Perihal Diskresi
Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Ini menjadi tulisan saya yang ke-79, saya tulis tentang ini sebab saya melihat telah muncul gejala serius yang berdampak kepada tidak dipatuhinya hukum akibat kekeliruan dalam memahami diskresi. Saya sebagai seorang intelektual punya kebebasan dan tanggung jawab moral untuk menyampaikan persoalan ini. Konstitusi menjamin hak-hak dan kebebasan warga negara menyampaikan pendapat atau pikiran-pikirannya, karena itu tidak seorangpun dapat melarang atau mengintervensi pikiran-pikiran seseorang warga negara untuk disampaikan.
Hari-hari terakhir ini menuju pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019, semarak demokrasi semakin meriah dan menggema kemana-mana. Saya menyimak dengan saksama dan hati-hati dinamika yang terjadi dalam arus pemilihan umum ini. Diantara semarak dan dinamika dalam demokrasi belakangan ini ada suatu hal yang menarik untuk diperhatikan, yaitu soal surat edaran yang dikeluarkan oleh pejabat/lembaga negara. Surat edaran adalah salah satu bentuk dari diskresi, maka untuk membahas soal ini saya jabarkan kedalam beberapa sub pembahasan.
1. Diskresi
Diskresi, dalam bahasa Belanda disebut Beleidsregel. Dalam bahasa Jerman disebut Freies ermessen. Diskresi dalam terjemahan menurut para ahli seperti Prof. Bagir Manan diartikan sebagai peraturan kebijakan yang bersumber dari kehendak bebas, ada pula yang mengartikan wewenang bebas. Bebas yang dimaksud adalah kebebasan pejabat/lembaga negara melakukan penilaian sendiri, kebebasan mempertimbangkan sendiri, kebebasan untuk mengambil inisiatif, kebebasan untuk mengambil keputusan atau kebijakan dalam hal undang-undang atau peraturan perundang-undangan memberi pilihan, memuat norma kabur atau tidak jelas atau recht vacum yaitu sama sekali tidak mengatur persoalan teknis dengan rinci sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan tugas pejabat/lembaga negara menjadi terkendala.
Beleidsregel atau diskresi merupakan wewenang yang melekat pada pejabat administrasi negara. Bentuk diskresi beraneka ragam, dan diskresi ada yang berupa peraturan perundang-undangan ada pula yang bukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sebelum bicara panjang lebar, perlu disampaikan disini bahwa fokus pembahasan adalah diskresi yang bukan berupa peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan saya bahas hanya sepintas lalu saja, saya tidak ingin berpanjang lebar bicara tentang peraturan perundang-undangan, sebab pembahasan khusus soal peraturan perundang-undangan sudah pernah saya tulis sebelumnya. Untuk memudahkan dalam pembahasan ini, Diskresi yang Bukan Peraturan Perundang-undangan saya singkat dengan sebutan DyBP.
Secara umum, diskresi tidak hanya di kenal dalam domain kekuasaan eksekutif, tetapi juga dikenal dalam domain kekuasaan yudikatif. Diskresi dalam domain eksekutif yang berbentuk peraturan perundang-undangan lazim dijumpai seperti Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Gubernur BI, Peraturan Kapolri, Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup), dan Peraturan Walikota (Perwako). Sementara DyBP dalam domain eksekutif yang sering dijumpai adalah Juklak (Petunjuk Pelaksanaan), Juknis (Petunjuk Teknis), Surat, Surat Edaran (SE), Instruksi, Himbauan, Maklumat, Pemberitahuan dan masih banyak nomenklatur lainnya.
Terkait dengan diskresi yang berbentuk peraturan perundang-undangan, penting dijelaskan disini bahwa tidak semua peraturan perundang-undangan adalah diskresi. Peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai diskresi itu hanyalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dalam hal undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya memuat norma yang memberi pilihan untuk mengambil lebih dari satu kebijakan, peraturan perundang-undangan memuat norma kabur atau tidak jelas, terjadi recht vacum pengaturan suatu hal yang bersifat teknis dalam peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan kendala dan ketidakpastian hukum.
