. Bertambah kaya dan sejahteranya para pejabat dengan pemilikan aset yang besar di satu sisi sementara semakin melaratnya rakyat dengan sumber pendapatan yang seadanya, dengan beban kehidupan yang besar, semakin mahalnya harga kebutuhan pokok di sisi lain yang semua itu dirasakan menjadi masalah paling besar. 

Ditambah lagi komunikasi penguasa kepada rakyat yang kerap kali arogan, anti kritik, dan bebal semakin memperparah kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara.  Sebab pemilihan umum pada dasarnya merupakan proses penggantian pemerintahan, ia merupakan seperangkat mekanisme pengisian jabatan pemerintahan di poros kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bayangkan jika tidak ada pemilihan umum maka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan tidak memiliki legitimasi. Hal itu akan berdampak berdirinya suatu pemerintahan yang sewenang-wenang yang berkuasa tanpa batas, kondisi yang tidak stabil, merebaknya ketidakadilan, penindasan, perbudakan dan suatu negara akan mengalami kerusakan yang sangat parah. Hal itu sebagaimana telah nyata diungkapkan dalam adagium terkenal Lord Acton, "Power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely". 

Sebab itu eksistensi pemilihan umum sangat penting dalam merotasi dan mereformasi penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian tidak dapat tidak pemilihan umum yang demokratis dan konstitusional, yang berkeadilan, yang menjamin aspirasi, partisipasi dan pengawasan serta koreksi masyarakat harus di-"bumi" kan. Dengan kata lain model pemilihan umum yang mencerminkan kehendak masyarakat harus diwujudkan dalam tataran praktik bukan hanya sekedar retorika konstitusional yang menguap di ruang abstrak yang hampa. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sadarlah kita bahwa sesungguhnya rakyatlah yang memiliki kedaulatan untuk menentukan siapa yang akan diamanahkan memimpin, mewakili mereka dalam penyelenggaraan urusan-urusan kolektif. 

Karena itu mekanisme yang rasional, representatif dan akuntabel, serta pengawasan yang kuat harus dilakukan agar pemerintahan yang baru benar-benar murni keinginan rakyat, bukan pemerintahan yang mengorbit karena kecurangan dan pembodohan. Pemilihan umum harus menjadi sarana pendidikan politik yang mencerdaskan rakyat yang membebaskan dari pembodohan. Sebab mutu pemilihan umum bergantung pada mutu rakyat. Semakin cerdas rakyat maka semakin baguslah mutu orang-orang yang dipilih menjadi pejabat. Diantara indikator pemilihan umum yang demokratis yaitu menyerap sebanyak-banyak aspirasi rakyat, mengakomodir sebesar-besarnya partisipasi rakyat, kebijakan regulatif pemilihan umum yang bersifat bottom-up yakni kebijakan yang berakar dari rakyat yang kemudian diformulasikan kedalam regulasi. 

Bukan kebijakan yang top-down yaitu dibentuk sepihak lalu dipaksakan pemberlakukannya. Kebijakan yang bersifat top-down hanya akan mengakomodir kepentingan para elit politik, oligarki dan kapitalis yang ingin terus menancapkan kekuasaannya sekokoh-kokohnya untuk mengeksploitasi kekayaan alam, mendominasi pasar dan mengambil alih kedaulatan ekonomi, politik dan hukum negara ini. Sekali lagi tidak dapat tidak membumikan pemilihan umum yang demokratis adalah keharusan moral konstitusional para pengambil kebijakan sehingga orang-orang yang menjadi pejabat adalah orang-orang yang cerdas, orang-orang yang dengan good morality mengerti susahnya rakyat, punya kepekaan yang kuat dan dedikasi yang tinggi memperjuangkan hak-hak, harapan rakyat dan loyal kepada rakyat penuh perjuangan memperbaiki kondisi perekonomian nasional, pendidikan, kehidupan kolektif yang rukun, tentram dan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...