Sabtu, 08 Desember 2018

Seputar KUHAP Bagian Kesatu


Seputar KUHAP

Bagian Kesatu

Oleh: Syahdi, S.H

KUHAP merupakan hukum formil yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan peraturan perundang-undangan pidana sebagai hukum materil. KUHP menjadi tidak ada gunanya, tidak dapat diberlakukan jika tidak dilengkapi dengan KUHAP. 

Beberapa segi dari KUHAP ada baiknya saya kemukakan dalam tulisan ini bertujuan agar masyarakatpun mengetahui bagaimana hukum pidana hadir ditengah pergaulan hidup. Diantara segi KUHAP itu meliputi:

A. Asas-asas

KUHAP memiliki asas-asas penting sebagai patokan dari idealitas norma hukum yaitu:
1. Asas legalitas;
2. Asas diferensiasi fungsional;
3. Asas saling koordinasi;
4. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent);
5. Asas pembatasan masa penahanan;
6. Asas ganti kerugian dan rehabilitasi;
7. Asas keseimbangan;
8. Asas oportunitas;
9. Asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law);
10. Asas peradilan  sederhana, cepat dan biaya ringan;
11. Asas Unifikasi dan kodifikasi;
12. Asas penggabungan Pidana dan tuntutan ganti rugi;
13.Asas peradilan terbuka untuk umum.

B. Penyelidikan.
C. Penyidikan.
D. Penangkapan.
E. Penahanan.

Dalam kesempatan ini pembicaraan kita batasi hanya sampai pada point penahanan. Meski demikian, pembahasan ini tetap tidak dapat ditampilkan dalam satu tulisan sekaligus. Karena itu tulisan ini akan saya buat dalam bagian perbagian, dan tulisan ini adalah bagian pertama. Insya allah akan dilanjutkan pembahasan mengenai hal ini dalam tulisan pada bagian yang kedua, ketiga dan seterusnya.

A.1. Asas legalitas

KUHAP menganut asas ini, mengikuti asas di KUHP.  Di KUHP dapat kita jumpai pada Pasal 1, di KUHAP secara tersirat setidaknya dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (1), ayat (4) bahwa penyelidik dan penyidik diberikan wewenang oleh undang-undang melaksanakan penyelidikan dan penyidikan. 

Semua wewenangnya dijalankan berdasarkan undang-undang seperti UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, KUHAP dan perundang-undangan pidana lainnya yang terkait. Secara umum pada ketentuan umum KUHAP menganut asas legalitas. 

Dapat juga dibaca pada bagian konsideran menimbang pada huruf a KUHAP bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keberadaan asas legalitas ini penting agar Negara tidak sewenang-sewenang sehingga merugikan atau melanggar hak asasi warga negara terutama sekali menyangkut pelaksanaan upaya paksa seperti: penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, pemeriksaan surat. 

Adapun secara keseluruhan agar penyelidik maupun penyidik dalam melaksanakan wewenangnya harus selalu mengacu kepada KUHAP dan perundang-undangan pidana. 
Kesewenang-wenangan seperti pada pengalaman di masa HIR (Het Inlands Reglement) jangan terjadi lagi, dan kesewenang-wenangan itu bertentangan dengan asas Negara hukum yang kita anut.

2. Asas diferensiasi fungsional.

Asas ini menjadikan terang dan menentukan batas-batas yang jelas dengan mempertegas domain wewenang Polri dan Kejaksaan. KUHAP menentukan bahwa Polri sebagai penyelidik tunggal, adapun sebagai penyidik selain dari Polri KUHAP juga memberikan hak penyidikan kepada PPNS dan masih dilengkapi dengan penyidik pembantu (PP No.27/1983). Sedang kepada Kejaksaan, KUHP menentukan bahwa jaksa bertindak sebagai penuntut umum di sidang pengadilan setelah menerima pelimpahan berkas perkara yang lengkap dari penyidik. 

Pemisahan ini dilakukan supaya tidak ada saling overlapp kewenangan antar institusi ini dalam penegakan hukum, sehingga mengacaukan, membuat rumit proses penegakan hukum, dan yang pasti sangat merugikan hak-hak tersangka/terdakwa, keluarganya serta memburukkan citra penegakan hukum di Negara kita. Karena itu hadirnya asas diferensiasi fungsional ini maka kepastian hukum dalam prosedur dapat diwujudkan.

3. Asas saling koordinasi.

Asas ini menekankan adanya saling kerjasama dan sistem checking diantara penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim termasuk pula pihak Lembaga Pemasyarakatan jika putusan hakim berupa pemidanaan. Wewenang penyelidik dapat dikatakan sama dengan wewenang penyidik (lihat Pasal 5 dan Pasal 7 KUHAP) tetapi khusus untuk upaya paksa, penyelidik baru dapat melakukannya jika mendapat perintah tertulis dari penyidik. 

Ini keharusan yang tidak boleh dilanggar. 
Disini sudah tercermin adanya asas saling koordinasi. Begitupula antara penyidik dan penuntut umum. Jika penyidik menilai bahwa berkas perkara yang ada padanya telah lengkap maka penyidik dapat langsung menyerahkannya kepada penuntut umum, tetapi jika penuntut umum berpendapat sebaliknya maka berkas itu dikembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjuk/penjelasan dari penuntut umum untuk segera dilengkapi kekurangannya selanjutnya setelah lengkap baru diserah kembali kepada penuntut umum. 

Atau dalam hal penyidik menghentikan penyidikan dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh penuntut umum, sebab seharusnya dilimpahkan saja berkas penyidikan itu kepada penuntut umum biar penuntut umum yang menilai layak atau tidaknya untuk diteruskan dan dibawa kehadapan sidang pengadilan. Maka dalam hal itu penuntut umum dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepada penyidik dapat mengajukan permohonan pra peradilan. 

Demikian juga sebaliknya bila berkas dari penyidik dihentikan penuntutannya oleh penuntut umum sebelum di limpahkan kepada pengadilan, maka penyidik dalam rangka checking dapat mengajukan permohonan pra peradilan. Ini semua menandakan adanya asas saling koordinasi dan sistem checking antar institusi penyidik Polri dan penuntut umum (Kejaksaan). 

Demikian juga dengan PPNS pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum yang sudah lengkap dan sudah dikonsultasikan dengan penyidik Polri diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Banyak lagi lainnya mengenai asas saling koordinasi ini.

4. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent).

Asas ini lawan dari presumption of guilty (praduga bersalah). Asas menekankan bahwa seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau diadili wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya. 

Asas ini merupakan bentuk perlindungan hak asasi seseorang agar terhindar dari kesewenang-wenangan penyidik maupun penuntut umum termasuk peringatan kepada masyarakat luas. Sebab hanya hakim saja melalui putusannya yang dapat menghakimi seseorang menyatakan telah bersalah, dan itu dilakukan melalui proses pembuktian yang benar-benar objektif dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. 

Asas ini mendudukkan/memperlakukan seseorang tersangka sederajat dengan penyidik, seorang terdakwa sederajat dengan penuntut umum. Tersangka atau terdakwa diperlakukan sebagai subjek dalam pemeriksaan, bukan objek. Adapun yang menjadi objek adalah kejahatan yang di sangkakan/di dakwakan kepadanya, ke arah itulah fokus pemeriksaan dilalukan.

5. Asas pembatasan masa penahanan.

Tidak seperti pada masa berlakunya HIR (Hukum Acara Pidana sebelum KUHAP) seseorang yang diproses hukum tidak dapat dibedakan mana penangkapan dan mana penahanan. Sebab lamanya waktu pengekangan kebebasan tersangka/terdakwa tidak ada batas waktu yang jelas. Sehingga seseorang yang ditangkap tapi tidak dilakukan pemeriksaan kepadanya masih terus dikurung untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, walaupun HIR sebetulnya membatasi lamanya waktu penangkapan itu 10 hari. 

Tapi praktiknya bisa lebih lama dari itu dan seseorang dikurung sampai tiba masa penahanan, dan masih sja terus ditahan sampai adanya putusan pengadilan. Selama dikurung/ditahan itu keadaan tersangka/terdakwa sangat memprihatinkan, kondisi kesehatannya yang buruk belum lagi penyiksaan yang dilakukan baik oleh penyidik maupun penuntut umum. 

Belum keluar putusan hakim seseorang tersangka maupun terdakwa dari awal penangkapan dilakukan sudah diperlakukan sebagai narapidana seseorang penjahat yang telah bersalah. Tidak sedikit seseorang tahanan itu mati dalam penantian menunggu keluarnya putusan hakim karena mendapat perlakuan yang sangat buruk.