Selain atas dasar alasan yang demikian itu maka suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat disebut diskresi, walaupun dikenal ada diskresi yang berupa peraturan perundang-undangan. Kalau dibaca UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka PP dibentuk untuk melaksanakan undang-undang, atau sebagai subordinat legislation (peraturan pelaksana undang-undang), demikian juga Perpres, Permen, Pergub, Perbup/Perwako dibentuk sebagai peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain itu pembentukannya tegas diperintahkan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya selalu dijumpai pasal yang menyatakan "ketentuan lebih lanjut diatur dengan/dalam undang-undang atau dalam PP, Permen dan sebagainya" itu adalah perintah agar pejabat yang bersangkutan membentuk produk hukum dimaksud.
Dengan demikian, dalam hal adanya perintah pembentukan suatu peraturan perundang-undangan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya secara hierarkis maka peraturan perundang-undangan yang dibentuk tersebut bukan diskresi, tidak dapat dikategorikan sebagai diskresi. Tetapi perlu dipahami pula bahwa peraturan perundang-undangan yang bukan termasuk kedalam kategori diskresi kapanpun dapat dibentuk ada atau tidak ada perintah pembentukannya dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Singkatnya, tidakpun ada perintah pembentukannya, peraturan perundang-undangan dapat dibentuk oleh pejabat/lembaga negara yang berwenang.
Selain diskresi dikenal dalam domain kekuasaan eksekutif, diskresi juga dikenal dalam domain kekuasaan yudikatif. Diskresi dalam domain kekuasaan yudikatif seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma), Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Perma dan PMK adalah juga peraturan perundang-undangan, tetapi tidak semua Perma dan PMK adalah diskresi seperti sudah saya jelaskan dimuka. Selain itu, diskresi lainnya dalam domain kekuasaan yudikatif adalah wewenang atau kebebasan melakukan penafsiran hukum (law of interpretation) oleh hakim ketika mengadili perkara.
Ada banyak jenis dan metode penafsiran suatu norma hukum yang dikenal dalam dunia akademik baik dalam mengadili perkara perdata, perkara pidana, perkara administrasi maupun perkara ketatanegaraan seperti penafsiran otentik, penafsiran gramatikal, penafsiran historis, penafsiran sosiologis, penafsiran teleologis, penafsiran ekstensif, penafsiran analogi, penafsiran argumentum a contrario dan lain sebagainya.
Ada banyak jenis dan metode penafsiran suatu norma hukum yang dikenal dalam dunia akademik baik dalam mengadili perkara perdata, perkara pidana, perkara administrasi maupun perkara ketatanegaraan seperti penafsiran otentik, penafsiran gramatikal, penafsiran historis, penafsiran sosiologis, penafsiran teleologis, penafsiran ekstensif, penafsiran analogi, penafsiran argumentum a contrario dan lain sebagainya.
Dari sekian banyak jenis dan metode penafsiran, hakim pada prinsipnya tidak terikat untuk hanya mengikuti jenis dan metode penafsiran tertentu seperti penafsiran otentik saja, atau penafsiran historis dan analogis saja. Hakim bebas menggunakan jenis dan metode penafsiran mana saja. Kebebasan hakim dalam memilih dan menggunakan jenis dan metode penafsiran hukum dalam mengadili suatu perkara itulah yang disebut dengan diskresi hakim.
Wujud konkret dari diskresi hakim tersebut tak lain adalah jenis dan metode penafsiran yang digunakannya. Karena hakim tidak terikat harus mengikuti atau menggunakan suatu jenis dan metode penafsiran tertentu maka diantara hakim akan muncul persepsi yang berbeda dalam menilai suatu perkara yang sedang diadili, sebab antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya menggunakan jenis dan metode penafsiran yang berbeda-beda.
Wujud konkret dari diskresi hakim tersebut tak lain adalah jenis dan metode penafsiran yang digunakannya. Karena hakim tidak terikat harus mengikuti atau menggunakan suatu jenis dan metode penafsiran tertentu maka diantara hakim akan muncul persepsi yang berbeda dalam menilai suatu perkara yang sedang diadili, sebab antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya menggunakan jenis dan metode penafsiran yang berbeda-beda.
2. Kekuatan Hukum DyBP
Dalam sub pembahasan ini saya mempersempit lingkup pembahasan hanya menjelaskan soal kekuatan berlaku mengikat diskresi yang bukan berupa peraturan perundang-undangan (DyBP).
Tadi dimuka sudah disebutkan jenis DyBP yaitu ada surat edaran, juklak, juknis, maklumat, pemberitahuan, himbauan dan nomenklatur lainnya. Prinsipnya, DyBP tidak mempunyai kekuatan berlaku mengikat sebagai hukum atau secara hukum. Karena itu pula tidak ada keharusan untuk dipatuhi dan pihak yang melanggar atau tidak mematuhinya tidak dapat dipidanakan. Mengapa demikian, sebab surat edaran, juklak, juknis, maklumat dan sebagainya itu bukan hukum, bukan peraturan perundang-undangan. Karena bukan hukum, atau bukan peraturan perundang-undangan maka sifat-sifat hukum yang melekat pada peraturan perundang-undangan tidak serta merta melekat pada DyBP.
Sifat dalam peraturan perundang-undangan itu diantaranya yang harus dipatuhi yaitu pembentukannya harus memperhatikan atau mengacu kepada asas-asas yang dikenal dalam ilmu perundang-undangan yaitu lex superior derogat legi inferiori (peraturan hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan hukum yang lebih rendah, peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya), lex spesialis derogat legi generalis (peraturan hukum khusus mengenyampingkan peraturan hukum umum), lex posterior derogat legi a priori (peraturan hukum yang baru mengenyampingkan peraturan hukum yang telah ada sebelum peraturan hukum yang baru itu ada/dibentuk). Masih ada asas lainnya dan hal lain terkait pembentukan peraturan perundang-undangan. Itu dapat dibaca dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sifat dalam peraturan perundang-undangan itu diantaranya yang harus dipatuhi yaitu pembentukannya harus memperhatikan atau mengacu kepada asas-asas yang dikenal dalam ilmu perundang-undangan yaitu lex superior derogat legi inferiori (peraturan hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan hukum yang lebih rendah, peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya), lex spesialis derogat legi generalis (peraturan hukum khusus mengenyampingkan peraturan hukum umum), lex posterior derogat legi a priori (peraturan hukum yang baru mengenyampingkan peraturan hukum yang telah ada sebelum peraturan hukum yang baru itu ada/dibentuk). Masih ada asas lainnya dan hal lain terkait pembentukan peraturan perundang-undangan. Itu dapat dibaca dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Meskipun DyBP tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku mengikat dan kepada pelanggarnya tidak dapat dipidanakan, praktiknya keberadaan DyBP sering kali dirasakan sangat penting manfaatnya, keberadaannya ditunggu dan seakan sudah menjadi kebutuhan sebagai solusi menyelesaikan masalah teknis dalam peraturan perundang-undangan khususnya bagi pejabat administrasi negara yang tingkatannya lebih rendah secara hierarkis dari segi kelembagaan.
Karena itu DyBP tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagi saya tidak ada masalah jika dipatuhi, dipatuhi justru baik tidak ada persoalan. Walaupun kalau dianalisis lebih jauh lagi pentaatan terhadap diskresi di kalangan pejabat administrasi negara sebagian terjadi dilakukan disebabkan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang diskresi, sehingga apapun produk yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi pusat dianggap semuanya adalah hukum atau peraturan perundang-undangan.
Secara a priori dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak tanpa boleh dikritisi karena itu harus dipatuhi, karena jika tidak dipatuhi akan dipidanakan atau setidak-tidaknya akan dikenai sanksi etik. Sedang untuk sebagian lainnya ditaatinya DyBP disebabkan ada kekhawatiran bahwa jika tidak dipatuhi maka akan berdampak pada hak-hak keuangannya, disharmonisasi hubungan dan lain sebagainya.
Secara a priori dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak tanpa boleh dikritisi karena itu harus dipatuhi, karena jika tidak dipatuhi akan dipidanakan atau setidak-tidaknya akan dikenai sanksi etik. Sedang untuk sebagian lainnya ditaatinya DyBP disebabkan ada kekhawatiran bahwa jika tidak dipatuhi maka akan berdampak pada hak-hak keuangannya, disharmonisasi hubungan dan lain sebagainya.
3. Wewenang Bebas yang Terbatas
Diskresi meskipun merupakan wewenang bebas seperti yang saya jelaskan dimuka, tapi tidak berarti bahwa diskresi dapat dibentuk sesukanya, semau-maunya. Sebab Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi sebagai Negara Hukum adalah apapun keputusan hukum atau kebijakan yang diambil oleh pejabat/lembaga negara yang berwenang harus dibatasi oleh rambu-rambu hukum yang jelas dan tegas dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Sebab jika tidak maka stabilitas di masyarakat akan terganggu, pelanggaran hukum dan pelanggaran hak-hak asasi manusia akan marak. Dalam konteks diskresi, rambu-rambu hukum dimaksud dapat dibaca dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, diantaranya tidak boleh bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), larangan bertindak sewenang-wenang baik menyalahgunakan kewenangan atau melampaui kewenangan dikenal juga sebagai doktrin ultra vires, tidak boleh melanggar hak asasi manusia, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Jika rambu-rambu hukum tersebut dilanggar, apakah hak diskresi untuk dipatuhi akan gugur??, saya tidak mengatakan hak diskresi khususnya DyBP untuk dipatuhi menjadi gugur, sebab DyBP bukanlah hukum dalam arti formal. Karena itu DyBP prinsipnya tidak memiliki hak secara hukum untuk dipatuhi, bukan pula saya bermaksud mengatakan bahwa DyBP berarti tidak penting dan dapat diabaikan begitu saja. Walaupun DyBP tidak memiliki hak secara hukum untuk dipatuhi, tetapi pentaatan terhadap DyBP semata-mata di dasarkan atau digantungkan kepada kebutuhan yang muncul dalam praktik.
Tapi harus diingat bahwa jika keberadaan DyBP nyata telah atau justru menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi suatu lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dianggap bertentangan dengan rambu-rambu hukum, maka saya berpendapat DyBP tersebut tidak perlu dipatuhi. Lalu muncul pertanyaan, apakah tidak bijak jika langsung mengambil sikap untuk tidak mematuhi? Mengapa tidak dibawa saja ke pengadilan biar pengadilan yang memutuskan bertentangan tidaknya dengan rambu-rambu hukum?
Tapi harus diingat bahwa jika keberadaan DyBP nyata telah atau justru menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi suatu lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dianggap bertentangan dengan rambu-rambu hukum, maka saya berpendapat DyBP tersebut tidak perlu dipatuhi. Lalu muncul pertanyaan, apakah tidak bijak jika langsung mengambil sikap untuk tidak mematuhi? Mengapa tidak dibawa saja ke pengadilan biar pengadilan yang memutuskan bertentangan tidaknya dengan rambu-rambu hukum?
Dapat saja digugat ke pengadilan, dan selama ini praktik litigasinya digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri. Tapi jika digugat ke pengadilan maka akan memerlukan waktu yang lebih lama, lagi pula yang digugat bukanlah hukum atau peraturan perundang-undangan sementara persoalan dalam praktik yang terkendala akibat pengaturan yang keliru dalam DyBP itu mesti segera diselesaikan. Jadi tidak dibawa untuk diselesaikan ke pengadilan pun DyBP tersebut dapat diabaikan, dan pengabaian seperti itu tidak ada kaitannya dengan kesadaran hukum pejabat/lembaga negara sebagai pihak yang mengabaikan.
Sebab yang diabaikan bukan hukum, tapi peraturan kebijakan dan mengapa dapat diabaikan saya sudah jelaskan di muka. Jadi bukanlah suatu sikap asal-asalan saja mengabaikan peraturan kebijakan itu, melainkan setelah melalui kajian mendalam dengan pemahaman hukum yang relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar