Minggu, 15 Desember 2024

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Oleh: Syahdi

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Isu itu muncul karena diucapkan oleh Presiden beberapa hari yang lalu pada HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis 12 Desember 2024. Presiden membandingkan pemilihan seperti praktik di Singapura, Malaysia dan India yang dapat menghemat anggaran sehingga dapat digunakan untuk program lain demi kepentingan masyarakat.

Pemilihan secara langsung oleh rakyat dinilai mahal, menghabiskan banyak biaya. Hanya saja dalam kesempatan tersebut Presiden menyampaikan soal lain yang sesungguhnya jauh lebih problematik dengan mengatakan, "kayak kita kaya saja, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa memperbaiki sekolah, uang yang bisa memperbaiki irigasi". Sebetulnya tidak pada tempatnya hal ini disandingkan dengan pemilihan yang berbiaya mahal. Kendatipun dari pernyataan tersebut terdapat maksud yang amat baik dari Presiden.

Benarkah negeri ini miskin? Ini menjadi pertanyaan kebalikan atau antitesis untuk pernyataan sang Presiden. Kenyataannya sesungguhnya bukanlah demikian. Kalkulasi paling realisitis pernah diungkap oleh Abraham Samad kala menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa andai celah korupsi di sektor pertambangan dapat ditutupi dan dialihkan untuk pendapatan perkapita masyarakat Indonesia maka dapat memberikan gaji puluhan juta perbulan ke masyarakat Indonesia.

Selain itu juga pada Oktober 2013 Abraham Samad mengatakan hampir 50 persen perusahaan pertambangan di Indonesia tidak membayar royalti ke pemerintah yang jumlahnya mencapai 20 ribu triliun. Jika dibagi dengan 241 juta jiwa penduduk Indonesia saat itu maka ditemukan angka pendapatan terendah 30 juta perbulan. Itu disampaikan Abraham Samad dalam dialog kebangsaan dihadapan puluhan ribu buruh di Istora, Senayan, Jakarta. Ironisnya seperti yang diungkap Abraham Samad, mereka tidak membayar royalti karena mereka justru menghabiskan uangnya lebih banyak daripada royalti untuk menyuap oknum aparat.

Dari praktik korupsi di sektor pertambangan kita dapat bayangkan betapa sesungguhnya kesempatan untuk hidup sejahtera di negeri ini sudah dirampas seharusnya seluruh rakyat negeri ini sudah hidup mapan terbebas dari belenggu kemiskinan dari generasi ke generasi. Bayangkan ada berapa banyak lagi uang yang dikorup selain di sektor pertambangan. Andai di sektor perikanan, pertanian, kehutanan, kelautan, perpajakan, dan lain sebagainya tidak dikorupsi betapa rakyat negeri ini sudah selayaknya terbebas dari kemiskinan. Tugas pemberantasan korupsi ini menjadi bagian tersendiri yang harus diurus secara serius oleh pemerintah.

Pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Secara yuridis, pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebelumnya diatur dalam UU No. 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU ini tergolong tragis nasibnya sebab berlakunya cuma 2 hari saja. Disahkan pada 30 September 2014 dan dibatalkan oleh Perppu No. 1 Tahun 2014 yang disahkan pada 2 Oktober 2014. Perppu ini mengubah model atau mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Terjadi penolakan yang meluas sesaat setelah UU No. 22 Tahun 2014 disahkan yang diinisiasi oleh kelompok mahasiswa. Penolakan itu sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbang huruf c Perppu No. 1 Tahun 2014.

Penolakan model pemilihan kepala daerah oleh DPRD waktu itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran praktik jual beli jabatan, pemilihan yang tidak objektif, tidak stabilnya pemerintahan daerah, dan lain sebagainya. Kendatipun kepala daerah itu dipilih secara langsung ataupun oleh Dewan Perwakilan secara teoritis sama demokratisnya. Tetapi kualitas demokrasinya jelas berbeda. Pada pemilihan secara langsung oleh rakyat, rakyat sepenuhnya dapat menggunakan kedaulatannya karena partisipasinya rakyat dapat leluasa menilai, mempertimbangkan dan memilih seseorang dengan objektif menurut hati nuraninya yang dipandang layak dan mampu menjadi kepala daerah. Hal mana tidak dijumpai jika dipilih oleh Dewan Perwakilan.

Jika pemilihan secara langsung dianggap mahal karena menghabiskan banyak biaya dan upaya untuk efisiensi anggaran untuk program yang lebih substansial, maka hal inipun menjadi problematik. Sebab membaca persoalan ini haruslah satu paket dengan pemilihan umum atau pemilu yang dilaksanakan secara langsung yang juga menghabiskan biaya yang sangat banyak. Maka jika hanya fokus pada pemilihan kepala daerah maka sesungguhnya kita belum proporsional menempatkan hal ini sebagai satu rangkaian.

Untuk pemilihan umum, misalnya pemilihan Presiden dimasa orde baru (1967-1998) pengisian jabatan Presiden dilakukan dengan cara dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan UUD 1945 pra amandemen. Di era orde baru, dengan rekayasa sedemikian rupa MPR nyatanya tidak lebih tinggi daripada Presiden sehingga Soeharto dapat terus berkuasa menjadi Presiden hingga tujuh kali pemilihan umum sehingga dirasakan sangat tidak demokratis. Keanggotaan MPR dari utusan daerah banyak diisi oleh orang-orang yang "didudukkan" sang Presiden dengan misi mengamankan pemilu yang terus menerus memenangkan sang Presiden. 

Untuk konteks pemilihan kepala daerah, Pemilihan serentak ini nampaknya diilhami oleh praktik pemilihan umum, dengan kata lain hanya mengikuti pola pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilaksanakan serentak. Sebelumnya pemilihan umum dilaksanakan dua kali dalam lima tahun untuk memilih anggota legislatif pusat dan daerah, lalu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. 

Praktik ini dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan merujuk pada ketentuan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan satu kali dalam lima tahun. Tetapi undang-undang mengatur secara berbeda dan pengaturannyapun dengan dua undang-undang yang berbeda. Untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan UU No. 42 Tahun 2008, dan UU No. 8 Tahun 2012 untuk pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Secara konstitusional, pemilihan kepala daerah secara serentak tidak diatur dalam UUD 1945. Berbeda dengan pemilihan umum pelaksanaannya hanya satu kali dalam lima tahun sebagaimana amanat Pasal 22E UUD 1945 sehingga mengharuskan dilaksanakan serentak. Sementara itu ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengatur bahwa, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tetapi dalam implementasinya pemilihan kepala daerah dilaksanakan serentak berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang ditetapkan dengan UU No. 1 Tahun 2015 menjadi UU sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016. 

Pengaturan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bersifat opsional. Artinya dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan dipilih oleh DPRD. Pembentuk undang-undang mengambil opsi dipilih secara langsung oleh rakyat yang pelaksanaannya serentak bagi kepala daerah yang masa jabatannya selesai dalam waktu yang berdekatan.  Pemilihan secara langsung dan serentak ini sudah cukup efisien ketimbang dilaksanakan secara langsung tapi tidak serentak. 

Jika pemilihan model ini masih dianggap sebagai pemilihan yang mahal sebagaimana disampaikan Presiden maka kita harus mempertimbangkan mudharat yang lebih besar jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Tidak ada jaminan dalam sistem sebaik apapun money politic itu akan hilang. Jika dipilih oleh DPRD yang terjadi hanyalah sentralisasi money politic antar paslon dengan anggota DPRD. Sistem yang baik dan berkualitas jika dilaksanakan oleh aparatur yang tidak berkualitas tetap saja buruk.**

Rabu, 04 Desember 2024

Merasa Besar Tanda Kejatuhan Sudah Dekat

Merasa Besar Tanda Kejatuhan Sudah Dekat

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Hari-hari berganti meriwayatkan banyak problem sosial yang lalu lalang dalam arus media sosial. Periwayatan peristiwa, kabar penindasan, propaganda pembodohan tiba silih berganti bak suburnya cendawan di musim hujan. Masih kuat diingatan kita bagaimana bobroknya sistem pendidikan telah membuat para guru harus diungsikan dari sekolah ke penjara dan menjadikan pendidik sebagai bahan eksperimental yang dramatis. 

Kini muncul pula kejadian menyayat hati seorang pejuang nafkah direndahkan, dihinakan dihadapan keramaian majelis yang dikabarkan majelis sholawatan. Aduhaii.. majelis itu rupanya majelis bangkai yang busuknya menembus hati, merengkuh kemarahan, merobek-robek nurani, muak yang tidak terkira. Seorang staf khusus yang digaji oleh rakyat, seorang yang lebih dikenal dengan sebutan G*s, bukan baru-baru ini saja beliau bersikap pongah dalam pertunjukan akrobatiknya. 

Jika dirunut aksi-aksi degradasi moralnya cukup banyak dan mudah ditemukan di media sosial. Sepertinya di era kebobrokan- kejatuhan akhlak para pemuja popularitas tumbuh dengan keyakinan bahwa agar dikenali dan memiliki banyak pengikut praktik-praktik tercela merupakan cara yang cukup memukau dan memesona bagi mereka yang tebal muka untuk diperagakan. Betapa tidak, di era kebobrokan yang kini melanda, betapapun buruk dan tercelanya seseorang yang membuat kita heran dan tercengang ialah tetap saja mereka yang demikian itu selalu ada saja pengikutnya dan mirisnya lagi dijadikan tokoh sentral di komunitas masyarakat tertentu atau dijadikan publik figur yang diikuti dan dihormati secara total. "Negeri ini pasar murah, apa saja dijual laku ada saja pembelinya", mungkin itulah kata-kata yang tepat menggambarkan keadaan saat ini. 

Laku bukan karena mutunya yang bagus, tapi karena akal yang tidak terdidik telah menjadikan barang-barang yang dijual itu bagaikan berkah yang turun dari langit kilaunya seumpama pahatan emas yang memikat hati. Mungkinkah perasaan merasa besar telah memenuhi hati manusia semacam itu, karena selalu ditempatkan satu langkah di depan satu hasta di atas duduk bak ulama besar panutan umat dengan semarak tepuk tangan dan riuh rendah mereka yang tertawa gembira tidak lebih hanya menyaksikan pertunjukan kebodohan.

Gambaran tentang seorang ayah, dan seorang suami yang terpaksa harus hidup bersusah payah mencari nafkah demi anak istri dan keluarganya tetap makan dengan harapan punya masa depan yang lebih baik. Seorang ayah, suami yang setiap harinya bermandikan keringat dibawah terik matahari yang membakar, kepayahan yang teramat sangat telah membuat kaki dan tangannya kapalan oleh Rasulullah diberi kabar gembira tentang dosanya yang diampuni tentang hisabnya yang mudah dan tentang keutamaannya daripada menggantungkan hidup menjadi peminta-minta, seorang ayah, dan seorang suami itu dihinakan oleh dia yang ditokohkan, oleh dia yang dipakaikan jubah kebesaran syari'at kepadanya. 

Sebuah pemandangan yang sangat melukai rasa kemanusiaan, melukai nurani yang terdalam. Tak lain memperjelas kepada kita bahwa ia dan kebesaran yang dipasangkan kepadanya hanyalah sebagian dari tanda-tanda kejatuhan yang sudah semakin dekat. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu (Q.S. Al Hadid: 20). Sungguh amat banyak diantara kita yang lalai, terperdaya dan tersungkur kedalam panggung sandiwara ini. Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan belaka, karenanya jangan sampai kalian ditipu oleh kehidupan dunia (Q.S. Al Ankabut: 64). Sembari mengingatkan diri sendiri kita pun mengingatkan mereka yang terlupa dan perhatian yang telah teralihkan pada kesenangan duniawi.

Apa yang patut dibanggakan dengan pakaian kebesaran yang dikenakan, dengan nama besar, dengan jabatan, dengan kekayaan yang menggunung yang melekat pada diri tetapi tidak berguna sama sekali, tidak mengubah apapun menjadi lebih baik. Jabatan dengan kuasa yang melekat justru dipergunakan untuk menindas dan memperbudak orang lain, menipu orang lain, mengambil hak-hak orang lain dengan zhalim, harta digunakan untuk menghegemoni kaum miskin menjadi lebih melarat dan hidup menderita, ilmu digunakan untuk merendahkan orang lain. Aduhaii.. celaka.. sungguh celaka dan sia-sialah manusia yang hidupnya demikian itu. 

Al Hasan Al Bashry dalam Az Zuhd karya al- Imam Ahmad diceritakan, suatu ketika Umar bin Khattab melewati tempat sampah dan berhenti sejenak disitu, para sahabat beliau merasa sangat terganggu dengan bau dari sampah tersebut. Beliaupun berkata, "seperti inilah dunia yang kalian sangat berambisi padanya". Sungguh amat tegas nasehat sahabat nabi yang agung ini. Namun tetap saja kehidupan dunia ini sangat memukau kesenangan yang melenakan yang menyeret kita semakin menjauh dari era kesadaran.

Seorang ayah, suami yang oleh dominasi kapitalisme dan kedigdayaan korupsi yang menginvasinya dan bangsa ini dipaksa hidup dalam kepayahan yang bertambah-tambah dengan penghasilan yang sangat tidak memadai, seorang ayah memberi makan anak istrinya sementara ia sendiri bertaruh menahan lapar berhari-hari adalah sebuah pemandangan yang jelas benar di mata kita ditengah hiruk pikuk perkotaan.

Andai sektor pertambangan tak dikorupsi elit politik, aktor penguasa, maka setiap orang yang hidup dan tinggal dinegeri ini mendapat bagian tidak kurang 20 juta tiap bulan tanpa perlu kerja apapun. Belum lagi di sektor pertanian, kelautan, perikanan, perpajakan dan lain-lain. Demikian lebih kurangnya dipresentasikan oleh Abraham Samad-mantan komisioner (pimpinan) Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. 

Jadi kemiskinan di negeri ini bukan terletak pada semata-mata pada kurangnya lapangan pekerjaan sebagaimana dikampanyekan orang, juga bukan karena rendahnya kualitas SDM anak bangsa ini yang jika dilihat data dari Badan Pusat Statistik atau BPS akan kita dapati adanya gap yang besar jumlah sarjana dan mereka yang bahkan tidak tamat sekolah menengah atas. Melainkan karena kesempatan untuk hidup sejahtera di negeri ini sudah dirampas oleh para penguasa busuk, segelintir elit politik yang merampok kekayaan sumber daya alam bangsa ini. 

Masihkah kita berani menghina dan merendahkan para pejuang nafkah yang hidupnya lebih banyak menahan lapar dengan tubuhnya penuh dengan bekas penderitaan karena hidup dalam kemiskinan?. Kapankah kita akan sadar dan menghargai betapa berat perjuangan tak bertepi yang dirasakan saudara kita yang didikte oleh para tirani di negeri ini, diperbudak dan ditindas setiap hari.**

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Oleh: Syahdi (Pemerhati Hukum Tata Negara) Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh ...