Amnesti dan Abolisi: Mendorong Penguatan Kewenangan Mahkamah Agung
Belakangan ini pemberitaan diberbagai media perihal kebijakan pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden kepada ribuan terpidana menjadi topik pembicaraan yang banyak dibahas dimedia sosial. Disebutkan bahwa Presiden memberi amnesti kepada 1.116 orang terpidana diantaranya termasuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong. Kebijakan inipun direspon dengan berbagai pendapat dari para pengamat, ataupun para pakar. Pasca pemberian amnesti dan abolisi tersebut, media kembali dihebohkan dengan penangkapan terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan beserta beberapa pejabat lainnya dikementerian tersebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan tindak pidana pemerasan pengurusan penerbitan sertifikasi Keamanan, Keselamatan Kerja (K3) sebagaimana diungkap oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, semula biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh untuk memperoleh sertifikat tersebut hanya Rp.275.000 dimark-up menjadi Rp. 6.000.000. Mirisnya lagi, pasca ditangkap Wakil Menteri tersebut dengan rasa percaya diri tampak tidak malu menyampaikan bahwa ia berharap Presiden mau memberikannya amnesti meskipun proses pemidanaannya baru akan berjalan.
Dasar Konstitusionalitas dan Legalitas
Secara konstitusional, kewenangan Presiden dalam hal pemberian amnesti dan abolisi diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 bahwa "Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat". Jika ditelusuri alasan Presiden memberi amnesti dan abolisi ialah untuk menjaga keutuhan bangsa, karena terdakwa atau terpidan telah berkontribusi untuk negara, hingga alasan kemanusiaan.
Sementara itu dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi pada Pasal 4 diatur bahwa "semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang temaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dihapuskan. Dengan pemberian abolisi terhadap orang-orang yang termakaud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ditiadakan". Pemberian amnesti dan abolisi dilakukan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat jika tidak dilaksanakan berdasarkan pertimbangan yang objektif akan sangat berbahaya bagi eksistensi negara hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat.
Mengingat Presiden dan DPR merupakan lembaga politik, berasal dari lingkaran politik yang sama baik pada saat pemilihan umum maupun dalam pembentukan atau pemilihan anggota kabinet pembantu Presiden. Oleh sebab itu tentu semua tindakan atau kebijakan Presiden sarat dengan muatan politik termasuk dalam pemberian amnesti dan abolisi ini. PDIP yang semula diduga akan menjadi oposisi ternyata setelah mantan Sekretaris Jenderalnya (Hasto Kristiyanto) diberikan amnesti oleh Presiden, Megawati selaku Ketua Umum langsung mengajak seluruh kadernya mendukung pemerintahan. Artinya tiada lain ialah instruksi untuk berkoalisi dengan rezim yang berkuasa. Praktis tidak ada satupun partai oposisi dalam rezim ini.
Pemberian amnesti, abolisi, termasuk pula grasi, remisi, cuti menjelang bebas, semua itu bentuk intervensi eksekutif pada kekuasaan kehakiman (yudikatif) dan sangat rawan disalahgunakan. Pertimbangannya sangat subjektif dan sarat kepentingan politis. Maka dari itu saya sudah menulis dalam buku saya "Amandemen UUD 1945 Upaya Mengokohkan Landasan Konstitusional Dalam Bernegara", dan dalam buku "Format Ketatanegaraan Yang Ideal" bahwa akan lebih baik pemberian amnesti, abolisi, grasi, remisi, cuti menjelang bebas melibatkan peran aktif Mahkamah Agung sebagai penanggungjawab tertinggi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Penting untuk memberi kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menetapkan syarat dan mengevaluasi pemberian amnesti, abolisi, grasi, remisi, cuti menjelang bebas bagi pelaku kejahatan (tersangka, terdakwa, terpidana). Adapun teknisnya masih dapat dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Dengan begitu akan lebih efektif dan berkeadilan. Dalam rangka penguatan kewenangan Mahkamah Agung tersebut maka Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 perlu dilakukan revisi.
Revisi Undang-Undang
Mengingat undang-undang ini sudah usang karena pengaturannya yang sangat ringkas dan terlalu sederhana selayaknya menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan akan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. Selain itu perlu diatur batasan cakupan tindak pidana yang hanya dapat diberikan amnesti dan abolisi. Jika mengacu pada UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tidak ada pengecualian ataupun batasan pemberian amnesti dan abolisi kepada terdakwa atau terpidana.
Artinya amnesti dan abolisi dapat diberikan kepada siapa saja terdakwa atau terpidana yang melakukan tindak pidana apa saja untuk semua jenis tindak pidana. Saat ini peran Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, Mahkamah Agung hanya sekedar memberikan nasehat tertulis atas permintaan Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum) sehingga belum menempatkan Mahkamah Agung pada posisi yang proporsional.
Kendatipun pemberian amnesti dan abolisi itu merupakan hak prerogatif Presiden dibidang peradilan, tetapi jika pemberian amnesti dan abolisi semata-mata atas dasar pertimbangan subjektif Presiden yang dalam praktiknya rentan dipengaruhi kepentingan politis terutama untuk pelaku tindak pidana korupsi, maka setiap orang yang diproses pidana atau telah berstatus terdakwa atau telah divonis pidana lalu Presiden membebaskannya dengan pemberian amnesti, abolisi, maka betapa kondisi tersebut sangat melukai rasa keadilan masyarakat dan betapa kekuasaan kehakiman menjadi runtuh wibawanya dan penegakan hukum menjadi sia-sia sebab dengan mudahnya diintervensi untuk membebaskan orang-orang tertentu yang terjerat tindak pidana. Jika amnesti dan abolisi itu diberikan (diobral) secara bebas, sesungguhnya kita sedang menggotong negara hukum ini menuju lubang kubur. jika semua pelaku tindak pidana diberi amnesti dan abolisi, maka penegakan hukum menjadi tidak diperlukan lagi.
Menurut saya kedepan perlu dipertimbangkan undang-undang mengatur bahwa untuk tindak pidana tertentu seperti korupsi, penyuapan, pencucian uang, penghianatan terhadap negara, terorisme, upaya pembunuhan terhadap kepala negara, tindak pidana narkotika utamanya bagi pembuat atau bandar tidak diberikan amnesti dan abolisi. Disinilah komitmen pemberantasan korupsi diuji, dan disinilah komitmen bernegara hukum bahwa kita mengakui supremasi hukum diuji. Kita harus meletakkan komitmen bernegara hukum pada posisi yang tinggi sama tingginya dengan supremasi hukum itu sendiri.
Jika Presiden dengan kewenangan konstitusionalnya yang bersifat prerogatif itu tidak diimbangi melalui penguatan kewenangan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan dan penanggungjawab tertinggi penyelenggaraan kekuasaan kehakikan sebagimana telah dikemukakan, maka Presiden sebagai lembaga politik sangat leluasa dan bebas memberikan amnesti dan abolisi kepada siapa saja tanpa memandang seberapa besar kerusakan atau kerugian yang timbul dari suatu tindak pidana baik bagi negara ataupun bagi masyarakat.
Keadaan yang demikian itu menempatkan posisi penegakan hukum oleh kepolisian dan kejaksaan pada akhirnya menjadi lemah bahkan hanya akan menyisakan lelahnya saja memproses pidana seseorang yang memerlukan waktu tidak sebentar itu sebab tiba-tiba Presiden membebaskan pelaku kejahatan itu sehingga semua proses pemidananaan harus dihentikan atau ditiadakan. Demikian pula halnya dengan pemberian remisi, apa yang disebut dengan terpidana telah berkelakuan baik selama menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan meskipun dapat dinilai objektifitasnya, tetapi tidak menghilangkan kecurigaan bahkan kemungkinan telah terjadi "patgulipat" dalam pemberian remisi dan cuti menjelang bebas itu.
Oleh sebab itu Mahkamah Agung perlu dilibatkan secara aktif bukan hanya sekedar memberikan nasehat tertulis kepada Presiden sebagaimana diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Lebih dari itu Mahkamah Agung dilibatkan untuk menetapkan syarat dan melakukan evaluasi terhadap pemberian amnesti, abolisi, grasi, termasuk pula remisi dan cuti menjelang bebas bagi terpidana. Penguatan kewenangan Mahkamah Agung tersebut untuk menjamin bahwa pemberian amnesti dan sebagainya itu benar-benar berdasarkan pertimbangan objektif dan menjamin rasa keadilan tanpa ada manipulasi administratif-prosedural. Jika terdapat pemberian amnesti, abolisi, grasi, atau cuti menjelang bebas yang tidak benar maka Mahkamah Agung dapat mengevaluasinya dengan jalan merekomendasikan pada Presiden untuk mengoreksi dan membatalkan atau menunda pemberian itu semua sampai dipenuhi syarat objektif yang mencerminkan rasa keadilan tanpa ada manipulasi administratif-prosedural.
Ini merupakan bentuk check and balances yang baik yang perlu diadakan untuk memperkuat sendi-sendi penegakan hukum dan ketatanegaraan. Jika tidak demikian maka pemberian amnesti dan sebagainya itu hanya mempermainkan penegakan hukum, menggembosi penegakan hukum, tidak lebih. Kendatipun demikian kewenangan evaluasi oleh Mahkamah Agung tidak menghilangkan atau mengurangi kewenangan Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi atau dalam pemberian grasi dan rehabilitasi berdasarkan Pasal 14 UUD 1945. Demikian pula tidak menghilangkan kewenangan Lembaga Pemasyarakatan untuk memberikan remisi, cuti menjelang bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar