Sabtu, 08 Desember 2018

Perihal Penangkapan Bagian Ketiga


Perihal Penangkapan

Bagian Ketiga

Oleh: Syahdi, SH

Tulisan ini tentu tidak lepas dari kekurangan maupun kekeliruan dalam setiap karya tulis yang saya buat, karena itu saya menerima baik kritik, saran dan masukan yang konstruktif agar dunia keilmuan hukum menjadi lebih tercerahkan dengan banyaknya pembaca intelektual yang berfikir.

Beberapa hal yang perlu saya kemukakan dalam tulisan ini diantaranya berkenaan dengan perintah penangkapan, lamanya waktu penangkapan, penangkapan yang semena-mena, upaya hukum menggugat tindakan penangkapan yang tidak berdasarkan hukum.

Seperti telah terang dijelaskan pada tulisan bagian kedua yang lalu bahwa pejabat yang berwenang melakukan penangkapan itu adalah penyidik dengan tidak mengurangi bahwa penyelidikpun dapat melakukan penangkapan atas perintah penyidik.

Penyelidikan suatu peristiwa pidana tidak selalu berarti dilakukan oleh penyelidik seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (5) dan ayat (4) KUHAP. Tetapi penyidikpun dapat juga melakukan penyelidikan.

Hal ini bertitik tolak dari ketentuan Pasal 7 KUHAP bahwa penyidik mempunyai sejumlah kewenangan, diantaranya yaitu:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
3. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
4. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
5. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

Jika penyidik menerima laporan atau pengaduan maka penyidik berkewajiban menindaklanjuti laporan atau pengaduan itu. Karena itulah banyak juga terjadi dalam praktek bahwa laporan atau pengaduan itu disampaikan kepada penyidik meski penyelidik juga mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan dan menindaklanjutinya.

Kemungkinan dalam praktek dapat terjadi jika laporan atau pengaduan itu disampaikan kepada penyidik maka penyidik dapat meminta penyelidik membantunya turun lapangan, memeriksa dan melakukan pencatatan walaupun itu bukan suatu keharusan.

Tetapi jika laporan atau pengaduan itu disampaikan kepada penyelidik maka penyelidik tidak perlu meminta bantuan kepada penyidik. Tetapi jika penyelidik mengalami suatu kesulitan atau kebimbangan dalam penyelidikannya itu maka dapat "bertanya" kepada penyidik dan penyidik cukup memberikan penjelasan yang diperlukan.

Kecuali jika peristiwanya benar-benar rumit apalagi tidak semua penyelidik di tiap-tiap daerah mempunyai pemahaman dan kemampuan keilmuan yang sama maka penyidik atas permintaan penyelidik dapat turun tangan langsung bersama-sama dengan penyelidik memeriksa suatu peristiwa yang dilaporkan atau diadukan itu.

Jika suatu peristiwa berdasarkan bukti (barang bukti dan alat bukti, memperhatikan Pasal 183 KUHAP sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP) yang ditemukan penyelidik/penyidik mendapat keyakinan bahwa peristiwa itu adalah tindak pidana, maka penyidik atas dasar surat perintah dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang karena keadaannya atau perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 ayat (14) KUHAP).

Mengapa penangkapan harus dilakukan berdasarkan surat perintah?, hal ini sebab penangkapan itu pengekangan terhadap kebebasan tersangka yang tak lain merupakan perampasan berdasarkan hukum terhadap kebebasan tersangka.

Selain itu agar  penangkapan itu tidak dengan gegabah dilakukan, melainkan dengan suatu pengkajian yang mendalam. Jika penyidik ceroboh tiba-tiba menetapkan seseorang sebagai tersangka maka akan sangat merugikan orang yang bersangkutan, nama baiknya di masyarakat menjadi rusak, stigma negatif melekat dalam dirinya untuk waktu yang relatif lama walaupun pada akhirnya misalnya dia diputus bebas.

Bayangkan tiba-tiba polisi datang kerumah seseorang menangkap seseorang dan dia tidak tau menau perihal apa mengapa dia ditangkap, dan masyarakat menyaksikan itu. Malu yang luar biasa, kemana muka akan disembunyikan, celaan, gunjingan akan dengan mudah bertebaran di masyarakat.

Pengalaman di masa HIR (Het Inlands Reglement)/ hukum acara pidana yang berlaku sebelum reformasi telah banyak mengajari kita agar Negara tidak lagi bertindak sewenang-wenang dalam menegakkan hukum.

Selain itu penangkapan atas dasar surat perintah untuk menjunjung tinggi asas kepastian hukum. Sebagai sebuah Negara hukum aspek kepastian hukum menjadi sangat penting ketika warganegara berhadap-hadapan dengan kekuasaan pemerintah.

Tersangka, keluarganya atau kuasa hukumnya dapat mengajukan gugatan ke Pra Peradilan jika dianggapnya telah terjadi penangkapan yang sewenang-wenang, salinan surat perintah yang diberikan oleh penyidik kepada keluarga tersangka menjadi dasar untuk menggugat ke Pra Peradilan.

Jika tak ada surat perintah itu apa yang secara formil dijadikan dasar untuk menggugat ke Pra Peradilan soal penangkapan ini?, tentu menyulitkan pemeriksaan sidang Pra Peradilan. Karena itulah surat perintah penangkapan merupakan suatu kemestian untuk dijadikan dasar penyidik menangkap seseorang tersangka.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa penangkapan itu hanya dapat dilakukan untuk waktu paling lama satu hari yaitu 1x24 jam (Pasal 19 ayat (1) KUHAP). Jika telah sampai batas waktu yang ditentukan maka demi hukum seseorang tersangka harus dibebaskan.

Jika tidak segera dibebaskan, penyidik tidak mengindahkan maka dapat menjadi bumerang bagi penyidik sendiri sebab akan membuka pintu gugatan Pra Peradilan dan hakim Pra Peradilan dalam putusannya dapat menyatakan bahwa penangkapan tidak sah.

Lain halnya dalam peristiwa tertangkap tangan seperti mana diatur dalam Pasal 18, Pasal 111 KUHAP. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah. Setiap orang berhak menangkap orang yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana.

Tetapi terhadap ketentuan Pasal 111 ini, perlu dicermati bahwa ada hak yang diberikan kepada setiap orang dan ada kewajiban berdasarkan hukum untuk melakukan penangkapan. Artinya, setiap orang siapapun dapat langsung menangkap orang yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana tetapi segera setelah ditangkap harus menyerahkan tertangkap kepada pihak kepolisian.

Saya memahami, dalam hak yang diberikan itu ternyata juga diselipkan kewajiban. Yaitu kewajiban menyerahkan tertangkap kepada kepolisian segera setelah ditangkap. Hal itu dapat dicermati dari ketentuan Pasal 18 KUHAP yang menyatakan ".....dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat".

Hak setiap orang untuk menangkap mengandung pengertian bahwa dalam tertangkap tangan seseorang yang melihat peristiwa itu dapat langsung menangkap, dapat juga tidak menangkap melainkan cukup disampaikan kepada penyidik/penyelidik. Tetapi setelah dilakukan penangkapan itu, maka hak telah berubah menjadi kewajiban untuk segera menyerahkan tertangkap kepada penyidik.

Selain hak, KUHAP memberikan kewajiban melakukan penangkapan kepada setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum.

Siapa yang dimaksud dalam ketentuan tersebut tidak ditemukan dalam penjelasan Pasal 111 KUHAP. Dalam literatur menyebut yang dimaksud adalah seperti security/satpam termasuk pula anggota kepolisian. Apalagi seperti telah disampaikan setiap anggota Polri dapat menjalankan fungsi sebagai penyelidik.

Namun hal ini belumlah dapat menjawab persoalan. Bagaimana halnga dengan petugas jaga pos ronda malam yang mengetahui/melihat langsung sedang terjadi atau baru usai tindak pidana itu dilakukan? Apakah terhadapnya KUHAP memberikan kewajiban melakukan penangkapan seperti kewajiban yang dipikulkan kepada security/satpam?.

Jika security/satpam dianggap berkewajiban berdasarkan hukum yaitu Pasal 18 jo Pasal 111 KUHAP, lalu apakah kewenangan penangkapan pada petugas jaga pos ronda merupakan kewenangan yang bersumber dari KUHAP/hukum atau bukan. Saya berpendapat bukan bersumber dari KUHAP. Melainkan kewenangan yang diperoleh dari kesepakatan RT/RW di lingkungan masyarakat bersangkutan yang membuat kebijakan pengamanan di malam hari di lingkungan masyarakat.

Karena kewenangan itu bukan bersumber dari KUHAP maka bukan merupakan suatu kewajiban bagi petugas jaga pos ronda malam melakukan penangkapan. Meski demikian saya berpendapat  penangkapan tetap dapat dilakukan bukan berdasar kewajiban tapi berdasar hak.

Hak ini sesungguhnya lahir berdasar kepada tanggung jawab moral setiap orang yang melekat dalam dirinya. Adapun dicantumkan dalam KUHAP sekedar untuk menguatkan dan mengakomodir nilai-nilai moral itu agar KUHAP lebih efektif dalam praktik penegakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pe...