6. Asas ganti kerugian dan rehabilitasi.

Asas ini dapat kita tarik dari keberadaan ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97 serta Pasal 77 KUHAP. Bahwa yang berhak menuntut ganti kerugian kepada Pra Peradilan adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tuntutan ganti kerugian itu dilakukan atas dasar:

1. karena ditangkap,
2. ditahan,
3. dituntut, dan
4. diadili, atau
5. dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, 
6. kekeliruan mengenai orangnya (error in persona), atau
7. kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan (error in law).

Sementara mengenai rehabilitasi Pasal 97 ayat (3) KUHAP menentukan bahwa yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi hanya disebutkan tersangka. Hal ini dapat dianggap tidak relevan, sebab mestinya terdakwa bukan tersangka. 

Ada batas yang tegas antara tersangka dan terdakwa itu. Ketentuan ini bertentangan dengan ayat sebelumnya dalam pasal yang sama. Pada ayat (1) menekankan bahwa hak memperoleh rehabilitasi itu apabila ia oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Artinya, ini dilakukan dalam pemeriksaan pengadilan setelah pembuktian dilakukan. Artinya, ini bukan lagi sudah diluar domain penyidikan. Dalam tahap penyidikan seseorang itu baru paling jauh ditetapkan sebagai tersangka karena itu secara hukum belum ada hak yang diberikan oleh KUHAP untuk mengajukan permohonan rehabilitasi. 

Lagi pula seharusnya tidak perlu diajukan rehabilitasi itu, sepenuh-penuhnya diserahkan kepada kebijaksanaan hakimlah sesuai ketentuan pada ayat (2) bahwa rehabilitasi itu diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Dan itu hanya dilakukan terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas (onslag van recht vervolging) saja.

7. Asas keseimbangan.

Asas ini menekankan kepada penyidik atau penuntut umum dan juga hakim. Terhadap penyidik dalam hal penghentian penyidikan, dan terhadap penuntut umum dalam hal penghentian penuntutan yang dapat dinilai akan sangat melukai perasaan keadilan ditengah-tengah masyarakat dengan tidak mengurangi arti praduga tak bersalah yaitu ketika masyarakat melihat tersangka bebas berkeliaran padahal perbuatannya sudah mengganggu kenyamanan dan ketertiban masyarakat. 

Begitupun juga kepada hakim asas ini menekankan agar hakim harus berhati-hati sebelum menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak). Karena itu akan dinilai sangat tidak adil oleh masyarakat. Karena itu pulalah asas ini mengajarkan agar selain hak seorang tersangka dilindungi oleh negara tapi tetap harus diimbangi jangan sampai menimbulkan kegoncangan ketertiban ditengah pergaulan hidup masyarakat sebab kepentingan umum telah pula terabaikan akibat penegakan hukum lalai memperhatikan kepentingan umum.

8. Asas oportunitas.

Asas ini memberikan hak kepada penuntut umum untuk mengenyampingkan suatu perkara. Penuntut umum dapat memutuskan untuk lebih baik tidak meneruskan penuntutan kepada sidang pengadilan dengan alasan dan pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Asas ini mendapat kritik yang keras misalnya dari Drs. Hadari Djenawi Tahir, S.H bahwa KUHAP tampaknya tidak lagi menganut asas oportunitas. Itu dapat dicermati dari ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, "semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum". 

Artinya memang, ketentuan ini menginginkan agar sedapat mungkin penuntut umum tidak menutup suatu perkara kecuali setelah melalui pengkajian yang mendalam terdapat cukup bukti peristiwa tersebut bukan tindak pidana. 

Namun bagaimanapun juga, betapapun asas oportunitas dianggap bertentangan dengan asas legalitas, nyatanya KUHAP tetap memberikan ruang penuntut umum dapat mengenyampingkan/menutup suatu perkara. Mungkin pikiran mereka yang mengkiritik keras hal ini agar sebaiknya teruskan saja perkara itu limpahkan ke pengadilan untuk diperiksa dan dibuktikan. 

Selanjutnya terserahlah kepada hakim berdasarkan alat bukti dan keyakinannya dalam memutus perkara itu terbukti atau tidakna biarlah hakim saja yang menilainya. Agaknya jika dicermati lebih jauh seperti itulah pikiran yang menentang keberadaan asas oportunitas ini. Dengan demikian maka hilanglah sendi pertentangannya dengan asas legalitas.

9. Asas persamaan dihadapan hukum.

Asas ini bermakna bahwa siapapun yang mulai sejak awal ditetapkan sebagai tersangka sampai dia diperiksa di sidang pengadilan sebagai terdakwa harus diperlakukan dengan sebaiknya dengan tetap melindungi hak-haknya. 

Jangan sampai suatu masa terhadap seorang ditetapkan sebagai tersangka diperlakukan sangat baik oleh penyidik, penuntut umum ataupun hakim, tiba giliran terjadi tindak pidana yang lain lagi ditetapkan tersangka kemudian sampai keluar putusan pengadilan diperlakukan secara tidak patut. 

Mengapa bisa terjadi seperti ini, sebabnya bisa banyak hal. Misalnya penyidik atau penuntut umum tidak benar-benar menjiwai semangat perlindungan hak-hak asasi di dalam KUHAP, terkikisnya kebijaksanaan akibat emosional yang tidak menentu tidak terkontrol, atau kurangnya pemahaman terhadap hakikat penegakan hukum itu sendiri atau yang terakhir dipengaruhi oleh tindakan diskriminatif. 

Tiap-tiap terdakwa terhadap perkara yang sama (tindak pidana sejenis/ serupa), sama motifnya, sama sifatnya, sama metode pelaksanaannya maka hukuman yang dijatuhkan hakimpun mesti sama, tidak boleh dibeda-bedakan apalagi sampai jauhnya jarak pidana yang dijatuhkan itu. Asas persamaan dihadapan hukum ini bermakna bahwa untuk persitiwa hukum yang sama maka diterapkan hukum yang sama pula, sedang untuk untuk peristiwa hukum yang berbeda maka diterapkan hukum yang berbeda pula.

10. Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Dalam asas ini menginginkan agar proses penegakan hukum pidana tidak dilakukan secara berlarut-larut, bertele-tele. Misalnya dalam hal penahanan, jika penyidik merasa telah cukup waktu yang diperlukan dalam waktu 30 hari saja maka tidak perlu diajukan permohonan perpanjangan masa penahanan. 

Demikian juga terhadap jaksa penuntut umum dan hakim (PN, PTN, MA). Atau dalam hal persaksian, terkait alat bukti saksi (Pasal 183 KUHAP) jika saksi-saksi yang akan dihadirkan itu tidak qualified maka tak perlu dihadirkan. 

Cukup hadirkan saksi yang relevan dan dapat menguatkan pembuktian dalam dakwaan penuntut umum di persidangan pengadilan. Praktik yang terjadi banyak keterangan saksi yang tidak bernilai sebagai alat bukti sehingga pembuktian menjadi lemah dan dapat berdampak hakim menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa.

11. Asas unifikasi dan kodifikasi.

Dalam asas ini terkandung makna bahwa peraturan perundang-undangan pidana itu sedapat mungkin mestilah berlaku menyeluruh untuk segenap masyarakat di pelosok tanah air. Kodifikasi artinya bahwa peraturan perundang-undangan pidana itu di kumpulkan, di susun, di himpun dalam satu kitab hukum dengan tidak menutup kemungkinan untuk mengatur di luar kitab hukum tersebut sesuai asas dalam ilmu hukum lex specialis derogat legi generalis.

12. Asas penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi.

Ini merupakan sendi-sendi keperdataan yang kemudian diterima juga di lingkungan domain penegakan hukum pidana.

13. Asas peradilan terbuka untuk umum.

Dalam penegakan hukum pidana itu khususnya ketika suatu perkara di periksa di persidangan pengadilan, jangan sampai ada peradilan tertutup, membuka kesempatan transaksional, bersidang di ruang gelap, pemeriksaan yang tidak jujur, tidak objektif dan jauh dari keinginan mewujudkan keadilan.

Asas ini hanya dapat dikesampingkan dalam hal perkara asusila atau terdakwanya masih anak-anak. Perkara asusila dinilai sangat tidak pantas di saksikan dalam persidangan yang terbuka sehingga semua yang hadir akan mengetahui aib-aib yang dikemukakan di persidangan. Sebab hal itu menyangkut moral berhukum yang patut. Adapun terhadap terdakwa yang masih anak-anak, persidangan tertutup dilakukan semata untuk menjaga psikologhis (kejiwaan) yang masih sangat labil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pe...