Senin, 24 November 2025

Tragedi Dunia Pendidikan Indonesia


TRAGEDI DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

Bullying atau perundungan ini kasus klasik dan seakan tidak pernah bisa dihilangkan terutama di institusi pendidikan seperti sekolah. Satu sisi ini bentuk kegagalan sekolah, meskipun tidak semata-mata pihak sekolahlah yang harus disalahkan. Sekolah mestinya menjadi tempat yang aman, nyaman, sekolah mestinya menjadi sarana membentuk akhlak yang mulia dan tempat menempa ilmu bagi kelahiran generasi manusia Indonesia yang cerdas. Kasus bullying baru-baru ini yang dialami seorang siswa kelas 6 sekolah dasar di Pekanbaru yang mengakibtkan meninggal dunia hanyalah secuil dari semrawutnya penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Hampir setiap bulan kita disuguhkan beragam peristiwa yang memilukan menimpa institusi bernama sekolah. Tentu saja tanpa menafikan peristiwa yang lebih besar terjadi dalam praktek penyelenggaraan pendidikan tinggi.

PERNAH DIBULLY WAKTU SEKOLAH:

Saya sendiri sewaktu Sekolah Dasar hingga menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama selalu mendapat perlakuan yang kasar dan bengis dari kawan-kawan satu kelas. Hal itu hampir terjadi setiap hari. Selalu menjadi objek atau bahan tertawaan satu kelas. Dipermalukan, dikerjai, direcoki, direndahkan, diolok-olok, bahkan dipukuli/dikeroyok saya mengalami semuanya.

KARAKTER YANG TAK BANYAK BICARA:

Sejak sekolah saya tidak banyak bicara. Lebih suka mengamati dan menganalisa semua permasalahan atau peristiwa yang saya lihat sehingga saya mampu memahami karakter setiap orang dikelas itu, orientasi sosialnya, dan sebagainya. Potensi inilah yang membentuk saya ketika menjadi mahasiswa memiliki kemampuan melakukan analisis hukum yang baik dan cukup mendalam secara sistematis, radikal dan argumentatif, semasa menjadi mahasiswa pula beberapa kali pernah ditunjuk menjadi utusan debat hukum tingkat nasional (di Jambi dan di Batam 2015-2016 lalu), utusan debat hukum tingkat sumatera pada 2015, pemuncak lima tingkat Fakultas Hukum dan Mahasiswa berprestasi dalam lingkup Hukum Tata Negara saat wisuda Strata 1 pada 2017 lalu. Hanya saja dimasa sekolah dahulu orang-orang satu kelas gagal dan gagap menilai saya secara terburu-buru dengan label-label: pendiam, pemalu, penakut, bodoh, dan sebagainya.

TUDUHAN YANG RUNTUH DAN PERUBAHAN BESAR:

Sewaktu Sekolah Dasar hingga menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama saya sering dicap, dilabeli, dituduh sebagai orang yang pendiam, pemalu, penakut, bodoh, dan sebagainya. Padahal saya selalu langganan masuk 10 besar bahkan ketika Sekolah Menengah Pertama kelas VIII semester kedua saya mampu meraih peringkat 5 dikelas. Sebuah perolehan prestasi tertinggi yang pernah saya raih, dan sebuah perolehan yang sudah saya prediksi sebelumnya bahwa saya akan mendapatkannya. 

Saat pengumuman pembagian raport saya duduk paling depan seraya mendengarkan dengan saksama dibacakannya satu demi satu siswa yang memperoleh peringkat 10 besar dimulai dari rangking 10 hingga ke rangking 1. Saat rangking 5 akan diumumkan jantung saya berdebar kencang namun didalam hati saya dengan penuh keyakinan berkata: "yang ini pasti namaku". Dan benar saja rangking 5 itu jatuh pada saya. Sebetulnya tidak ada yang istimewa dengan rangking 5 itu, dan saya sangat menyadari hal ini. Hanya saja yang menjadikan rangking 5 itu terasa istimewa yaitu siswa juara 1 bertahan (yang langganan rangking 1) dikelas jatuh tepat dibawah saya yakni rangking 6.

Hari-hari yang saya lalui setelah penerimaan raport itu berubah drastis. "Peta politik" berubah signifikan. Dahulunya sang juara satu bertahan selalu dielu-elukan, dijadikan rujukan dalam belajar, saat ada PR, atau tugas kelompok mempresentasikan makalah mayoritas mereka berlomba-lomba memilih satu kelompok dengan sang juara satu bertahan. Tapi hari itu, tiba-tiba kelas itu terpecah dua, terjadi polarisasi besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saat ada PR dari guru setengah dari siswa dikelas itu mendekati saya untuk belajar, demikian pula saat ada tugas kelompok setengah dari mereka berlomba ingin menjadi bagian dari kelompok saya, menjadikan saya "kiblat" baru dalam belajar.

Dari sini saya belajar tentang teori konflik. Bahwa untuk "memecah-belah orang" tidak perlu dengan melakukan pembalasan secara fisik saat dibully atau direndahkan, tapi cukup menjadi berprestasi yang terus diusahakan dalam diam sekalipun saat cacian turun lebat seperti air hujan, atau riuh berjatuhan seperti air terjun. Tidak perlu menjadi yang terbaik dengan memperoleh prestasi paling puncak untuk dinilai bersinar, melainkan cukup dengan meningkatkan kualitas diri hingga orang² yang semula menjadi kiblat kehilangan pengaruhnya dalam suasana yang fair, tanpa kekerasan, tanpa provokasi, tanpa fitnah sebagaimana yang pernah saya alami. Tetap tenang, diam, amati, lakukan yang terbaik lalu selesaikan!.

Tidak hanya itu, saya selalu langganan tampil menyampaikan kultum setiap Jum'at dalam kegiatan Rohis disekolah. Saya berceramah/pidato didepan 700-800 siswa pada waktu itu selama 15 hingga 30 menit. Dan yang terpenting tanpa teks. Dan saya tidak pernah "demam panggung". Ini pembeda yang kuat saat siswa lain mengisi kultum mereka selalu membaca teks seraya menggigil. Dari keseringan mengisi kultum itu saya belajar satu hal tentang public speaking. Bahwa untuk mampu dan berani bicara didepan banyak orang kuncinya: tetap tenang, kuasai materi dan permasalahan didalam materi itu, dan tetap menjaga fokus. 

Mungkinkah, siswa atau orang yang dicap pemalu, penakut, pendiam, dan bodoh mampu melakukan itu semua?, Jelas Tidak!. Saat itulah sebetulnya semua tuduhan terhadap saya itu praktis runtuh, hancur tak bersisa seketika. Selain itu setiap ada ulangan, menjawab soal secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya dari guru, saya selalu tenang dengan penuh percaya diri menyelesaikan semua soal dan meraih nilai tertinggi dikelas. Dari sini menguatkan analisis saya bahwa mereka dikelas itu baru hanya akan belajar ketika ada ujian mid semester/ujian semester atau saat diberitahu esok ada ulangan. Sementara saya dirumah setiap hari belajar.

Saat ini kita prihatin ramainya kasus bullying disekolah. Jika kita bicara dunia pendidilan hari ini ada sejuta masalah yang tak terselesaikan. Mulai dari bullying, pelecehan yang melibatkan oknum guru, perkelahian, siswa yang berani menghardik guru, penyelewengan dana bantuan operasional sekolah, sekolah yang tidak menghasilkan generasi yang mampu berpikir hanya generasi penghapal yang tidak punya motivasi hanya generasi bingung yang tidak tau arah hidup kedepan, guru yang tidak mampu menjadi contoh teladan tidak mampu menjadi sumber motivasi dan inspirasi, guru yang disibukkan dengan administrasi, penjatuhan hukuman yang tidak mendidik dan bengis, kualitas siswa diukur dari nilai semua mata pelajaran yang dituntut harus bagus padahal tiap siswa punya potensi pada bidang tertentu saja tapi dipaksa harus menguasai semua materi yang diajarkan, dan lain sebagainya. Praktik semacam ini hampir pasti dapat dijumpai dibanyak sekolah di negeri ini tidak terkecuali di lingkungan perguruan tinggi malahan jauh lebih kompleks, misalnya hanya menghasilkan para sarjana bukan para ilmuwan dan lebih banyak hal yang tidak dapat disebutkan satu demi satu.

Betapa banyak mungkin saja dari korban bullying itu justru punya potensi besar tetapi oleh karena sistem pengawasan yang lemah, dan penyelenggaraan pendidikan yang semrawut dipaksa menanggung takdir yang tidak seharusnya terjadi. Belum sempat menjadi apapun sudah meninggal dunia mirisnya ditangan sesama siswa. Sekolah harus benar-benar berbenah. Kalau kita mau berterus terang dan mencoba mendalami kerusakan besar dalam bernegara hari-hari ini sebagian besar sebetulnya terjadi dari sekolah dan perguruan tinggi yang gagal menciptakan, membentuk, menanamkan akhlak yang mulia. Ada ketimpangan besar, menjadi jurang yang dalam bahwa institusi pendidikan tampak hanya fokus dengan pencapaian dan sangat kurang memperhatikan akhlak yang mulia. Ini menjadi tugas besar dan mendasar yang harus diselesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tragedi Dunia Pendidikan Indonesia

TRAGEDI DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H Bullying atau perundungan ini kasus klasik dan seakan tidak pernah bisa ...