Sabtu, 23 Agustus 2025

Amnesti dan Abolisi: Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung

Amnesti dan Abolisi: Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung

Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Belakangan ini pemberitaan diberbagai media perihal kebijakan pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden kepada ribuan terpidana menjadi topik pembicaraan yang banyak dibahas dimedia sosial. Disebutkan bahwa Presiden memberi amnesti kepada 1.116 orang terpidana diantaranya termasuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong. Kebijakan inipun direspon dengan berbagai pendapat dari para pengamat, ataupun para pakar. Pasca pemberian amnesti dan abolisi tersebut, media kembali dihebohkan dengan penangkapan terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan beserta beberapa pejabat lainnya dikementerian tersebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan tindak pidana pemerasan pengurusan penerbitan sertifikasi Keamanan, Keselamatan Kerja (K3) sebagaimana diungkap oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, semula biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh untuk memperoleh sertifikat tersebut hanya Rp.275.000 dimark-up menjadi Rp. 6.000.000. Mirisnya lagi, pasca ditangkap Wakil Menteri tersebut dengan rasa percaya diri tampak tidak malu menyampaikan bahwa ia berharap Presiden mau memberikannya amnesti meskipun proses pemidanaannya baru akan berjalan. 

Dasar Konstitusionalitas dan Legalitas 

Secara konstitusional, kewenangan Presiden dalam hal pemberian amnesti dan abolisi diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 bahwa "Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat". Jika ditelusuri alasan Presiden memberi amnesti dan abolisi ialah untuk menjaga keutuhan bangsa, karena terdakwa atau terpidan telah berkontribusi untuk negara, hingga alasan kemanusiaan.

Sementara itu dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi pada Pasal 4 diatur bahwa "semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang temaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dihapuskan. Dengan pemberian abolisi terhadap orang-orang yang termakaud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ditiadakan". Pemberian amnesti dan abolisi dilakukan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat jika tidak dilaksanakan berdasarkan pertimbangan yang objektif akan sangat berbahaya bagi eksistensi negara hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat. 

Mengingat Presiden dan DPR merupakan lembaga politik, berasal dari lingkaran politik yang sama baik pada saat pemilihan umum maupun dalam pembentukan atau pemilihan anggota kabinet pembantu Presiden. Oleh sebab itu tentu semua tindakan atau kebijakan Presiden sarat dengan muatan politik termasuk dalam pemberian amnesti dan abolisi ini. PDIP yang semula diduga akan menjadi oposisi ternyata setelah mantan Sekretaris Jenderalnya (Hasto Kristiyanto) diberikan amnesti oleh Presiden, Megawati selaku Ketua Umum langsung mengajak seluruh kadernya mendukung pemerintahan. Artinya tiada lain ialah instruksi untuk berkoalisi dengan rezim yang berkuasa. Praktis tidak ada satupun partai oposisi dalam rezim ini. 

Pemberian amnesti, abolisi, termasuk pula grasi, remisi, cuti menjelang bebas, semua itu bentuk intervensi eksekutif pada kekuasaan kehakiman (yudikatif) dan sangat rawan disalahgunakan. Pertimbangannya sangat subjektif dan sarat kepentingan politis. Maka dari itu saya sudah menulis dalam buku saya "Amandemen UUD 1945 Upaya Mengokohkan Landasan Konstitusional Dalam Bernegara", dan dalam buku "Format Ketatanegaraan Yang Ideal" bahwa akan lebih baik pemberian amnesti, abolisi, grasi, remisi, cuti menjelang bebas melibatkan peran aktif Mahkamah Agung sebagai penanggungjawab tertinggi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. 

Penting untuk memberi kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menetapkan syarat dan mengevaluasi pemberian amnesti, abolisi, grasi, remisi, cuti menjelang bebas bagi pelaku kejahatan (tersangka, terdakwa, terpidana). Adapun teknisnya masih dapat dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Dengan begitu akan lebih efektif dan berkeadilan. Dalam rangka penguatan kewenangan Mahkamah Agung tersebut maka Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 perlu dilakukan revisi

Revisi Undang-Undang

Mengingat undang-undang ini sudah usang karena pengaturannya yang sangat ringkas dan terlalu sederhana selayaknya menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan akan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. Selain itu perlu diatur batasan cakupan tindak pidana yang hanya dapat diberikan  amnesti dan abolisi. Jika mengacu pada UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tidak ada pengecualian ataupun batasan pemberian amnesti dan abolisi kepada terdakwa atau terpidana. 

Artinya amnesti dan abolisi dapat diberikan kepada siapa saja terdakwa atau terpidana yang melakukan tindak pidana apa saja untuk semua jenis tindak pidana. Saat ini peran Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, Mahkamah Agung hanya sekedar memberikan nasehat tertulis atas permintaan Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum) sehingga belum menempatkan Mahkamah Agung pada posisi yang proporsional. 

Kendatipun pemberian amnesti dan abolisi itu merupakan hak prerogatif Presiden dibidang peradilan, tetapi jika pemberian amnesti dan abolisi semata-mata atas dasar pertimbangan subjektif Presiden yang dalam praktiknya rentan dipengaruhi kepentingan politis terutama untuk pelaku tindak pidana korupsi, maka setiap orang yang diproses pidana atau telah berstatus terdakwa atau telah divonis pidana lalu Presiden membebaskannya dengan pemberian amnesti, abolisi, maka betapa kondisi tersebut sangat melukai rasa keadilan masyarakat dan betapa kekuasaan kehakiman menjadi runtuh wibawanya dan penegakan hukum menjadi sia-sia sebab dengan mudahnya diintervensi untuk membebaskan orang-orang tertentu yang terjerat tindak pidana. Jika amnesti dan abolisi itu diberikan (diobral) secara bebas, sesungguhnya kita sedang menggotong negara hukum ini menuju lubang kubur. jika semua pelaku tindak pidana diberi amnesti dan abolisi, maka penegakan hukum menjadi tidak diperlukan lagi.

Menurut saya kedepan perlu dipertimbangkan undang-undang mengatur bahwa untuk tindak pidana tertentu seperti korupsi, penyuapan, pencucian uang, penghianatan terhadap negara, terorisme, upaya pembunuhan terhadap kepala negara, tindak pidana narkotika utamanya bagi pembuat atau bandar tidak diberikan amnesti dan abolisi. Disinilah komitmen pemberantasan korupsi diuji, dan disinilah komitmen bernegara hukum bahwa kita mengakui supremasi hukum diuji. Kita harus meletakkan komitmen bernegara hukum pada posisi yang tinggi sama tingginya dengan supremasi hukum itu sendiri.

Jika Presiden dengan kewenangan konstitusionalnya yang bersifat prerogatif itu tidak diimbangi melalui penguatan kewenangan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan dan penanggungjawab tertinggi penyelenggaraan kekuasaan kehakikan sebagimana telah dikemukakan, maka Presiden sebagai lembaga politik sangat leluasa dan bebas memberikan amnesti dan abolisi kepada siapa saja tanpa memandang seberapa besar kerusakan atau kerugian yang timbul dari suatu tindak pidana baik bagi negara ataupun bagi masyarakat. 

Keadaan yang demikian itu menempatkan posisi penegakan hukum oleh kepolisian dan kejaksaan pada akhirnya menjadi lemah bahkan hanya akan menyisakan lelahnya saja memproses pidana seseorang yang memerlukan waktu tidak sebentar itu sebab tiba-tiba Presiden membebaskan pelaku kejahatan itu sehingga semua proses pemidananaan harus dihentikan atau ditiadakan. Demikian pula halnya dengan pemberian remisi, apa yang disebut dengan terpidana telah berkelakuan baik selama menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan meskipun dapat dinilai objektifitasnya, tetapi tidak menghilangkan kecurigaan bahkan kemungkinan telah terjadi "patgulipat" dalam pemberian remisi dan cuti menjelang bebas itu. 

Oleh sebab itu Mahkamah Agung perlu dilibatkan secara aktif bukan hanya sekedar memberikan nasehat tertulis kepada Presiden sebagaimana diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Lebih dari itu Mahkamah Agung dilibatkan untuk menetapkan syarat dan melakukan evaluasi terhadap pemberian amnesti, abolisi, grasi, termasuk pula remisi dan cuti menjelang bebas bagi terpidana. Penguatan kewenangan Mahkamah Agung tersebut untuk menjamin bahwa pemberian amnesti dan sebagainya itu benar-benar berdasarkan pertimbangan objektif dan menjamin rasa keadilan tanpa ada manipulasi administratif-prosedural. Jika terdapat pemberian amnesti, abolisi, grasi, atau cuti menjelang bebas yang tidak benar maka Mahkamah Agung dapat mengevaluasinya dengan jalan merekomendasikan pada Presiden untuk mengoreksi dan membatalkan atau menunda pemberian itu semua sampai dipenuhi syarat objektif yang mencerminkan rasa keadilan tanpa ada manipulasi administratif-prosedural. 

Ini merupakan bentuk check and balances yang baik yang perlu diadakan untuk memperkuat sendi-sendi penegakan hukum dan ketatanegaraan. Jika tidak demikian maka pemberian amnesti dan sebagainya itu hanya mempermainkan penegakan hukum, menggembosi penegakan hukum, tidak lebih. Kendatipun demikian kewenangan evaluasi oleh Mahkamah Agung tidak menghilangkan atau mengurangi kewenangan Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi atau dalam pemberian grasi dan rehabilitasi berdasarkan Pasal 14 UUD 1945. Demikian pula tidak menghilangkan kewenangan Lembaga Pemasyarakatan untuk memberikan remisi, cuti menjelang bebas.

Jumat, 15 Agustus 2025

Merdeka -100%: Seremonial Tahunan dan Wacana Kesejahteraan Rakyat

Merdeka -100%: Seremonial Tahunan dan Wacana Kesejahteraan Rakyat

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Jika Tan Malaka berdiri lantang dengan doktrinnya Merdeka 100%, maka sesungguhnya keadaan kita "Republik" yang lahir dari usulan konseptual Bung Tan itu ialah kebalikannya secara sempurna. Negara yang berangsur menua dari tahun ke tahun seakan daripadanya sirna percakapan tentang romantika masa lalu yang menopang bangsa ini dengan kekuatan pikiran, kesederhanaan, keteladanan, keberanian sebagai alat pembebasan. Tentu romantika yang ditaburkan disini bukanlah kita bermaksud hendak meletakkan serapi-rapinya sejarah sebagai kenang-kenangan, ingatan bangsa atau sekedar pengalaman. Lebih dari itu ialah untuk menegakkan maknanya kembali dalam praktik bernegara dan meneruskan spirit kenegaraannya untuk menjawab permasalahan hari ini. Diatas kertas konstitusi tertulis doktrin demokrasi yang menjadi asas dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan sebagai landasan bagi warganegara untuk berperilaku dan berbincang akrab dengan penguasa hingga saat ini kita saksikan benar-benar telah diletakkan pada posisi yang kontra historis yang menyimpang jauh dari sumbu spirit kemerdekaan generasi founding fathers hingga mudah sekali atas setiap pendapat yang berbeda yang diucapkan dalam suasana negara yang mengaku negara demokrasi seketika dapat berubah menjadi delik.

Sabda Konstitusi 

Pembukaan konstitusi masih jelas terpampang daripadanya: "...penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan", atau komitmen konstitusional yang bertuliskan: "...membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya...". Juga jika kita membaca kebagian akhir dari konstitusi kita itu masih terhampar jelas kalimat yang amat menyentuh hati: "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Demikian terurai dalam konstitusi kita apakah ia kita anggap hanya sekedar pepatah, nasehat, atau ungkapan mendalam dari seorang sastrawan kenamaan yang bertaruh rindu pada kekasihnya atau hanya sebatas bangunan mewah intuisinya yang tersibak kekagumannya pada indahnya struktur alam yang tidak berseluk beluk dan tidak pula menyentuh sendi kehidupan sosial politik bangsa kita (?). Saat ini dalam setiap teriakan merdeka itu mestilah kita insyafi benar bahwa disitu ada 23,85 juta orang penduduk miskin (berdasar data Badan Pusat Statistik, atau 194 juta penduduk miskin menurut data World Bank). Dalam teriakan merdeka itu pula ada Rp.7.033,45 T utang luar negeri Indonesia

Pun dalam teriakan merdeka itu juga kita saksikan pendapatan negara disektor pertambangan akibat mewah dan gagahnya korupsi hanya menyisakan Rp.300 T padahal potensi aslinya bisa mencapai 6 sampai dengan 8 kali lipat. Tidak hanya sektor pertambangan, korupsi kini tampil memukau dalam pemberitaan rutin bulanan negeri ini disemua aspek dengan jumlah yang fantastis. Jika dikalkulasikan dan diurutkan berdasar data yang masyhur diberbagai platform media sosial maka kita akan dapati data korupsi di Indonesia yaitu: 

1. Korupsi PT. Pertamina Rp.968,5 T (bahkan ditaksir Kejaksaan Agung mencapai berkali lipat dari jumlah itu)

2. Korupsi PT. Timah Rp.300 T

3. Korupsi BLBI Rp. 138 T

4. Korupsi PT. Duta Palma Rp.78 T

5. Korupsi PT. TPPI Rp.37 T

6. Korupsi PT. Asabri Rp. 22 T

7. Korupsi PT. Jiwasraya Rp.17 T

8. Korupsi Kemensos Rp.17 T

9. Korupsi Sawit CPO Rp.12 T

10. Korupsi Garuda Indonesia Rp.9 T

11. Korupsi BTS Kominfo Rp.8 T

12. Korupsi Bank Century Rp. 7 T

Sampai saat ini deretan kasus korupsi tersebut masih terus bermunculan seperti dugaan korupsi di kemendikbud dan di kemenag. Betapa negeri ini benar-benar diambang keruntuhan yang sulit dibayangkan dan takkan mampu dibendung jika korupsi selalu tumbuh dan menghegemoni negeri ini. Masih dalam teriakan merdeka itu kita menyaksikan anjloknya moralitas para pelajar dan guru serta kenyataan kualitas pendidikan Indonesia tertinggal 128 tahun dari negara maju. Dalam kata merdeka itu pula Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam urusan tarif impor Amerika Serikat. Maka kita harus sangat berhati-hati jika ingin mengucapkan kata "merdeka" itu. "Merdeka" itu bukan kosa kata kosong yang dapat diucapkan serampangan dengan fasih, ia bukan pula sebentuk dekorasi dalam demokrasi. 

Merdeka dan Tragedi

Pada substansinya kata "merdeka" itu mengandung makna yang amat dalam yaitu kehendak lepas dari penjajahan dan perbudakan, perjuangan berdarah-darah menentang kolonialisme, kehendak untuk berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain untuk bercakap-cakap secara humanis dan posisi untuk menentukan nasib suatu bangsa. Saat ini kata "merdeka" tampak hanya tinggal seremonial tahunan yang diperingati dengan sukacita serba retorik seakan tidak berurat berakar. Kata "merdeka" pula diteriakkan dengan gagah bak jiwa kesatria yang menyala membara menyambut kemenangan besar didepan matanya, padahal negeri ini sudah lapuk dan memulai fase keruntuhannya akibat digembosi tikus dan rayap yang tak pernah kenyang. Ada kondisi yang lain dan salah dalam hal cara kita bernegara yang menjadikan peringatan kemerdekaan itu dari tahun ke tahun hanya seremonial belaka tak bersubstansi pada gerakan kepemimpinan prospektif setelahnya, tak lebih hanya momentum penyampaian spirit kebangsaan yang tidak berbekas pada kebijakan nyata, bagaikan drum kosong yang nyaring bunyinya. Tiada lain ialah komitmen yang tidak disertai dengan tindakan nyata, prinsip untuk mengurus negara dan bangsa yang lemah, mentalitas pejabat publik yang lemah mudah disuap.

Hari ini jika kita bicara merdeka apakah indikatornya haruslah menjadi inti dari percakapan rasional dan objektif ketimbang hanya menggebrak-gebrak meja atau menggetarkan podium didepan bangsa ini. Kondisi nyata kemerdekaan kita jika diuji dengan seberapa mandiri dan berhasil pemerintah mengelola sumber daya alam dan mensejahterakan rakyatnya maka akan kita dapati sesungguhnya kita jauh sekali dari kata "merdeka" itu meskipun kita ulangi merdeka itu sampai seribu kali. Jika kita merujuk pada fakta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam menyuguhkan kepada kita sebuah kenyataan betapa Indonesia negara kaya raya. Tetapi membuat kita terperangah justru pendapatan negara terbesar misalnya pada tahun anggaran 2024 tercatat 82,4 % dari pajak dengan angka Rp.2.309,9 T. Sementara pendapatan dari hasil pengelolaan sumber daya alam hanya 7,4 % dengan angka Rp.207,7 T. Menteri keuangan selain rajin berutang ke IMF ataupun Word Bank, dari bulan ke bulan selalu hanya menambahi tarif pajak dan menciptakan berbagai pajak baru untuk mengatasi defisit anggaran.

Korupsi dan Kemewahannya

Apa sebabnya hasil pengelolaan sumber daya alam kita yang kaya raya ini yang kembali ke kas negara hanya Rp.207,7 T padahal potensi aslinya sebagaimana pernah diungkap oleh LSM lingkungan hidup mestinya mencapai 6 sampai dengan 8 kali lipat hingga diperkirakan mencapai Rp.2.000 T. Artinya persentasenya justru dapat menyamai pendapatan dari sektor pajak saat ini. Benar-benar jumlah yang sangat fantastis, sangat besar. Tetapi apa yang terjadi dibalik semua ini sehingga Menteri Keuangan seakan hanya mampu membayangkan dalam pikirannya sumber terbesar penerimaan negara yaitu dari pajak sehingga terus menerus membebani rakyat dengan tingginya tarif pajak dan bermunculannya beragam pajak baru yang menjarah kantong-kantong rakyat. Hal ini terjadi tidak lain ialah sebab politik kebijakan legislasi atau regulasi yang menguntungkan perusahaan swasta asing dan memperkaya mereka selama puluhan tahun yang tak mampu dikoreksi, dibaliknya lagi ada faktor korupsi yang benar-benar menjarah hampir seluruhnya perolehan hasil sumber daya alam negeri ini, menyisakan hanya 7,4% ke kas negara saja. 

Ini bentuk kekalahan telak bangsa ini, betapa saat ini kita harus mengakui merupakan masa-masa jayanya penjajahan dan penindasan terstruktur oleh para mafia dan koruptor yang nyaris tidak tersentuh hukum, mereka itu tidak lain ialah orang-orang yang menjarah bangsa ini yang terpelihara dari rezim ke rezim, elit politik dan pemerintah yang selalu meregenerasi setiap saat merampok kekayaan negeri ini dan menikmatinya dengan gembira diatas penderitaan jutaan penduduk miskin negeri ini. Kenyataan yang lebih menyakitkan lagi ialah bahwa jika sektor pertambangan tidak dikorupsi sebagaimana pernah dikalkulasikan oleh mantan komisioner KPK, Abraham Samad pada 2013 lalu ialah dari hasil pertambangan itu setiap penduduk Indonesia tanpa terkecuali mendapat bagian atau jatah perbulan tidak kurang 20 juta perorang bukan per kepala keluarga. 

Belum lagi jika kita bicara disektor kehutanan, pertanian, perikanan, kelautan jika tidak dikorupsi maka seharusnya Indonesia sudah menjadi negara yang amat kaya raya dan bebas hutang luar negeri sehingga tarif pajak yang memeras rakyat dapat diturunkan dan bermacam-macamnya pajak itu dapat dihapuskan, tidak ada lagi seorangpun penduduk miskin dinegara ini, setiap orang sejahtera hidupnya. Hanya saja kondisi kesejahteraan tersebut akan menjadi ancaman serius dan mematikan para kapitalis dimana perbankannya menjadi bangkrut total, sistem ribanya dalam berbagai sektor ikut runtuh bersamaan sehingga mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi menimpanya. Maka kerusakan yang terjadi pada kita dalam berbangsa dan bernegara satu sisi menguntungkan bagi kapitalis itu dan orang-orang yang merasa nyaman dengan sistem yang buruk.

Kapitalisme dan Revolusi Pendidikan

Jika kita baca perlahan kondisi kita bernegara saat ini, selain karena mentalitas bangsa ini utamanya elit politiknya sangat rendah, satu sisi menjadi sumber pertumbuhan yang menentukan hidup matinya kapitalisme. Artinya semakin bagus mental bangsa ini maka moralnyapun akan bagus, kebijakan pemerintahnya pun akan mengusahakan secara total kesejahteraan rakyatnya, kondisi itu akan mempercepat kapitalisme menemui ajalnya. Sebaliknya semakin rendah mentalitas bangsa ini, maka moralnya pun semakin jatuh dan bejat memunculkan penguasa serakah yang terus menerus memperkaya dirinya, kebijakannya menindas dan menyeret rakyatnya menjadi sangat melarat, dan semua itu semakin membuat kapitalisme tidak tergoyahkan menjadi raksasa kekuatan ekonomi besar yang menghegemoni hingga suatu negara akan bangkrut. 

Tragisnya kondisi kita saat ini berada dilevel mentalitas yang rendah tersebut. Darimana kita akan memulai membenahi kondisi ini maka faktor penyebab merajalelanya korupsi jika kita lacak akar permasalahannya, maka barangkali kita akan menyebut misalnya buruknya regulasi yang menciptakan celah korupsi, lemahnya pengawasan, minimnya kejujuran, gaji yang dipandang masih rendah, lemahnya penegakan hukum, hukum yang tidak tegas, dan lain-lain. Tetapi jika kita berhenti disitu maka semua faktor tersebut belum dapat mengantarkan kita pada akar permasalahan yang sesungguhnya. Faktor-faktor tersebut berkaitan satu sama lain tetapi tidak menjawab inti masalahnya. 

Pelacakan kita jika diteruskan akan tertuju pada salah urusnya pendidikan yang menciptakan generasi pemimpin sosial politik yang bermasalah. Maka yang perlu dilakukan ialah revolusi pendidikan secara total. Pendidikan yang bermutu akan melahirkan generasi yang tidak saja cerdas tapi jujur dan berakhlak mulia. Alumni institusi pendidikan ini yang tercerahkan pikirannya akan memimpin negeri ini dengan kebijaksanaannya dan mensejahterakan bangsa ini. Pendidikan yang bermutu akan menjadi alat pembebas paling penting dan menentukan yang menata ulang arah negara dan bangsa ini, akan menentukan pula tempat duduk pemimpin bangsa ini dalam posisi internasional yang artinya tidak lain posisi negara ini yang sesungguhnya.

Gap atau jurang besar yang menghalangi dan menjauhkan bangsa ini menjadi bangsa yang sejahtera tidak lain ialah kedigdayaan kapitalisme dan rusaknya sistem pendidikan. Jika kita bicara intervensi negara-negara barat maka basis argumennya tidak lain ialah kapitalisme. Senjata ekonomi negara-negara barat untuk menjajah negara yang mentalitasnya rendah, moralnya rendah, dan rusak karena korupsinya ialah kapitalisme perekonomian. Semua kondisi itu menjadikan negara seperti Indonesia tidak punya posisi tawar karena tidak dianggap setara semisal untuk negosiasi tarif impor yang keseluruhan isinya merugikan Indonesia secara total. Kita saksikan betapa Indonesia tidak punya posisi tawar, lain sekali dengan China yang melawan balik Amerika Serikat dengan membalas menaikkan secara berani dan berwibawa tarif impor untuk barang-barang produk AS yang masuk ke negeri tersebut. Dari kebijakan tarif impor AS ini mengukuhkan fakta yang menyayat hati bahwa Indonesia benar-benar tidak lagi memiliki kedaulatan secara ekonomi sekaligus politik, yang artinya Indonesia sudah berada dalam posisi negara jajahan kapitalisme AS. 

Mengherankan sekali pemerintahan tanpa oposisi ini tokoh elit politiknya selalu mengkampanyekan bahwa rendahnya tarif impor AS dibanding negara ASEAN lainnya bentuk "kemenangan negosiasi". Padahal apa yang disebut negosiasi itu jauh sekali dari kebenaran. Bahwa syarat untuk dapat dikatakan negosiasi ialah tercapainya win-win solution, serta adanya kesetaraan posisi pihak negosiator. Hal itu tidak dimiliki sama sekali oleh Indonesia, yang terjadi sesungguhnya hanyalah "penyerahan negeri ini beserta kekayaan alam yang ada didalamnya secara sukarela" kepada AS untuk dijajah secara menyeluruh dengan jalan mempersilahkan kapitalisme ekonomi AS menjajah negeri ini dengan eksploitasi seluruh sumber daya alam secara bebas tanpa batas, negeri yang dahulunya diperjuangkan dengan berkorban darah dan nyawa untuk sebuah proklamasi kemerdekaan dan semua upaya mempertahankannya dalam perjanjian Linggarjati, Renvil, Roem Royen hingga diplomasi KMB di Den Haag, Belanda. Atau ketiadaan posisi tawar Indonesia saat berhadapan dengan kontrak karya dengan Freeport atau Chevron, dan perusahaan-perusahaan swasta asing lain yang telah lama bercokol mengeksploitasi besar-besaran kekayaan alam bangsa ini seraya memperkaya diri mereka dalam perampokan sumber-sumber daya alam yang berlimpah ruah dinegeri ini. 

Setelah menyadari hal itu maka jalan yang harus ditempuh ialah revolusi pendidikan yang dapat dilakukan kedalam beberapa langkah yaitu:

1. Perbaikan kurikulum. 

Kita selayaknya mencontoh praktik penyelenggaraan pendidikan di negara-negara yang pendidikannya maju. Untuk beberapa hal bolehlah kita menyesuaikan dengan situasi ataupun kultur bangsa kita. Beberapa poin yang perlu kita ambil dari negara-negara yang pendidikannya maju itu ialah misalnya: 1). Hapuskan sistem perengkingan sebab sekolah bukan tempat berkompetisi tapi tempat untuk belajar, membentuk akhlak dan menimba ilmu. 2). Tidak membebani siswa dengan pekerjaan rumah. Selayaknya tugas sekolah itu (PR) diberikan pada kelas 4 atau 5 sekolah dasar. 3). Sekolah dasar harus lebih terfokus pada pembentukan karakter, pengajaran dan pengembangan kreatifitas. 4). Penjatuhan sanksi yang mendidik. Cara-cara penjatuhan sanksi ala kolonial yang menganiaya siswa harus dihapuskan diganti dengan cara yang  mendidik. 5). Fokus pada pengajaran berpikir bukan pada sikap penerimaan diri atas semua hal, melainkan siswa diajarkan berpikir kritis berani mempertanyakan kebenaran segala sesuatu. Guru berperan sebagai pembimbing dan pengarah yang mengajarkan berpikir yang benar.

2. Birokrasi yang tidak jlimet, berbelit-belit, kaku. Birokrasi yang berbelit-belit hanya akan mempersulit dan tidak efektif dalam penyelenggaraan pendidikan. Perlu penyederhanaan tetapi tetap terukur.

3. Perketat seleksi guru. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan proses Computer Assist Test (CAT), tapi juga lulus pembinaan dan pelatihan keguruan untuk menyaring agar jangan sampai orang-orang yang bermasalah yang datang dari mentalitas dan moralitas yang rendah atau buruk menjadi guru. 

Guru bukan sekedar profesi, lebih dari itu ialah ujung tombak peradaban. Seseorang yang menjadi guru haruslah orang yang terjaga dan terpelihara mentalitas dan akhlaknya yang baik didalam praktik sekolah maupun diluar saat menjadi orangtua untuk anak-anaknya, atau saat menjadi anak yang berbakti pada orangtuanya, demikian pula saat ia menjadi bagian dari warga masyarakat. Dimana saja ia harus mencerminkan karakter yang baik, hidup bersahaja, sosok yang menjadi sumber motivasi dan menginspirasi dengan keluhuran akhlaknya, pengajarannya yang mencerdaskan dan mencerahkan. Dengan itu semua guru akan berwibawa tidak hanya dihadapan muridnya, tapi juga lingkungannya sehingga guru akan dihargai dan dihormati dikomunitas masyarakatnya. 

Kita tidak akan dengar lagi pemberitaan guru menganiaya murid, melakukan asusila, menghinakan diri dengan joget-joget dan menghiasi ruang-ruang sosial dengan permasalahan pribadi, maupun menjadi sasaran kemarahan banyak orang. Berat, memang berat untuk menyandang status sebagai guru sebab ia penyangga peradaban. Guru dituntut memiliki karakter yang luhur meskipun sifat dasar manusia penuh kekurangan. Tetapi bagaimanapun juga seorang yang telah dengan sadar memutuskan menjadi guru maka ia harus selalu berupaya menjadi sosok yang berkepribadian yang luhur.

4. Pengaturan honorarium guru yang layak. Guru yang dituntut menjadi manusia paripurna tidak akan diperoleh jika ia setiap saat harus menanggung kecemasan dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, anak-anaknya bahkan orangtuanya. Jika tidak diatasi maka guru rentan menyalahi kodrat akademisnya menjadi manusia yang tidak siap menjadi penyangga peradaban. Sebab itu gaji guru harus disesuaikan agar terpenuhi semua kebutuhan dasarnya.

5. Kurangi beban kerja administratif guru. Guru jika dibebani dengan segudang pekerjaan administratif energi dan waktu produktifnya habis terbuang, sisa daripada semangat mengajarnya yang ala kadarnya itu saja yang akan diberikan pada siswanya. Tentu ini sangat tidak efektif, belum lagi dirumah guru-guru itu harus mengurus keluarganya. Waktu membaca dan berkarya guru pun akan terhisap habis untuk hanya menyelesaikan tugas-tugas administratif. Sebaiknya untuk setiap guru disediakan baginya seorang asisten untuk menyelesaikan urusan administratif sehingga tidak mengganggu waktu mengajarnya.

Kendatipun demikian, pembicaraan kita tentang revolusi pendidikan disini sama sekali tidak mengurangi usaha perbaikan pada tataran regulatif terutama pada aspek penegakan hukum, penguatan kewenangan dan independensi lembaga penegak hukum sebagai corong keadilan bukan corong kekuasaan politik. Segala apa yang dipaparkan diatas kiranya ia semata-mata diajukan agar menjadi momentum membangunkan kesadaran bernegara kearah yang lebih baik, bernegara dengan idealisme, bukan sekedar peringatan tahunan yang tidak berarti apa-apa yang hanya mampu berbicara tentang wacana kesejahteraan rakyat.

Amnesti dan Abolisi: Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung

Amnesti dan Abolisi : Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung Syahdi Firman, S.H., M.H ( Pemerhati Hukum Tata Negara ) Belakangan ini ...